Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

ANESTESI PADA KOMA DIABETIKUM


Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

PEMBIMBING:
dr. Damai Suri, Sp. An

Oleh:
Safira Tsaqifiani Lathifa
Aldino Siwa Putra

J510155044
J510155096

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

REFERAT
ANESTESI PADA KOMA DIABETIKUM
Diajukan oleh:
Safira Tsaqifiani Lathifa
Aldino Siwa Putra

J510155044
J510155096

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Damai Suri, Sp. An

()

Kabag. Profesi Dokter


dr. Dona Dewi Nirlawati

(.........................................)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya.
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes melitus. Komplikasi
diabetes mellitus terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi
akut meliputi ketoasidosis diabetik (KAD), hiperosmolar non-ketotik (HONK),
dan hipoglikemia. Sedangkan untuk komplikasi kronis meliputi katarak, retinopati
diabetik, nefropati diabetik, penyakit jantung koroner, penyakit arterial perifer,
dan lain-lain. Oleh karena itu, penting dalam mengetahui gejala-gejala komplikasi
akut dari diabetes mellitus.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Koma diabetik merupakan koma yang terjadi akibat komplikasi dari
berlebihnya kadar glukosa dalam darah maupun turunnya kadar glukosa
dalam darah. Dalam hal ini, koma diabetik merupakan komplikasi akut dari
diabetes mellitus. Koma diabetik dapat terjadi akibat dari ketoasidosis
diabetik, hiperosmolar non-ketotik, maupun hipoglikemia.3,8
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensiasi kekacauan
metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.3 Sedangkan
hiperglikemia non-ketotik merupakan sindroma yang ditandai dengan
hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi dengan tidak adanya
ketoasidosis.6
Menurut ADA (American

Diabetes

Association),

hipoglikemia

didefiniskan sebagai kadar glukosa plasma kurang lebih atau sama dengan
70 mg/dL. Tanda hipoglikemia dapat dikenali dengan trias Whipple, yaitu:
(1) gejala konsisten dengan hipoglikemia, (2) konsentrasi glukosa plasma
yang rendah diukur dengan metode yang tepat, dan (3) hilangnya gejala
setelah glukosa plasma meningkat.9
B. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa
insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun unutk semua kelompok
umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar
13,4/1000 pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan insiden KAD
sebesar 4,6-8/1000 pasien DM per tahun. KAD dilaporkan bertanggung
jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika
Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden
KAD di Indonesia tidak sebanyak di Negara barat, mengingat prevalensi
DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya
berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.4

Angka kematian pasien dengan KAD di Negara maju kurang dari 5%


pada banyak pusat kesehatan, beberapa sumber lain menyebutkan 5-10%, 210%, atau 9-10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien
usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25-50%. Angka kematian
menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti
sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar
glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang
rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari
dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian
lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.4
Kebanyakan kasus HONK ditemukan pada pasien usia lanjut dengan
diabetes tipe 2; namun, dilaporkan pula pada anak dan dewasa muda.
Keseluruhan tingkat mortalitas diperkirakan sebesar 20%, dimana sekitar
10% lebih tinggi daripada tingkat mortalitas pasien KAD.5
Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar
90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode
hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada
umumnya penderita diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode
hipoglikemia simtomatik per minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4% dari
mortalitas akibat diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia.6
Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes
mellitus tipe 2 dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa
pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia berat rendah
dalam beberapa tahun pertama (7%) dan meningkat menjadi 25% dalam
perjalanan diabetes. Namun prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah
sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi dari diabetes mellitus tipe 1 dan
banyak pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 akhirnya memerlukan
pengobatan insulin, sehingga sebagian besar episode hipoglikemia terjadi
pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.6
C. Etiologi

Etiologi dari koma diabetikum adalah berlebihnya kadar glukosa darah


dalam tubuh (ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non-ketotik) atau
kurangnya kadar glukosa darah (hipoglikemia). Masing-masing dari
gangguan ini mempunyai beberapa faktor risiko.
Penyebab KAD dituliskan dalam tabel. Faktor presipitasi paling
umum

yang

menyebabkan

KAD

adalah

infeksi,

diikuti

dengan

ketidakpatuhan penggunaan insulin.10


Tabel 1. Penyebab Ketoasidosis Diabetik.10
Penyebab Ketoasidosis Diabetik
Penyebab umum berdasarkan

Penyebab Lain

Medikasi

frekuensi

Akantosis nigricans

Agen antipsikotik atipikal

Infeksi, terutama pneumonia,

Akromegali

Kortikosteroid

infeksi saluran kemih, dan

Trombosis

sepsis
Penatalaksanaan insulin
inadekuat atau ketidak

arteri,

termasuk

Takrolimus

mesenterika dan iliaka

Glukagon

Gangguan cerebrovaskular

Interferon

Hemokromatosis

Agen simpatomimetik, termasuk

patuhan

Hipertiroidisme

albuterol, dopamine,

Diabetes onset-awal

Pankreatitis

dobutamin, terbutalin, dan

Penyakit kardiovaskular,

Kehamilan

ritodrin

terutama miokard infark

Penyebab dari timbulnya gejala dari hiperosmolar non-ketotik


adalah faktor-faktor pencetus terjadinya penurunan kadar insulin dalam
darah atau pengaktifan hormon kontraregulasi insulin. Faktor pencetus
tersebut dapat dibagi menjadi enam kategori: infeksi, pengobatan, noncompliance, diabetes tak terdiagnosis, penyalahgunaan zat, dan penyakit
komorbid. Infeksi merupakan penyebab utama terjadinya hiperosmolar nonketotik, dengan infeksi yang paling umum adalah pneumonia, tersering
Gram-negatif, diikuti dengan infeksi saluran kemih dan sepsis.11

Diabetes yang tak terdiagnosis sering berhubungan dengan


hiperosmolar non-ketotik karena kegagalan untuk mengenali gejala awal
dari penyakit. Infark miokard, kecelakaan cerebrovaskular, emboli pulmonal
dan thrombosis mesenterika telah diiidentifikasi sebagai penyebab
hiperosmoloar non-ketotik. Pada suatu penelitian pada populasi masyarakat
dengan hiperosmolar non-ketotik, tiga penyebab hal ini adalah compliance
buruk terhadap medikasi, ingesti etanol, dan penggunaan kokain.12
Tabel 2. Faktor Presipitasi Hiperosmolar Non-Ketotik.11
Faktor presipitasi hiperosmolar non-ketotik
Penyakit penyerta
Miokard infark akut
Tumor

pemroduksi

Obat-Obatan
Calcium channel blockers

hormon

adreno-

Agen kemoterapeutik

kortikotropik

Klorpromazin

Gangguan cerebrovaskular

Simetidin

Sindrom Cushing

Diazoxid

Hipertermia

Glukokortikoid

Hipotermia

Diuretik loop

Thrombosis mesenterika

Olanzapin

Pankreatitis

Propranolol

Emboli pulmonal

Tiazid

Gagal Ginjal

Total Parenteral Nutrition

Luka bakar berat


Tirotoksikosis
Infeksi
Selulitis
Infeksi dental
Pneumonia
Sepsis
Infeksi saluran kemih

