Anda di halaman 1dari 4

1.

- Sistem Politik di Indonesia


Menurut saya sistem politik di Indonesia saat ini mengarah pada pola
sistem politik populisme. Sistem Politik Populisme adalah suatu pola dimana
masyarakat memilih dan menyukai pemimpinnya berdasarkan popularitasnya di
masyarakat, dan untuk mencapai popularitas, seorang pemimpin harus
membuat kebijakan-kebijakan yang disenangi oleh rakyatnya. Contoh nyata
adalah pada pemilu 2014 kemarin, sebelum Bapak Jokowi diajukan sebagai
calon presiden, cukup banyak pemberitaan positif terhadap kebijakan-kebijakan
Bapak Jokowi, mulai dari kebijakannya saat masih menjabat sebagai Walikota
Solo, hingga kebijakan-kebijakan pro-rakyatnya pada masa jabatannya sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Hal ini membuktikan pandangan populisme ini, bahwa
masyarakat menyukai pemimpin yang terkenal dengan kebijakan-kebijakan
disukai oleh rakyatnya.
Namun, praktek populisme ini, menurut Bapak Pratikno, Rektor
Universitas Gajah Mada, belum tentu menghasilkan kebijakan yang baik untuk
publik. "Populisme belum tentu berujung pada demokratis," kata beliau.
Pemimpin yang populis akan cenderung membuat kebijakan yang disukai oleh
rakyatnya demi keberlangsungan kepemimpinannya, padahal kebijakan
tersebut belum tentu baik dan dibutuhkan oleh rakyat. Terkadang kebijakan
tersebut dibuat dengan petimbangan yang kurang dan hanya untuk membuat
rakyatnya senang sehingga pemimpin tersebut tidak dikritik oleh rakyatnya.
Selain berdampak pada kebijakan, sistem politik populisme juga berdampak
pada posisi partai. Sistem politik ini menimbulkan kecenderungan bahwa
organisasi parpol tidak terlalu penting dalam politik, namun calon pemimpin
yang diusung parpol tersebutlah yang dianggap penting oleh masyarakat.
"Parpol hanya digunakan untuk memobilisasi pemilih saat pemilu. Ketika pemilu
usai, parpol pun dilupakan," menurut bapak Pratikno.
- Sistem social di Indonesia
Sistem sosial di Indonesia saat ini adalah cenderung
-

Sistem Komunikasi di Indonesia


Sistem komunikasi di Indonesia saat ini menurut saya cenderung
mengarah pada sistem komunikasi yang termediasi komputer (Computer
Mediated Communication). Sistem komunikasi ini bercirikan pada masyarakat
Indonesia saat ini lebih menyukai bahkan cenderung addict pada komunikasi
lewat social media dan internet dibandingkan melakukan komunikasi face-toface. Hal ini dikarenakan kemudahan berkomunikasi yang ditawarkan oleh
dunia maya. yang ditawarkan. Sejak kemunculan Facebook, masyarakat mulai
cenderung melakukan pembukaan-diri dan pengaktualisasian diri lewat dunia
maya. Padahal banyak sekali kekurangan yang didapat dari komunikasi
termediasi ini dibandingkan dengan komunikasi secara tatap muka. Informasi
yang didapatkan dari dunia maya tentu tidaklah selengkap dan sebenar

dibandingkan berkomunikasi secara langsung, dengan kata lain informasi


yang diberikan berpotensi mengandung kepalsuan, namun orang-orang
cenderung percaya dengan informasi tersebut, sehingga lebih mudah terjadi
penipuan. Selain itu, karena kepercayaan yang terlalu pada media social
mengakibatkan orang lebih bebas berpendapat dan berekspresi, namun
sebenarnya privasi kita lebih mudah dilihat oleh orang lain, padahal belum
tidak semua orang punya niat baik dengan kita. Contoh kasusnya adalah
kemunculan foto-foto vulgar beberapa wanita Indonesia di dunia maya. Fotofoto tersebut memang diupload oleh yang bersangkutan, namun tidak
disebarluaskan. Namun karena kemudahan akses, beberapa oknum mencuri
foto-foto tersebut lalu menyebarluaskan foto-foto vulgar tersebut. Hal ini tentu
merugikan si pemilik foto, dimana nama baiknya tercemar dikarekan
privasinya yang dilanggar oleh orang lain.
Sistem komunikasi ini semakin lama akan berpengaruh pada kehidupan
social, dimana kehidupan social makin lama hanya dominan terjadi di dunia
maya, dan kehidupan social dunia nyata hanya sebagai selingan. Hal ini tentu
akan begitu menakutkan , dimana kehidupan kita dipenuhi kepalsuan dan
ketidaktauan kita atas diri sejati dari teman-teman dan orang-orang disekitar
kita.
2. Menurut pemahaman saya peran media massa di Indonesia dalam membentuk
masyarakat yang melek media saat ini sangatlah kurang, terutama media massa
yang notabene sudah sukses dan memiliki nama secara nasional. Melek media
atau media literasi muncul sebagai upaya melindungi konsumen media dari
paparan media. Namun faktanya, media Indonesia alih-alih mencoba
menanamkan melek media, mereka lebih memanfaatkan ketidak-melekan
masyarakat Indonesia sebagai makanan lezat yang harus disantap. Media di
Indonesia cenderung memberikan informasi yang diinginkan publiknya namun
tidak mempertimbangkan dampak dibaliknya, bukannya mendidik, informasi
yang diberikan justru membuat orang yang terdidik menjadi tidak terdidik, dan
orang yang tidak terdidik semakin tenggelam dalam ketidaktauannya. Yang
penting bagi media adalah tayangannya menjadi rating dan banyak iklan yang
dia dapatkan, dan itu kembali lagi pada kondisi media dunia saat ini yang
berorientasi uang. Selain itu media juga cenderung memanfaatkan powernya
dalam membentuk opini di masyarakat, sehingga dengan enaknya mereka bisa
mengeluarkan suatu isu demi menenggelamkan isu yang lain.
Penanaman melek media di Indonesia justru lebih gencar dilakukan oleh
LSM-LSM dengan mengadakan seminar, diskusi, dan ceramah secara
berkesinambungan. Selain itu beberapa media lokal di Indonesia juga melakukan
kegiatan penanaman melek media, seperti yang dilakukan oleh salah satu media
penyiaran di Yogyakarta yang mengutamakan isi siarannya dalam bidang
kebudayaan masyarakat. Namun satu pertanyaan yang masih mengganjal di
pikiran saya, apakah media lokal dan orang-orang yang saat ini gencar

