Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT ILMU (Definisi, Tujuan,

Implikasi & Signifikansi)


oleh : Abu Izzat
Berbicara mengenai filsafat baru mulai merebak di abad awal 20, namun france bacon dengan
metode induksi yang ditampilkannya pada abad 19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu
khasanah bidang filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar
terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, ada semacam ke khawatiran yang muncul pada
kalangan ilmuan dan filsuf, termasuk juga kalanagan agamawan, bahwa kemajuan iptek dapat
mengancam eksistensi umat manusia, bahkan alam dan beserta isinya.
Para filsuf terutama melihat ancaman tersebut muncul lantaran pengembangan iptek berjalan terlepas
dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya seperti landasan ontology, epistemologis dan aksiologis yang
cenderung berjalan sendiri-sendiri. Untuk memahami gerak perkembangan iptek yang sedemikian itulah,
maka kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya meletakkan kembali peran dan fungsi iptek sesuai dengan
tujuan semula, yakni mendasarkan diri dan concern terhadap kebahagian umat manusia, sangat di
perlukan, inilah beberapa pokok bahasan utama dalam pengenalan terhadap filsafat ilmu, disamping objek
dan pengertian filsafat ilmu yang kan dijelaskan terlebih dahulu.

A. Definis Filsafat Ilmu


Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu Philosophia, kata berangkai dari kata Phileinyang
berarti mencintai, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Philosophia berarti cinta akan
kebijaksanaan [Inggris; love of wisdom, Belanda; wijsbegeerte, Arab; muhibbu al-hikmah].
[1] Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut filusuf atau filosof,
artinya pencinta kebijaksanaan.
Filsuf Heroklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata filsafat untuk menerangkan hanya
Tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah. Manusia harus puas dengan tugasnya di
dunia sebagai pencari dan pencinta hikmah.[2] Kemudian Sokrates (470-399 SM) memberi
arti filsafat dengan tegas, yaitu pengetahuan sejati, terutama untuk menentang kaum Sofis
yang menanamkan dirinya para bijaksana (sofos). Ia bersama pengikutnya menyadari bukan
orang yang bijaksana, tetapi hanya mencintai kebijaksanaan dan berusaha mencarinya.
Dalam arti pengetahuan sejati (pengetahuan yang benar), kata Philosophia bertahan mulai
Plato sampai Aristoteles, tetapi objeknya meliputi juga ilmu, yaitu usaha untuk mencari sebab
yang universal.[3] Pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata Barat
fil dan safat dari kata Arab sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan
menimbulkan kata filsafat.[4]
Kata Sophia dipindahkan oleh orang Arab kedalam bahasa mereka dengan kata hikmah.
Hal ini berdasarkan pada QS. Al-Baqarah ; 269 ;

(269 : ).
Artinya ; Allah menganugerahkan al-Hikamah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barang siapa
yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang yang barakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. AlBaqarah ; 269)
Tidak dapat diingkari bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual
yang telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan

masyarakat ilmiah ala Barat yang diawali oleh orang-orang Yunani Kuno di Abad ke6 SM. Bahwa kelahiran filsafat tidak dirintis oleh dunia Timur sudah ditegaskan oleh
Diogenes Laertius di tahun 200. Apa yang datang dari dunia Timur bukanlah filsafat
melainkan ajaran-ajaran praksis-terapan seperti ilmu perbintangan, ilmu
pengobatan, ilmu hitung dan lain sebagainya.[5]
Penegasan tersebut dapat difahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan
diletakkan dengan ukuran. pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, proses, dan produk. Kaidahkaidah yang melandasinya, sebagaimana dikatakan oleh Robert Merton adalah
universalisme, komunisme, dis-interestedness, dan skeptisisme yang terarah dan
teratur. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus
terstruktu atas komponen-komponen, objek sasaran yang hendak diteliti, yang diteliti
atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara
tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem.[6]
Dalam komponen diatas, dapat diambil sedikit kesimpulan, bahwa ilmu dan
pengetahuan sangat erat kaitannya dengan konsep kajian kefilsafatan. Gambarkan
dalam skema perkembangan kesadaran keberagamaan yang memfokuskan pada
kajian tentang pengetahuan, ilmu dan filsafat. Hal ini penulis ringkas dalam skema
berikut[7] ;
Jenis

