IQBAL GHAZALI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Iqbal Ghazali
NIM C252120181
RINGKASAN
SUMMARY
IQBAL GHAZALI. Mangrove Utilization Based Local Wisdom In The East
Coast Surabaya. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and RILUS A.
KINSENG.
Mangrove Pamurbaya ecosytem is one of the ecosystem which has
important role in Surabaya, both ecologycally and economycally.The economic
benefits caused people to exploit on large scale, resulted environmental damage.
These could be handled by doing community-based management. This study
aimed to determine community perception associated Pamurbaya Mangrove, and
Mangrove management in East Coast Surabaya, which particularly undertaken by
the community (local wisdom) and the government, and to know the relationship
between the two. This study held on March to May 2014 located in Protected
Areas Pamurbaya. The method used in this study was survey with purposive
sample. Primary data (mangrove, stakeholder, local wisdom) was done through
observation the studys object and in-depth interview, secondary data (population,
maps, mangrove) obtained through the literature study. Analysis of the data using
simple quantitative analyses (Likert Scale), stakeholder analyses, AWOT, and
qualitative analysis (descriptive).
The results showed there were 50 stakeholders involved in this Pamurbaya
mangrove management including goverment, private, and community. Local
wisdom that has been the local community priority is mangrove ecotourism. The
strategy for the development of ecotourism mangrove obtained by increase the
institutional system, creativity, innovation of eco-tourism workers, and increase
cooperation with various related parties. It aimed to respond to the high public
interest in this activity. Other thing which also important is to support this
conservation effort undertaken by goverment by help to protect and preserve
Pamurbaya mangrove. Pamurbaya mangrove management undertaken by several
parties was already good enough, thing that needs to be repaired was the
coordination among stakeholders. Integration of stakeholders is the key to succeed
the management, to achieve environmental sustainability along with the increase
of social welfare.
Keywords: Mangrove, community, Pamurbaya, stakeholder
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN MANGROVE
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
DI PANTAI TIMUR SURABAYA
IQBAL GHAZALI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis : Dr. Ir. Fredinan Yulianda MSc
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pemanfaatan
Mangrove Berbasis Kearifan Lokal di Pantai Timur Surabaya, sebagai salah satu
syarat guna memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi M.Sc dan Dr. Ir. Rilus A.Kinseng MA
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan
masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Muslimin Abdulrahim MSIE, Dra. Fatmawati, Maulida Rosa
Umainana SPi, dan Nadya Aisyah selaku keluarga yang selalu mendukung
dan membantu dalam segala hal selama penulis menjalani studi.
3. Anggi Savitri ST. yang selalu mendukung dan menemani sejak awal studi.
4. Teman-teman SPL 2012 atas segala suka dan duka serta bentuk bantuan
dan kerjasama yang telah diberikan.
5. Segenap dosen serta staf atas segala ilmu dan bantuan yang diberikan.
6. Teman-teman Universitas Airlangga yang berjuang bersama melanjutkan
studi di IPB atas suka dan duka sejak awal studi.
7. Pihak lain yang banyak membantu selama di Bogor, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Iqbal Ghazali
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
1
1
2
3
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi
Social Ecology Services
Mangrove
Kearifan Lokal
5
5
6
7
10
3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Jenis dan Sumber Data Penelitian
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
12
12
12
13
14
15
25
25
27
37
46
61
61
61
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
105
58
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
9
13
17
17
19
20
20
21
22
22
22
23
26
48
49
49
50
50
54
54
55
55
56
DAFTAR GAMBAR
Bagan Kerangka Penelitian
Peta Pamurbaya
Diagram Alir Penelitian
Kerangka Sampling Penelitian.
Matriks Hasil Analisis Stakeholder
Sebaran Mangrove Pamurbaya
Matriks Stakeholder Pemerintah
Matriks Stakeholder Kecamatan Mulyorejo
Matriks Stakeholder Kecamatan Sukolilo
Matriks Stakeholder Kecamatan Rungkut
Matriks Stakeholder Kecamatan Gunung Anyar
Sikap masyarakat Masyarakat mengerti mangrove
Sikap masyarakat Masyarakat menganggap mangrove penting
Sikap masyarakat Masyarakat setempat mau untuk mengenal dan
mengelola mangrove
15. Sikap masyarakat Mangrove Pamurbaya memiliki banyak manfaat
16. Sikap masyarakat Masyarakat memperoleh manfaat dari mangrove
Pamurbaya
17. Sikap masyarakat Masyarakat peduli dengan mangrove
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
4
12
14
15
18
25
28
30
31
33
36
38
38
39
40
40
41
41
42
43
43
44
45
DAFTAR LAMPIRAN
1.
67
68
69
71
74
76
77
78
79
89
91
PENDAHULUAN
Latar Belakang
2
dalam hal pengelolaan mangrove, merupakan ganjalan dalam perwujudan
kawasan konservasi Pamurbaya. Kondisi ini terjadi karena kurangnya supremasi
hukum (termasuk hukum adat) dan semakin memudarnya nilai-nilai kearifan
lokal/tradisional yang merupakan suatu gagasan konseptual masyarakat, yang
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat,
untuk mengatur kehidupan masyarakat (Sartini 2004).
Kearifan lokal yang diterapkan di beberapa daerah, terbukti mampu
menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya. Salah satunya seperti yang
diungkapkan oleh Kusumastanto et al. (2004), misalnya Hak Ulayat Laut yang
terdapat di Pulau Para, Sulawesi Utara. Masyarakat setempat meyakini bahwa
ikan layang adalah ikan peliharaan arwah leluhur mereka, yang hanya boleh
ditangkap menggunakan alat tangkap Seke dan pukat lingkar. Alat tangkap ini
merupakan simbol persatuan masyarakat setempat. Pengoperasiannya diatur oleh
ketua adat dan tokoh masyarakat. Hasil tangkapan yang diperoleh, akan
dikenakan potongan yang digunakan untuk kepentingan umum. Sangsi akan
dikenakan bagi mereka yang melanggar.
Kearifan lokal ini jika dipraktekan dengan benar dan bersungguh-sungguh,
akan menjadi norma, etika, dan moral yang dapat menuntun masyarakat untuk
lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini dapat dijadikan
sebagai salah satu komponen dalam pengelolalan mangrove Pamurbaya, untuk
mengurangi ancaman yang timbul dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat
Pamurbaya memiliki beberapa peraturan yang dibuat untuk mengelola mangrove,
salah satunya adalah dengan menerapkan aturan untuk melakukan penanaman 5
bibit mangrove setiap memetik buah mangrove untuk diolah. Hal tersebut dapat
dijadikan sebagai dasar untuk terus melestarikan mangrove di daerah Pamurbaya,
yang dapat dikolaborasikan dengan pengelolaan yang telah dilakukan oleh
pemerintah Kota Surabaya, sehingga diperlukan suatu penelitian serta pengkajian
lebih dalam terkait kearifan lokal setempat serta peraturan Pemkot Surabaya untuk
menjaga kelestarian mangrove itu sendiri.
Perumusan Masalah
Mangrove adalah ekosistem yang unik dan rawan, hal ini disebabkan karena
letaknya sebagai ekosistem peralihan antara ekosistem darat dan laut, sehingga
sangat rapuh dan mudah rusak (Tambunan et al. 2005). Mangrove merupakan
daerah yang mendapat tekanan tinggi akibat perkembangan infrastuktur,
pemukiman, pertanian, perikanan, dan industri, karena 60% dari penduduk
Indonesia bermukim di daerah pantai. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan
sekitar 200.000 ha mangrove di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahun
(Inoue et al. 1999). Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran
masyarakat serta peran hukum (termasuk hukum adat), menjadikan kondisi ini
makin parah dari tahun ke tahun.
Hukum (termasuk hukum adat/tradisi lokal) yang berlaku bagi masyarakat
pesisir ternyata cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini dapat
dilihat dari keberhasilan pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat Sulawesi Utara
dengan menerapkan aturan adat yang berlaku seperti tersebut diatas. Kuatnya
nilai-nilai adat yang hidup dan terpelihara secara utuh serta keteguhan atas
keyakinan adanya penghormatan tentang arti pentingnya pemberian modal oleh
3
sang pencipta, merupakan hal penting untuk peningkatan kesadaran masyarakat
(Stanis 2005). Prinsip yang terdapat di dalam kearifan lokal, akan sangat
membantu dalam keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi Pamurbaya
Pemanfaatan mangrove di Pamurbaya, beberapa lebih sebagai kegiatan
wujud ekonomi kreatif di kawasan tersebut. Jenis mengrove yang biasa dipanen
dan dimanfaatkan oleh penduduk antara lain jenis Bruguiera Gymnorhiza dan
Sonneratia Caseolaris (bogem). Jenis mangrove digunakan untuk pembuatan
jenang, sirup, hingga dijadikan tepung. Ekonomi kreatif melalui pemanfaatan
mangrove di Pamurbaya saat ini mulai berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan mangrove setempat mampu mendukung perekonomian masyarakat.
Kondisi tersebut menyebabkan kita harus mewaspadai pemanfaatan sumberdaya
yang dilakukan masyarakat agar tidak mengancam mangrove sekitar, sehingga
diperlukan suatu pengkajian terkait pengelolaan mangrove di Pamurbaya,
khususnya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi mangrove Pamurbaya saat ini?
2. Siapa saja stakeholder dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya serta
bagaimana peran dan kepentingannya?
3. Bagaimana bentuk kearifan lokal masyarakat Pamurbaya, dan apa yang
menjadi prioritas?
4. Bagaimana peran pemerintah dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya?
5. Bagaimana hubungan antara peraturan pemerintah dengan kearifan lokal?
Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini untuk mengetahui sistem pengelolaan
mangrove di Pamurbaya dan bentuk pengelolaan mangrove Pamurbaya yang
dilakukan oleh masyarakat, serta mengetahui peran pemerintah dalam pengelolaan
mangrove. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat diketahui hubungan antara
peraturan pemerintah kota Surabaya dengan kearifan lokal setempat, serta
diperoleh suatu strategi pengelolaan mangrove Pamurbaya berbasis kearifan lokal.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bahan masukan untuk para pengambil keputusan/kebijakan dalam
kaitannya dengan pengelolaan mangrove Pamurbaya.
2. Memberi informasi tambahan terkait strategi pengelolaan mangrove..
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan mengkaji potensi dan kondisi mangrove di Pamurbaya,
serta pengelolaan mangrove yang ada di daerah tersebut, khususnya yang
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut meliputi apa saja
kegiatan yang dilakukan dan bagaimana persepsi mereka tentang mangrove di
Pamurbaya, dari keduanya akan dicari hubungan antara pengelolaan mangrove
yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, apakah kebijakan pemerintah
4
mendukung atau justru memperlemah pengelolaan mangrove oleh masyarakat.
Hasil akhir diharapkan dapat diperoleh strategi pengelolaan mangrove Pamurbaya
berbasis pada masyarakat, untuk selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Kondisi mangrove Pamurbaya
Masalah
Pengelolaan Mangrove
Swasta
Pemerintah
Kegiatan
Hubungan
Persepsi
Analisis
Kondisi
mangrove
Kesimpulan/saran
Masyarakat
Bentuk
Pengelolaan
Persepsi
Memperkuat/
memperlemah
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi
Pesisir adalah wilayah pertemuan daratan dan laut, ke arah darat meliputi
bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut,
angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi proses yang terjadi di darat, seperti sedimentasi, aliran air
tawar, maupun kegiatan manusia (Supriharyono 2007). Sumberdaya yang terdapat
di wilayah pesisir merupakan common property dan open access. Konsekuensi
dari hal tersebut adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya di hampir
semua wilayah. Aktivitas manusia tersebut memberi tekanan besar terhadap
ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu
karang. Peranan berbagai elemen dalam hal ini menjadi bagian penting yang tidak
terpisahkan dalam upaya mengelola sumberdaya pesisir. Konsep pengelolaan
wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada karakteristik ekosistem pesisir
yang bersangkutan, yang dikelola dengan memperhatikan aspek parameter
lingkungan, konservasi, dan kualitas hidup masyarakat, untuk selanjutnya
diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu melalui kerjasama berbagai sektor
untuk menemukan strategi-strategi pengelolaan pesisir yang tepat (Dahuri 1998).
Pengelolaan wilayah pesisir berbasis konservasi dianggap merupakan
langkah tepat guna mencapai kelestarian sumberdaya dan keberlanjutan
pemanfaatannya. Menurut UU 27/2007, konservasi merupakan suatu upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman. Konservasi ini
bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir, melindungi alur migrasi
ikan dan biota laut lain, melindungi habitat biota laut, dan melindungi situs
budaya tradisional. Kegiatan konservasi ini didasari oleh tiga prinsip, yaitu
perlindungan, pengawetan, pemanfaatan. Yulianda (2006) dalam Wijaya (2011)
menyebutkan, prinsip dasar dalam pengelolaan kawasan konservasi terdiri dari :
a. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol.
b. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman ekologi.
c. Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar dapat
dimaksimalkan.
d. Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan.
e. Pengelolaan hendaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan
SDA dan lingkungan.
