Anda di halaman 1dari 16

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Jasa Konstruksi

1. Pengertian Jasa Konstruksi

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi


dijelaskan, Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi, perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa
konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Jasa konstruksi mempunyai peranan
yang penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir
berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun
sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan diberbagai
bidang. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi membagi
jenis usaha konstruksi menjadi 3 bagian yaitu:

a. Perencanaan Konstruksi
Usaha Perencanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa perencanaan
dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan
penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, yang dapat terdiri dari :

1. Survei.
2. Studi kelayakan proyek, industri dan produksi.
3. Perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan.
4. Penelitian.

Usaha ini dilaksanakan oleh perencana konstruksi yaitu Konsultan dan


Designer yang wajib memiliki sertifikat keahlian.

b. Pelaksanaan Konstruksi
Usaha Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan
dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan
penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. Usaha ini dilaksanakan oleh
pelaksana konstruksi (kontraktor) yang wajib memiliki sertifikat keterampilan
dan keahlian kerja.

c. Pengawasan Konstruksi
Usaha Pengawasan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pengawasan
baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai
dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi,
yang dapat terdiri dari Pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan
Pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam proses pekerjaan dan
hasil pekerjaan konstruksi.

Ketiga jenis usaha konstruksi di atas dapat berbentuk orang perseorangan atau
badan usaha, akan tetapi jika pekerjaan konstruksi yang akan dikerjakan berisiko

10

besar/berteknologi tinggi/ yang berbiaya besar maka pekerjaan tersebut hanya


dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan
usaha asing yang dipersamakan. Adapun Perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus
memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi, memiliki
sertifikat, klasifikasi dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.

2. Pihak-pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa melibatkan dua belah pihak, yaitu pihak pembeli atau
pengguna dan pihak penjual atau penyedia barang dan jasa. Pembeli atau
pengguna barang dan jasa adalah pihak yang membutuhkan barang dan jasa.
Dalam pelaksanaan pengadaan, pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau
memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau untuk membuat
barang atau melaksanakan pekerjaan tertentu. Pengguna barang dan jasa dapat
merupakan suatu lembaga/organisasi dan dapat pula orang perorangan.1

Untuk membantu pengguna dalam melaksanakan pengadaan, dapat dibetuk


panitia pengadaan. Lingkup panitia pelaksanaan pengadaan adalah seluruh proses
pengadaan, mulai dari penyusunan dokumen pengadaan penyeleksi dan memilih
para penyedia barang dan jasa, meminta penawaran dan mengevaluasi penawaran,
mengusulkan calon penyedia barang dan jasa untuk pengguna dalam menyiapkan
dokumen kontrak, atau sebagain dari tugas tersebut.

Budihardjo Hardjowidoyo dan Hayie Muhammad, Prinsip-prinsip Dasar Pengadaan Barang dan
Jasa. Indonesia Procumrement Watch, Jakarta, 2006, Hlm. 12.

11

Penyedia barang dan jasa adalah pihak yang melaksanakan pemasokan atau
mewujudkan barang atau melaksanakan pekerjaan atau melaksanakan layanan
jasa berdasarkan permintaan atau perintah resmi atau kontrak pekerjaan dari pihak
pengguna. Penyedia barang dan usaha dapat merupakan badan usaha, atau orang
perorangan. Penyedia yang bergerak dibidang pemasokan disebut pemasok atau
leveransir, bidang jasa pemborongan disebut pemborong atau kontraktor, dan
bidang jasa konsultasi disebut konsultan.2

Jika pengguna barang dan jasa telah memilih penyedia jasa pemborongan, maka
antara penyedia jasa pemborongan dan penguna jasa pemborongan akan
melakukan suatu perjanjian yang disebut perjanjian pemborongan. Menurut Pasal
1601 b KUHPdt perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak
satu, (pemborong) mengikatkan diri utuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak yang lain, (yang memborongkan), dengan menerima suatu harga dan
ditentukan.

Terdapat dua pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan, yaitu pihak yang
memborongkan atau prisipal dan pihak pemborong atau

kontraktor. Bentuk

perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk lisan, namun pada azasnya
perjanjian pemborongan dibuat dalam bentuk tertulis, karena selain berguna bagi
kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa perjanjian pemborongan
bangunan tergolong dalam perjanjian yang mengandung resiko bahaya
menyangkut keselamatan umum dan tertib pembangunan. Sehingga lazimnya
perjanjian pemborongan dibuat dalam bentuk perjanjian standar, yaitu

Ibid., Hlm. 13.

