Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

a. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian Mastitis
Mastitis adalah suatu infeksi pada jaringan payudara, biasanya terjadi karena adanya
bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk melalui puting susu yang
pecah-pecah atau terluka. Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat terbentuk
abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis adalah reaksi sistematik
seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai komplikasi sumbatan

saluran air susu (Masjoer, 2010).


Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi.
Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau
mastitis puerperalis. Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal bila tidak diberikan
tindakan yang adekuat. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam payudara,
merupakan komplikasi berat dari mastitis. Keadaan inilah yang menyebabkan beban
penyakit bertambah berat (Prawirohadjo, S. 2011).

2. Etiologi
Mastitis biasanya disebabkan oleh organisme S. aureus, Candida albican dan
Haemophilus parainfluenza yang berasal dari hidung dan tenggorokan bayi. Factor-faktor
yang mempengaruhi: penyumbatan saluran susu, daya tahan ibu yang rendah, berkaitan
dengan kelelahan atau stress, tangan yang tidak bersih, keretakan atau terbelahnya putting
(Fitri, 2009)
Faktor risiko terjadinya mastitis antara lain (IDAI, 2013) :
Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya.
Puting lecet.
Puting lecet menyebabkan timbulnya rasa nyeri yang membuat kebanyakan ibu
menghindari pengosongan payudara secara sempurna.
Frekuensi menyusui yang jarang atau waktu menyusui yang pendek.
Biasanya mulai terjadi pada malam hari saat ibu tidak memberikan bayinya minum
sepanjang malam atau pada ibu yang menyusui dengan tergesa-gesa.
Pengosongan payudara yang tidak sempurna
Pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik. Bayi yang hanya mengisap puting (tidak
termasuk areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi atau bibir sehingga aliran
ASI tidak sempurna.

Produksi ASI yang terlalu banyak.


Berhenti menyusu secara cepat/ mendadak, misalnya saat bepergian.
Ibu stres atau kelelahan.
Ibu malnutrisi. Hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang rendah.

3. Tanda dan Gejala

Dimulai dengan adanya rasa gatal pada puting dan berkembang menjadi adanya rasa
nyeri saat bayi menyusui. Namun tidak semua kasus mastitis ada keluhan nyeri.

Adanya rasa demam dan kemerahan disekitar area hisapan.

Sisi yang mengalami sumbatan duktus akan menunjukkan warna kemerahan yang lebih
jelas dibandingkan daerah lainnya

Umumnya disertai dengan rasa nyeri yang hebat terutama bila tersentuh hingga tidak
dapat menggendong bayi pada sisi yang mengalami mastitis karena sensasi rasa sakitnya.

Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam, rasa dingin dan
tubuh terasa pegal dan sakit (Prasetyo & Doddy Yuman, 2010)

4. Patofisiologi
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat terjadi karena proses
infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya bermuara pada proses infeksi. Mastitis
akibat proses noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal. Namun karena sebabsebab tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan pengeluaran ASI atau yang
biasa disebut sebagai stasis ASI. Hal ini membuat ASI terperangkap di dalam ductus dan
tidak dapat keluar dengan lancar. Akibatnya mammae menjadi tegang. Sehingga sel epitel
yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan. Permeabilitas jaringan ikat
meningkat, beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari
plasma masuk ke dalam ASI dan jaringan sekitar sel sehingga memicu respon imun.
Terjadi inflamasi sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Kondisi ini membuat lubang
duktus laktiferus menjadi port de entry bakteri, terutama bakteri Staphylococcus aureus
dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis yang terjadi akibat
proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul fisura/robekan/perlukaan pada
puting yang terbentuk saat awal laktasi akan menjadikan port de entry atau tempat

masuknya bakteri. Proses selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae


(Winknjosastro, H. 2007)
5. Klasifikasi
Mastitis diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: mastitis puerparalis epidemic, mastitis
aninfeksosa, mastitis subklinis dan mastitis infeksiosa. Dimana keempat jenis tersebut
muncul dalam kondisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut (Mitayani.
2009):
a. Mastitis Puerparalis Epidemik
Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan ibunya
terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau verulen. Masalah ini paling sering terjadi
di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain resisten.
b. Mastitis Noninfesiosa
Mastitis noninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau seluruh
payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namun proses ini membutuhkan
waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 23 minggu. Untuk sementara waktu,
akumulasi ASI dapat menyebabkan respons peradangan.
c. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai dengan
pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu kirakira hanya sampai di bawah 400 ml/hari (<400 ml/hari).
d. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi apabila stasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh faktor imun
dalam ASI dan oleh responrespon inflamasi. Secara normal, ASI segar bukan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
6. Pemeriksaan penunjang
Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik
meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu nifas dengan mastitis tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen (Wiknjosastro, 2007). Namuan World
Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada
beberapa keadaan yaitu bila:
pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari;
terjadi mastitis berulang;
mastitis terjadi di rumah sakit; dan
penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung
ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu
dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi
dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.
Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang muncul berhubungan erat
dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas bakteri.
7. Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
Abses payudara
Abses payudara merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras,
merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus memikirkan
kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut
menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi adanya
cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang
berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi
jarum secara serial/berlanjut. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan
tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan, ibu harus mendapatkan terapi
medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik

yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.