Noncompliance
Penyalahgunaan zat
Alkohol
Kokain
Diabetes tak terdiagnosis

Faktor risiko terjadinya hipoglikemia pada pasien diabetes antara lain


pasien dengan insufisiensi ginjal, pasien tua, pasien dengan ketidaksadaran
akan hipoglikemia dan kegagalan otonomik terkait-hipoglikemia.12
Terapi antidiabetik, perorangan dan penggunaan kombinasi, bervariasi
dalam risiko hipoglikemia. Dalam satu meta-analisis intesifikasi setelah
kegagalan monoterapi metformin maksimal, semua medikasi non-insulin
lini kedua menyediakan perbaikan yang sama dalam control glikemik, tetapi
berbeda dalam menyebabkan hipoglikemia. Sulfonilurea terutama dapat
menyebabkan hipoglikemia dibandingkan agena antidiabetik oral lainnya.12

D. Patofisiologi
1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik terjadi karena defisiensi insulin realtif atau
absolut bersamaan dengan pengeluaran berlebih hormon kontraregulasi
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Defisiensi
insulin dan glukagon berlebih merupakan hal yang penting untuk
terjadinya ketoasidosis diabetik. Turunnya nilai rasio insulin terhadap
glukagon

mecetuskan

glukoneogenesis,

glikogenolisis,

dan

pembentukan badan keton dalam hepar, dan meningkatkan pengiriman


substrat dari jaringan lemak dan otot (asam lemak bebas dan asam
amino) ke dalam hepar. Penanda inflamasi (sitokin, C-reactive protein)
juga meningkat.3
Kombinasi dari defisiensi insulin dan hiperglikemia mengurangi
kadar fruktosa-2,6-difosfatase, yang mengganggu aktivitas dari
fosfofruktokinase dan fruktosa-1,6-difosfatase. Berlebihnya glukagon
mengurangi aktivitas dari piruvat kinase, dimana defisiensi insulin
meningkatkan aktivitas fosfoenolpiruvat karboksikinase. Perubahan
aktivitas ini mengubah metabolism piruvat untuk sintesis glukosa.
Peningkatan kadar glukagon dan katekolamin dengan kadar insulin

rendah mencetus glikogenolisis. Defisiensi insulin juga mengurangi


jumlah transporter glukosa GLUT4, yang mengganggu masukan
glukosa ke dalam otot lurik dan jaringan lemak dan mengurangi
metabolism glukosa intraseluler.3,8
Ketosis terjadi akibat penigkatan pelepasan asam lemak bebas dari
adiposity, yang menghasilkan sintesis badan keton dalam hepar.
Pengurangan kadar insulin, dengan peningkatan katekolamin dan
hormon pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam
lemak bebas. Secara normal, asam lemak bebas ini diubah menjadi
trigliserida atau VLDL dalam hepar. Namun, dalam ketoasidosis
diabetik, hiperglukagonemia mengganggu metabolism hepatik dan
mencetus pembentukan badan keton, melalui aktivasi enzim karnitin
palmitoil-transferase I. Enzim ini berperan penting dalam meregulasi
transport asam lemak ke dalam mitokondria, dimana oksidasi beta dan
perubahan menjadi badan keton terjadi. Pada pH fisiologis, badan keton
terdapat sebagai asam keton, yang dinetralisasi oleh bikarbonat. Saat
cadangan

bikarbonat

berkurang,

terjadilah

asidosis

metabolik.

Peningkatan asam laktat juga berkontribusi dalam asidosis. Peningkatan


asam lemak bebas juga meningkatkan produksi trigliserida dan VLDL.
Bersihan VLDL juga berkurang karena aktivitas lipoprotein lipase
sensitive-insulin

pada

Hipertrigliseridemia

otot

dapat

dan
sangat

jaringan
parah

lemak
untuk

berkurang.

menyebabkan

pankreatitis.3,8
Ketoasidosis diabetik sering terjadi akibat peningkatan kebutuhan
insulin, yang terjadi saat adanya penyakit yang lain. Gagalnya
menambahkan terapi insulin juga menambah masalah yang ada. Pasien
yang menggunakan alat infus insulin dengan insulin kerja-pendek dapat
mengalami

ketoasidosis

pengiriman insulin.3,8

diabetik,

saat

terjadi

gangguan

pada

2. Patofisiologi Hiperosmolar Non-Ketotik


Defisiensi insulin relatif dan asupan cairan inadekuat merupakan
penyebab dasar terjadinya HONK. Defisiensi insulin meningkatkan
produksi glukosa hepatik (melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis)
dan mengganggu penggunaan glukosa di otot lurik. Hiperglikemia
menginduksi diuresis osmotik yang mengakibatkan deplesi volume
intravaskular, yang diperparah dengan penggantian cairan inadekuat.
Tidak

adanya

ketosis

pada

HONK

belum

dapat

dijelaskan.

Kemungkinan, defisiensi insulin hanya bersifat relatif dan kurang berat


dari KAD. Pada beberapa penelitian, dalam HONK ditemukan kadar
hormon kontraregulasi yang rendah dibandingkan dengan KAD. Dapat
memungkinkan bahwa hepar kurang dapat menyintesis badan keton
atau rasio insulin/glukagon tidak menyebabkan ketogenesis.3,8
3. Patofisiologi Hipoglikemia
Glukosa merupakan bahan bakar metabolik obligat bagi otak dalam
kondisi fisiologis. Otak tidak mampu menyintesis glukosa atau
menyimpannya dalam beberapa menit sebagai glikogen dan oleh sebab
itu membutuhkan suplai glukosa terus-menerus melalui sirkulasi
arterial. Ketika konsentrasi glukosa plasma arterial turun di bawah nilai
normal, transportasi glukosa darah-otak menjadi terganggu untuk
menunjang fungsi dan metabolism energy otak. Namun, mekanisme
kontraregulasi glukosa secara normal mencegah atau secara cepat
memperbaiki hipoglikemia.9
Konsentrasi plasma glukosa secara normal dijaga dalam kisaran
sempit, sekitar 70-110 mg/dL dalam keadaan puasa dengan sedikit
kenaikan setelah makan. Di antara waktu makan dan saat puasa, kadar
glukosa plasma dijaga dengan produksi glukosa endogen, yaitu
glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis hepatik (dan renal).
Meskipun simpanan glikogen hati biasanya cukup untuk menjaga kadar