Menurut PERMEN KP 17/2008, kategori kawasan konservasi pesisir dan
pulau-pulau kecil, terdiri dari kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kawasan Konservasi Maritim, Kawasan Konservasi Perairan, dan Sempadan
Pantai. Zona pada kawasan konservasi ini terdiri dari tiga zona, yaitu :
a. Zona inti. Zona yang diperuntukkan sebagai perlindungan mutlak habitat
dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistem
pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan, perlindungan situs
budaya/adat tradisional, penelitian/ pendidikan.
6
b. Zona Pemanfaatan terbatas. Zona yang diperuntukkan sebagai
perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi,
pengembangan penelitian/pendidikan.
c. Zona lain merupakan zona karena fungsi dan kondisinya ditetapkan
sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi.
Pengelolaan Wilayah Pesisir wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan
seluruh aspek guna mencapai keterpaduan dari berbagai sektor. Keselarasan
antara kegiatan manusia dengan lingkungan merupakan suatu kewajiban guna
mencapai kelestarian lingkungan, karena manusia seharusnya hidup seimbang
dengan alam, bukan sebagai pemilik alam (Mungmachon 2012).
Social Ecology Services
Masalah yang timbul pada dimensi lingkungan dan sosial, pada dasarnya
tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya melalui sistem ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa.
Memperhatikan masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi yang
bermunculan, maka komunikasi pembangunan berkelanjutan antara pemerintah
dan warga negaranya atau antara perusahaan dengan stakeholdernya, dapat
menjadi solusi yang patut ditawarkan. Secara teoritis, instrumen ini dapat
digunakan sebagai media dialog untuk menyadarkan semua pihak akan bahaya
laten akibat populasi manusia dari tahun ke tahun yang terus bertambah. Hal ini
berarti bahwa produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia juga
akan terus bertambah yang pada akhirnya akan mendorong konflik dengan
ketersediaan sumberdaya alam. Keadaan ini mau tidak mau menuntut manusia
untuk dapat mengubah/memperbaiki pola produksi dan konsumsinya ke arah yang
mendorong terjalinnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, juga
antara manusia satu dengan lainnya (Cahyandito 2005).
Berdasarkan hal tersebut diatas, dibutuhkan suatu pengkajian mengenai
hubungan antara ekologi, sosial, dan ekonomi berupa hubungan organisme atau
kelompok organisme terhadap lingkungannya dan ilmu hubungan timbal balik
antara organisme-organisme hidup dan lingkungannya. Odum (1993) menyatakan
bahwa ekologi adalah suatu studi tentang struktur dan fungsi ekosistem atau alam
dan manusia sebagai bagiannya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan
ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan
biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi,
sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan,
tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan
organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling
mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Guna memahami bagaimana manusia beradaptasi dengan berbagai
lingkungan, maka perlu memperhatikan ekologi sosial. Ekologi sosial merupakan
perubahan sosial yang disebabkan oleh adaptasi terhadap lingkungan, yaitu
adaptasi manusia tertentu yang diwariskan secara historis dan melibatkan
teknologi, praktek, dan pengetahuan yang memungkinkan orang untuk hidup
dalam suatu lingkungan. Ini berarti bahwa lingkungan mempengaruhi karakter
adaptasi manusia. Ekologi sosial menganggap lingkup kebudayaan manusia
sebagai proses ekologi dan siklus energi alami. Ekologi sosial ini terfokus pada
7
aliran energi dan bahan, serta memeriksa bagaimana keyakinan lembaga dalam
suatu budaya diatur dengan ekologi alam yang mengelilinginya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa manusia adalah bagian dari ekologi seperti organisme lain.
Ostrom (2009) mengemukakan, pengelolaan sumberdaya alam perlu di
analisis dengan menggunakan kerangka pendekatan Social Ecology System,
karena kerusakan sumberdaya sangat dipengaruhi sistem lainnya, salah satunya
sistem sosial. Tipe pengelolaan dengan pendekatan sosial ekologi adalah
pengelolaan yang dilakukan secara menyeluruh serta bersifat adaptif (perubahan
alam dan sosial digabungkan dalam pengelolaan) dan bersifat kooperatif, karena
menggunakan pendekatan multifungsi lahan (Paloma et. al. 2014). Pendekatan ini
perlu mempertimbangkan keterpaduan sistem sosial ekologi dan ilmu sosial
ekologi, peningkatan dukungan sosial, proses partisipasi dan co-management
untuk mengurangi konflik sosial, pelibatan beragam institusi pada tata kelola,
pelibatan penerima manfaat jasa ekosistem dalam proses perencanaan,
pemahaman kesenjangan kawasan terhadap jasa ekosistem, dan menghindari
kesalahan penentuan lokasi dan perbedaan peran dalam kawasan yang multi
fungsi. Hal tersebut tentunya dilakukan dengan memperhatikan karakteristik
sosial ekologi wilayah pesisir dan laut.
Peran sosial dalam ekologi adalah sebagai tata kelola pengatur hubungan
manusia dengan manusia lain, serta pengaturan regulasi tata cara pemanfaatan
sumberdaya. Tata kelola yang baik perlu memperhatikan keberlanjutan
sumberdaya dan ekosistemnya, serta pelibatan pemerintah dan masyarakat, dan
memberikan manfaat kepada masyarakat. Jones et al. (2011) dalam Imran dan
Yamao (2014), menyebutkan bahwa terdapat tiga perspektif yang perlu
diperhatikan dalam tata kelola tersebut yaitu, pendekatan dari atas ke bawah (top
down), pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan insentif pasar
(market-incentive). Ketiga hal tersebut akan bermuara pada pengelolaan
sumberdaya kollaboratif (co-management), tentunya dengan menempatkan
pendekatan ekosistem sebagai basis pengelolaan dan menempatkan aspek sosial
dan ekonomi sebagai komponen penunjang.
Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang mencerminkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan di wilayah
pesisir dan antara makhluk hidup itu sendiri, yang terpengaruh pasang surut air
laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh dalam
perairan asin/payau. Indonesia mempunyai luas hutan mangrove 25% dari luas
hutan mangrove yang ada di dunia (Quarto 2005 dalam Sanudin dan Harianja
2009). Hutan mangrove di Indonesia setidaknya ada 202 jenis tumbuhan, yang
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit, dan 1 jenis paku.
Mangrove memiliki banyak manfaat dan fungsi, menurut Bayu (2009)
beberapa fungsi dari mangrove adalah sebagai fungsi ekologis (penahan lumpur
dan penangkap sedimen), fungsi fisik (menjaga kondisi pantai agar tetap stabil,
melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan
intrusi air laut, dan sebagai penangkap zat pencemar), dan fungsi ekonomi
(sebagai penghasil keperluan rumah tangga dan industri, serta sebagai sumber
8
bibit, bahan baku obat-obatan, bahan bangunan, bahan tekstil, penghasil
kayu/arang, dll.). Mangrove memberikan kontribusi signifikan pada produktifitas
estuari dan pesisir melalui aliran energi dari proses dekomposisi serasah
(Sulistiyowati 2009). Produksi serasah merupakan faktor penting dalam aliran
energi di daerah mangrove. Kusmana et. al (2000) mengatakan, salah satu faktor
yang mempengaruhi produksi serasah adalah besar diameter atau ukuran
mangrove. Fungsi lain dari ekosistem mangrove yaitu, membantu kesuburan
tanah, membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik,
dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang, kepiting, dan tiram, serta
berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi.
Interaksi vegetasi mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan
kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan hidup beberapa organisme akuatik,
sehingga dimana terdapat mangrove berarti di situ juga merupakan daerah
perikanan yang subur (Ghufran dan Khordi 2012). Hal ini didukung dengan hasil
penelitian Wei-dong et al. (2003), yang melaporkan bahwa jumlah spesies ikan di
daerah mangrove dapat mencapai lebih dari 100 spesies.
Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat hidup,
Menurut Dahuri (2003), daya adaptasi tersebut meliputi :
1. Perakaran pendek dan melebar luas, dengan akar penyangga atau tudung
akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga mengokohkan batang.
2. Berdaun kuat dan mengandung banyak air.
3. Mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang
tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia mengatur
keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.
Zonasi Mangrove
Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu yang dibentuk dari
berbagai spesies tanaman mangrove yang dapat beradaptasi secara fisiologis
terhadap lingkungan yang khas, sehingga terbentuk zonasi. Menurut Supriharyono
(2007), faktor yang menentukan penyebaran mangrove :
1. Gelombang pasang surut, yang menentukan waktu dan tinggi
penggenangan suatu lokasi.
2. Salinitas, berkaitan dengan penyebaran tumbuhan mangrove, karena ada
beberapa spesies yang tidak tahan pada salinitas tinggi.
3. Substrat, tipe substrat yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove adalah
lumpur lunak, yang mengandung debu, liat, dan bahan organik lembut.
4. Suhu, suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 200C.
Bengen (2000) mengatakan, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut
dari arah laut ke darat, dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu :
1. Zona Api-api (Avicennia Sonneratia)
Terletak paling dekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lunak
(dangkal) dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar
garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api
(Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi
dengan jenis bakau (Rhizophora spp).
9
2.
3.
4.
Pengelolaan Mangrove
Fungsi mangrove yang memiliki arti penting dalam menunjang kehidupan
manusia, menyebabkan manusia ingin mengeksploitasi dan memanfaatkannya.
Kegiatan manusia tersebut dapat merusak ekosistem mangrove itu sendiri.
Dampak kerusakan yang ditimbulkan menuntut kita untuk melakukan suatu
pengelolaan yang menjamin kelestarian mangrove tersebut. Berikut adalah
beberapa alternatif pengelolaan ekosistem mangrove menurut Adrianto (2004),
yang disajikan di Tabel 1.
Tabel 1. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pilihan Pengelolaan
Deskripsi
Kawasan lindung
Pengelolaan kawasan dan pemanfaatan
hutan mangrove oleh masyarakat
Kawasan kehutanan subsisten
Pemanfaatan komersial hutan mangrove
Kawasan hutan komersial
Konversi sebagian kawasan hutan
mangrove
Akua-silvikultur
Konversi sebagian hutan mangrove
untuk kolam ikan
Budidaya perairan Semi-intensif
Konversi hutan mangrove untuk
budidaya perairan semi-intensif
Budidaya perairan intensif
Konversi hutan mangrove untuk
budidaya perairan intensif
Pemanfaatan hutan komersial dan Pemanfaatan ganda yang bertujuan
budidaya perairan semi intensif
untuk memaksimalkan manfaat hutan
mangrove dan perikanan
Pemanfaatan ekosistem mangrove Pemanfaatan ganda yang bertujuan
subsisten dan Budidaya perairan semi- untuk memberikan manfaat mangrove
intensif
kepada masyarakat lokal dan perikanan
Konversi ekosistem mangrove
Konversi kawasan mangrove untuk
peruntukan lain
Sumber : Adrianto (2004)
10
Jenis-jenis alternatif pengelolaan ekosistem mangrove diatas dapat dijadikan
sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan mangrove. Keterpaduan dari
berbagai stakeholder sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan dalam
pengelolaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kustanti et. al. (2012), yang
menunjukkan bahwa keterpaduan pengelolaan mangrove antara masyarakat,
Pemda, dan Universitas dapat mewujudkan keberadaan sumberdaya yang lestari
di wilayah mangrove Lampung Timur.
Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan salah satu produk kebudayaan, yang lahir karena
kebutuhan akan nilai, norma, dan aturan yang menjadi model untuk melakukan
suatu tindakan (Mufid 2010). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom
dapat dipahami sebagai gagasan dan usaha manusia dengan menggunakan akal
budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi dalam ruang tertentu yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya sendiri. Kearifan lokal
tidak sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh yaitu mampu
mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Kearifan lokal menggambarkan cara bersikap dan bertindak untuk merespon
perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural. Menurut
teori human ecology terdapat hubungan timbal-balik antara lingkungan dengan
tingkah laku manusia, dimana keduanya dapat saling mempengaruhi (Ridwan,
2007). Wagiran (2010) mengungkapkan bahwa kearifan lokal identik dengan
perilaku manusia yang berhubungan dengan beberapa hal, yaitu Tuhan, bencana
serta tanda-tanda alam, lingkungan hidup, rumah, pendidikan, upacara perkawinan
dan kelahiran, makanan dan kesehatan, siklus kehidupan manusia dan watak.
Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku di
kelompok masyarakat, yang akan menjadi pegangan mereka sehari-hari.
Masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial, dan kebiasaan yang
berbeda pada tiap-tiap daerah, termasuk dalam praktek pemanfaatan sumberdaya,
sehingga dalam proses pengelolaan sumberdaya perlu memperhatikan masyarakat
dan kebudayaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya (Wahyudin, 2004).