Definisi

Pengetahuan

Relasi antara
subjek dan
objek

Ilmu

Pengetahuan
sistematis,
empirisrasional

Filsafat

Pemikiran
radikal
universal

Fakta

Sifat

subjektif

Empiris

Objektif

EmpirisRasional

Cakupan

Internasional

Analisis

Factual

Metode

Tujuan

kultural

Rekonstruksi
partial

Rasional

Skema diatas dapat dicontohkan dalam table dibawah ini ;


Pengetahuan
Ilmu
Filsafat
Agama
Titik air yang
Hukum materi/
jatuh dari arah
- Siklus air
zat yang
langit Kecamatan - Hukum alam
merupakan
Demak bumi
- Ketentuan
hakikat, awal,
setelah hari
alam/ peristiwa dan akhir segala
Apa itu mendung dan
alam yang serba sesuatu
Ketentuan Tuhan
Hujan? awan menebal
tetap
(materialisme)
(spiritualisme)
Sumber Indera
Indera dan Akal Akal dan Hati
Wahyu
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Hasil
Inderawi
Ilmiah
Falsafi
Agamis
Dari paparan diatas, dapat diartikan bahwa korelasi pengetahuan, ilmu dan
filsafat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini berkesinambungan
dengan antara yang satu dengan yang lain, ilmu menggunakan sumber indera dan

akal. Sedangkan indera dan akal merupakan salah satu sumber dari pengetahuan
dan filsafat.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian
filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat ilmu.[8]
1.
Robert Ackermann: Filsafat ilmu adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapatpendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang
telah dibuktikan.
2.
Lewis White Beck: Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode
pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai
suatu keseluruhan.
3.
Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat ilmui yang
menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan
intelektual.
4.
May Brodbeck: filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafat
ilmui, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan
telaah kefilsafat ilmuan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang
ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat ilmu pengetahuan) yang secara spesifik
mengakaji hakikat ilmu, seperti :

Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan ? (Landasan ontologis)

Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?


Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah
kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)

Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis).[9]
Menurut pemahaman kami filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan dari ilmu itu mencakup :
- Konsep-konsep pangkal
- Anggapan-anggapan dasar
- Asas-asas pemulaan
- Struktur-struktur teoritis
- Ukuran-ukuran kebenaran ilmiah
B. Tujuan & Implikasi Filsafat Ilmu
Tujuan :
Tujuan filsafat ilmu adalah :
Mendalami unsure-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami
sumber, hakikat dan tujuan ilmu.

Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang,


sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan
tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamia dan non-alamia.
Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan
mengembangkanya.
Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada
pertentangan.
Sementara itu Obyek material filsafat adalah fenomena-fenomena didunia ini yang
ditelaah oleh ilmu, sedang obyek formal adalah pusat perhatian dalam penelaahan ilmuan
terhadap fenomena itu. Penggabungan antara obyek material dan obyek formal sehingga
merupakan pokok soal tertentu yang dibahas dalam pengetahuan ilmiah merupakan obyek
yang sebenarnya dari cabang ilmu yang bersangkutan. Pembagian obyek-obyek itu
dikemukakan oleh George Klubertanz. Penjelasan yang diberikannya berbunyi demikian :
Obyek material secara tak menentu dan dalam keseluruhannya menunjukkan pokok soal
suatau pengetahuan (terutama suatu pengetahuan demonstratif) dalam hubungan dengan
proposisi-proposisi yang dapat dibuat tentangnya. Dengan kata sifat material kita tidak
mengimplikasikan bahwa ada materi dalam susunan pokok soal itu, kita bermaksud
menunjukkan bahwa obyek itu bagi pengetahuan seperti bahan-bahan bagi seorang seniman
atau seorang tukang.
Bila kita memandang pengetahuan-pengetahuan demonstratif sebagaimana telah
dikembangkan dewasa ini, kita menemukan bahwa ada pengetahuan-pengetahuan berbedabeda tentang pokok soal yang sama ( misalnya, Biologi, Psikologi, dan Filsafat kodrat
manusia mempunyai sekurang-kurangnya sebagian, pokok soal yang sama, manusia). Dan
semuanya itu bermaksud menemukan apa yang dapat diketahui tentang manusia, semuanya
itu mempunyai obyek material yang sama. Lalu apa perbedaaannya ? cara-cara mengetahui,
dan macam-macam pengetahuan yang diperolehnya, berbeda-beda, macam perbedaan ini
adalah obyek yang dipandang secara eksplisit sebagaimana obyek itu dapat diketahui. Oleh
karenanya, cara pengetahuan kita, asas-asas yang kita pakai, jenis argumentasi yang kita
gunakan, termasuk dalam pengertian obyek formal. Untuk memberikan lukisan yang cermat
dan lengkap tentang suatu pengetahuan, kita menunjukkan obyek materialnya sebagaimana
dicirikan oleh obyek formalnya, ini kita sebut obyek sebenarnya dari suatu pengetahuan.
Menurut Dardiri (2000) bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang
ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu
yang ada itu di bagi dua, yaitu :
Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada
umumnya.
Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak
mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).
Implikasi Filsafat Ilmu Terhadap Pendidikan Islam
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat didekati dari
permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah
diketahui bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem pemikiran tentang enam jenis
persoalan berhubungan dengan (1) hal ada, (2) pengetahuan, (3) metode, (4) penyimpulan,
(5) moralitas, dan (6) keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang
dipelajari, dan kemudian menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai
metafisika, epistemologi, metodologi, logika, etika dan estetika.[10]

Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka kegiatan penalaran filosofis
dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran,
dan perekaan. Kegiatan penalaran tersebut bertujuan untuk mencapai kejelasan, kecerahan,
keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat
mempelajari keenam jenis persoalan tersebut berdasarkan kegiatan penalaran reflektif dan
hasil refleksinya terwujud dalam pengetahuan filsafati.[11]
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge)
yang mana keduanya merupakan potensi esensial pada manusia dihasilakan dari proses
berpikir. Berpikir (na>tiq) adalah sebagai karakter khusus yang memisahkan manusia dari
hewan dan makhluk lainya. Oleh karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya
karena ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi natiq memiliki kemampuan
filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan daya Filsafat Ilmu.
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
eksistensinya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara
filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya medium resmi untuk
memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model
pandang atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi
ilmiyah, tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu.
Bidang Filsafat Ilmu meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah pendidikan
Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan landasan filosofis, terutama untuk
kepentingan pengokohan dan pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan
sekaligus menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka
berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis. Lapisan
pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human, sebagai salah
satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis dunia manusia meliputi keberadaan secara
fisik, biotis, psikis, dan human. Pada taraf human ini dengan tingkatan-tingakatan (1)
keimanan, yang mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi
segala aspek jiwa manusia yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang
dinamis, (d) dunia religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi etis, estetis dan epistemis.
[12]
Obyek filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada
umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek masingmasing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat. Demikian pula hubungan
antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam. Jenis pertama menempatkan
segala yang ada sebagai obyek, sementara yang kedua mengkhususkan pendidikan dan yang
terakhir lebih khusus lagi pendidikan Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti
penerapan metode filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap
keilmuan pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains), dan
filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat ialah jenis pengetahuan manusia yang logis
saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia yang
diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu

ditentukan oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan
Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan
secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[13]
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan, menurut
Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final. Dalam
katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa, sesuatu yang sudah final.
Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak
mengenal kebenaran absolut. Semua kebenarannya bersifat relatif.[14]
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam sangat
penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shaybani setidaknya filsafat pendidikan memiliki
beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1) dapat menolong perangcang-perangcang
pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk
pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan
pandangan pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk penilaian
pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang digunakan untuk
membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan istemewa sesuai
dengan prinsip dan nilai agama Islam.[15]
Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi -menurut
Muhaimin[16]- adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian
mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini
berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Quran dan Al-Hadith
terdapat istilah fit}rah, samakah potensi dengan fitrah tersebut? Potensi dan atau fit}rah apa
dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah
potensi dan atau fit}rah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami
perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam realitas
sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis
yang perlu mendapat penegasan.
Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode
pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh
filsafat tentang manusia. Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga
mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan
oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi
jika manusia memang animal educandum, educabile, dan educans.
Epistemologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut
merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis fenomenologis
tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu
pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik
sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk
melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan menurut
Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis
epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang
filsafat khusus. Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian

