PEMBIMBING:
dr. Damai Suri, Sp. An
Oleh:
Safira Tsaqifiani Lathifa
Aldino Siwa Putra
J510155044
J510155096
REFERAT
ANESTESI PADA KOMA DIABETIKUM
Diajukan oleh:
Safira Tsaqifiani Lathifa
Aldino Siwa Putra
J510155044
J510155096
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Damai Suri, Sp. An
()
(.........................................)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Koma diabetik merupakan koma yang terjadi akibat komplikasi dari
berlebihnya kadar glukosa dalam darah maupun turunnya kadar glukosa
dalam darah. Dalam hal ini, koma diabetik merupakan komplikasi akut dari
diabetes mellitus. Koma diabetik dapat terjadi akibat dari ketoasidosis
diabetik, hiperosmolar non-ketotik, maupun hipoglikemia.3,8
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensiasi kekacauan
metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.3 Sedangkan
hiperglikemia non-ketotik merupakan sindroma yang ditandai dengan
hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi dengan tidak adanya
ketoasidosis.6
Menurut ADA (American
Diabetes
Association),
hipoglikemia
didefiniskan sebagai kadar glukosa plasma kurang lebih atau sama dengan
70 mg/dL. Tanda hipoglikemia dapat dikenali dengan trias Whipple, yaitu:
(1) gejala konsisten dengan hipoglikemia, (2) konsentrasi glukosa plasma
yang rendah diukur dengan metode yang tepat, dan (3) hilangnya gejala
setelah glukosa plasma meningkat.9
B. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa
insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun unutk semua kelompok
umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar
13,4/1000 pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan insiden KAD
sebesar 4,6-8/1000 pasien DM per tahun. KAD dilaporkan bertanggung
jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika
Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden
KAD di Indonesia tidak sebanyak di Negara barat, mengingat prevalensi
DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya
berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.4
yang
menyebabkan
KAD
adalah
infeksi,
diikuti
dengan
Penyebab Lain
Medikasi
frekuensi
Akantosis nigricans
Akromegali
Kortikosteroid
Trombosis
sepsis
Penatalaksanaan insulin
inadekuat atau ketidak
arteri,
termasuk
Takrolimus
Glukagon
Gangguan cerebrovaskular
Interferon
Hemokromatosis
patuhan
Hipertiroidisme
albuterol, dopamine,
Diabetes onset-awal
Pankreatitis
Penyakit kardiovaskular,
Kehamilan
ritodrin
pemroduksi
Obat-Obatan
Calcium channel blockers
hormon
adreno-
Agen kemoterapeutik
kortikotropik
Klorpromazin
Gangguan cerebrovaskular
Simetidin
Sindrom Cushing
Diazoxid
Hipertermia
Glukokortikoid
Hipotermia
Diuretik loop
Thrombosis mesenterika
Olanzapin
Pankreatitis
Propranolol
Emboli pulmonal
Tiazid
Gagal Ginjal
Noncompliance
Penyalahgunaan zat
Alkohol
Kokain
Diabetes tak terdiagnosis
D. Patofisiologi
1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik terjadi karena defisiensi insulin realtif atau
absolut bersamaan dengan pengeluaran berlebih hormon kontraregulasi
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Defisiensi
insulin dan glukagon berlebih merupakan hal yang penting untuk
terjadinya ketoasidosis diabetik. Turunnya nilai rasio insulin terhadap
glukagon
mecetuskan
glukoneogenesis,
glikogenolisis,
dan
bikarbonat
berkurang,
terjadilah
asidosis
metabolik.
pada
Hipertrigliseridemia
otot
dapat
dan
sangat
jaringan
parah
lemak
untuk
berkurang.
menyebabkan
pankreatitis.3,8
Ketoasidosis diabetik sering terjadi akibat peningkatan kebutuhan
insulin, yang terjadi saat adanya penyakit yang lain. Gagalnya
menambahkan terapi insulin juga menambah masalah yang ada. Pasien
yang menggunakan alat infus insulin dengan insulin kerja-pendek dapat
mengalami
ketoasidosis
pengiriman insulin.3,8
diabetik,
saat
terjadi
gangguan
pada
adanya
ketosis
pada
HONK
belum
dapat
dijelaskan.