melakukan melek media akan tetap teguh ketika media lokal tersebut sukses dan
orang-orang tersebut terjun dan bekerja di media massa ??
3. 4 macam sistem pers yaitu :
1.
4. Jika media dijadikan alat politik hanya bagi kalangan tertentu , tentu hal ini
sangat merugikan dan tidak bermanfaat bagi masyarakat luas, dikarenakan
ketika media dijadikan alat politik golongan tertentu maka media tersebut sudah
tidak murni media sebagai institusi social yang seharusnya memberikan
informasi dan pendidikan kepada khalayak, melainkan media tersebut akan
cenderung memberikan informasi-informasi persuasif yang kebanyakan
menggunakan fakta-fakta yang mengada-ada demi mempengaruhi dan
memperalat publiknya. Politik yang seharusnya murni demokratis dari hati dan
penilaian objektif masyarakat justru terkotori oleh praktik-praktik politik media
yang menjadikan penilaian masyarakat tidak lagi objektif karena terpengaruh
oleh penanaman citra baik pemilik media dan penanaman citra buruk pada lawan
medianya. Masyarakat disini seolah-olah dikendalikan oleh politik media, demi
melanggenggkan kekuasaannya, media bisa seenaknya mengarahkan opini
masyarakat. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh salah satu media di Indonesia
dimana isi pemberitaanya selalu menyudutkan lawan mainnya dan mencoba
membeberkan keburukan lawan mainnya, sedangkan keburukan pemilik media
tersebut tidak pernah disinggung sedikitpun.
Sejatinya, bagi saya media harus dipisahkan dari ranah politik golongan tertentu,
namun hal itu merupakan suatu hal mustahil yang bisa dilakukan, karena di
negara-negara maju pun juga mengalami fase kjedudukan media seperti ini.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah membebaskan pengontrol
(watchdog) dari ranah politik golongan agar kinerja mereka tetap berjalan seperti
fungsinya.
5. Menurut saya sistem pers yang cocok diterapkan di Indonesia adalah sistem
pers tanggungjawab sosial. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat Indonesia
yang majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku dan budaya serta bentuk
negara kita yang demokratis. Jika kita menerapkan sistem pers otoritarian, tentu
tidaklah sesuai, karena negara kita adalah negara demokratis yang menjunjung
tinggi hak untuk berpendapat dan berekspresi, jika diterapkan maka masyarakat
Indonesia juga tidak akan bisa berkembang karena media sebagai alat dan
corong pemerintah untuk bernegara. Sistem pers komunis juga tidak cocok
karena Indonesia memiliki masayarakat majemuk yang tentu saja tidak bisa
disamakan begitu saja. Begitu juga dengan sistem pers liberal, jika Indonesia
menerapkan sistem ini, seperti yang tejadi saat ini, yaitu informasi yang diberikan
cenderung tidak mendidik, seenaknya, dan cenderung tidak penting, karena
informasi tidak ada batasan sehingga media dengan seenaknya memberikan
informasi tanpa menimbang manfaat dan kerugiannya.

Sehingga dibandingkan tiga sistem pers diatas, bagi saya, sitem pers yang
paling cocok sebenarnya adalah sistem pers tanggungjawab social, dimana
masyarakat dan media bebas berpendapat dan berekspresi namun tetap
memiliki
batasan
dimana
kebebasan
berinformasi
tersebut
tetap
bertanggungjawab secara moral dan etika.

Anda mungkin juga menyukai