Anda di halaman 1dari 6

KRISIS HIPERGLIKEMIA:

DIABETIC KETOACIDOSIS & HYPERGLYCEMIC HYPEROSMOLAR STATE


Diabetic ketoacidosis (DKA) dan Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS)
adalah dua dari komplikasi diabetes yang paling serius. DKA bertanggung jawab atas
lebih dari 500.000 kasus di rumah sakit Amerika Serikat per tahunnya. DKA ditandai
oleh adanya trias yaitu hiperglikemia berat, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton tubuh. HHS ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan
dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis yang signifikan. Gangguan metabolik ini adalah
akibat dari kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontraregulator
(glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan). Kebanyakan pasien
dengan DKA memiliki penyakit diabetes autoimun tipe 1, walaupun diabetes tipe 2 juga
beresiko terutama jika terjadi stres katabolik akibat trauma dan infeksi.
Pathogenesis
Pada kasus DKA penurunan konsentrasi efektif insulin dan peningkatan hormon
kontraregulator menyebabkan hiperglikemia dan ketosis. Hiperglikemia terjadi akibat
dari tiga prose utama yaitu peningkatan glukoneogenesis, percepatan glikogenolisis,
dan gagalnya penggunaan glukosa di jaringan perifer. Hal ini diperberat oleh adanya
resistensi insulin sementara akibat ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi asam lemak bebas. Kombinasi dari resistensi insulin dan
peningkatan hormon kontraregulator juga menyebabkan pelepasan asam lemak bebas
ke dalam sirkulasi darah akibat proses lipolisis di jaringan lemak perifer dan oksidasi
asam lemak menjadi badan keton yang tak terkendali di liver sehingga menyebabkan
ketonemia dan metabolik asidosis.
Patogenesis HHS tidak begitu dipahami apabila dibandingkan dengan DKA,
tetapi derajat dehidrasi yang berat pada HHS (akibat diuresis osmotik) dan perbedaan
ketersediaan insulin dapat membedakannya dari DKA. Meskipun defisiensi insulin relatif
terjadi pada HHS, sekresi insulin endogen tampak lebih besar dibandingkan pada DKA.
Level insulin pada HHS tidak adekuat untuk menfasilitasi penggunaan glukosa di
jaringan perifer tetapi masih mampu mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis.

Gambar 1. Patogenesis DKA dan HHS


Faktor Pencetus
Faktor pencetus yang paling sering terjadi pada DKA dan HHS adalah infeksi.
Faktor pencetus lain antara lain penghentian terapi insulin atau terapi insulin yang tidak
adekuat, pankreatitis, infark miokard, CVA, dan penggunaan obat tertentu. Sebagai
tambahan,onset baru diabetes tipe 1 dan penghentian terapi insulin pada penderita
diabetes tipe 1 umumnya mengakibatkan terjadinya DKA.
Penyakit dasar yang menimbulkan pelepasan hormon kontraregulator dan
kekurangan cairan cenderung menyebabkan dehidrasi berat dan HHS. Pada
kebanyakan pasien HHS pengurangan asupan air disebabkan oleh pasien yang
terbaring di tempat tidur dan diperparah oleh perubahan respon haus pada lansia.
Obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, tiazid,
dan agen simpatomimetik dapat mencetuskan terjadinya DKA dan HHS. Penelitian

terbaru melaporkan sejumlah kasus mengindikasikan antipsikotik konvensional seperti