glukosa plasma untuk sekitar 8 jam, periode waktu ini dapat berkurang
jika penggunaan glukosa meningkat oleh olahraga atau jika cadangan
glikogen berkurang oleh penyakit atau kelaparan.9
Normalnya glukoneogenesis membutuhkan kadar insulin rendah
dan adanya hormon kontraregulasi, bersamaan dengan suplai prekursor
dari jaringan otot dan lemak menuju hati. Otot memproduksi laktat,
piruvat, alanin, glutamin, dan asam amino lain. Trigliserida pada
jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, yang
merupakan prekurosor glukoneogenik.9
Keseimbangan glukosa sistemik penjagaan konsentrasi glukosa
plasma normal terjadi oleh kerjasama hormon, sinyal neural, dan efek
substrat yang meregulasi produksi glukosa endogen dan utilisasi
glukosa oleh jaringan selain otak. Di antara semua faktor regulasi,
insulin meainkan peranan penting. Saat kadar glukosa plasma turun
dalam kisaran fisiologis dalam keadaan puasasekresi insulin oleh sel
beta pancreas menurun, sehingga meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis hepatik. Kadar insulin rendah juga mengurangi
penggunaan glukosa pada jaringan perifer mencetuskan lipolisis dan
proteolisis, sehingga melepaskan precursor glukoneogenetik. Oleh
karena itu, penurunan sekresi insulin merupakan pertahanan pertama
dalam melawan hipoglikemia.9
Saat glukosa plasma menurun sedikit di bawah kisaran fisiologis,
hormon kontraregulasi glukosa dilepaskan. Di antara semua hormon,
sel alpha pangkreas glukoagon, dimana menstimulasi glikogenolisis
hepatik, terutama bekerja. Glukagon merupakan pertahanan kedua
melawan hipoglikemia. Epinefrin adrenomedular, yang menstimulasi
glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis, tidak terlalu berarti.
Namun, hormon ini menjadi penting ketika glukagon berkurang.
Epinefrin menjadi pertahanan ketiga melawan hipoglikemia. Ketika
berlebihnya
insulin
sendiri
dapt
menyebabkan
serum
Leukositosis,
menunjukkan
hipertrigliseridemia
deplesi
dan
volume
intravaskular.
hiperlipoproteinemia
=2 ( Na+ K ) +
( mOsm
kg )
plasma glucose(
mg
)
dL
18
secara
intravena.
Pemasangan
naso-gastric
tube
Ketika kadar glukosa plasma turun mendekati 250 mg/dL, cairan harus
diganti dengan larutan glukosa 5% untuk menjaga glukosa plasma
dalam kisaran 250-300 mg/dL. Hal ini mencegah terjadinya
hipoglikemia dan juga mengurangi kecenderungan terjadinya edema
cerebri, dimana dapat dihasilkan dari penurunan cepat dari glukosa
darah.8
Penggunaan
natrium
bikarbonat
dalam
penatalaksanaan
karena
konsekuensi
merugikannya,
yaitu:
1.
Terjadinya
Jika pasien tidak uremia dan urine output adekuat, kalium klorida
dengan dosis 10-20 mEq/jam perlu diberikan dalam 2 sampai 3 jam
setelah memulai terapi saat asidosis mulai mereda. Penggantian perlu
dimulai jika kadar kalium serum awal normal atau rendah dan perlu
ditunda bila kalium serum gagal berespon terhadap terapi inisial dan
tetap diatas 5 mEq/L, dalam kasus insufisiensi ginjal. Pasien kooperatif
dengan ketoasidosis ringan dapat menerima kalium secara oral.8
Pemberian fosfat jarang dibutuhkan dalam penaganan ketoasidosis
diabetik. Namun, bila hipofosfatemia parah terjadi (kurang dari 1
mg/dL) saat terapi insulin, sedikit fosfat dapat diberikan per jam.
Koreksi hipofosfatemia membantu mengembalikan kapasitas buffer
plasma, yang memfasilitasi ekskresi hydrogen renal. Fosfat juga
memperbaiki disosiasi oksigen dari hemoglobin dengan meregenerasi
2,3 difosfogliserat. Untuk menimilaisasi risko mencetuskan tetani dari
penggantian fosfat yang terlalu cepat, defisit rerata 40-50 mmol fosfat
digantikan dengan kecepatan 3-4 mmol/jam
pengubahan
pada
pasien
HONK
daripada
pasien
KAD.
3. Penatalaksanaan Hipoglikemia
Pemberian tablet glukosa atau cairan mengandung-glukosa, permen
atau makanan dapat diaplikasikan bila pasien dapat dan mau
menerimanya. Dosis awalnya adalah 20 g glukosa. Contoh makanan
atau minuman dengan kadar glukosa tersebut adalah 150-200 mL jus
buah (jus jeruk) atau 3-4 sendok the penuh gula yang dicampur dengan
air. Jika pasien tidak dapat dan tidak mau oleh karena neuroglikopenia,
terapi parenteral diperlukan. Glukosa intravena (25 g) diberikan dan
diikuti dengan infus glukosa diiringi dengan pengukuran glukosa
plasma serial. Jika terapi intravena tidak dapat dilakukan, glukagon
subkutan atau intramuscular (1.0 mg pada dewasa), terutama pada
pasien DM tipe 1. Karena aksinya menstimulasi glikogenolisis,
glukagon kurang efektif pada pasien deplesi-glikogen (contohnya pada
hipoglikemia terinduksi-alkohol). Glukagon menstimulasi sekresi
insulin dan oleh karena itu kurang berguna untuk DM tipe dua.