Pengetahuan adat memiliki peran besar dalam pengelolaan perikanan. Ruddle
(2000) menyatakan, pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal memiliki 4
ciri umum yaitu:
1. Praktek sudah berlangsung lama, empiris, dan dilakukan di suatu tempat,
yang mengadopsi perubahan-perubahan lokal.
2. Praktek bersifat praktis, berorientasi pada perilaku masyarakat, dan
terkadang spesifik untuk tipe sumberdaya tertentu.
3. Praktek bersifat struktural, memiliki perhatian kuat terhadap sumberdaya
dan lingkungan, sehingga sesuai dengan konsep ilmiah, misalnya dalam
konteks konektivitas ekologis dan konservasi sumberdaya perairan.
4. Praktek adaptif terhadap perubahan dan tekanan ekologis.
11
Ruang Lingkup Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan
kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang.
Wagiran (2012) mengatakan, kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan
lokalitas dari kearifan tersebut, sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan
yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan
kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari
interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta
budaya lain, sehingga kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia
dapat mencakup kearifan masa kini. Membedakan kearifan lokal yang baru saja
muncul dengan kearifan lokal yang sudah lama dapat digunakan istilah "kearifan
kini", "kearifan baru", atau "kearifan kontemporer", sedangkan kearifan
tradisional dapat disebut "kearifan dulu" atau "kearifan lama".
Lingkup kearifan lokal menurut Wagiran (2010) dapat dibagi menjadi
delapan, yaitu :
1. Norma-norma lokal yang dikembangkan, pantangan, dan kewajiban.
2. Ritual dan tradisi masyarakat serta makna disebaliknya.
3. Lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita.
4. Informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh
masyarakat, tetua adat, pemimpin spiritual.
5. Manuskrip atau kitab-kitab suci yang diyakini oleh masyarakat.
6. Cara-cara komunitas lokal dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.
7. Alat dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu.
8. Kondisi sumberdaya alam/lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam
penghidupan masyarakat sehari-hari.
Contoh Kearifan Lokal
Indonesia telah banyak memiliki kearifan lokal dan menerapkan hukum adat
dalam kaitannya dengan pengelolaan mangrove. Hal ini terbukti ampuh, sehingga
perlu dikembangkan. Berikut adalah beberapa contoh kearifan lokal dalam
kaitannya dengan mangrove :
1. Tradisi awig-awig masyarakat Nusa Penida, Bali. Masyarakat tidak
diperbolehkan untuk menebang dan mengeksploitasi mangrove dalam
bentuk apapun.
2. Pengelolaan mangrove masyarakat Langkat, Sumatera Utara. Masyarakat
setempat diperbolehkan untuk memanfaatkan kayu mangrove yang sudah
mati. Masyarakat tidak diperbolehkan mengambil mangrove untuk
kepentingan komersial. Pengambilan kayu mangrove diperbolehkan, jika
untuk kepentingan umum, dan pelaksanaannya harus seijin pemerintah
desa.
3. Pengelolaan mangrove masyarakat Gending, Probolinggo. Masyarakat
adalah perencana, pembuat keputusan, pelaksana, dan mitra pemerintah
dalam pengelolaa mangrove setempat.
12
3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2014 di Pamurbaya.
Pemilihan lokasi penelitian terutama didasarkan pada pertimbangan bahwa Kota
Surabaya merupakan kota besar dan ibukota Jawa Timur yang sebagian
wilayahnya merupakan wilayah pesisir, sehingga dapat dikatakan cukup rawan
akan konflik yang dapat merusak mangrove di area tersebut, selain itu potensi
yang dimiliki cukup banyak, sehingga dapat mendukung untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat sekitar. Peta Pamurbaya dapat dilihat pada Gambar 2.
13
Jenis dan Sumber Data Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian bersumber dari data primer maupun
data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden melalui hasil
wawancara, diskusi atau pengamatan, sedangkan data sekunder diperoleh secara
tidak langsung atau melalui pihak kedua (instansi terkait) dengan melakukan studi
dokumentasi atau literatur. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 2, serta alir penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data.
No.
Parameter
Komponen Data
1
Mangrove
- Luas mangrove
- Jenis mangrove
- Jenis-jenis
pemanfaatan
mangrove
- Keanekaragaman
hayati
sekitar
mangrove
2
Kearifan Lokal
- Jenis-jenis
kearifan lokal
- Aturan
Sosial Ekonomi
Jumlah penduduk
Pekerjaan
Kebijakan
Kebijakan
pemerintah
Peraturan
pemerintah
Jenis
kegiatan
yang dilakukan
Identifikasi aktor
Peran aktor
Kepentingan
aktor
Stakeholder
Sumber Data
- BLH,
Dinas
Pertanian,
Bappeko
- Responden
Metode
Studi literatur dan
observasi.
Studi
literatur,
kuesioner,
wawancara, dan
FGD.
Dinas
Pariwisata,
Pemerintah
setempat
Responden
Dinas
Kependudu
kan
Responden
Dinas
Pertanian,
Pemerintah
setempat,
BLH
Responden
Responden
Studi
literatur,
kuesioner,
dan
wawancara
Studi
literatur,
kuesioner,
dan
wawancara
Studi
literatur,
kuesioner
dan
wawancara.
14
Analisis
Kuantitatif
Analisis
Stakeholder
Analisis
AWOT
Analisis
Kualitatif
Proses
Luaran
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan
menggunakan kuesioner. Sampel yang digunakan diantaranya adalah beberapa
key informant yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan mangrove di
wilayah Pamurbaya, yaitu orang-orang yang dianggap mengerti tentang informasi
yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kerangka sampling selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 4.
15
Pantai Timur
Surabaya
n=7
N=80
Kel. Kedung
Baruk
Kec. Rungkut
n=1
n=1
Pengembang
n=7
Swasta
n=2
Akademisi
Swasta
Pengelola
n=2
Wisata
Kel. Wonorejo
n=1
n=1
n=1
Kec. Sukolilo
Kel. Keputih
n=5
n=2
Pengelola
n=4
Nelayan
Pengembang
Swasta
Petambak
n=1
n=1
Akademisi
n=3
n=3
n=5
Kel. Kejawen
Putih Tambak
Kec. Mulyorejo
Kel. Kalisari
n=1
Kel. Dukuh
Sutorejo
n=5
Swasta
n=1
Purposive
Sampling
n=1
Akademisi
Pengembang
n=7
Swasta
n=2
Pengelola
n=4
Nelayan
n=5
Petambak
n=3
Wisata
n=2
- Purposive Sampling
- Snowball Sampling
n=2
Cluster Random
Sampling
16
Analisis Kuantitatif
Jenis-jenis bidang pendekatan metode kuantitatif adalah eksperimen, hard
data, empirik, positivistik, fakta nyata di masyarakat dan statistik, survei,
interview terstruktur, dan seterusnya (Musianto 2002). Penelitian kuantitatif
merupakan penelitian yang arah dan fokusnya melalui uji teoritik, membangun
atau menyusun fakta dan data, deskripsi statistik, kejelasan hubungan, dan
prediksi (Musianto 2002).
Sampel yang digunakan adalah cluster random sample dengan jumlah 80
orang yang merupakan masyarakat sekitar dan beberapa stakeholder sekitar yang
terlibat dalam pengelolaan dan memiliki kepentingan dengan mangrove
Pamurbaya. Analisa data kuantitatif pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan uji statistik sederhana, yaitu memprosentasekan kuesioner (tersaji
pada Lampiran 1) hasil survei terkait sikap sampel terhadap keberadaan dan
pengelolaan mangrove Pamurbaya, yang dibuat menurut skala Likert. Persepsi
dari sampel juga akan digali untuk mendukung hasil dari analisis ini.
Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi
dan memetakan tingkat kepentingan dan pengaruh aktor dalam suatu pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya serta kerjasama dan konflik antar aktor. Analisis ini
menanyakan siapa saja pihak yang berkepentingan dan memiliki kekuatan untuk
dapat mempengaruhi apa yang terjadi, serta bagaimana mereka berinteraksi,
sehingga pada tujuan akhir dapat memberikan rekomendasi strategis untuk
melanggengkan partisipasi para pemangku kepentingan (Herdiansyah 2012).
Analisis stakeholder merupakan suatu sistem untuk mengumpulkan
informasi mengenai kelompok atau individu terkait, untuk mengkategorikan
informasi, serta menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok. Berikut
adalah langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholder yang dikemukakan
oleh Suporahardjo (2005) :
1. Mengembangkan tujuan dan prosedur analisis dan pemahaman awal
tentang sistem yang terkait.
2. Identifikasi stakeholder beserta perannya.
3. Mengkategorikan stakeholder berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya.
4. Mendefinisikan hubungan antar stakeholder.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya, serta bagaimana tingkat
kepentingan dan pengaruh dari masing-masing stakeholder tersebut, sehingga
analisis stakeholder yang akan dilakukan hanya sampai pada langkah ke-tiga.
Identifikasi stakeholder dilakukan melalui wawancara semi terstruktur dan
menggunakan snowball sampling. Langkah selanjutnya melakukan analisis
persepsi dan partisipasi stakeholder terhadap sumberdaya mangrove. Analisis
kategori dilakukan dengan melihat tingkat kepentingan dan pengaruh dari
stakeholder. Stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder
berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh yang diberi nilai sesuai dengan
panduan yang tersaji pada Tabel 3 untuk mengetahui tingkat kepentingan
stakeholeder dan Tabel 4 untuk mengetahui besarnya pengaruh stakeholder. Nilai
yang didapatkan oleh masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk
kepentingan dan 25 poin untuk pengaruh.
17
Tabel 3. Penilaian Tingkat Kepentingan.
No.
Variabel
Indikator
1 Keterlibatan
Tidak terlibat
Terlibat 1 proses
Terlibat 2 proses
Terlibat 3 proses
Terlibat seluruh proses
2 Manfaat pengelolaan
Tidak mendapat manfaat
Mendapat 1 manfaat
Mendapat 2 manfaat
Mendapat 3 manfaat
Mendapat 4 manfaat
3 Sumberdaya
yang Tidak menyediakan
disediakan
Menyediakan 1 sumberdaya
Menyediakan 2 sumberdaya
Menyediakan 3 sumberdaya
Menyediakan semua sumberdaya
4 Prioritas pengelolaan
Tidak prioritas
Kurang
Cukup
Prioritas
Sangat prioritas
5 Ketergantungan terhadap 20% bergantung
sumberdaya
21-40% bergantung
41-60% bergantung
61-80% bergantung
81-100% bergantung
Skor
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Skor
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
18
(Lanjutan Tabel 4)
No.
Variabel
4 Kewenangan
pengelolaan
Indikator
dalam Tidak memiliki kewenangan
Kewenangan dalam 1 proses
Kewenangan dalam 2 proses
Kewenangan dalam 3 proses
Kewenangan dalam seluruh proses
Kapasitas sumberdaya yang Tidak menyediakan sumberdaya
disediakan
1 sumberdaya
2 sumberdaya
3 sumberdaya
Seluruh sumberdaya
Skor
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
19
Tabel 5. Ukuran Kuantitatif Terhadap Identifikasi Pemetaan Stakeholder.
Skor Nilai
Kriteria
Keterangan
Pengaruh
1
1-5
Sangat rendah Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya
2
6-10
Rendah
Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya
3
11-15 Cukup
Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya
4
16-20 Tinggi
Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya
5
21-25 Sangat tinggi
Sangat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya
Kepentingan
1
1-5
Sangat rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya
2
6-10
Rendah
Kurang bergantung pada sumberdaya
3
11-15 Cukup
Cukup bergantung pada sumberdaya
4
16-20 Tinggi
Bergantung pada sumberdaya
5
21-25 Sangat tinggi
Sangat bergantung pada sumberdaya
Sumber : Abbas (2005).
Analisis AWOT
Metode AWOT merupakan gabungan antara pendekatan AHP (Analisis
Hierarchy Process) dan SWOT (strength, weakness, opportunity and threat).
Integrasi AHP ke dalam SWOT menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan
secara analitis berdasarkan faktor-faktor yang tercakup dalam SWOT dan
membuat semua itu sepadan. AHP memberikan kerangka dasar untuk
pembentukan suatu analisis keputusan, sementara SWOT membantu pembuatan
AHP lebih analitis, sehingga strategi pengelolaan mangrove berbasis kearifan
lokal dapat diprioritaskan. Tahapan metode AWOT sebagai berikut :
a. Analisis AHP
Metode AHP (Analysis Hierarchy Process) merupakan suatu model yang
diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1971. AHP adalah salah satu
metode dalam sistem pengambilan keputusan yang menggunakan beberapa
variabel dengan proses analisis bertingkat. Analisis dilakukan dengan memberi
nilai prioritas dari tiap-tiap variabel, kemudian melakukan perbandiangan
berpasangan dari variabel-variabel dan alternatif-alternatif yang ada. Metode ini
digunakan untuk membangun suatu model dari gagasan dan membuat asumsi
untuk mendefinisikan persoalan dan memperoleh pemecahan yang diinginkan,
serta memungkinkan menguji kepekaan hasilnya (Saaty 1993). Menurut Mulyardi
(2005) in Dewi dan Santoso (2007), teknik ini mampu memberikan penilaian
tingkat konsistensi pengambil keputusan dalam memberikan nilai evaluasi,
dengan tingkat kompromi dari penggabungan nilai antar pengambil keputusan.