integral kebudayaan; dalam hal ini kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan
pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[17] Implikasinya, dapat diilustrasikan
jika manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap
manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan
mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan
melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi
(pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup
fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal
dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu
(pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal
dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya
pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan
konsep pendidikan. Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah
kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan
makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan
telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan
makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah
aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah
penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai
manusia seutuhnya dan sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut Muhaimin- pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan
adalah menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta
mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum
pendidikan Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam
itu dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam? Apakah
semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau hanya Muslim saja
yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?[18]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang
secara mendasar berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena
itu jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir
Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga
merupakan problem pendidikan Islam.[19]
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan epistemologis seperti dikemukakan
Muhaimin diatas, maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan
dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode
tersebut.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan, maka diperlukan
landasan pendidikan. Pendidikan Islam dengan karakteristiknya agama juga menjadikan
dasar-dasar agama sebagai landasan pendidikannya. Menurut Darajat bahwa pendidikan
Islam berlandaskan pada tiga hal berikut: Al-Quran,Al-Sunnah dan Ijtihad.[20] Al-Nahlawi
sependapat bahwa Al-Quran, dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan Islam.
[21] Karena nyata sekali bahwa dimasa rasul dan sahabat pendidikan sangat tergantung
dengan ajaran Al-Quran, Terlebih ketika Aishah menegaskan, sesungguhnya akhlak rasul
itu adalah Al-Quran.

Adapun pembahasan tentang metode pendidikan islam, secara umum perhatian para ulama
klasik telah tertuju pada upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir
pendidikan. Menurut Abd al-Ghani Abud mereka ini secara preodik dimulai dari Shahnun
(Wafat 240 H), Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari ( 360 H), Al-Khawarizmi
(377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani (395 H), Ibn Afif (420 H), Ibn Abd AlBarr (423 H), Al-Ghazali (505 H), Al-Zanuji (591 H), Ibn Jamaah (733 H), Ibn Al-Hajj AlAbdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H), Ibn Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah para
pemikir kontemporer lainya seperti Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-Amuli,
Abi Yahya Zakariya Al-Ansari, dll.[22]
Mereka ini menurut Abud tergolong pemikir pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn
Khaldun (732-808 H). Disisi lain Abud menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang
terpengaruh dengan model filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn
Maskawaih (325-421 H).[23]
Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan khzanah pemikirannya dalam kitabkitab pendidikan. Diantaranya yang relevan dengan pendidikan anak; Talim al-Sibyan wa
ahkam al-Mualimin (Al-Qabisi), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali), adab al-Muaalimin (Ibn
Sahnun), Talim al-Mutaalim (Al-Zanuji)[24], Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam wa fawaid
yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar Al-Haithami), Jami Bayan Al-Ilm (Ibn abd AlBar)[25], Siyasat al-Shibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami Jawami AlIhtishar (Al-Maghrawi), Tadhkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa alMutaallim (Ibn Jamaah).[26]
Kitab-kitab tersebut secara umum menjelaskan bagaimana pendidikan islam dilakukan.
Sayangnya kitab-kitab tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal metode
(Tariqah) pendidikan, menurut Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan Kailani ada dua
yaitu pertama; tariqah ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan penyampaian ilmu
mencakup media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara teoritis dan praktis. Cara
(Uslub) yang digunakan dengan uslub hikmah, al-Mauidah Hasanah dan jadal al-Hasan.
Kedua: tariqah iradah yakni metode untuk mendorong beramal yaitu dengan cara memahami
Al-Quran, bersedekah, meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.[27]
Al-Nahlawi menjelaskan tujuh model (uslub) pendidikan. Pertama: model pendidikan
dengan materi percakapan dari quran dan hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qurani wa alNabawi). Kedua: model cerita dari Quran dan Hadith. Ketiga: model perumpamaan (AlAmthal). Keempat: model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan
pembiasaan (al-Mumarathah). Keenam: model nasehat. Ketuju: model memotivasi dan
menakuti (Targhib wa Tarhib).[28]
Al-Abrashi menawarkan sepuluh metode pengajaran (Tariqat Al-Tadris) ialah istiqraiyah
(inductive), qiyasiyah (deductive), muhadarah (ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah
(penugasan), Ijab (appreciation), ibtikar (creation), tadrib (drill), dirasat al-irshadiyah
(supervised study) dan ikhtibar (testing).[29]
Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari
kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi
pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu
dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri
diutus untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak
umat manusia.

Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan,
tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang
hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan
kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan
menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan seni
tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni,
terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek
lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena
pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap
manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual,
sosial dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan
interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah
melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat
manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari
kebodohan untuk mewujutkan nilai peradaban manusiawi.
C. Signifikansi Filsafat Ilmu
Di mana posisi filsafat ilmu ketika dihadapkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pada
dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai
konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun
teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan
disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara
teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoprasionalkan
pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.
Sedangkan kajiaan yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi)
pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem
mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu.
Dari ketiga landasan tersebut bila dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak
filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini titik tolaknya
pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang
dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada
cara pandang ilmuwan terhadap realitas.
Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala
realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria. Sedangkan
epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur
dalam memperoleh kebenaran.

8. Penutup
Bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Bahasa bukan saja merupakan alat komunikasi tetapi lebih dari itu bahasa dapat merupakan
alat politis untuk mempersatukan bangsa. Bahasa juga merupakan sarana untuk menyerap dan
mengembangkan pengetahuan. Bangsa-bangsa yang sudah mengalami kemajuan-kemajuan
yang mengagumkan dan masuk dalam kategori bangsa maju pada umumnya mempunyai
struktur bahasa yang sudah modern dan mantap. Hal ini menimbulkan suatu pemikiran bahwa
bahasa merupakan salah satu faktor pendukung kemajuan suatu bangsa karena bahasa

merupakan sarana untuk dapat mengantarkan suatu bangsa untuk membuka wawasannya
terhadap pengetahuan dan teknologi yang berkembang.

[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002). 1
[2] Clement CJ. Webb, A History Of Philosophy. (London: Oxford University Press, 1949). 7
[3] Taufiq Thawil, Usus al-Falsafah. (Kairo: Dar al-Nahdasah al-Arabiyah, 1979). 45
[4] Harun Nasution, Filsafat Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). 9
[5] Amin Abdullah, Kajian Filsafat Ilmu,
[6] Koento Wibisono S. dkk., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997). 5
[7] Sholeh, MH, dalam penyampaian Mata Kuliah Filsafat Ilmu, dalam kajian Kronologis Ilmu Pengetahuan (Selasa, 27 Oktober
2009)

[8] Abbas Hamami M. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan). Yogyakarta : Yayasan Pembinaan
Fakultas Filsafat UGM.

[9] Abbas Hamami M1982. Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan. Diktat. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM..
[10] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), 11.
[11] M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
[12] M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan Orientasi Praktis Dilematis (Malang: IPTPI,
2002), 5.

[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 14.
[14] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 18
[15] Umar Muhammad Al-T{aumi> Al-Shayba>ni>, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), 30.

[16] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 65

[17] M. Dimyati, Dilema Pendidikan, 16.


[18] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, 66.
[19] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES,
1993), 213.

[20] Zakiyah Darajat, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 17
[21] Abd al-Rahman al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha fi-Albait wa al-Mujtama (Mesir:Dar al-Fikr, 1988), 28
[22] Abd al-Ghani Abud, Alfikr al-Tarbawi Ind Al-Ghazali, (Dar al-Fikr al-Arabi, 1982), 35
[23] Ibid., 36.
[24] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam ( tp. Dar Al-Maarif: tt), 55-56
[25] Abud, Alfikr al-Tarbawi, 45
[26] Ibid., 231-234
[27] Majid Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat Dar Al-Turath, 1986), 145-156.
[28] Al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah, 184.
[29] Al-Abrashi, Ruh Al-Tarbiyah wa Al-Talim (Aleppo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), 271-314.

Anda mungkin juga menyukai