glukosa plasma untuk sekitar 8 jam, periode waktu ini dapat berkurang
jika penggunaan glukosa meningkat oleh olahraga atau jika cadangan
glikogen berkurang oleh penyakit atau kelaparan.9
Normalnya glukoneogenesis membutuhkan kadar insulin rendah
dan adanya hormon kontraregulasi, bersamaan dengan suplai prekursor
dari jaringan otot dan lemak menuju hati. Otot memproduksi laktat,
piruvat, alanin, glutamin, dan asam amino lain. Trigliserida pada
jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, yang
merupakan prekurosor glukoneogenik.9
Keseimbangan glukosa sistemik penjagaan konsentrasi glukosa
plasma normal terjadi oleh kerjasama hormon, sinyal neural, dan efek
substrat yang meregulasi produksi glukosa endogen dan utilisasi
glukosa oleh jaringan selain otak. Di antara semua faktor regulasi,
insulin meainkan peranan penting. Saat kadar glukosa plasma turun
dalam kisaran fisiologis dalam keadaan puasasekresi insulin oleh sel
beta pancreas menurun, sehingga meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis hepatik. Kadar insulin rendah juga mengurangi
penggunaan glukosa pada jaringan perifer mencetuskan lipolisis dan
proteolisis, sehingga melepaskan precursor glukoneogenetik. Oleh
karena itu, penurunan sekresi insulin merupakan pertahanan pertama
dalam melawan hipoglikemia.9
Saat glukosa plasma menurun sedikit di bawah kisaran fisiologis,
hormon kontraregulasi glukosa dilepaskan. Di antara semua hormon,
sel alpha pangkreas glukoagon, dimana menstimulasi glikogenolisis
hepatik, terutama bekerja. Glukagon merupakan pertahanan kedua
melawan hipoglikemia. Epinefrin adrenomedular, yang menstimulasi
glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis, tidak terlalu berarti.
Namun, hormon ini menjadi penting ketika glukagon berkurang.
Epinefrin menjadi pertahanan ketiga melawan hipoglikemia. Ketika

hipoglikemia memanjang melampaui 4 jam, kortisol dan hormon


pertumbuhan juga membantu produksi glukosa dan membatasi
penggunaan glukosa.9
Saat glukosa plasma turun di kisaran rendah, gejala hipoglikemia
mendorong perilaku untuk mencegah hipoglikemia, termasuk ingesti
makanan.9
Ketika

berlebihnya

insulin

sendiri

dapt

menyebabkan

hipoglikemia, hipoglikemia iatrogenic pada diabetes merupakan hasil


dari lebihnya insulin terapeutik relatif atau absolut dan terganggunya
pertahanan fisiologis dan perilaku terhadap turunnya glukosa plasma.
Gangguan kontraregulasi glukosa menurunkan pertahanan fisiologis
dan ketidaksadaran akan hipoglikemia (hypoglycemia unawareness)
menurunkan pertahanan perilaku.9
Dalam keadaan defisiensi insulin endogen, kadar insulin tidak
menurun saat glukosa plasma menurun; pertahanan pertama melawan
hipoglikemia hilang. Lebih lanjut, kemungkinan karena penurunan
sekresi insulin intraislet secara normal merupakan sinyal untuk
menstimulasi sekresi glukagon, kadar glukagon tidak meningkat saat
glukosa plasma turun; pertahanan kedua melawan hipoglikemia hilang.
Akhirnya, peningkatan epinefrin, salam respons terhadap hipoglikemia
menjadi terganggu. Dalam keadaan tidak adanya penurunan insulin dan
peningkatan glukagon, peningkatan epinefrin menyebabkan sindroma
klinis dari gangguan kontraregulasi glukosa.9
Berkurangnya respons simpatoadrenal terhadap hipoglikemia
menyebabkan sindroma klinis dari ketidaksadaran akan hipoglikemia
(hypoglycemia unawareness), karena hilangnya peringatan dari gejala
adrenergik dan kolinergik yang sebelumnya memperingati pasien
terhadap tanda-tanda hipoglikemia dan menghilangkan episode dengan
cara ingesti karbohidrat. Pasien seperti ini mempunyai 6 kali lipat

peningkatan risiko hipoglikemia iatrogenik berat saat terapi glikemik


agresif.9
E. Gejala Klinis
1. Gejala Klinis Ketoasidosis Diabetik
Manifestasi klinik dari ketoasidosis diabetik biasanya dimulai dari
poliuria dan polidipsia satu atau beberapa hari sebelumnya dengan rasa
lelah, mual dan muntah. Akhirnya, stupor terjadi dan dapat berkembang
menjadi koma. Pada pemeriksaan fisik, bukti adanya dehidrasi pada
pasien stupor dengan pernapasan yang cepat dan dalam ditambah
dengan bau aseton pada pernapasan secara kuat mengarah pada
diagnosis. Nyeri dan nyeri tekan perut dapat terjadi, dan hipotermia
ringan biasanya terjadi.8
2. Gejala Klinis Hiperosmolar Non-Ketotik
Onset dari hiperosmolar non-ketotik dapat terjadi diam-diam,
diawali dengan gejala kelemahan, poliuria, dan polidipsia beberapa hari
atau minggu. Riwayat berkurangnya asupan cairan biasa ditemukan,
oleh karena penderita tidak merasa haus, gangguan gastrointestinal, atau
kurangnya mendapatkan cairan pada orang tua atau pasien tirah baring.
Riwayat memakan banyak cairan mengandung glukosa dapat juga
ditemukan.8
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah tanda dehidrasi
yang jelas. Pasien dapat letargik, delirium, atau koma. Pernapasan
Kussmaul tidak ditemukan kecuali faktor presipitasi hiperosmolar nonketotik juga berkembang menuju asidosis metabolik.8
3. Gejala Klinis Hipoglikemia
Gejala neuroglikopenik dari hipoglikemia merupakan hasil
langsung dari kurangnya glukosa pada susunan saraf pusat. Gejala
meliputi perubahan perilaku, linglung, kelelahan, kejang, kehilangan