Metode AHP dapat digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan
mangrove berbasis pada kearifan lokal, karena mampu menggambarkan upaya apa
yang dibutuhkan/dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan mangrove dan untuk
mengetahui tingkat keterkaitannya sehingga dapat membuat perkiraan untuk ke
depan dalam merumuskan suatu strategi pengelolaan mangrove yang sesuai
dengan karakteristik ekosistem dan pranata aturan serta pranata sosial. Berikut ini
adalah langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty (1993) :
1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi dilakukan dengan cara
mempelajari referensi dan berdiskusi dengan para pakar/ahli yang
20
2.
3.
A4
4.
21
Dari hasil tersebut juga dapat diketahui kriteria dan alternatif yang
diprioritaskan.
5. Selanjutnya skala prioritas dari kriteria dan alternatif tersebut digunakan
untuk mencapai variabel hirarki dengan tujuan menyusun strategi
pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal.
Sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu mereka yang
dianggap mengerti. Sampel tersebut nantinya akan diwawancarai sesuai dengan
panduan kuesioner yang tersaji pada Lampiran 4. Penerapan AHP pada penelitian
ini dilakukan dengan cara mencari semua kearifan lokal yang ada di lokasi
penelitian terkait pengelolaan mangrove, kemudian mengurutkannya untuk
mengetahui kearifan lokal mana yang paling prioritas untuk masyarakat, dengan
harapan nantinya didapat suatu strategi pengelolaan mangrove yang berbasis pada
kearifan lokal. Penentuan strategi tersebut tentunya juga akan didasarkan pada
ekosistem yang terdapat di lokasi penelitian, sehingga strategi yang dikeluarkan
bersifat ramah terhadap keanekaragaman hayati di lokasi penelitian.
b. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis untuk mengevaluasi
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang berkenaan dengan suatu
kegiatan atau usaha (Rangkuty 2002). Analisis SWOT akan menspesifikasikan
tujuan kegiatan atau usaha yang dimaksud dan diidentifikasi faktor-faktor internal
dan eksternal dalam mencapai tujuan. Analisis ini merupakan alat pengambilan
keputusan serta menentukan strategi berdasarkan logika untuk memaksimalkan
kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Kekuatan
dan kelemahan merupakan faktor internal dari kearifan lokal yang dirangkum
dalam IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary), sedangkan peluang
dan ancaman merupakan faktor eksternal dari kearifan lokal yang dirangkum
dalam EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary). Menurut Rangkuty
(1997), langkah dalam pembuatan IFAS dan EFAS adalah sebagai berikut:
1. Menentukan variabel yang terdapat pada IFAS dan EFAS
2. Menentukan bobot dari masing-masing variabel yang terdapat pada IFAS
dan EFAS. Penentuan bobot dilakukan dengan mengajukan identifikasi
faktor strategis internal dan eksternal. Menurut David (2002) penentuan
bobot setiap variabel menggunakan skala 1 4, yaitu:
1 : Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal.
2 : Jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal.
3 : Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal.
4 : Jika indikator horizontal sangat penting daripada indikator vertikal.
Pembobotan dapat dilihat pada Tabel 8 (IFAS) dan Tabel 9 (EFAS).
Tabel 8. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal.
Faktor Strategis Internal
A
B
C
A
B
C
...
N
Total
Sumber : David (2002).
...
Total
22
Tabel 9. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal.
Faktor Strategis Eksternal
A
B
C
A
B
C
...
N
Total
...
Total
i = xi / xi
i=1
3.
Keterangan :
i : Bobot variabel ke-i
xi : Nilai variabel ke-i
i : 1, 2, 3, ..., 14 (Faktor strategis internal/eksternal)
n : Jumlah variabel
Menentukan peringkat (rating) dari masing-masing variabel.
Penentuan peringkat merupakan pengukuran pengaruh masing-masing
variabel yang menggunakan nilai peringkat dengan skala 1-4 terhadap
masing-masing faktor strategis yang dimiliki. Skala penilaian peringkat
untuk matriks IFAS tersaji pada Tabel 10, dan skala penilaian peringkat
untuk matriks EFAS tersaji pada Tabel 11.
4.
23
dibawah 2,5 berarti kondisi eksternal lemah, sebaliknya jika skor berada
diatas 2,5 berarti kondisi eksternal kuat. Total skor pembobotan berkisar
antara 1 sampai 4.
Penentuan IFAS dan EFAS dalam penelitian ini dilaksanakan melalui
wawancara dengan orang yang terlibat dalam kearifan lokal yang dimaksud,
menggunakan panduan kuesioner yang tersaji pada Lampiran 5. Langkah
selanjutnya membuat matriks SWOT (tersaji pada Tabel 12) yang
menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, disesuaikan
dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Tabel 12. Matriks SWOT.
IFAS Kekuatan (S) S1, dst.
EFAS
Peluang (O) O1, Strategi S-O (menggunakan
kekuatan
untuk
dst.
memanfaatkan peluang)
Ancaman
(T) Strategi S-T (menggunakan
kekuatan untuk mengatasi
T1, dst.
ancaman)
24
kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus yang melibatkan
pendekatan interpretatif dan wajar pada setiap pokok permasalahan, sehingga
penelitian kualitatif bekerja dalam setting alami yang berupaya untuk memahami
dan memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat (Rahmat 2009). Menurut
Bogdan dan Biklen (1982), analisa data kualitatif dapat membentuk teori dan nilai
yang dianggap berlaku di suatu tempat, sehingga penulisan laporan menurut
logika penulis dalam urutan laporannya, isi juga tidak menurut formalitas yang
tetap, namun berupa rangkaian stories yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
peneliti yang terdiri dari story dengan penulisan yang dapat saling tumpang tindih
namun bermakna. Menurut Andriani (2002), analisis difokuskan pada jawaban
responden terhadap pertanyaan yang diajukan. Data yang terkumpul berupa
kata-kata hasil observasi dan wawancara yang kemudian dibuat transkripnya.
Analisis ini diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai bentuk
hubungan antara kebijakan pemerintah Kota Surabaya dengan kearifan lokal
masyarakat Pamurbaya, sehingga dalam analisis ini juga akan digali persepsi dari
masyarakat dan pemerintah terkait bentuk pengelolaan satu sama lain. Kegiatankegiatan yang terdapat di Pamurbaya juga akan digali untuk dapat diketahui
kegiatan mana yang menunjang kelestarian mangrove dan kearifan lokal sekitar,
serta kegiatan yang dapat menekan keberadaan mangrove dan kearifan lokal itu
sendiri. Panduan kuesioner yang akan digunakan untuk pemerintah tersaji pada
Lampiran 6, sedangkan kuesioner untuk masyarakat tersaji pada Lampiran 7.
25
- Avicennia
alba
- Avicennia
marina
- Avicennia
officinallis
- Sonneratia
caseolaris
- Sonneratia
ovata
- Sonneratia
alba
Zona Bakau
- Rhizopora
apiculata
- Rhizophora
mucronata
- Acanthus
ebracteatu
- Acanthus ilicifolius
- Hibiscus tiliaceus
- Wedelia biflora
- Sesuvium
portulacastrum
- Derris trifolia
- Finlaysonia
maritima
- Acrostichum
aureum Linn
- Aegiceras floridum
- Excoecaria
agalocha
Zona Tanjang
- Barringtonia
asiatica
(L.)
Kurs
- Bruguiera
cylindrical
- Bruguiera
gymnorrhiza
- Bruguiera
parviflora
- Calophyllum
inophyllum L
- Ipomoea
pescaprae
(L.)
Sweet
- Terminalia
catappa L
Zona Nipah
- Xylocarpus
granatum
- Scyphiphora
hydrophyllac
ea
- Calotropis
gigantea L.
Dryander
- Cerbera
manghas L
- Morinda
citrifolia
- Ricinus
communis
Linn
- Passiflora
foetida (L.)
26
jenis mangrove terbanyak terdapat di Wonorejo, yaitu 20 spesies mangrove. Data
selengkapnya mengenai jenis mangrove dan lokasi sampling dapat dilihat pada
lampiran 8, sedangkan data keanekaragaman hayati dapat dilihat pada lampiran 9.
Mangrove pada masing-masing daerah di Pamurbaya memiliki kondisi yang
berbeda. Berikut kondisi mangrove Pamurbaya tersaji pada Tabel 13.
Tabel 13. Kondisi mangrove Pamurbaya.
Kerapatan Ketebalan
Kelurahan
(Ind/ha)
(m)
6275
73
Keputih
Wonorejo
6066
68
Mangrove
Dominasi
Avicennia marina
Avicennia marina,
Avicennia officinalis
Gunung Anyar
Tambak
5000
102
Avicennia marina
Luas Mangrove
(ha)
96.91
73.86
153.54
27
b. Kawasan lindung mangrove
Kawasan lindung mangrove adalah kawasan yang berfungsi untuk
melindungi habitat, ekosistem, dan aneka biota, serta melindungi pantai
dari sedimentasi, abrasi, akresi, dan mencegah pencemaran pantai.
Kawasan ini ditetapkan untuk upaya pelestarian mangrove yang sudah ada,
mengganti tanaman mangrove yang rusak, dan penanaman mangrove baru.
Perangkat pemerintah yang turut dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya,
memiliki tupoksi masing-masing, dengan Bappeko sebagai leader. Berdasarkan
hasil wawancara serta studi literatur, upaya perlindungan dan pelestarian yang
dilakukan oleh Pemkot Surabaya adalah sebagai berikut :
1. Penetapan kawasan Pamurbaya sebagai kawasan lindung / konservasi.
2. Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP) dan Rencana Tata
Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Kota Surabaya.
3. Pembentukan tim monitoring dan pengendalian yang melibatkan
masyarakat pihak Kecamatan dan Kelurahan.
4. Inventarisasi kawasan mangrove Pamurbaya
5. Pengembangan kawasan lindung sebagai kawasan wisata riset melalui
Mangrove Information Center dan ekowisata di Pamurbaya.
6. Pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian kawasan lindung, antara lain
melalui penanaman mangrove bersama, sosialisasi, kerja bakti hingga
pembentukan UKM yang berbahan dasar mangrove.
7. Pembentukan Koperasi Mina Mangrove Sejahtera untuk para nelayan dan
petani mangrove.
8. Pengawasan terhadap terjadinya pembalakan liar di daerah mangrove.
9. Pembentukan ekowisata oleh kelompok kelompok tani & Forum
Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM).
10. Penerapan silvofishery untuk kegiatan tambak di kawasan Pamurbaya.
11. Menetapkan aturan untuk mengelola air limbah bagi industri di Surabaya.
12. Melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, dalam hal
pengelolaan mangrove Pamurbaya.
13. Melakukan perhitungan daya dukung kawasan dalam setiap kegiatan yang
dilakukan di daerah mangrove. Misal kegiatan ekowisata mangrove.
14. Memperketat pengeluaran IMB untuk kawasan lindung Pamurbaya.
15. Melakukan penindakan tegas bagi bangunan yang berada di kawasan
konservasi melalui 3 cara (peringati, hentikan, dan robohkan).
16. Menindak tegas para pelanggar sesuai UU.
17. Mencabut akses PLN dan PDAM bagi perumahan yang melanggar aturan.
18. Memberikan pembinaan, pelatihan, dan pemfasilitasan terkait kegiatan
yang berhubungan dengan pelestarian mangrove.
19. Melakukan pembatasan eksploitasi sumber daya. Misalnya melarang
pengambilan buah mangrove >15% dari total buah dalam 1 pohon.
20. Mendorong CSR untuk terlibat dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya.
Stakeholder Pengelolaan Mangrove Pamurbaya
Stakeholder dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya terdiri dari
pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat setempat. Swasta dalam hal
ini dibagi menjadi pengembang dan Corporate Social Responsibility (CSR) dari
28
beberapa perusahaan. Pengembang merupakan perusahaan yang melakukan
pengadaan dan pengolahan tanah serta bangunan atau sarana prasarana untuk
dijual atau disewakan. Beberapa pengembang di Surabaya merupakan stakeholder
di Pamurbaya. Perusahaan pengembang ini paling bertanggung jawab terhadap
pengalihan fungsi lahan mangrove, karena beberapa bangunan yang mereka
dirikan dulunya adalah lahan mangrove. Pihak swasta lain yaitu CSR, dapat
dikatakan memiliki peran penting dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya.