Mastitis berulang/kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak
adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi makanan
dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena
infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali

sehari) selama masa menyusui.


Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti candida
albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi antibiotik. Infeksi
jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di
sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui permukaan payudara terasa gatal.
Puting mungkin tidak nampak kelainan. Pada kasus ini, ibu dan bayi perlu
mendapatkan pengobatan. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krim yang juga

mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga
harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.
8. Penatalaksanaan
1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyak membuat wanita merasa sakit dan
membuat frustasi. Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri, wanita
membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali tentang nilai
menyusui, yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena tidak
akan membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk maupun
fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua tindakan yang
dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana meneruskan menyusui/memeras ASI dari
payudara yang sakit. Klien akan membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan
terus menerus dan bimbingan sampai kondisinya benar-benar pulih.
2. Pengeluaran ASI dengan efektif
Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain:
Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa

pembatasan
Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai menyusui dapat

dimulai lagi
3. Penggunaan Obat-obatan
Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk mengkonsumsi obat, ibu dengan
mastitis dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa obat sesuai indikasi (IDAI, 2013).
Analgesik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin yang
berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi
rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi
seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang
berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen.
Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga

direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.


Antibiotik

Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung kurang dari 24 jam, maka
perawatan konservatif (mengalirkan ASI dan perawatan suportif) sudah cukup
membantu. Jika tidak terlihat perbaikan gejala dalam 12 - 24 jam atau jika ibu
tampak sakit berat, antibiotik harus segera diberikan. Jenis antibiotik yang biasa
digunakan adalah dikloksasilin atau flukloksasilin 500 mg setiap 6 jam secara
oral. Dikloksasilin mempunyai waktu paruh yang lebih singkat dalam darah dan
lebih banyak efek sampingnya ke hati dibandingkan flukloksasilin. Pemberian per
oral lebih dianjurkan karena pemberian secara intravena sering menyebabkan
peradangan pembuluh darah. Sefaleksin biasanya aman untuk ibu hamil yang
alergi terhadap penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat
lebih dianjurkan klindamisin. Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 - 14
hari. Biasanya ibu menghentikan antibiotik sebelum waktunya karena merasa
telah membaik. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya mastitis berulang. Tetapi
perlu pula diingat bahwa pemberian antibiotik yang cukup lama dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur pada payudara dan vagina.
9. Pencegahan

Diskusikan tentang faktor-faktor pencetus

Gunakan teknik mencuci tangan yang baik.

Latih ibu tentang perawatan mammae: mencuci tangan sebelum memegang mammae atau
puting susu, membersihkan mammae hanya dengan air (untuk mempertahankan lapisan
minyak pelindung pada lapisan atas, pakai bra penyokong setip saat untuk menghindari
stasis susu pada lobus mamae yang lebih rendah, dan mengganti bra secara berkala

Memberikan tambahan pengetahuan kepada ibu, tentang teknik pemberian ASI, seperti
posisi, frekuensi, dan cara melepaskan bayi dari puting mammae.

Memberikan perhatian khusus kepada ibu yang saluran susunya terhalang, yang dapat
meningkatkan risiko terhadap mastitis (Nugroho, Taufan. 2011)

b. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas klien :

Nama

: Jelas dan lengkap, jika perlu tanyakan nama panggilan sehari-harinya agar

Umur

tidak salah pasien ketika memberikan perawatan.


: wanita yang berumur 21-35 tahun lebih sering mengalami mastitis daripada
wanita yang berumur dibawah 21 tahun dan di atas 35 tahun. Umur <21 tahun
diperkirakan bahwa alat-alat reproduksinya masih belum matang, mental dan
psikisnya juga belum siap. Sedangkan umur >35 tahun akan rentan sekali
untuk terjadi perdarahan dalam masa nifas. Hal tersebut akan memicu

Suku
Agama

terjadinya mastitis ini.


: Berpengaruh pada adat istiadat/kebiasaan sehari-hari, khususnya dalam hal
teknik menyusui dan perawatan payudara.
: Untuk mengetahui keyakinan pasien sehingga dalam membimbing dan

mengarahkannya lebih mudah.