Penanganan ini bersifat sementara, dan pasien harus makan secepatnya
untuk meningkatkan simpanan glikogen.9,13
Pada pasien yang sadar, berorientasi baik dan dapat menelan,
setelah pemberian glukosa peroral, ulangi pengukuran glukosa darah
kapiler 10-15 menit kemudian, jika masih kurang dari 70 mg/dL, ulangi
pemberian glukosa peroral sampai tiga kali. Jika setelah tiga kali
pengulangan kadar glukosa darah masih di bawah 70 mg/dL, siapkan
glukagon 1 mg IM atau berikan infus glukosa 10% intravena dengan
kecepatan 100 mL/jam. Volume perlu ditentukan berdasarkan keperluan
klinis. Jika kadar glukosa darah sudah di atas 70 mg/dL dan pasien telah
pulih, berikan karbohidrat pada pasien bila mungkin. Contoh
karbohidrat yang dapat diberikan adalah dua keping biscuit, satu lapis
roti, 200-300 mL susu (bukan susu kedelai), atau porsi makanan biasa.
Setelah itu, dokumentasikan keadaan pasien. Pantau glukosa darah
pasien dalam 24 sampai 48 jam kemudian.9,13
gula
darah,
peningkatan
glukoneogenesis,
katabolisme
protein.Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh
sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth
Sepsis
Neuropati autonomik
mmHg
pada
perubahan
posisi
tegak
berdiri).1,6,7
dengan
neuropati
autonomik
dapat
meninggal
kepala
karena
imobilitas
atlantooksipital
dapat
status
metabolik
pasien.Untuk
itu
diperlukan
penilaian
Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra
bedah.1,5,6,7,8,12.
M. PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula
darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan
stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan
perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat
kerjanya belum jelas.Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis
glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan
sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh
pada pasien diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan
memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama
pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis,
tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan
penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan
metabolik.Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis
dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada
hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal
katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang
terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin
untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung
melalui
peningkatan
aktifitas
simpatis
sehingga
meningkatkan
non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum
dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu
penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula
darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi
insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi
dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien
diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi
mayor.Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada
pasien diabetes dengan neuropati autonomik.Hipotensi yang dalam dapat
terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri
koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular.Risiko infeksi dan gangguan
vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien
diabetes.Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan
epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah
anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok
regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan
risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada
penderita diabetes mellitus.5,6,7
O. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah :
1
Memberikan
metabolisme
kecukupan
karbohidrat
untuk
mencegah
Preoperatif
Infus kontinyu
D5W (1
Regular insulin
Unit/jam =
Glukosa plasma :
150
Sama dengan
sliding scale)
Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif
preoperatif
Sama dengan
preoperatif
pasien
mengalami
hipoglikemia
(<100
mg/dl).Sebaliknya,
berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa
akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus
diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada
pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam
infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian
insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c
atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan
dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg).
Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam
250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih
fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan
berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):
Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena
insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan
yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5%
perjam diberikan intra vena.Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang
sama sebagai berikut:
Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin
seperti di bawah ini :
Kadar gula
mmol (mg/dl)
darah
4,4
4,4 - 6,6
( 80 )
( 80 - 120 )
(120 - 180)
(180 - 240) .
u/jam
teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5
6,6-9,9
9,9 - 13,2
> 13,75
(>250)
Kebutuhan insulin
m/jam
Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih
Kadar gula
Infus insulin
5 cc/jam (1 unit/jam)
10 cc/jam (2 unit/jam)
15 cc/jam (3 unit/jam)
20 cc/jam (4 unit/jam)
P. TERAPI CAIRAN
1
Ketoasidosis Diabetikum
a. Pasien dewasa (>20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada
ekspansi
cairan
hiperglikemia
lebih
cepat.
Banyak
penulis
diwaspadai
kemungkinan
terjadinya
hipoglikemia
atau
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
tanda-tanda
dehidrasi
dan/atau
pernapasan
Kussmaul
(pada
gejala
klinis
meliputi
gejala
adrenergik
dan
kolinergik.
DAFTAR PUSTAKA
Available
from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3598174&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
8. Gardner DG, Shoback D. editors. Greenspans Basic & Clinical
Endocrinology. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.p. 75180
9. Cryer PE, Davis SN. Hypoglycemia. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. editors. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 18th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2012.p.
3003-9
10. Trachtenbarg
DE.
Diabetik
ketoacidosis.
Am
Fam
Physician.
2005;71(9):170514.
11. Nugent BW. Hyperosmolar hyperglycemic state. Emerg Med Clin North
Am. 2005;23(3 SPEC. ISS.):62948.
Available
from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0002934314005841
13. Stanisstreet D, Walden E, Jones C, Graveling DA. The Hospital
Management of Hypoglycaemia in Adults with Diabetes Mellitus. Natl
Heal Serv. 2010;(March):132.