obat antipsikotik atipikal dapat menyebabkan hiperglikemia dan DKA atau HHS.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Perjalanan penyakit HHS membutuhkan waktu beberapa hari hingga minggu,
sementara pada DKA akut pada diabetes tipe 1 dan 2 membutuhkan waktu lebih
singkat. Meskipun gejala pada diabetes yang tidak terkontrol berkembang dalam
beberapa hari, perubahan metabolik terutama ketoasidosis berkembnag dalam kurang
dari 24 jam. Gejala juga dapat timbul secara akut, DKA dapat terjadi tanpa adanya
gejala awal. Pada DKA dan HHS, didapatkan gejala klinis klasik yaitu poliuria, polidipsi,
polifagi, penurunan berat badan, muntah, dehidrasi, lemas dan perubahan kesadaran.
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan turgor kulit yang menurun, pernafasan
Kussmaul (pada DKA), takikardi dan hipotensi. Status kesadaran dapat bervariasi mulai
dari sadar penuh hingga letargi dan bahkan koma, pada HHS paling sering terjadi
koma. Pada HHS juga sering terjadi gejala defisit neurologis fokal (hemianopia atau
hemiparesis) serta kejang (fokal atau umum). Meskipun infeksi menjadi faktor pencetus
tersering pada DKA dan HHS, pasien bisa mengalami normotermi atau bahkan
hipothermi yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah perifer. Mual, muntah,
dan nyeri perut sering pada pasien DKA (>50 %) tetapi jarang pada pasien HHS.
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada DKA dan HHS ditampilkan pada tabel 1.
Kebanyakan pasien DKA memiliki kadar glukosa plasma lebih dari 250 mg/dL.
Sedangkan pada HHS hiperglikemia biasanya lebih berat dengan kadar glukosa plasma
bisa mencapai > 600 mg/dL. Kadar glukosa yang sangat tinggi ini menyebabkan
sindrome hiperosmolal pada HHS. Peningkatan osmolalitas ini dapat diukur dengan
rumus: 2 x serum Na (mEq/L) + glukosa (mg/dL), dengan nilai normal 290 mmol/Kg.
Secara definisi, osmolalitas harus lebih dari 320 mmol/Kg untuk dapat didiagnosis
sebagai HHS. Namun, peningkatan osmolalitas ini jarang terjadi pada DKA. Pada DKA,

pH darah kurang dari 7,30 sedangkan HHS lebih dari 7,30. Penurunan pH pad DKA ini
disebabkan oleh kada bikarbonat yang menurun ( < 15 mEq/L) dan ketonemia.
Tabel 1.

Kriteria diagnosis DKA dan HHS

Diagnosis kunci pada DKA adalah peningkatan konsentrasi keton darah.


Akumulasi benda keton di dalam darah ini dapat menyebabkan peningkatan anion gap
metabolik asidosis. Anion gap dapat dihitung dengan rumus: Na (Cl + HCO 3). Anion
gap normal berkisar antara 7-9 mEq/L, anion gap > 10-12 mEq/L dapat mengindikaskan
adanya metabolik asidosis.
Mayoritas pasien DKA dan HHS juga mengalami peningkatan hitung leukosit,
biasanya 10-15 x 109/L. Hal ini disebabkan oleh kondisi stress dan dehidrasi pada yang
terjadi pada pasien krisis hiperglikemia ini. Pada kondisi DKA dan HHS juga didapatkan
penurunan konsentrasi natrium yang diakibatkan oleh osmotik diuresis. Konsentrasi
kaliaum serum juga meningkat dikarenakan oleh peningkatan kalium ekstraseluler oleh
defisiensi insulin, hipertonisitas dan asidemia.
PENATALAKSANAAN
Keberhasilan pengobatan pada DKA dan HHS ditentukan oleh koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, ketidakseimbangan elekrolit, serta penanganan faktor pencetus. Protokol
manajemen DKA dan HHS disajian dalam gambar 2.
Terapi Cairan