Mereka banyak membantu dana, SDM, fasilitas, sarana prasarana. Tujuan
pengelolaan mereka adalah kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Perguruan tinggi juga memiliki peran penting dalam pengelolaan mangrove
Pamurbaya, karena terdapat SDM yang kompeten di bidang mangrove, sehingga
wawasannya sangat dibutuhkan dalam proses pengelolaan. Tujuan perguruan
tinggi mengelola mangrove adalah dalam hal edukasi. Masyarakat setempat juga
turut serta dalam pengelolaan mangrove. Mereka adalah stakeholder utama dalam
pengelolaan Pamiurbaya. Masyarakat setempat beberapa diantaranya membentuk
kelompok berkaitan dengan mangrove. Tujuannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Kegiatan yang dilakukan adalah mengolah mangrove,
menangkap ikan/kegiatan tambak, kegiatan wisata, dan terlibat dalam proyek
rehabilitasi.
Stakeholder tersebut memiliki kategori dari pemetaan matriks kepentingan
pengaruh, berdasarkan nilai kepentingan dan pengaruh yang didapat pada saat
wawancara. Nilai kepentingan dan pengaruh tersebut tersaji pada lampiran 10.
Stakeholder Pemerintah
Dinas pemerintahan di Surabaya baik tingkat Kota atau Provinsi, beberapa
diantaranya merupakan stakeholder dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya.
Tujuan mereka melakukan pengelolaan Pamurbaya adalah untuk melindungi Kota
Surabaya, pemenuhan RTH sebesar 30%, meningkatkan kualitas dan kelestarian
lingkungan, mengetahui kondisi lingkungan, serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Berikut adalah pengkategorian
jenis stakeholder dari dinas-dinas tersebut, yang disajikan pada Gambar 7.
29
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
30
Regency Cluster Barat, Taman Rivera Regency Cluster Timur, Griya
Pesona Asri, Penjaringan Asri, dan Griya Kencana Asri.
Stakeholder Kecamatan Mulyorejo
Kegiatan pengelolaan mangrove di Kecamatan Mulyorejo cenderung pasif.
Hal tersebut dikarenakan di wilayah ini kondisi mangrove sudah rusak, sehingga
ketertarikan akan mangrove masih sangat kurang. Berikut adalah kategori
stakeholder di Kecamatan Mulyorejo, yang disajikan pada Gambar 8.
2.
3.
4.
5.
Kecamatan Mulyorejo
Memiliki luas 14,21 km2 dengan jumlah penduduk 90.563 jiwa
(Dispenduk Capil 2014). Kecamatan Mulyorejo merupakan stakeholder
kategori subject. Kondisi mangrove di kawasan ini umumnya telah rusak,
sehingga kegiatan yang dilakukan pihak Kecamatan dan Kelurahan
sebatas pengawasan dan sosialisasi kepada masyarakat terkait mangrove.
Kegiatan rehabilitasi di daerah ini belum terlihat, karena pihak lain lebih
tertarik melakukan kegiatan tersebut di Rungkut dan Gunung Anyar.
Kelurahan Dukuh Sutorejo
Kelurahan Dukuh Sutorejo adalah stakeholder kategori bystander.
Kegiatan yang dilakukan adalah pengawasan dan sosialisasi terkait
mangrove. Sumber daya yang disediakan sebatas informasi mangrove.
Kelurahan Kalisari
Kegiatan pengelolaan mangrove yang dilakukan oleh Kelurahan Kalisari
sama dengan Kelurahan Dukuh Sutorejo, sehingga Kelurahan Kalisari
juga berada dalam kategori bystander untuk stakeholder.
Kelurahan Kejawen Putih Tambak
Kelurahan ini juga sama dengan Kelurahan Kalisari dan Kelurahan
Dukuh Sutorejo, yaitu stakeholder kategori bystander.
Universitas Airlangga (UNAIR)
UNAIR merupakan stakeholder kategori player. Pihak yang banyak
melakukan kegiatan pengelolaan adalah Fakultas Perikanan dan Kelautan
31
6.
2.
Kelurahan Keputih
Kelurahan Keputih termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukolilo. Pihak
Kecamatan sepenuhnya menyerahkan kegiatan pengelolaan mangrove
Pamurbaya kepada Kelurahan ini. Kelurahan Keputih merupakan
stakeholder kategori bystander. Kegiatan yang dilakukan adalah
rehabilitasi, dan dalam prosesnya pihak kelurahan bekerjasama dengan
pihak lain. Sumberdaya yang disediakan hanyalah sebatas informasi
mengenai mangrove setempat. Kegiatan pengelolaan mangrove yang
dilakukan Kelurahan Keputih cenderung pasif, karena pengelolaan
mangrove lebih banyak dilakukan masyarakat dan pihak berkepentingan.
Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
ITS merupakan stakeholder yang berkategori subject. Kegiatan yang
dilakukan adalah rehabilitasi, pembibitan, pendidikan, dan penelitian.
Pihak ITS yang melakukan pengelolaan mangrove sebagian besar berada
di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Hasil penelitian
dari ITS banyak dijadikan acuan untuk informasi mangrove Pamurbaya.
32
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
33
2.
3.
4.
5.
Kecamatan Rungkut
Memiliki luas 21,08 km2 dengan jumlah penduduk 112.192 jiwa
(Dispenduk Capil 2014). Kecamatan Rungkut merupakan stakeholder
berkategori player. Kegiatan yang dilakukan sebagian besar terpusat di
daerah Kelurahan Wonorejo. Kegiatan tersebut diantaranya berkaitan
dengan rehabilitasi, wisata, perikanan tambak, serta pembibitan.
Kecamatan Rungkut kerap melakukan kerja sama dengan berbagai pihak,
baik pemerintah, swasta, masyarakat, serta Lembaga Swadaya Masyarkat
(LSM) untuk melakukan kegiatan terkait pengelolaan mangrove.
Kelurahan Wonorejo
Kelurahan Wonorejo merupakan stakeholder dengan kategori bystander.
Kegiatan yang dilakukan adalah rehabilitasi dan wisata. Pengelolaan
lebih lengkap berada pada pihak Kecamatan, sehingga meskipun banyak
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove di wilayah ini,
tingkat kepentingan dan pengaruh dari Kelurahan ini tetap rendah.
Universitas Pembangunan Negara (UPN)
UPN merupakan stakeholder kategori subject. Kegiatan yang dilakukan
meliputi rehabilitasi, pembibitan, pendidikan, dan penelitian. Kegiatan
UPN terfokus pada rehabilitasi dan pembibitan, sehingga riset terkait
mangrove masih sedikit. Pihak yang melakukan pengelolaan mangrove
adalah Fakultas Teknologi Pangan dan Fakultas Teknologi Industri.
Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG)
UNTAG adalah stakeholder kategori bystander. Kegiatan yang dilakukan
sebatas rehabilitasi, karena disiplin ilmu di UNTAG tidak berhubungan
dengan mangrove. Pihak yang melakukan pengelolaan adalah Lembaga
Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNTAG.
PT. Coca Cola
Merupakan perusahaan dari The Coca-Cola Company Atlanta, Georgia,
yang memproduksi minuman ringan berkarbonasi. Coca Cola Surabaya
adalah stakeholder kategori bystander. Kegiatan yang dilakukan adalah
34
6.
7.
8.
9.
10.
11.
35
12.
13.
14.
15.
16.
17.
juga diketuai oleh Pak Djoko Suwondo, sehingga FKPM juga terlibat
dalam membantu pengamanan dan pengawasan wilayah mangrove.
FKPM ini merupakan stakeholder kategori bystander.
Kelompok Griya Karya Tiara Kusuma
Kelompok ini diketuai oleh seorang tokoh masyarakat bernama Lulut Sri
Yuliani yang berlokasi di daerah Kelurahan Kedung Baruk. Kelompok
ini termasuk stakeholder kategori player. Kegiatan yang mereka lakukan
adalah mengolah mangrove menjadi berbagai produk, diantaranya
pewarna batik, krupuk, mie, permen, dodol, sabun, dan kompos.
Kegiatan lain yang dilakukan adalah pembibitan dan memberikan
pelatihan tanam mangrove, serta sering diundang oleh Pemkot untuk
berdiskusi terkait pengelolaan kawasan mangrove Pamurbaya
Kelompok Bintang Timur
Kelompok ini diketuai oleh Fatoni, terdiri dari petambak, nelayan, dan
pekerja wisata mangrove. Kelompok ini adalah stakeholder kategori
actor. Kelompok Bintang Timur bekerja sama dengan Distan dalam
kegiatan wisata mangrove di wilayah Wonorejo. Kegiatan yang
dilakukan adalah rehabilitasi, pembibitan, dan pengawasan mangrove.
Kelompok Nelayan Wonorejo
Kelompok ini merupakan stakeholder kategori bystander. Kegiatan yang
mereka lakukan utamanya adalah menangkap ikan, tetapi sesekali
mereka turut serta dalam proyek rehabilitasi oleh pemerintah, selain itu
kelompok ini juga turut serta menjaga mangrove dari hewan (kambing)
agar tidak sampai memasuki area mangrove. Nelayan di kelompok ini
menyadari bahwa keberadaan mangrove meningkatkan hasil tangkapan,
sehingga mereka mau turut serta dalam menjaga kelestarian mangrove.
Kelompok Trunojoyo
Kelompok Trunojoyo terdiri dari petambak dan nelayan yang bertempat
di Wonorejo. Mereka adalah stakeholder dengan kategori actor. Kegiatan
yang dilakukan adalah rehabilitasi, pembibitan, serta perawatan
mangrove. Kepedulian tersebut disebabkan karena mereka beranggapan
bahwa lahan yang ada di daerah tersebut adalah milik mereka.
Nol Sampah
Nol Sampah merupakan LSM yang peduli terhadap sampah dan
berlokasi di wilayah Rungkut. Nol sampah termasuk stakeholder kategori
subject. Wujud kegiatan LSM ini timbul sebagai bentuk kepedulian
terhadap kegiatan yang tidak ramah lingkungan, salah satunya di
mangrove Pamurbaya. Kepedulian yang ditujukkan terhadap Pamurbaya
disebabkan oleh tingginya keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
Kegiatan yang dilakukan Nol Sampah terfokus pada kegiatan konservasi,
diantaranya adalah rehabilitasi, pengawasan serta pelatihan terkait
mangrove. Nol Sampah juga menjadi salah satu narasumber pada saat
pembuatan kebijakan terkait kawasan konservasi Pamurbaya.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)
Pokdarwis adalah kelompok bentukan Dinbudpar yang ditugaskan
membantu masyarakat dalam kegiatan ekowisata mangrove. Fokus utama
nya adalah pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan kegiatan
ekowisata. Pokdarwis adalah stakeholder berkategori bystander.
36
18.
19.
2.
3.
37
4.
5.
6.
7.
8.
9.
38
39
Gambar 13 menunjukkan sebesar 85% responden membenarkan statement
diatas, sedangkan hasil lain menunjukkan 8,75% responden tidak setuju, dan
6,25% responden tidak tahu/ragu-ragu. Responden yang tidak setuju adalah
beberapa petambak Roh Kelem, pihak pengembang, dan swasta. Mereka
menganggap masyarakat cenderung acuh dengan mangrove
Menurut pandangan peneliti, masyarakat sudah merasakan manfaat
keberadaan mangrove, sehingga mereka mau menjaganya. Hal ini sangat baik
untuk mendukung kawasan konservasi Pamurbaya, karena mindset masyarakat
sudah menganggap mangrove sebagai sesuatu yang penting
Gambar 14. Sikap masyarakat Masyarakat setempat mau untuk mengenal dan
mengelola mangrove.
Berdasarkan Gambar 14, 93,75% responden setuju, 2,5% tidak tahu/raguragu, dan 3,75% tidak setuju. Responden yang tidak setuju adalah dari pihak
swasta dan UNAIR. Mereka beranggapan bahwa masyarakat mau mengelola
mangrove karena proyek rehabilitasi, dan sebagian besar masyarakat cenderung
tidak membantu menjaga mangrove. Hal tersebut dapat dibenarkan, karena hanya
sebagian kecil masyarakat yang benar-benar sadar akan pentingnya mangrove.
Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan penyuluhan lebih intensif terkait mangrove.
40
41
Pamurbaya, memperoleh manfaat dari mangrove Pamurbaya, baik manfaat secara
langsung (fungsi ekonomi) atau tidak langsung (fungsi fisik dan fungsi ekologi).