kesadaran, dan, bila hipoglikemia parah dan memanjang, menyebabkan


kematian. Gejala neurogenik dari hipoglikemia merupakan persepsi
perubahan fisiologis yang disebabkan oleh rangsangan simaptoadrenal
dimediasi-SSP akibat hipoglikemia. Gejala meliputi gejala adrenergik
seperti palpitasi, tremor, dan cemas. Gejala juga meliputi gejala
kolinergik seperti berkeringat, rasa lapar, dan parestesia. Namun, hal ini
bukan merupakan gejala spesifik. Gejala-gejala tersebut membutuhkan
hubungan antara konsentrasi glukosa plasma yang rendah dan
resolusinya ketika glukosa plasma meningkat.9
Tanda umum dari hipoglikemia termasuk diaforesis dan pucat.
Frekuensi nadi dan tekanan darah sistolik dapat meningkat namun dapat
tidak meningkat pada individu dengan episode hipoglikemik berulang.
Manifestasi neuroglikopenik sering terlihat. Defisit neurologis fokal
sementara kadang terjadi. Defisit neurologis permanen sangat jarang
terjadi. 9
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Penunjang Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik ditandai dengan hiperglikemia, ketosis, dan
asidosis metabolik (peningkatan anion gap) bersamaan dengan beberapa
gangguan metabolik sekunder. Terkadang, glukosa serum hanya sedikit
meningkat. Bikarbonat serum biasanya <10 mmol/L, dan pH arterial
berkisar antara 6,8 dan 7,3, bergantung pada derajat keparahan asidosis.
Meskipun terdapat defisit kalium tubuh-total, kalium serum dapat
sedikit meningkat, sekunder akibat asidosis. Simpanan natrium, klorida,
fosfor dan magnesium tubuh berkurang pada kAD tapi tidak secara
akurat menggambarkan kadar mereka dalam serum karena dehidrasi
dan hiperglikemia. Peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan kadar
kreatinin

serum

Leukositosis,

menunjukkan
hipertrigliseridemia

deplesi
dan

volume

intravaskular.

hiperlipoproteinemia

ubiasanymumnya ditemukan pula pada KAD. Hiperamilasemia dapat

menunjukkan diagnosis pankreatitis, terutama ketika disertai dengan


nyeri abdomen. Namun, pada KAD, amilase biasanya berasal dari
kelenjar saliva dan tidak diagnostik untuk pankreatitis. Lipase serum
harus dinilai jika dicurigai adanya pankreatitis.8
Natrium serum terukur (measured serum sodium) berkurang
sebagai konsekuensi hiperglikemia (1,6 mEq pengurangan nartium
serum untuk setiap 100 mg/dL kenaikan glukosa serum). Natrium
serum normal pada kondisi KAD menunjukkan adanya defisit cairan
yang jelas. Osmolalitas serum biasanya meningkat ringan atau sedang.8

Calculated serum osmolality

=2 ( Na+ K ) +
( mOsm
kg )

plasma glucose(

mg
)
dL

18

Pada KAD, badan keton, -hidroksibutirat, disintesis tiga kali lipat


dari pada asam asetoasetat.; namun, asetosetat dapat dideteksi dengan
pendeteksi ketosis yang biasa digunakan (reagen nitroprusida).
Beberapa obat seperti captopril atau penisilamin dapat menyebabkan
positif palsu pada pemeriksaan ini. Pemeriksaan asam -hidroksibutirat
serum lebih dipilih karena lebih akurat menunjukkan nilai keton tubuh.8
2. Pemeriksaan Penunjang Hiperosmolar Non-Ketotik
Hiperglikemia berat ditemukan pada HONK, dengan kadar glukosa
darah berkisar dari 600-2400 mg/dL. Pada kasus ringan, dimana
dehidrasi yang terjadi ringan, hiponatremia delusional dan hilangnya
natrium urin dapat mengurangi natrium serum sekitar 120-125 mEq/L,
hal ini berfungsi sebagai perlindungan trerhadap hiperosmolalitas
ekstrem. Ketosis biasanya tidak ada atau ringan; namun, derajat kecil
ketonuria dapat terjadi jika pasien tidak makan karena suatu penyakit.8
3. Pemeriksaan Penunjang Hipoglikemia

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pengukuran


kadar glukosa darah. Hipoglikemia ditandai dengan kadar glukosa
darah <55 mg/dL dengan gejala yang hilang dengan pemberian glukosa
dapat dikatakan hipoglikemia. Walaupun demikian berbagai studi
fisiologis menunjukan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi
pada kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui
bahwa kadar glukosa darah 55mg/dl (3 mmol/L) yang terjadi berulang
kali dapat merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia
yang lebih berat.9
G. Diagnosis
Setelah penanganan kegawatdaruratan, anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis.
Pasien dengan koma dalam dari HONK atau hipoglikemia biasanya lemah
(flaccid) dan bernapas secara tenang. Berbeda dengan pasien asidosis
dimana pernapasannya cepat dan dalam bila pH darah arterial turun menjadi
7,1 atau lebih rendah. Ketika hipoglikemia menjadi penyebab koma,
hipotermia biasanya terjadi, dan keadaan hidrasi biasanya normal.8
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik
Jika diagnosis ketoasidosis diabetik sudah ditegakkan, pemberian
setidaknya 2 cairan isotonic (larutan 0,9% NS) pada pasien dewasa
dalam 2-3 jam pertama diperlkan untuk membantu mengembalikan
volume plasma dan menstabilkan tekanan darah ketika mengurangi
keadaan hiperosmolar. Sebagai tambahan, dengan membaiknya aliran
plasma ginjal, penggantian cairan juga mengembalikan kapasitas renal
untuk mengekskresi ion hydrogen, sehingga mengeliminasi asidosis
pula. Segera setelah dimulainya penggantian cairan, bolus cepat 0,3
U/kgBB insulin regular diberikan secara intravena. Hal ini mencegah
glukoneogenesis dan ketogenesis ketika memulai utilisasi glukosa dan

asam keto. Jika pH darah arterial 7 atau kurang, bikarbonat dapat


diberikan

secara

intravena.

Pemasangan

naso-gastric

tube

direkomendasikan pada pasien koma untuk mencegah muntah dan


aspirasi yang dapat terjadi karena atonia gaster. Pemasangan kateter
urin dan central venous catheter diperlukan bila ada indikasi.8
Insulin yang digunakan adalah insulin regular. Pemberian loading
dose 0,3 U/kgBB diberikan awal sebagai bolus intravena. Setelah itu
pemeberian dosis insulin 0,1 U/kgBB diberikan setiap jam dengan cara
drip intravena lambat atau meskipun dioberikan secara intramuscular
efektif pada beberapa kasus, dan lebih aman. Ketika infuse kontinu
insulin digunakan, 25 unit insulin manusia regular dilarutkan dalam 250
mL larutan isotonic dan 50 mL pertama dialirkan ke selang sebelum
diberikan secara intravena. Jika kadar glukosa plasma gagal untuk turun
setidaknya 10% pada satu jam pertama, ulangi pemberian loading dose.
Pada kejadian yang jarang, pasien dapat mengalami resistensi insulin.
Dalam hal ini dibutuhkan penggandaan dosis insulin tiap 2-4 jam jika
hiperglikemia parah tidak membaik setelah dua dosis insulin pertama
dan penggantian cairan. Terapi insulin tetap diteruskan sampai pH darah
arterial kembali ke kisaran normal.8
Pada kebanyakan pasien dewasa, defisit cairan yang terjadi sekitar
4-5 L. Pada pemberian awal, cairan isotonic lebih dipilih untuk
mengembalikan volume plasma dan diberikan dengan kecepatan 1
L/jam dalam waktu 1-2 jam. Setelah 2 L pertama, cairan diganti dengan
0,45% cairan saline dengan kecepatan 300-400 mL/jam, karena
kehilangan cairan melebihi kehilangan natrium pada diabetes tak
terkontrol dengan diuresis osmotik. Kegagalan dalam memberikan
pengganti cairan (setidaknya 3-4 L dalam 8 jam) untuk mengembalikan
perfusi normal merupakan salah satu hal yang membahayakan. Sama
halnya bila pemberian cairan berlebih (>5 L dalam 8 jam) dapat
menyebabkan acute respiratory distress syndrome atau edema cerebri.