12

mendasarkan pada berlakunya peraturan standar yang menyangkut segi yuridis


dan segi teknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Jadi pada pelaksan
perjanjian selain mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam KUHPdt juga
memakai ketentuan-ketentuan dalam peraturan standarnya.3

B. Tinjauan Umum Kegagalan Konstruksi dan Bangunan

Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi hanya dijelaskan


mengenai pengertian kegagalan bangunan dan tidak menjelasan secara khusus
mengenai kegagalan konstruksi. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 29
tahun 2009 dijelaskan secara khusus mengenai pengertian kegagalan konstruksi
dan kegagalan bangunan.

Kegagalan bangunan dalam Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun


1999 tentang Jasa Konstruksi adalah keadaan bangunan yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa menjadi tidak berfungsi baik
sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang
sebagai akibat kesalahan penyedia dan/atau pengguna jasa.

Kegagalan bangunan menurut Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun


2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi adalah keadaan bangunan yang
tidak berfungsi, baik keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat,
keselamatan dan kesehatan kerja dan atau keselamatan umum sebagai akibat
kesalahan Penyedia dan/atau Pengguna setelah penyerahan akhir pekerjaan
3

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum bangunan Perjanjian Pemborongan Gedung, Liberty,
Yogyakarta, 1982, Hlm. 55.

13

konstruksi. Kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang


tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak
kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari kesalahan
dari pengguna jasa atau penyedia jasa.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan, kegagalan konstruksi dan


bangunan adalah dua pengertian yang berbeda. kegagalan bangunan dikaitkan
dengan kondisi bangunan yang tidak dapat digunakan baik sebagian atau
sepenuhnya setelah adanya serahterima dari penyedia kepada pengguna jasa
konstruksi. Kegagalan konstruksi dikaitkan dengan tidak terpenuhinya standar
pelaksanaan pekerjan konstruksi yang telah disepakati, sehingga bangunan
mengalami kegagalan dalam proses pembanguanya.

C. Kerugian Akibat Kegagalan Konstruksi Bangunan

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek


hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan
hak dan kewajiban dipihak yang lain 4. Hukum mengatur hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi hubungan hukum terdiri
atas ikatan-ikatan antara individu dengan individu dan antara individu dengan
masyarakat dan seterusnya. Hubungan hukum dapat terjadi diantara sesama
subyek hukum dan antara subyek hukum dengan barang. Sedangkan hubungan
antara subyek hukum dengan barang, berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek

R, Soeroso., Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hlm. 269

14

hukum itu atas barang tersebut, baik barang berwujud dan barang bergerak atau
tidak bergerak.5

Hubungan hukum memerlukan syarat-syarat antara lain:


a. Ada dasar hukumnya, yaitu peraturan hukum yang mengatur hubungan itu.
b. Ada Peristiwa hukum, yaitu terjadi peristiwa hukumnya.
c. Hubungan sederajat dan hubungan beda derajat
d. Hubungan timbal balik dan timpang bukan sepihak. Timbal balik jika para
pihak sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, timpang bukan sepihak jika
yang satu hanya hanya punya hak saja sedang yang lain punya kewajiban
saja.6

Hubungan hukum dalam industri jasa konstruksi pada umumnya timbul akibat
adanya perjanjian pemborongan antara pengguna dan penyedia jasa konstruksi.
Jika dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan salah satu pihak melakukan
wanprestasi

terhadap

isi

perjanjian,

maka

pihak

yang

melanggar

bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Namun jika Kegagalan konstruksi


bangunan menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak terikat dalam proyek
pembangunan, maka pengguna jasa konstruksi (pemilik rumah) bertanggungjawab
atas ganti kerugiantersebut. Pertanggungjawaban yang timbul merupakan
pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 1369 yang berbunyi Pemilik sebuah gedung bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan oleh ambruknya gedung itu seluruhnya atau

5
6

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Yogyakarta, 2008, Hlm. 254
Op.Cit., Hlm. 271

15

sebagian, jika itu terjadi karena kelalaian dalam pemeliharaan atau karena
kekurangan dalam pembangunan ataupun dalam penataannya.

D. Tinjauan Umum Perbuatan Melawan Hukum

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

KUHPdt Pasal 1365 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukam oleh seseorang yang karena salahnya
merugikan orang lain.