Terapi cairan awal diberikan untuk mengisi cairan intravaskular, interstisial, dan
intraseluler yang hilang sehingga mengurangi krisis hiperglikemia dan memperbaiki
perfusi renal. Pemberian infus NaCl 0,9 % 15-20 ml/KgBB/jam atau 1-1,5 L dalam satu
jam pertama merupakan pilihan yang tepat dalam penggantian cairan. Pada umumnya
NaCL 0,45 % 250-500 cc/jam diberikan pada keadaan konsentrasi natrium yang normal
atau hipernatremia, sedangkan NaCl 0,9 % diberikan jika didapatkan hiponatremia.
Keberhasilan rehidrasi dapat dinilai dari perbaikan tekanan darah serta pengukuran
input dan otput cairan. Jika kadar glukosa darah kurang dari 200 mg/dL, maka perlu
diberikan larutan yang mengandung glukosa (dextrose 5%) untuk menghindari
hipoglikemia pada pemberian insulin lanjutan.
Terapi Insulin
Terapi insulin pada krisis hiperglikemia dilakukan dengan pemberian insulin
reguler melalui infus intravena, subkutan maupun intramuskular. Pemberian secara
infus intravena memiliki keunggulan yaitu memiliki waktu paruh pendek serta mudah
dititrasi. Hingga saat ini, pemberian insulin yang direkomendasikan adalah dengan
loading dose intravena 0,1 unit/kgBB dilanjutkan maintenance 0,1 unit/kgBB/jam. Dosis
insulin inisial ini dimaksudkan untuk menekan produksi badan keton di hepar.
Pada keadaan normal, infus insulin intravena tersebut dapat menurunkan kadar
glukosa darah 50-75 mg/dL setiap jamnya. Jika kadar glukosa darah telah mencapai
200 mg/dL pada DKA dan 300 mg/dL pada HHS maka dilakukan pengurangan dosis
insulin menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Pada keadaan ini, dextrose 5% dapat
diberikan bersamaan dengan infus insulin untuk mencegah hipoglikemia. Kadar glukosa
darah dipertahankan 150-200 mg/dL pada DKA dan 250-300 mg/dL pada HHS.
Koreksi elektrolit
Hiperkalemia adalah keadaan yang sering ditemui pada pasien krisis
hiperglikemia sebelum dilakukannya terapi. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan
rehidrasi dapat menurunkan konsentrasi kalium tersebut. Untuk mencegah terjadinya
hipokalemia akibat pemberian terapi insulin, dapat diberikan 20-30 mEq kalium jika
kadar di dalam serum kurang dari normal (normal 5,0-5,2 mEq/L). Pada keadaan

tertentu, terapi kalium diberikan bersamaan dengan pemberian cairan rehidrasi dan
terapi insulin ditunda hingga konsentrasi kalium > 3,3 mEq/L untuk mencegah aritmia
dan kelemahan otot-otot pernafasan.
Penggunaan bikarbonat pada pasien DKA masih kontroversi. Hal ini dikarenakan
oleh teori beberapa ahli yang mengatakan bahwa seiring dengan penurunan benda
keton saat terapi berlangsung terdapat cukup bikarbonat di dalam tubuh, kecuali pada
asidosis metabolik yang berat. Berdasarkan penelitian, tidak didapatkan manfaat dalam
perbaikan fungsi kardiak dan neurologis pada pemberian bicarbonat pasien DKA.
Bicarbonat diberikan jika terjadi asidosis yang berat (pH < 6,9) dengan 100 mmol
natrium bikarbonat dalam 400 ml cairan isotonik hingga pH mencapai 7.
KOMPLIKASI
Hipoglikemia dan hipokalemia adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
pengobatan insulin krisis hiperglikemia. Akan tetapi komplikasi ini dapat dicegah bila
digunakan terapi insulin dosis rendah dengan cara titrasi dan monitoring gula darah
yang ketat (tiap 1-2 jam). Edema serebral juga bisa terjadi pada 0,1-3 % kasus DKA
pada anak-anak tetapi jarang pada dewasa. Gejalanya berupa nyeri kepala, penurunan
kesadaran bertahap, kejang, dan tanda-tanda peningkatan TIK. Pencegahan dapat
dilakukan dengan menghindari rehidrasi yang berlebihan, menurunkan osmolaritas
plasma secara perlahan-lahan dan menjaga kadar glukosa antara 250-300 mg/dL..

Anda mungkin juga menyukai