Ketika kadar glukosa plasma turun mendekati 250 mg/dL, cairan harus
diganti dengan larutan glukosa 5% untuk menjaga glukosa plasma
dalam kisaran 250-300 mg/dL. Hal ini mencegah terjadinya
hipoglikemia dan juga mengurangi kecenderungan terjadinya edema
cerebri, dimana dapat dihasilkan dari penurunan cepat dari glukosa
darah.8
Penggunaan

natrium

bikarbonat

dalam

penatalaksanaan

ketoasidosis diabetik dipertanyakan karena tidak ada keuntungan klinis


dan

karena

konsekuensi

merugikannya,

yaitu:

1.

Terjadinya

hipokalemia karena pergeseran cepat kalium ke dalam sel bila asidosis


overkoreksi, 2. Anoksia jaringan dari pengurangan disosiasi oksigen
dari hemoglobin ketika asidosis secara cepat diperbaiki, dan 3. Asidosis
serebral yang dihasilkan dari rendahnya pH cairan cerebrospinal. Jika
terjadi asidosis parah, natrium bikarbonat dapat diberikan jika pH darah
dibawah 7 dengan pengamatan yang baik untuk mencegah overkoreksi.8
Satu sampai dua ampul natrium bikarbonat (satu ampul
mengandung 44mEq/50 mL) ditambahkan dalam 1 L 0,45% saline.
Larutan ini diberikan secara cepat (dalam satu jam pertama). Dapat
diulang sampai pH arterial mencapai 7,1. Jangan diberikan bila pH
darah arterial melewati 7,1 , karena penambahan bikarbonat dapat
meningkatkan terjadinya alkalosis metabolik saat keton dimetabolisme.
Alkalosis menyebabkan perpindahan kalium dari serum ke sel,
menyebabkan aritmia jantung.8
Hilangnya kalium tubuh total dari poliuria dan muntah dapat
mencapai 200 mEq. Namun, karena terjadinya pergeseran kalium dari
sel menuju cairan ekstraseluer sebagai konsekunsi dari asidosis, kalium
serum biasanya normal atau sedikit meningkat bergantung terhadap
penatalaksanaan. Saat asidosis diperbaiki, kalium kembali menuju sel,
dan hipokalemia dapat terjadi bila pemberian kalium tidak dilakukan.

Jika pasien tidak uremia dan urine output adekuat, kalium klorida
dengan dosis 10-20 mEq/jam perlu diberikan dalam 2 sampai 3 jam
setelah memulai terapi saat asidosis mulai mereda. Penggantian perlu
dimulai jika kadar kalium serum awal normal atau rendah dan perlu
ditunda bila kalium serum gagal berespon terhadap terapi inisial dan
tetap diatas 5 mEq/L, dalam kasus insufisiensi ginjal. Pasien kooperatif
dengan ketoasidosis ringan dapat menerima kalium secara oral.8
Pemberian fosfat jarang dibutuhkan dalam penaganan ketoasidosis
diabetik. Namun, bila hipofosfatemia parah terjadi (kurang dari 1
mg/dL) saat terapi insulin, sedikit fosfat dapat diberikan per jam.
Koreksi hipofosfatemia membantu mengembalikan kapasitas buffer
plasma, yang memfasilitasi ekskresi hydrogen renal. Fosfat juga
memperbaiki disosiasi oksigen dari hemoglobin dengan meregenerasi
2,3 difosfogliserat. Untuk menimilaisasi risko mencetuskan tetani dari
penggantian fosfat yang terlalu cepat, defisit rerata 40-50 mmol fosfat
digantikan dengan kecepatan 3-4 mmol/jam

secara intravena pada

orang dengan berat badan 60-70 kg.8


2. Penatalaksanaan Hiperosmolar Non-Ketotik
Pemberian cairan merupakan hal terpenting dalam menangani
hiperosmolar non-ketotik. Bila terjadi kolaps sirkulasi, terapi cairan
harus dimulai dengan cairan isotonic. Pada beberapa kasus, pemberian
inisial dengan cairan hipotonik (biasanya 0,45%) lebih disukai, karena
pasien dalam keadaan hiperosmolar dengan kehilangan cairan tubuh
dan kelebihan zat terlarut dalam kompartemen vascular. Sebanyak 4-6 L
cairan dapat dibutuhkan dalam 8-10 jam pertama. Pemantauan yang
cermat dalam jumlah dan jenis cairan, urine output, tekanan darah, dan
nadi sangat esensial. Pengukuran central venous pressure diperlukan
untuk memantau penggantian cairan, terutama bila pasien lebih tua atau
mempunyai gangguan ginjal atau jantung. Karena terapi insulin

mengurangi glukosa plasma dan osmolalitas serum,

pengubahan

menjadi cairan isotonic diperlukan saat penatalaksanaan untuk menjaga


tekanan darah adekuat dan urine output setidaknya 50 ml/jam. Ketika
gula darah mencapai 250 mg/dL, 5% dekstrosa dalam 0,45 atau 0,9%
cairan saline disubsitusikan dengan cairan bebas-gula. Ketika kesadaran
kembali, berikan cairan peroral.8
Hiperkalemia tidak terlalu berarti, dan kebanyakan kalium hilang
melalui urine saat diuresis osmotik dari HONK daripada KAD. Oleh
karena itu, hanya diperlukan sedikit pemberian kalium untuk menjadi
normal kembali. Namun, karena kalium serum awal biasanya tidak
meningkat dan karena menurun secara cepat saat terapi insulin dimulai,
direkomendasikan pada penderita HONK untuk diberikan kalium
pengganti di awal penatalaksanaan: 10 mEq kalium klorida dapat
ditambahkan pada cairan awal bila kalium serum awal tidak meningkat
dan bila pasien mengeluarkan urin. Ketika fosfat serum menurun di
bawah 1 mg/dL saat pemberian insulin, pemberian fosfat dapat
diberikan secara intravena dengan beberapa pertimbangan. Jika pasien
sadar dan kooperatif, penggantian kalium dan fosfat dapat diberikan
secara oral total atau sebagian.8
Secara umum, sedikit insulin dibutuhkan untuk mengurangi
hiperglikemia

pada

pasien

HONK

daripada

pasien

KAD.