42
Berdasarkan Gambar 18, responden yang mengatakan kondisi mangrove
Pamurbaya rusak sebesar 21,25%, sedangkan yang tidak tahu/ragu-ragu sebesar
22,5%, dan yang tidak sependapat 56,25%. Responden yang sependapat
beranggapan bahwa mangrove Pamurbaya yang memiliki kondisi bagus adalah
wilayah Rungkut dan GA. Mereka mengatakan bahwa dulu kondisi mangrove
Pamurbaya bagus, sedangkan sekarang tidak. Alasan yang dikemukakan oleh
responden tersebut benar, menurut pengamatan lapang kondisi mangrove yang
masih bagus adalah wilayah Rungkut dan GA. Hal tersebut terjadi karena selama
ini pihak-pihak yang mengadakan rehabilitasi lebih sering berpusat dikedua
daerah ini, sehingga untuk wilayah Mulyorejo dan Sukolilo cenderung terabaikan.
Gambar 19.
43
Gambar 20.
44
Berdasarkan Gambar 21, 67,5% responden setuju, 7,5% tidak tahu/raguragu, dan 25% tidak setuju. Responden tidak setuju berasal dari berbagai elemen,
baik dari swasta, nelayan, petambak, dan sebagainya. Mereka berpendapat bahwa
pengelolaan yang dilakukan pemerintah masih banyak campur tangan pihak lain,
selain itu menurut mereka masyarakat lebih berperan dalam pengelolaan
mangrove. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung tidak
ada kelanjutannya, sehingga hanya menanam tanpa ada perawatan.
Peneliti beranggapan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena
langkah pemerintah dalam menetapkan kawasan mangrove Pamurbaya sebagai
kawasan konservasi, dianggap sebagai langkah kunci dalam meningkatkan
kelestarian mangrove Pamurbaya. Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah
memang belum sepenuhnya baik, tetapi mereka terus berusaha untuk lebih baik.
Gambar 22. Sikap masyarakat Pengelolaan mangrove oleh pihak lain yang
berkepentingan sudah baik.
Gambar 22 menunjukkan, sebesar 66,25% responden mengatakan bahwa
stakeholder lain sudah mengelola mangrove dengan baik, 27,5% tidak tahu/raguragu, dan 6,25% tidak setuju. Responden yang tidak setuju berasal dari pihak
swasta, pengelola, petambak Trunojoyo, dan ITS. Mereka beranggapan bahwa
kegiatan yang dilakukan oleh stakeholder lain hanyalah untuk pencitraan saja,
selain itu dalam kegiatan rehabilitasi yang dilakukan juga tidak ada kelanjutannya.
Menurut pengamatan peneliti hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena
beberapa stakeholder dinilai telah melakukan pengelolaan cukup baik, meskipun
beberapa diantaranya dapat dikatakan sebagai pencitraan. Kegiatan rehabilitasi
yang mereka lakukan beberapa juga telah disertai perawatan dan pengawasan
yang rutin dilakukan.
45
46
Sistem Pengelolaan Mangrove Masyarakat Pamurbaya
Pengelolaan mangrove Pamurbaya yang dilakukan oleh masyarakat,
merupakan wujud kepedulian masyarakat yang muncul dari adanya pemanfaatan
mangrove. Menurut Sartini (2004), hal tersebut merupakan wujud kearifan lokal
masyarakat, karena bentuk kearifan lokal salah satunya dapat berupa konservasi
dan preservasi sumberdaya alam. Pengelolaan mangrove Pamurbaya dilakukan
oleh kelompok masyarakat seperti tersebut di atas. Mereka umumnya turut serta
dalam kegiatan rehabilitasi yang diadakan oleh pihak pemerintah atau swasta.
Pihak-pihak tersebut apabila ingin melakukan kegiatan rehabilitasi, mereka akan
menghubungi kelompok masyarakat yang ada. Mereka juga akan menggunakan
event organizer masyarakat setempat. Hal lain yang disediakan oleh kelompok
masyarakat tersebut adalah berupa benih mangrove serta perlengkapan yang
dibutuhkan dalam kegiatan penanaman, selain itu akan diberikan juga pelatihan
menanam mangrove. Mereka juga merekomendasikan lokasi untuk penanaman.
Sistem penanaman yang dilakukan masyarakat adalah berdasarkan pada
lokasi masing-masing kelompok tersebut berada, sehingga dapat dikatakan tiap
kelompok memiliki wilayah sendiri untuk rehabilitasi. Hal tersebut cukup baik
dalam pembagian kegiatan rehabilitasi, akan tetapi sering terjadi konflik antar
sesama kelompok yang mendiami wilayah sama. Mereka akan saling berebut
lahan garapan apabila ada pihak yang melakukan kegiatan di wilayah mereka.
Beberapa kelompok masyarakat memiliki peraturan tersendiri dalam hal
pengelolaan mangrove (kearifan lokal). Mereka adalah kelompok yang melakukan
kegiatan ekonomi kreatif mangrove. Umumnya dalam melakukan kegiatannya,
kelompok yang ada bekerja sama dengan pihak swasta, baik dalam hal pendanaan
atau dalam hal penyediaan sarana prasarana. Kegiatan lain yang dilakukan
masyarakat adalah melakukan pengawasan terhadap mangrove. Mereka akan
menangkap dan melaporkan kepada pihak berwajib apabila mendapati pelanggar
aturan yang berkaitan dengan mangrove.
Kearifan Lokal Masyarakat Pamurbaya
Fungsi kearifan lokal adalah membuat keseimbangan antara pemanfaatan
sumberdaya, budaya, dan alam (Affandy dan Wulandari 2012). Kearifan lokal
masyarakat Pamurbaya merupakan wujud bentuk pemanfaatan dan pengelolaan
mangrove yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Chaiphar et. al. (2013),
bahwa masyarakat yang berpartisipasi dalam kearifan lokal, berhubungan dengan
obat-obatan herbal, konservasi hutan, dan makanan yang diperoleh dari hutan.
Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan
tersebut, sehingga tidak selalu bersifat tradisional atau telah diwariskan dari
generasi ke generasi, karena dapat mencakup kearifan masa kini. Kearifan lokal
masyarakat Pamurbaya termasuk dalam jenis kearifan kini. Bentuk kearifan lokal
masyarakat Pamurbaya dibagi berdasarkan beberapa kelompok besar pengolah
mangrove. Kelompok tersebut telah menaungi beberapa kelompok kecil yang juga
mengolah mangrove. Pengelolaan yang mereka lakukan juga diterapkan oleh
kelompok dibawahnya. Berikut adalah kelompok besar tersebut :
a. Kelompok Tani Mangrove Wonorejo
Kelompok ini mengolah mangrove menjadi sirup, permen, dodol, jenang,
selai dan tepung. Kelompok ini mewajibkan anggotanya untuk menanam
47
5 bibit mangrove tiap sekali memetik buah mangrove. Setiap kali
memetik buah, aturan dari kelompok ini adalah tidak boleh mengambil
buah melebihi 30% dari total buah yang sudah masak dalam 1 pohon.
Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian bibit mangrove yang
berasal dari alam. Kelompok ini juga mewajibkan untuk menanam 10
bibit mangrove bagi mereka yang tertarik untuk belajar membuat olahan
mangrove. Sangsi bagi anggota yang melanggar akan dikucilkan dari
kelompok dan tidak dipercaya lagi. Kelompok ini juga mendonasikan
2,5% keuntungan dari kegiatan ekonomi kreatif, yang digunakan untuk
pembibitan, penanaman, serta perawatan mangrove.
b. Kelompok Griya Karya Tiara Kusuma
Kelompok ini mengolah mangrove menjadi pewarna batik, sirup,
permen, dodol, jenang, tempe, sabun, dan kompos. Bahan dasar yang
digunakan tidak diambil dari mangrove Pamurbaya, bahan tersebut
diperoleh dari mangrove di kawasan Madura. Pengambilan bahan dasar
tersebut dilakukan dengan batasan tertentu, yaitu diambil sesuai
kebutuhan saja. Mereka beranggapan bahwa kondisi mangrove
Pamurbaya sudah rusak, sehingga mereka tidak mau memperparah
kerusakan dengan mengeksploitasinya. Keuntungan yang diperoleh dari
pengolahan mangrove yang dilakukan, didonasikan sebesar 2,5% untuk
pembibitan, penanaman, serta perawatan mangrove Pamurbaya. Sangsi
yang diberikan bagi anggota yang melanggar aturan adalah dikeluarkan
dari kelompok.
c. Kelompok Ekowisata
Kelompok ini menggunakan mangrove sebagai obyek utama dalam
kegatan wisata alam. Kegiatan wisata yang dilakukan, memasukkan
konsep edukasi mangrove kepada wisatawan yang datang. Kelompok ini
juga menjaga, mengawasi, dan mengontrol mangrove dari kegiatan yang
dapat merusak, selain itu kelompok ini juga memberikan pelatihan
penanaman mangrove bagi siapa saja yang mau belajar. Sangsi yang
diberikan bagi anggota yang melanggar aturan adalah ditegur dan dibina
kembali. Sangsi yang diberikan tergolong ringan, karena tujuan dari
pengelola adalah untuk mengubah mindset anggota terkait mangrove,
sehingga jika ada pelanggaran aturan, maka cukup dibina kembali.
Kegiatan pengelolaan yang tersebut diatas sangat mendukung untuk
kelestarian mangrove, sehingga dapat dikatakan mendukung kegiatan konservasi,
karena mereka juga turut serta menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. Hal
tersebut selain dapat melestarikan lingkungan, juga memberi keuntungan sendiri
bagi mereka untuk keberlanjutan usahanya, karena secara tidak langsung
ketersediaan sumberdaya untuk keperluan kegiatan mereka akan selalu ada.
Kearifan lokal ini tidak sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi
mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban, karena
kearifan lokal ini adalah suatu pengetahuan yang eksplisit dari periode panjang
yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal
yang sudah dialami bersama-sama dengan proses yang begitu panjang dan
melekat dalam masyarakat (Ridwan 2007).
48
Kearifan Lokal Prioritas
Kearifan lokal prioritas ditentukan berdasarkan ekonomi kreatif olahan
mangrove yang dilakukan masyarakat serta pengelolaannya. Kearifan lokal
tersebut akan dicari yang paling prioritas dengan pertimbangan tiga aspek, yaitu :
a. Aspek ekologi. Berhubungan dengan limbah yang dihasilkan serta efek
terhadap lingkungan dengan pemanfaatan sumberdaya tersebut apabila
dilakukan secara terus-menerus.
b. Aspek ekonomi. Berhubungan dengan besarnya nilai pendapatan yang
diterima oleh masyarakat yang melakukan kearifan lokal yang dimaksud,
serta cakupan pangsa pasarnya.
c. Aspek sosial. Berhubungan dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang
mampu diserap dari melakukan kearifan lokal yang dimaksud, serta
prospek keberlanjutan dari usaha tersebut.
Kuesioner perbandingan disebarkan kepada orang yang dianggap ahli dan
mengerti tentang hal yang dibandingkan. Hasil yang diperoleh akan dilihat tingkat
Inconsistency Ratio (IR) dari jawaban masing-masing responden, agar dapat
diketahui apakah jawaban tersebut layak atau tidak untuk dijadikan sebagai acuan.
Hasil yang layak akan ditotal untuk menggabungkan nilai masing-masing
responden, dan kemudian dilihat mana yang menjadi prioritas. Responden
berjumlah 11 orang yang berasal dari dosen, masyarakat pengelola, dan dinas
terkait. Berdasarkan hasil analisis, jawaban yang layak dijadikan acuan ada 5, dan
dari 5 jawaban tersebut dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu pengelola (Pengelola
GAT dan ekowisata), dinas (Distan), dan perguruan tinggi (ITS dan UHT). Hasil
yang ditunjukkan merupakan rata-rata jumlah dari jawaban responden pada
masing-masing kategori. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Perhitungan AHP Untuk Aspek Prioritas.
Faktor Penting
No
Responden Ahli
IR
Ekologi Sosial Ekonomi
1 Pengelola
0.137
0.396
0.06
0.467
2 Dinas
0.079
0.143
0.01
0.779
3 Perguruan Tinggi
0.146
0.104
0.04
0.749
Berdasarkan Tabel 14. aspek ekologi menjadi prioritas. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam kegiatan pengolahan mangrove, faktor ekologi
merupakan faktor yang harus diperhitungkan pertama kali. Hal tersebut
merupakan suatu pandangan yang mendukung tercapainya tujuan konservasi,
karena pengelolaan terhadap pemanfaatan mangrove sangat perlu dilakukan untuk
menjamin keberlanjutannya. Pengelolaan limbah hasil pemanfaatan mangrove
juga sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan, selain itu pengelolaan
terhadap pemanfaatan sumber daya juga berperan untuk mencegah pemanfaatan
berlebih. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Maedar (2008), potensi ekonomi
dari mangrove adalah hasil mangrove (kayu, buah, daun), perikanan muara
sepanjang pantai, dan ekoturisme. Kegiatan manusia yang sedemikian rupa akan
dapat merusak bahkan menghancurkan ekosistem mangrove. Aspek ekonomi
menjadi perhatian penting selanjutnya. Hal tersebut disebabkan karena
ketergantungan masyarakat pengelola untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aspek
49
yang terakhir adalah aspek sosial. Aspek ini memiliki peran penting terkait
kelangsungan usaha ekonomi kreatif masyarakat untuk kedepan. Masing-masing
aspek saling berpengaruh, tetapi aspek ekologi adalah aspek kunci, apabila aspek
ini dilaksanakan dengan baik maka aspek ekonomi dan sosial akan terpenuhi juga.