Perbuatan melawan hukum dalam perkembangannya mempunyai dua pengertian


yaitu perbuatan melawan hukum dalam arti sempit dan perbuatan melawan hukum
dalam arti luas. Pengertian melawan hukum pada awalnya mengandung
pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang
dianut adalah perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain
bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan perbuatan
melawan undang-undang (onwetmatigedaad)7. Unsur dari perbuatan melawan
hukum hanyalah melanggar ketentuan undang-undang dan adanya unsur
kesengajaan. Perbuatan melawan hukum dalam arti luas bukan hanya mengenai
adanya suatu pelanggaran terhadap perundang-undangan tertulis semata-mata,
tetapi juga mencakup atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan
dalam pergaulan hidup masyarakat. Sejak tahun 1919 di negeri Belanda dan di

Rosa Agustina dkk, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Team PL, Denpasar, 2012, Hlm. 6.

16

Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yang mencakup
salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut:
a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.8

2. Unsur Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan


hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.

Adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum.


c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
d. Adanya kerugian bagi korban.
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.9
Berikut ini penjelasan dari masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut:10

a.

Adanya suatu perbuatan.


Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si pelakunya.
Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan,
baik berbuat sesuatu (secara aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditiya Bakti,
Bandung, 2010, Hlm. 6.
9
Ibid., Hlm. 10.
10
Ibid.,Hlm. 11.

17

pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal ia berkewajiban untuk


membantunya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada
juga kewajiban yang timbul dari kontrak). Karena itu terhadap perbuatan
melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada
juga unsur causa yang diperbolehkan sebagai mana yang terdapat dalam
kontrak.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum.


Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun
1919, unsur melawan hukum itu diartikan dalam arti yang seluas-luasnya,
yakni meliputi hal-hal sebagai beriku:
1. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
2. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau;
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau;
4. Perbuatan yang betentangan dengan kesusilaan (goedezeden) atau;
5.

Perbuatan

yang

bertentangan

dengan

sikap

yang

baik

dalam

bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.


Karena Pasal 1365 KUHPdt mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld)
dalam suatu perbuatan melawan hukum maka perlu diketahui bagaimana
cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum
mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya
secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

18

1. Ada unsur kesengajaan, atau;


2. Ada unsur kelalaian.
3. Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf seperti keadaan overmahct.

d. Adanya kerugian bagi korban.


Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPdt dapat dipergunakan. Berbeda dengan
kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil maka
kerugian karena melawan hukum di samping kerugian materiil, yurisprudensi
juga mengakui konsep kerugian immateriil, yang juga akan dinilai dengan
uang.

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.


Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dan kerugian yang
ditumbulkan juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu hubungan
faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual
ar(causation in fact) hanya merupakan masalah fakta atau apa yang secara
faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian
dapat merupakan penyebab secara faktual asalkan kerugian (hasilnya) tidak
akan pernah terdapat tanpa penyebabnya.

4. Akibat Hukum Perbuatan Melawan Hukum

Setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, mengakibatkan


orang yang karena kesalahannya tersebut bertanggungjawab atas kerugian yang

19

timbul. Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk melindungi hakhak seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan hukum menggariskan hak dan
kewajiban seseorang yang karena kesalahannya telah merugikan orang lain.
Pasal 1365 hingga 1380 KUHPdt mengatur tidak hanya perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pelaku, tetapi juga yang dilakukan oleh orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya. Pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum yang
diakibatkan oleh orang lain yang berada di bawah tanggungannya atau barangbarang yang menjadi tanggungjawabnya dikenal dengan tanggung gugat atau
vicarious liability.

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada


ketentuan Pasal 1365 KUHPdt. Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak
seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUHPdt
lebih merupakan struktur norma dari pada substansi ketentuan hukum yang sudah
lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUHPdt senantiasa
memerlukan materialisasi di luar KUHPdt

11

. Berkaitan dengan perbuatan

melawan hukum yang terjadi dalam bidang jasa konstruksi, materialisasi di luar
KUHPdt yang digunakan adalah Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi dan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi.

11

Rosa Agustina dkk, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Team PL, Denpasar, 2012, Hlm. 6.

20

Adanya kerugian akibat perbuatan melawan hukum mengakibatkan korbannya


berhak meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan melakukan tuntutan. Ada
beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum, yaitu:12

a. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan.


b. Ganti rugi dalam bentuk natural atau dikembalikan dalam keadaan semula.
c. Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum.
d. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
e. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
f. Pengumuman dari pada keputusan atau dari suatu yang telah diperbaiki.

Ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum adalah mengembalikan penderita


pada posisi semula sebelum perbuatan melawan hukum dilakukan. Atas dasar
itulah

Hoge

Raad

dalam

putusannya

tanggal

24

Mei

1918

telah

mempertimbangkan bahwa pengembalian dalam keadaan semula merupakan


pembayaran ganti kerugian yang paling tepat. Pembayaran ganti kerugian tidak
selalu harus berwujud uang. Pembayaran ganti kerugian sejumlah uang hanya
merupakan nilai yang equivalent saja terhadap pengembalian penderita pada
keadaan semula (restitutio in integrum)13. Namun dalam perkembangan perbuatan
melawan hukum, pembayaran ganti kerugian tidak hanya pengembalian dalam
bentuk semula tetapi juga pengantian kerugian dalam bentuk-bemtuk lain.

Mengenai bentuk ganti kerugian, yang dapat dibebankan kepada pelaku dan atau
orang-orang yang ada di bawah pengawasannya, antara lain sebagai berikut;
12
13

Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, Hlm. 102.
Ibid., Hlm. 102.

21

a. Ganti rugi aktual


Ganti rugi yang aktual adalah ganti rugi terhadap kerugian yang telah di alami
secara nyata. Ganti rugi aktual dapat diterima terhadap kerugian-kerugian
finansial, penderitaan fisik dan penderitaan mental.
b. Ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental
Gantirugi yang berhubungan dengan tekanan mental adalah ganti rugi berupa
uang yang diberikan akibat suatu perbuatan melawan hukum akibat adanya
tekanan mental. Dalam prkteknya ganti rugi smacam ini sering disebut dengan
ganti rugi inmaterial. Pemberian sejumlah uang dalam ganti rugi ini
merupakan kebijaksanaan dari hakim, dengan syarat jumlah ganti rugi yang
diminta harus wajar.

c. Ganti rugi untuk kerugian yang akan datang


Ganti rugi terhadap kerugian yang akan datang mestilah terhadap kerugin
yang akan datang dapat dibayangkan wajar dan secara nyata akan terjadi.
d. Ganti rugi penghukuman
Karna sifatnya penghukuman, maka gnti rugi penghukuman hanya dapat
ibebanka terhadap perbuatan melawan hukum yang menganung unsur
kesalahan yang berat, seperti kesalahan berupa kesengajaan atau kelalaian
berat. Ganti rugi ini tidak dapat diterapkan pada kelalaian biasa dan kelalaian
ringan.14

Khusus bagi perbuatan melawan hukum yang terjadi akibat kegagalan konstruksi
bangunan, umumnya putusan pengadilan yang ada mewajibkan pihak yang
14

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditia Bakti,
Bandung, 2010, Hlm.142.

22

menimbulkan kerugian bagi pihak lain, mengganti kerugian yang timbul dalam
bentuk pemulihan bangunan gedung yang rusak atau ganti kerugian berupa uang.

5. Kerangka Pikir

Guna memperjelas dari pembahasan ini, maka penulis membuat kerangka pikir
sebagai berikut:
PENGGUNA JASA
KONSTRUKSI

PENYEDIA JASA
KONSTRUKSI

KEGAGALAN
KONSTRUKSI
BANGUNAN

PERBUATAN
MELAWAN
HUKUM

PIHAK-PIHAK YANG
YANG TERLIBAT

BAGAIMANA MA
MENENTUKAN
SUATU PERKARA
ADALAH
PERBUATAN
MELAWAN
HUKUM

AKIBAT HUKUM

23

Keterangan:
Untuk mempermudah dan memperjelas pembahasan dari permasalahan mengenai
pertanggungjawaban perbuatan melawan mukum akibat kegagalan konstruksi
bangunan, maka diuraikan secara singkat sebagai berikut :
Pengguna jasa konstruksi melakukan perjanjian pemborongan dengan penyedia
jasa konstruksi untuk pembangunan suatu gedung. Namun dalam pelaksanaan
pembangunan, gedung tersebut dibangun melebihi kapasitas yang telah diizinkan
Dinas Trantib dan Linmas, sehingga mengakibatkan gedung mengalami
kemiringan dan mengakibatkan gedung yang berada di sebelahnya turut rusak.
Kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya gedung, menimbulkan kerugian yang
cukup besar bagi pemiliknya. Hal tersebut mengakibatkan pemilik gedung
menggugat pengguna jasa konstruksi ke pengadilan. Setelah pengadilan
memeriksa perkara yang ada, kemudian dengan putusan MA No. 962 K/Pdt
/2009 pengadilan menetapkan bahwa perkara yang ada adalah perkara perbuatan
melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan.

Anda mungkin juga menyukai