Kenyataannya, penggantian cairan sendiri dapat menurunkan kadar


glukosa darah. Dosis inisial 15 unit insulin regular diberikan secara
intravena dan 15 unit diberikan secara intramuscular biasanya cukup
efektif dalam menurunkan glukosa darah. Pada kebanyakan kasus, dosis
selanjutnya diberikan tidak melebihi 10-25 unit per hari tiap 4 jam.
Beberapa pasien terutama mereka yang sakit parah karena penyakit
penyerta memerlukan pemberian insulin intravena kontinu dengan
pengamatan ketat.8

3. Penatalaksanaan Hipoglikemia
Pemberian tablet glukosa atau cairan mengandung-glukosa, permen
atau makanan dapat diaplikasikan bila pasien dapat dan mau
menerimanya. Dosis awalnya adalah 20 g glukosa. Contoh makanan
atau minuman dengan kadar glukosa tersebut adalah 150-200 mL jus
buah (jus jeruk) atau 3-4 sendok the penuh gula yang dicampur dengan
air. Jika pasien tidak dapat dan tidak mau oleh karena neuroglikopenia,
terapi parenteral diperlukan. Glukosa intravena (25 g) diberikan dan
diikuti dengan infus glukosa diiringi dengan pengukuran glukosa
plasma serial. Jika terapi intravena tidak dapat dilakukan, glukagon
subkutan atau intramuscular (1.0 mg pada dewasa), terutama pada
pasien DM tipe 1. Karena aksinya menstimulasi glikogenolisis,
glukagon kurang efektif pada pasien deplesi-glikogen (contohnya pada
hipoglikemia terinduksi-alkohol). Glukagon menstimulasi sekresi
insulin dan oleh karena itu kurang berguna untuk DM tipe dua.
Penanganan ini bersifat sementara, dan pasien harus makan secepatnya
untuk meningkatkan simpanan glikogen.9,13
Pada pasien yang sadar, berorientasi baik dan dapat menelan,
setelah pemberian glukosa peroral, ulangi pengukuran glukosa darah
kapiler 10-15 menit kemudian, jika masih kurang dari 70 mg/dL, ulangi
pemberian glukosa peroral sampai tiga kali. Jika setelah tiga kali
pengulangan kadar glukosa darah masih di bawah 70 mg/dL, siapkan
glukagon 1 mg IM atau berikan infus glukosa 10% intravena dengan
kecepatan 100 mL/jam. Volume perlu ditentukan berdasarkan keperluan
klinis. Jika kadar glukosa darah sudah di atas 70 mg/dL dan pasien telah
pulih, berikan karbohidrat pada pasien bila mungkin. Contoh
karbohidrat yang dapat diberikan adalah dua keping biscuit, satu lapis
roti, 200-300 mL susu (bukan susu kedelai), atau porsi makanan biasa.
Setelah itu, dokumentasikan keadaan pasien. Pantau glukosa darah
pasien dalam 24 sampai 48 jam kemudian.9,13

Pada pasien yang tidak sadar dan/atau mengalami kejang dan/atau


sangat agresif, cek ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability
dan Exposure). Setelah itu dapat dipilih penatalaksanaan sesuai kondisi:
(1) Pemberian glukagon 1 mg IM. Glukagon, yang membutuhkan
waktu 15 menit untuk memberikan efek, memobilisasi glikogen dari
hati dan kurang efektif pada mereka yang malnutrisi kronik atau pasien
dengan periode kelaparan berkepanjangan dan kekurangan cadangan
glikogen atau mereka yang mempunyai penyakit hati berat. (2) Jika
akses intravena tersedia, berikan 75-80 mL glukosa 20% (dalam 10-15
menit). Jika infusion pump tersedia, gunakan dalam administrasi
glukosa. Bila tidak, berikan langsung glukosa. Ulangi pengukuran
glukosa darah kapiler 10 menit kemudian. Bila masih kurang dari 70
mg/dL, ulangi. (3) Jika akses intravena tersedia, berikan 150-160 mL
glukosa 10% (dalam 10-15 menit).

Jika infusion pump tersedia,

gunakan dalam administrasi glukosa. Bila tidak, berikan langsung


glukosa. Ulangi pengukuran glukosa darah kapiler 10 menit kemudian.
Bila masih kurang dari 70 mg/dL, ulangi. Jika kadar glukosa darah
sudah di atas 70 mg/dL dan pasien telah pulih, berikan karbohidrat pada
pasien bila mungkin. Contoh karbohidrat yang dapat diberikan adalah
dua keping biscuit, satu lapis roti, 200-300 mL susu (bukan susu
kedelai), atau porsi makanan biasa.9,13
I. Prognosis
1. Prognosis Ketoasidosis Diabetik
Pemberian insulin, cairan dan elektrolit bersamaan dengan
pengawasan cermat pada respons klinis terhadap terapi dapat
mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada ketoasidosis
diabetik. Namun, komplikasi ini masih menjadi ancaman potensial,
terutama pada pasien lanjut usia dengan penyakit kardiovaskular.
Bahkan di tempat rujukan, tingkat mortalitas dapat mencapai 5-10%.
Tanda klinis yang perlu dilihat pada pasien termasuk kegagalan

perbaikan pada status mental setelah periode penatalaksanaan,


berlanjutnya hiptensi dengan aliran urin minimal, atau ileus
berkepanjangan. Kelainan hasil laboratorium termasuk kegagalan
penurunan glukosa darah menjadi 80-100 mg/dL saat satu jam pertama
terapi, kegaaglan peningkatan bikarbonat serum atau pH arteri, kalium
serum diatas 6 atau di bawah 2,8 mEq/L, dan elektrokardiografi
menunjukan aritmia jantung.8
2. Prognosis Hiperosmolar Non-Ketotik
Mortalitas keseluruhan dari HONK adalah lebih dari 10 kali dari
ketoasidosis diabetik, dikarenakan insidensi yang lebih sering pada
orang tua, yang mungkin mempunyai gangguan system kardiovaskular
atau penyakit penyerta lainnya.8
3. Prognosis Hipoglikemia
Kebanyakan pasien yang sampai pada ruangan gawat darurat sudah
sadar penuh; namun, hipoglikemia berkepanjangan atau hambatan
dalam penaganan dapat menyebabkan defisit neurologis permanen atau
kematian. Berulangnya episode hipoglikemia dapat mempunyai efek
samping kumulatif dari fungsi intelektual.8
J. EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan
gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif
atau absolut atau karena resistensi insulin.Kadar gula darah tergantung dari
produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau
sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi
katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan
sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan
penggunaan

gula

darah,

peningkatan

glukoneogenesis,

katabolisme

protein.Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh
sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth

hormon dan prolaktin.Efek pembiusan pada respon tersebut sangat


bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik
terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik
narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon
stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih
kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11
K. FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai
mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien
normal.Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi
dari arteriosklerosis.Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes
mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia.Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes,
mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya
menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan
pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang
disebabkan oleh:
1