Aspek diatas masing-masing memiliki nilai kearifan lokal prioritas yang
berbeda. Berdasarkan hasil analisis, kearifan lokal ekowisata, sirup, dan batik
adalah 3 kearifan lokal yang memiliki nilai tertinggi sebagai kearifan lokal
prioritas pada tiap responden, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15, Tabel 16,
Tabel 17, dan Tabel 18.
Tabel 15. Gabungan Nilai Kearifan Lokal Prioritas Aspek Ekologi.
Wisata Batik
Sirup
No
Responden Ahli
Nilai
Nilai
Nilai
1 Pengelola
0.092
0.167
0.316
2 Dinas
0.201
0.030
0.419
3 Perguruan Tinggi
0.098
0.120
0.232
Total
0.220
0.706
0.749
IR
0.08
0.07
0.06
IR
0.10
0.13
0.04
50
Tabel 17. Gabungan Nilai Kearifan Lokal Prioritas Aspek Ekonomi.
Wisata Batik
Sirup
No
Responden Ahli
Nilai
Nilai
Nilai
1 Pengelola
0.244
0.229
0.265
2 Dinas
0.181
0.162
0.384
3 Perguruan Tinggi
0.121
0.086
0.436
Total
0.734
0.513
0.861
IR
0.12
0.1
0.07
IR
0.09
0.06
0.05
51
pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam serta mempertimbangkan segenap
aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan
pesisir. Banyaknya peran, fungsi, serta potensi dari kawasan pesisir, menuntut kita
untuk dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan benar, agar dapat terus
berkelanjutan serta dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus kita.
Strategi yang akan digunakan merupakan identifikasi dari kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman dari kegiatan ini. Berdasarkan hasil wawancara
dengan ketua ekowisata mangrove, didapatkan beberapa faktor internal (IFAS)
dan eksternal (EFAS) terkait kegiatan ekowisata. Berikut faktor-faktor tersebut.
1. Kekuatan (Strenght)
Terdapat 4 faktor yang menjadi kekuatan dalam berlangsungnya kegiatan
ekowisata mangrove, yaitu :
a. Status kawasan Pamurbaya sebagai wilayah konservasi
Wilayah Wonorejo merupakan lokasi berjalannya kegiatan ekowisata
mangrove. Wilayah tersebut merupakan daerah yang termasuk dalam
kawasan konservasi. Keputusan pemerintah terkait kawasan konservasi
tersebut sangat mendukung kegiatan ekowisata, karena kegiatan ekowisata
sangat bergantung pada kondisi alam, sehingga dengan status konservasi
akan meningkatkan kelestarian lingkungan sekitar, dan tentunya hal
tersebut akan menjadi nilai tambah bagi kegiatan ekowisata.
b. Kelembagaan yang solid serta kegiatan yang kreatif dan inovatif
Struktur organisasi yang terdapat dalam kegiatan ekowisata diatur dengan
baik dan selalu berusaha untuk menjaga kesatuan organisasi. Hal tersebut
menyebabkan terbentuknya suatu kelembagaan yang solid antar pekerja.
Para pekerja yang terlibat dalam kegiatan ekowisata juga dituntut untuk
selalu dapat meningkatkan kreatifitas dan inovasi yang mereka miliki
untuk dapat mengembangkan kegiatan yang sudah ada. Contoh kegiatan
yang telah berkembang adalah pembuatan sentra Pedagang Kaki Lima
(PKL) dan Mangrove Information Centre (MIC)
c. Kepercayaan dan dukungan masyarakat yang tinggi
Tujuan utama dalam kegiatan ekowisata ini adalah memberdayakan
masyarakat. Hal tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat setempat
mau turut serta menjaga kelestarian mangrove. Pelibatan masyarakat
secara tidak langsung telah memberikan mata pencarian bagi mereka,
sehingga masyarakat menyambut dengan baik dan sangat mendukung
adanya kegiatan ini. Hal ini menjadi keuntungan bagi kegiatan ekowisata,
karena masyarakat akan menjaga agar kegiatan ini terus berjalan
d. Kerjasama dengan pihak pemerintah dan masyarakat.
Manfaat sosial yang diberikan oleh kegiatan ekowisata, didukung oleh
Pemkot Surabaya. Pemerintah menganggap kegiatan ekowisata sangat
perlu dipertahankan dan dikembangkan guna menekan angka
pengangguran dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar,
selain itu kegiatan ini menjadi nilai tambah Surabaya di mata wisatawan
lokal maupun asing sebagai destinasi wisata yang berbeda.
2. Kelemahan (Weakness)
Faktor yang menjadi kelemahan dalam kegiatan ekowisata ada 2 hal, yaitu :
a. SDM dengan intelektual rendah
52
Pemberdayaan masyarakat yang terdapat dalam kegiatan ekowisata,
utamanya adalah membidik masyarakat usia produktif yang menganggur.
Pekerja yang ada saat ini sebagian besar memiliki pendidikan yang rendah,
mulai yang tidak sekolah sampai paling tinggi adalah lulusan SMA. Hal
tersebut menyebabkan minimnya intelektual yang dimiliki, sehingga sulit
untuk memajukan kegiatan ekowisata ini sendiri, meskipun mereka
dituntut untuk terus mengembangkan ide yang kreatif dan inovatif.
b. Financial terkait berjalannya kegiatan ekowisata
Dana yang didapat oleh pihak ekowisata selama ini sepenuhnya berasal
dari pemasukan wisatawan yang datang dan pemasukan dari sentra PKL
disekitar lokasi. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kendala terkait
operasional kegiatan, seperti gaji pegawai, biaya operasional perahu, dll.
Bantuan terkadang datang dari sponsor seperti Pertamina dalam
pembuatan sarana prasarana yang mendukung kegiatan ekowisata,
misalnya joging trek, papan peringatan, gazebo, dan menara pantau.
Bantuan tersebut sangat penting bagi pihak ekowisata, karena sangat
mendukung proses berjalannya kegiatan ekowisata
3. Peluang (Opportunities)
Beberapa faktor yang menjadi peluang untuk kegiatan ekowisata yaitu :
a. Lokasi wisata alam yang jumlahnya sedikit di Surabaya.
Lokasi wisata di Surabaya ada beraneka macam, akan tetapi wisata yang
menawarkan konsep alam sangat sedikit, selain ekowisata mangrove
sampai saat ini hanya Pantai Ria Kenjeran yang menawarkan hal tersebut.
Pantai Ria Kenjeran saat ini kurang mendapat perhatian, sehingga terkesan
kotor dan tidak terawat. Hal tersebut menyebabkan warga Surabaya
membutuhkan konsep wisata yang menawarkan keindahan alam yang
lebih baik, dan ekowisata mangrove adalah satu-satunya jawaban untuk
itu. Kondisi lokasi ekowisata yang jauh lebih baik dibandingkan Pantai
Ria Kenjeran, serta konsep wisata yang terbilang cukup baru,
menyebabkan wisatawan lokal beralih untuk mencobanya.
b. Animo dan antusias masyarakat terkait ekowisata.
Masyarakat yang sudah mencoba mengikuti kegiatan ekowisata mangrove,
memberikan respon yang cukup baik, selain itu mereka juga
merekomendasikan kepada kerabat untuk ikut mencoba kegiatan ini.
Masyarakat yang datang tidak hanya berasal dari Surabaya saja, bahkan
kegiatan ini sudah terdengar sampai ke luar negeri, hal ini dapat
dibuktikan dengan datangnya wisatawan asing yang berasal dari Jepang,
Thailand, Malaysia, dan Filiphina. Konsep pengenalan mangrove kepada
wisatawan yang datang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat
awam yang ingin mengerti mangrove. Besarnya animo dan antusias
masyarakat terhadap kegiatan ekowisata menjadikan ekowisata mangrove
sebagai ikon wisata baru Surabaya.
c. Lomba Surabaya tourism oleh Pemkot dan Ciputra.
Surabaya tourism merupakan even tahunan tentang lomba bertemakan
lingkungan yang diadakan oleh Pemkot dan Ciputra. Lomba ini akan
memberikan hadiah bagi lokasi wisata yang memiliki kondisi lingkungan
terbaik. Adanya even ini secara tidak langsung akan membuat masyarakat
mau untuk berbenah lingkungan, terutama di lokasi tempat tinggal mereka.
53
Kegiatan ini dirasa cukup positif bagi berjalannya kegiatan ekowisata,
karena lingkungan akan menjadi lebih lestari.
4. Ancaman (Threat)
Faktor yang menjadi ancaman kegiatan ekowisata, sebagian besar berasal
dari pihak swasta. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Mindset masyarakat dan pihak swasta terkait kelestarian mangrove
Penetapan status kawasan konservasi wilayah Pamurbaya tidak serta merta
merubah mindset masyarakat terkait mangrove. Masih ada masyarakat
yang menebang mangrove luput dari pengawasan. Beberapa pihak juga
masih beranggapan bahwa keberadaan mangrove itu tidak perlu, salah
satunya adalah pihak pengembang. Mereka beranggapan bahwa lahan
mangrove yang demikian luas akan lebih bernilai jika dilakukan kegiatan
properti. Beberapa petambak dan nelayan juga masih beranggapan bahwa
mangrove akan lebih bermanfaat jika dialih fungsikan sebagai tambak.
b. Kegiatan swasta yang tidak peduli dengan mangrove
Kegiatan yang dilakukan oleh swasta khususnya pengembang, dianggap
merupakan penyebab utama kerusakan mangrove. Kegiatan yang mereka
lakukan utamanya adalah mengkonversi lahan mangrove ke dalam
kegiatan properti. Menurut Bengen (2000), konversi lahan mangrove akan
dapat menyebabkan regenerasi stok ikan dan udang diperairan lepas pantai
yang memerlukan mangrove untuk nursery ground terancam, pencemaran
laut dan mangrove, pendangkalan perairan pantai, serta erosi pantai dan
intrusi garam. Kegiatan lain yang dianggap mengancam kelestarian
mangrove adalah limbah yang berasal dari industri dan pemukiman di
daerah hulu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Paharudin (2011), yang
mengatakan bahwa perubahan dan kerusakan lingkungan di wilayah hulu
turut memperburuk kondisi kawasan pantai, berbagai bentuk masukan
bahan padatan sedimen (erosi) dan bahan cemaran yang bersumber dari
industri maupun rumah tangga merupakan faktor penyebab pendangkalan
pantai dan kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan mangrove ini akan
memberikan dampak merugikan bagi kegiatan ekowisata mangrove.
c. Kegiatan serupa dari pemerintah tetapi lebih bersifat saingan bisnis
Kurangnya koordinasi antar stakeholder menyebabkan tumpang tindih
kegiatan. Salah satunya adalah kegiatan wisata mangrove oleh Distan yang
menyerupai kegiatan ekowisata masyarakat. Letaknya yang bersebelahan
dianggap sebagai saingan bisnis bagi pengelola ekowisata. Berdasarkan
pengamatan kondisi lapang, dalam prosesnya seolah tidak ada bentuk
koordinasi antara kedua belah pihak terkait kegiatan tersebut. Hal ini
sangat disayangkan, karena seharusnya jika terdapat koordinasi yang baik,
akan didapatkan suatu konsep wisata alam yang baik.
Analisis Tingkat Kepentingan, Bobot, dan Skor Faktor IFAS/EFAS Kegiatan
Ekowisata Mangrove
Langkah selanjutnya adalah menentukan tingkat kepentingan faktor diatas.
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh tingkat kepentingan masing-masing
faktor yang tersaji pada Tabel 19. Tingkat kepentingan tersebut merupakan rating
dari tiap-tiap faktor. Konversi tingkat kepentingan menjadi nilai rating dapat
dilihat pada Tabel 10 dan 11.
54
Tabel 19. Tingkat Kepentingan Faktor dalam Kegiatan Ekowisata Mangrove.