Pendidikan : Biasanya wanita yang status pendidikannya rendah akan banyak yang
mengalami penyakit ini dikarenakan mereka tidak mengetahui tentang
penyakit serta pengobatan dan teknik perawatan payudara yang benar untuk
kesehatan. Selain itu aspek pendidikan juga akan mempengaruhi dalam
tindakan keperawatan yang akan diberikan, sehingga perawat dapat memberi
asuhan keperawatan dan konseling yang sesuai dengan kondisi pasien.
Pekerjaan : Wanita yang bekerja di luar rumah (sebagai wanita karier) saat mempunyai
kewajiban untuk menyusui anaknya adalah termasuk kelompok yang berisiko
tinggi mengalami mastitis. Hal itu disebabkan oleh kesibukan kerjanya ini
akan menjadi penghambat pengeluaran ASI sehingga menimbulkan terjadinya
stasis ASI yang dapat menjadi salah satu pencetus penyakit mastitis ini.Selain
itu juga aspek pekerjaan ini untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonomi pasien, karena hal itu dimungkinkan dapat mempengaruhi dalam
Alamat

pemenuhan gizi pasien yang memungkinkan timbulnya penyakit mastitis ini.


: perlu ditanyakan apabila pasien dirasa memerlukan kunjungan rumah post
perawatan

b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan wanita yang mengalami mastitis ini karena adanya faktor-faktor
predisposisi seperti faktor kekebalan ASI yang rendah, sehingga dapat dengan mudah
mengalami infeksi utamanya pada payudara (mastitis). Asupan nutrisi yang tidak

adekuat dan lebih banyak mengandung garam dan lemak juga dapat memicu terjadinya
mastitis, adanya riwayat trauma pada payudara juga dapat menjadi penyebab terjadinya
mastitis karena adanya kerusakan pada kelenjar dan saluran susu. Selain itu juga dengan
adanya faktor penyebab yang pasti seperti stasis ASI karena bayi yang susah menyusu,
adanya luka lecet di area puting susu dan penggunaan bra yang tidak tepat/teralalu ketat
juga dapat menjadi penyebab terjadinya mastitis, dimana hal-hal tersebut kemungkinan
besar adalah merupakan hal yang sering sekali diabaikan oleh wanita. Infeksi mammae
pada kehamilan sebelumnya juga dapat menjadi penyebab terjadinya mastitis.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien biasanya kelihatan lemah, suhu tubuh meningkat (>38 derajat celcius), tidak ada
nafsu makan, nyeri pada daerah mammae, bengkak dan merah pada mammae. Jika tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat, maka dapat timbul berbagai komplikasi seperti
abses payudara, infeksi berulang dan infeksi jamur. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
tindakan pencegahan yang tepat, misalnya memberikan info tentang perawatan
payudara, teknik menyusui yang benar, dsb.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Faktor herediter tidak mempengaruhi kejadian mastitis.
c. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Persepsi: masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa nyeri yang sering muncul
saat masa menyusui adalah hal yang normal, dimana tidak perlu mendapatkan perhatian
khusus untuk penanganannya. Pasien dengan mastitis biasanya kebersihan badannya
kurang terjaga terutama pada area payudara dan lingkungan yang kurang bersih.
2. Pola Nutrisi / Metabolik
Asupan garam yang terlalu tinggi juga dapat memicu terjadinya mastitis. Dengan
adanya asupan garam yang terlalu tinggi maka akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar natrium dalam ASI, sehingga bayi tidak mau menyusu pada ibunya
karena ASI yang terasa asin. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penumpukan ASI
dalam payudara (Stasis ASI) yang dapat memicu terjadinya mastitis.
Wanita yang mengalami anemia juga akan beresiko mengalami mastitis karena
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh mengalami
infeksi (mastitis). Pemenuhan nutrisi juga seringkali menurun akibat dari penurunan
nafsu makan karena nyeri dan peningkatan suhu tubuh.