Sepsis

Neuropati autonomik

Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit


pembuluh darah perifer)

Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7


Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf

autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik :


hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava
maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah >
30

mmHg

pada

perubahan

posisi

tegak

berdiri).1,6,7

Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah


pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi,
episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien
diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati
autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 %
untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun
sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju
jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan
bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah.Beberapa pasien
diabetes

dengan

neuropati

autonomik

dapat

meninggal

mendadak.Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap


hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang
pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal.Kondisi
tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang
dijumpai perubahan pada klirens kreatinin.Dengan kontrol gula yang ketat
pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi,
meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration
rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tibatiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis
arteria renalis yang aterosklerotik.Aktifitas plasma renin adalah normal atau
berkurang.Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia
dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan
biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan
penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah
penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang
terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8

Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang


disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita .Pada
awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V,
kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi
atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya.Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan

kepala

karena

imobilitas

atlantooksipital

dapat

menyulitkan intubasi.Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap


rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan
atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak
seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang
mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan
1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena
adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh
mikroangiopari progresif.Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi
non enzimatik protein.'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign"
yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendisendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada
penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
L. PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ
jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan
penilaian

status

metabolik

pasien.Untuk

itu

diperlukan

penilaian

laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum,


kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner,
gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus
.Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga
50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%.

Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra
bedah.1,5,6,7,8,12.
M. PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula
darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan
stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan
perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat
kerjanya belum jelas.Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis
glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan
sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh
pada pasien diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan
memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama
pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis,
tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan
penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan
metabolik.Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis
dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada
hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal
katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang
terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin
untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung

melalui

peningkatan

aktifitas

simpatis

sehingga

meningkatkan

glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien


cukupmemuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan
hormon pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin.
Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam
merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap level
insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata
pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui.Pasien-pasien
diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid
dari sirkulasi.Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika
propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat
induksi.Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat
propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena
yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula
darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat
efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural
atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat.Untuk
prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler
pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik
subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan
kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia
umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan
kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7
N. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural,
spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon
katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa
perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien

non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum
dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu
penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula
darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi
insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi
dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien
diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi
mayor.Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada
pasien diabetes dengan neuropati autonomik.Hipotensi yang dalam dapat
terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri
koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular.Risiko infeksi dan gangguan
vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien
diabetes.Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan
epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah
anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok
regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan
risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada
penderita diabetes mellitus.5,6,7
O. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah :
1

Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum


pembedahan.

Memberikan
metabolisme

kecukupan

karbohidrat

untuk

mencegah

katabolik dan ketoasidosis.

Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko,


sehingga hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada
sebelumnya.Apakah terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif?Untuk
bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja
pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum
pembedahan.Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan
untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II
dengan kondisi seperti di bawah :
1

Gula darah puasa > 180 mg/dl

Hemoglobin glikosilasi 8-10 g


%

Lama pembedahan lebih 2 jam


Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus

tercapai dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien


yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat
di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin.
Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan.Pada pagi
hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin
normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5%
100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar
glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis
insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan
kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil
insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan,
penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM
tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6

Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM.


Yang paling sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya
setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin


perioperatif pada pasien DM

Preoperatif

Pemberian secara bolus


D5W (1,5 ml/kg/jam)

Infus kontinyu
D5W (1

NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) ml/kg/jam)


(NPH=neutral protamine Hagedorn)

Regular insulin
Unit/jam =
Glukosa plasma :

Intraoperattf Regular insulin (berdasarkan

150
Sama dengan

sliding scale)
Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif

preoperatif
Sama dengan
preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses


intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai
contoh, pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular
insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15
unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus
cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan
apabila

pasien

mengalami

hipoglikemia

(<100

mg/dl).Sebaliknya,

hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI intravena

berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa
akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus
diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada
pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam
infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian
insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c
atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan
dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg).
Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam
250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih
fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan
berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):
Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena
insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan
yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5%
perjam diberikan intra vena.Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang
sama sebagai berikut:

Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.

Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa


infus).

Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin
seperti di bawah ini :

Kadar gula

mmol (mg/dl)

darah
4,4
4,4 - 6,6

( 80 )
( 80 - 120 )

Matikan pompa, beri glukosa IV


Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7

(120 - 180)
(180 - 240) .

u/jam
teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5

6,6-9,9
9,9 - 13,2
> 13,75

(>250)

Kebutuhan insulin

m/jam
Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2


kali lipat Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula
prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas
kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai
sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK)
dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersamasama.Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten
insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan
kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50
unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula
darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin
sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:

Kadar gula

Infus insulin

< 150 mg/dl


150 - 250 mg/dl
250 - 300 mg/dl
300 - 400 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)
10 cc/jam (2 unit/jam)
15 cc/jam (3 unit/jam)
20 cc/jam (4 unit/jam)

P. TERAPI CAIRAN
1

Ketoasidosis Diabetikum
a. Pasien dewasa (>20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada

ekspansi

cairan

intravskular dan ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada


keadaan tanpa gangguan kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat
diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam atau lebih selama satu
jam pertama (total 1 sampai 1,5 liter cairan pada dewasa rata-rata).
Pemlihan cairan pengganti selanjutnya bergantung kepada status
hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin. Secara umum
NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi
apabila kadar natrium serum terkoreksi normal atau meningkat.
Salin isotonik dengan laju yang sama dapat diberikan apabila kadar
natrium serum terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus
harus ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO 4)
sampai keadaan pasien stabil dan dapat menerima suplementasi
oral. Kemajuan yang baik untuk terapi pergantian cairan dinilai
dengan pemantauan parameter hemodinamik (perbaikan tekanan
darah), pengukuran masukan/keluaran cairan dan pemeriksaan
klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki defisit perkiraan dalam
waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat terapi
tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan
gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan
penilaian rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan
bersamaan dengan resusitasi cairan untuk menghindari overloading
iatrogenik.