3. Pola Eliminasi
Secara umum pada pola eliminasi tidak mengalami gangguan yang spesifik akibat
terjadinya mastitis.
a. Tidak ada nyeri saat berkemih
b. Konsistensi dan warna normal
c. Jumlah dan frekuensi berkemih normal.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola aktivitas terganggu akibat peningkatan suhu tubuh (hipertermi : >38 derajat
celcius) dan nyeri. Sehingga biasanya pasien akan mengalami penurunan aktivitas
karena lebih fokus pada gejala yang muncul.
5. Pola Tidur dan Istirahat
Pola tidur terganggu karena kurang nyaman saat tidur, mengeluh nyeri. Pasien akan
lebih fokus pada gejala yang muncul pula.
6. Pola Kognitif dan Perseptual
Kurang mengetahui kondisi yang dialami, anggapan yang ada hanya nyeri biasa.Pasien
merasa biasa dan jika ada orang lain yang mengetahui dapat terjadi penurunan harga
diri.
7. Pola Persepsi Diri
Tidak ada gangguan.
8. Pola Seksual dan Reproduksi
Biasanya seksualitas terganggu akibat adanya penurunan libido dan pasien pasti akan
lebih fokus pada gejala yang muncul sehingga untuk pemenuhan kebutuhan seksualitas
ini sudah tidak lagi menjadi prioritas.
9. Pola Peran dan Hubungan
Ada gangguan, lebih banyak untuk istirahat karena nyeri.
10. Pola Manajemen Koping-Stress
Pasien terlihat tidak banyak bicara, banyak istirahat.
11. Sistem Nilai dan Keyakinan
Biasanya akan mengalami gangguan, namun hal itu juga tergantung pada masingmasing individu, kadangkala ada individu yang lebih rajin ibadah dan mendekatkan
diri kepada Tuhan.namun di lain sisi juga ada individu yang karena sakit itu, ia malah
menyalahkan dan menjauh dari Tuhan.
d. Pengkajian Fisik
1. Keadaan Umum
a) Keadaan Umum: pada ibu dengan mastitis keadaan umumnya baik.
b) Derajat kesadaran : pada ibu dengan mastitis derajat kesadarannya
compos mentis.
c) Derajat gizi : pada ibu dengan mastitis derajat gizinya cukup.
2. Pemeriksaan Fisik Head to too

adalah

a) Tanda-tanda Vital
Tekanan darah: pada ibu dengan mastitis TD dalam keadaan normal 120/80

mmHg
Nadi: pada ibu dengan mastitis nadi mengalami penaikan 90-110/menit. Dimna

normalnya 60-80/menit.
Frekuensi Pernafasan: pada ibu dengan mastitis frekuensi pernafasan mengalami

peningkatan 30x/menit. Dimana normalnya 16-20x/menit.


Suhu: suhu tubuh waniti setelah partus dapat terjadi peningkatan suhu badan
yaitu tidak lebih dari 37,2 C dan pada ibu dengan mastitis, suhu mengalami
peningkatan sampai 39,5 C.

b) Kulit
Tidak ada gangguan, kecuali pada area panyudara sehingga perlu pemeriksaan fisik
yang terfokus pada panyudara.
c) Kepala
Pada area ini tidak terdapat gangguan. Namun biasanya ibu dengan mastitis
mengeluh nyeri kepala seperti gejala flu.
d) Wajah
Wajah terlihat meringis kesakitan.
e) Mata
Pada ibu dengan mastitis konjungtiva terlihat anemis. Dimana anemia merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya mastitis, karena seseorang dengan anemis
akan mudah mengalami infeksi.
f) Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi (-/-). Tidak ada gangguan
pada area ini.
g) Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-). Tidak ada gangguan pad area
ini.
h) Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-). Tidak ada gangguan ada area ini.
i) Tenggorokan
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 - T1. Tidak ada
gangguan pada area ini.
j) Leher
Pada area leher tidak di temukan adanya gangguan atau perubahan fisik.

k) Kelenjar getah bening


Pada kelenjar bening yang terdapat pada area ketiak terjadi pembesaran.
pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara yang
terkena mastitis.
l) Panyudara
Pada daerah panyudara terlihat kemerahan atau mengkilat, gambaran pembuluh
darah terlihat jelas di permukaan kulit, terdapat lesi atau luka pada puting panyudara,
panyudara teraba keras dan tegang, panyudara teraba hangat, terlihat bengkak, dan
saat di lakukan palpasi terdapat pus.
m) Toraks
Bentuk: normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris. Tidak ada
gangguan pada derah toraks.
Cordis:
1) Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
2) Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4) Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo:
1) Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2) Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) Suara tambahan: (-/-)

n) Abdomen
1) Inspeksi: dinding perut lebih tinggi dari dinding dada karena post partum sehingga
pembesaran fundus masih terlihat.
2) Auskultasi: bising usus (+) normal
3) Perkusi: tympani
4) Palpasi: supel, hepar dan lien tidak teraba
e.

Pemeriksaan penunjang
Pada ibu nifas dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen
(Wiknjosastro, 2007). Namun jika dilakukan pemeriksaan laboratorium biasanya
ditemukan jumlah sel darah putih (SDP) meningkat karena adanya reaksi inflamasi.
Selain itu pada pemeriksaan kultur ASI ditemukan beberapa bakteri penyebab mastitis.
Dimana pemeriksaan kultur ASI tersebut juga digunakan untuk menentukan antibiotik
yang tepat bagi klien.

c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan melaporkan
nyeri secara verbal
2. PK infeksi
3. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan ansietas Ibu ditandai dengan,
ketidakadekuatan suplai ASI, Luka putting yang menetap setelah minggu pertama
menyusui
4. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan terhadap informasi
ditandai dengan ibu menyatakan tidak tahu mengenai penyakitnya

Anda mungkin juga menyukai