Gambar 6. Alur penatalaksanaan KAD sesuai dengan rekomendasi ADA


2004. *Kriteria diagnostik KAD: glukosa darah >250 mg/dL, pH arterial <7,3,
bikarbonat <15 mEq/L dan kentonuria atau ketonemia sedang berat. Setelah
anamnesa dan pemeriksaan fisis, lakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri,
penghitungan darah lengkap dengan hitung jenis, urinalisis, glukosa darah,
nitrogen urea darah, elektrolit, profil kimia dan kadar kreatinin sito ditambah
dengan EKG.
Lakukan pemeriksaan rontgen dada dan kultur bakteri sesuai
keperluan. Natriumserun harus dikoreksi untuk hiperglikemia
(untuk setiap 100 mg/dL glukosa di atas 1oo mg/dL tambahkan 1,6
mEq untuk kadar natrium terkoreksi).
b. Pasien anak dan remaja (<20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular
dan ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Namun kebutuhan
ekspansi volume vaskular harus diimbangkan dengan risiko edema
serebral yang dikaitkan terhadap pemberian cairan cepat. Cairan
dalam satu jam pertama harus salin isotonik (0,9%) dengan laju 10
sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat,

protokol ini dapat diulang, namun re-ekspansi awal tidak boleh


melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam pertama terapi. Terapi cairan
lanjutan dihitung untuk menggantikan defisit cairan secara seimbang
dalam waktu 48 jam. Secara umum, NaCl 0,45 -0,9% (tergantung
kadar natrium serum) dapat diberikan dengan laju 1,5 kali kebutuhan
maintenance 24 jam (kurang lebih 5 ml/kgBB/jam) dan akan
memberikan rehidrasi yang mulus dengan penurunan osmolalitas
tidak melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam.
Setelah fungsi ginjal terjaga dan kalium serum diketahui
kadarnya, maka cairan infus harus ditambahkan 20 30 mEq/L
kalium (2/3 KCl atau kalium-asetat dan 1/3 KPO 4). Segera setelah
kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dL, cairan harus digantikan
dengan dekstrosa 5% dan 0,45 0,75% NaCl dengan kalium
sebagaimana digambarkan di atas. Terapi harus disertai dengan
pemantauan status mental untuk mendektsi secara cepat perubahanperubahan yang dapat mengindikasikan kelebihan cairan, dengan
2

potensi menyebabkan edema serebral simptomatik.


Koma Hiperosmolar hiperglikemik Non Ketokik
Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%).
Akibatnya terapi segera sangat mendesak. Tindakan yang paling
penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk
memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10
sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi awal
harus berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus diberikan
dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh kekuatan dapat
digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat diberikan
dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika komahiperosmolar
dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus diberikan untuk
mengendalikan

hiperglikemia

lebih

cepat.

Banyak

penulis

menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah


yang lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium biasanya
diperlukan lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada

ketoasidosis karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama


peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium
bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan.
Antibiotika diperlukan jika infeksi merupakan penyakit.
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK
adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai
dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100
sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan
isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik
mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial
menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya
sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam.
Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan
plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka
3

diperlukan monitor hemodinamik


Koma Hipoglikemia

c. PERAWATAN PASCA BEDAH


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi
metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan.Infus glukosa dan
insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja
pendek.Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus
diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien
ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan
dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam
pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen
insulin pasien dilanjutkan.15
Perlu

diwaspadai

kemungkinan

terjadinya

hipoglikemia

atau

hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan


bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca

bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM


usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung
Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai
mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak
dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan
terjadinya infark miokard.2,15
d. PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT
Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat
yaitu pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus
dengan ketoasidosis.Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka
pembedahan ditunda beberapa jam.Waktu yang sangat terbatas ini
digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa
dan etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwasebelum
pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan
koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit cairan dan
ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam.
Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas
darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan
kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl
cairan diganti dengan yang mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10
unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai
dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur
kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100
bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan
pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting
ialah analisa gas darah dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan
mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang
kontroversial. Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi

miokard, koreksi cepat asidosis dengan bikarbonat dapat menimbulkan


peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak
dianjurkan.1,2,3

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Koma diabetik merupakan koma yang terjadi akibat berlebihnya kadar


glukosa dalam tubuh maupun rendahnya kadar glukosa dalam tubuh. Koma
diabetik merupakan komplikasi akut dari diabetes mellitus. Hal ini bermanifestasi
akibat ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non-ketotik, dan hipoglikemia. Etiologi
dari ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non-ketotik biasanya dari penyakit
penyerta berat yang lain dan karena ketidakpatuhan dalam minum obat diabetes
mellitus, sedangkan pada hipoglikemia terjadi akibat minum agen hipoglikemia
oral yang tidak disertai asupan makanan. Gejala klinis meliputi poliuria dan
polidipsia,

tanda-tanda

dehidrasi

dan/atau

pernapasan

Kussmaul

(pada

ketoasidosis diabetik), disertai dengan penurunan kesadaran. Sedangkan pada


hipoglikemia,

gejala

klinis

meliputi

gejala

adrenergik

dan

kolinergik.

Penatalaksanaan pada hiperglikemia dengan pemberian insulin, cairan, dan


koreksi kelainan metabolic. Sedangkan pada hipoglikemia adalah pemberian
glukosa yang terpantau. Prognosis dari penyakit ini adalah dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku


ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008 [ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
3. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. editors. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 18th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2012.p.
2968-3003
4. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Ed. 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p.1896-9
5. Perkeni. Consensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2
di Indonesia. Jakarta ; 2011. H.1-54
6. Pasquel FJ, Umpierez GE. Hyperosmolar hyperglycemic state: a historic
review of the clinical presentation, diagnosis, and treatment. Diabetes
Care. 2014; 37(11): 3124-31
7. Shafiee G, Mohajeri-Tehrani M, Pajouhi M, Larijani B. The importance of
hypoglycemia in diabetik patients. J Diabetes Metab Disord [Internet].
2012;11(1):17.

Available

from:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3598174&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
8. Gardner DG, Shoback D. editors. Greenspans Basic & Clinical
Endocrinology. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.p. 75180
9. Cryer PE, Davis SN. Hypoglycemia. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. editors. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 18th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2012.p.
3003-9
10. Trachtenbarg

DE.

Diabetik

ketoacidosis.

Am

Fam

Physician.

2005;71(9):170514.
11. Nugent BW. Hyperosmolar hyperglycemic state. Emerg Med Clin North
Am. 2005;23(3 SPEC. ISS.):62948.

12. Morales J, Schneider D. Hypoglycemia. Am J Med [Internet].


2014;127(10):S1724.

Available

from:

http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0002934314005841
13. Stanisstreet D, Walden E, Jones C, Graveling DA. The Hospital
Management of Hypoglycaemia in Adults with Diabetes Mellitus. Natl
Heal Serv. 2010;(March):132.

Anda mungkin juga menyukai