Simbol IFAS/EFAS
Faktor
Tingkat
Kepentingan
S1
Kekuatan
Kepercayaan dan dukungan Kekuatan yang besar
masyarakat yang tinggi
S2
Kekuatan
Kelembagaan yang solid serta Kekuatan yang besar
kegiatan yang kreatif dan
inovatif
S3
Kekuatan
Kerjasama
dengan
pihak Kekuatan sedang
pemerintah dan masyarakat
S4
Kekuatan
Status kawasan Pamurbaya Kekuatan yang sangat
sebagai wilayah konservasi
besar
W1
Kelemahan SDM dengan intelektual rendah Kelemahan
yang
sangat berarti
W2
Kelemahan Financial terkait berjalannya Kelemahan
yang
kegiatan ekowisata
sangat berarti
O1
Peluang
Lokasi wisata alam yang Peluang
tinggi,
jumlahnya sedikit di Surabaya
respon superior
O2
Peluang
Animo dan antusias masyarakat Peluang
tinggi,
terkait ekowisata
respon diatas rata-rata
O3
Peluang
Lomba Surabaya tourism oleh Peluang
tinggi,
Pemkot dan Ciputra
respon diatas rata-rata
T1
Ancaman
Mindset masyarakat dan pihak Ancaman besar
swasta
terkait
kelestarian
mangrove
T2
Ancaman
Kegiatan swasta yang tidak Ancaman sedang
peduli dengan mangrove
T3
Ancaman
Kegiatan serupa dari pemerintah Ancaman sedang
tetapi lebih bersifat saingan
bisnis
Langkah berikutnya adalah melakukan pembobotan masing-masing faktor.
Pembobotan dilakukan dengan membandingkan antar faktor dalam IFAS dan
EFAS. Bobot yang diperoleh dikalikan dengan rating untuk mendapatkan nilai
skor dari faktor-faktor tersebut. Berikut adalah nilai bobot, rating, dan skor dari
masing-masing faktor, yang tersaji pada Tabel 20. (IFAS) dan Tabel 21. (EFAS).
Tabel 20. Penentuan Nilai (bobot dan skor) IFAS.
Faktor S1 S2 S3 S4 W1 W2 Total
4
3
1
3
3
14
S1
1
3
1
3
3
11
S2
1
2
3
3
3
12
S3
1
1
2
3
1
8
S4
1
1
1
1
1
5
W1
4
1
1
1
3
10
W2
Total
60
55
Tabel 21. Penentuan Nilai (bobot dan skor) EFAS.
Faktor O1 O2 O3 T1 T2 T3 Total Bobot Rating Skor
1
4
3
3
3
14
0,21
4
0,84
O1
4
3
3
3
1
14
0,21
3
0,63
O2
2
1
1
3
3
10
0,15
3
0,45
O3
1
3
3
4
3
14
0,21
2
0,42
T1
1
3
1
1
1
7
0,11
3
0,33
T2
1
1
1
1
3
7
0,11
3
0,33
T3
3
Total
66
1
Tabel 19 menunjukkan, faktor yang menjadi kekuatan terbesar kegiatan
ekowisata adalah status Pamurbaya sebagai kawasan konservasi (S4), sedangkan
faktor kekuatan paling rendah yang dianggap cukup berpengaruh adalah adanya
kerja sama dengan pemerintah dan masyarakat (S3). Faktor internal lain yang
memberikan pengaruh adalah faktor kelemahan. Faktor kelemahan yang ada
merupakan kelemahan yang sangat berarti, faktor tersebut adalah SDM dengan
intelektual rendah (W1) serta financial terkait berjalannya kegiatan ekowisata
(W2). Faktor eksternal menunjukkan, faktor yang merupakan peluang terbesar
bagi berjalannya kegiatan ekowisata mangrove adalah sedikitnya lokasi wisata
berbasis alam di Surabaya (O1), sedangkan faktor yang menjadi ancaman terbesar
adalah mindset masyarakat dan pihak swasta terkait kelestarian mangrove (T1).
Hasil analisis IFAS pada Tabel 20, diperoleh total skor IFAS sebesar 2,44.
Nilai tersebut berada dibawah rata-rata (2,50), sehingga berarti bahwa kekuatan
yang dimiliki untuk pengembangan ekowisata mangrove belum cukup kuat untuk
menanggulangi kelemahan yang dimiliki. Hasil lain yang disajikan pada Tabel 21,
menunjukkan total skor EFAS sebesar 3. Nilai tersebut berada diatas rata-rata
(2,50), sehingga berarti bahwa pengelola ekowisata mangrove mampu untuk
memanfaatkan peluang dan meminimalkan ancaman yang ada.
Alternatif Strategi
Perumusan strategi pengelolaan dilakukan menggunakan matriks SWOT.
Pada matriks tersebut akan dilakukan pencocokan dan kombinasi antara
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam kegiatan ekowisata mangrove
guna memaksimalkan IFAS dan EFAS yang ada. Berikut adalah matriks yang
diperoleh, disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Matriks Strategi Pengembangan Kegiatan Ekowisata Mangrove.
Internal Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Eksternal
S1, S2, S3, S4
W1, W2
S1, S2, S3, O2
W2, O2, O3
Peluang (O)
S2, O1, O2
W1, O3
O1, O2, O3
S3, S4, O3
S1, S4, T1, T2
W1, T1
Ancaman (T)
S2, S3, T3
W2, T3
T1, T2, T3
Berdasarkan hasil analisis dalam matriks SWOT pada Tabel 22, terdapat
beberapa strategi yang diperoleh. Berikut adalah strategi-strategi tersebut :
1. Strategi S-O
56
a. S1, S2, S3, O1, O2 : Mengembangkan kegiatan seiring apresiasi
masyarakat yang tinggi melalui peningkatan kelembagaan dan kerja sama
dengan berbagai pihak.
b. S3, S4, O3 : Mendukung upaya konservasi oleh pemerintah dengan
melibatkan masyarakat untuk turut serta, dan melakukan kerja sama
dengan pemerintah.
2. Strategi W-O
a. W2, O2, O3 : Meningkatkan pemasukan dengan perbaikan lingkungan
untuk mengapresiasi tingginya minat masyarakat terhadap ekowisata.
b. W1, O3 : Pembekalan ilmu pengetahuan terhadap SDM melalui kerja
sama dengan pihak lain.
3. Strategi S-T
a. S1, S4, T1, T2 : Membantu menjaga kawasan konservasi mangrove dari
kegiatan yang merusak, dengan melibatkan masyarakat setempat.
b. S2, S3, T3 : Melakukan komunikasi dan kerja sama dengan pihak
pemerintah terkait kegiatan wisata mangrove.
4. Strategi W-T
a. WI, T1 : Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya mangrove.
b. W2, T3 : Melakukan kerja sama dengan pihak pemerintah, agar dapat
memperoleh keuntungan lebih maksimal.
Strategi tersebut selanjutnya dicari besar nilainya, dengan cara
menjumlahkan skor pada masing-masing faktor yang termasuk dalam strategi
tersebut, untuk kemudian dilakukan perangkingan guna mengetahui strategi mana
yang paling prioritas. Berikut pada Tabel 23 disajikan hasil nilai dan rangking
yang diperoleh pada masing-masing strategi.
Tabel 23. Nilai dan Rangking Strategi Alternatif Berdasarkan Matriks SWOT.
No
Strategi Alternatif
Unsur Faktor
Nilai Rangking
1 Mengembangkan
kegiatan S1 + S2 + S3 + O1 3,1
I
ekowisata
seiring
tingginya + O2
apresiasi masyarakat melalui
peningkatan kelembagaan dan
kerja sama dengan berbagai pihak
2 Mendukung upaya konservasi S3 + S4 + O3
1,41
III
pemerintah dengan melibatkan
masyarakat untuk turut serta, dan
melakukan kerja sama dengan
pemerintah
3 Meningkatkan pemasukan dengan W2 + O2 + O3
1,25
V
perbaikan
lingkungan
untuk
mengapresiasi tingginya minat
masyarakat terhadap kegiatan
ekowisata
4 Pembekalan ilmu pengetahuan W1 + O3
0,53
VI
terhadap SDM melalui kerja sama
dengan pihak lain
57
(Lanjutan Tabel 23)
No
Strategi Alternatif
5 Membantu menjaga kawasan
konservasi
mangrove
dari
kegiatan yang merusak, dengan
melibatkan masyarakat setempat
6 Melakukan komunikasi dan kerja
sama dengan pihak pemerintah
terkait kegiatan wisata mangrove
7 Meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang
pentingnya mangrove
8 Melakukan kerja sama dengan
pihak pemerintah, agar dapat
memperoleh keuntungan lebih
maksimal
Unsur Faktor
S1 + S4 + T1 + T2
Nilai Rangking
2
II
S2 + S3 + T3
1,27
IV
WI + T1
0,5
VII
W2 + T3
0,5
VII
58
diperlukan untuk mengubah mindset masyarakat tentang mangrove melalui
kegiatan penyuluhan, serta untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan
dan pembekalan agar dapat memiliki ilmu dan intelektual yang lebih tinggi.
Konsep Pengelolaan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal di Pamurbaya
Hasil menunjukkan, ekowisata merupakan kearifan lokal prioritas bagi
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, memperluas kegiatan ekowisata merupakan
langkah yang tepat, mengingat saat ini kegiatan ekowisata hanya beroperasi
disekitar wilayah Wonorejo saja. Hal tersebut tentunya dapat memberikan
keuntungan tersendiri bagi masyarakat, karena akan ada lebih banyak tenaga kerja
yang terserap. Perluasan kegiatan ekowisata ini dirasa sangat tepat, karena
kegiatan-kegiatan yang dilakukan sangat mendukung status konservasi. Perluasan
ini tentunya harus didasarkan pada pertimbangan kesesuaian lahan untuk kegiatan
ekowisata, agar kegiatan dapat berjalan optimal.
Kegiatan ekowisata ini lebih mengandalkan faktor keindahan alam,
sehingga tidak ada jenis mangrove spesifik yang sangat dibutuhkan. Berbeda
dengan kegiatan ekonomi kreatif lain yang lebih menekankan mangrove tertentu
untuk menjalankan usahanya, misalnya sirup mangrove yang membutuhkan
mangrove jenis Sonneratia caseolaris, dan tepung mangrove yang membutuhkan
mangrove jenis Bruguiera gymnorrhiza. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai
acuan untuk melakukan rehabilitasi mangrove, dengan jenis mangrove yang
dibutuhkan untuk kegiatan ekonomi kreatif yang lain, mengingat pada saat ini di
wilayah Pamurbaya sedang gencar melakukan rehabilitasi mangrove. Hal ini
bertujuan untuk membantu ketersediaan bahan baku bagi pelaku usaha ekonomi
kreatif mangrove lainnya, sehingga dapat meningkatkan produksi mereka, selain
tentunya akan meningkatkan pamor kegiatan ekowisata itu sendiri. Peningkatan
bahan baku ini secara tidak langsung akan mendorong masyarakat lain untuk
melakukan kegiatan ekonomi kreatif juga, sehingga akan membuka lapangan
pekerjaan baru. Kegiatan rehabilitasi ini dilakukan dengan dasar pertimbangan
kesesuaian lahan dengan jenis mangrove yang akan ditanam, sehingga kegiatan
rehabilitasi dapat optimal. Penyesuaian dengan biota yang ada di Pamurbaya juga
harus dipertimbangkan dalam melakukan rehabilitasi, agar tidak merusak
keanakaragaman hayati di Pamurbaya.
Konsep pengelolaan mangrove ini hendaknya dikolaborasikan dengan
strategi pengelolaan ekowisata mangrove seperti yang telah disebutkan diatas.
Kerja sama dengan berbagai pihak serta perbaikan sistem pengelolaan sangat
dibutuhkan untuk mencapai kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Perhitungan daya dukung juga harus dilakukan untuk mendukung kelangsungan
kegiatan ekowisata itu sendiri.
Hubungan Implementasi Kebijakan Pemerintah dengan Kearifan Lokal
Penetapan kawasan konservasi merupakan langkah utama pemerintah dalam
pengelolaan mangrove Pamurbaya. Hal tersebut dapat dikatakan sangat
mendukung kegiatan serta pengelolaan mangrove oleh masyarakat. Hal lain yang
dilakukan pemerintah seperti pengawasan wilayah mangrove, pengelolaan limbah
oleh industri, pelatihan mangrove, pembatasan eksploitasi, pembentukan koperasi,
59
serta penindakan tegas bagi pelanggar adalah hal positif dari kebijakan pemerintah
yang diapresiasi oleh masyarakat.
Kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan mangrove Pamurbaya,
beberapa diantaranya melibatkan kelompok pengelola. Kegiatan tersebut yaitu
rehabilitasi serta menjadikan pengelola sebagai narasumber dalam kegiatan
pelatihan, pembinaan, dan seminar. Kegiatan rehabilitasi oleh pemerintah secara
tidak langsung meningkatkan nilai lingkungan, sehingga meningkatkan minat
masyarakat terkait mangrove, dan mereka akan datang menemui pengelola dari
pihak masyarakat untuk mengetahui informasi mangrove Pamurbaya. Hal lain
yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat adalah sebagai fasilitator kegiatan
pengolahan mangrove oleh masyarakat, dan pelibatan masyarakat dalam beberapa
kegiatan pengelolaan mangrove yang mereka lakukan. Kegiatan tersebut adalah :
1. Mengajak masyarakat untuk memberikan masukan dalam penyusunan tata
ruang dan zonasi kawasan konservasi.
2. Melibatkan masyarakat dalam menjaga keamanan dan pengawasan
kegiatan-kegiatan yang ada di kawasan konservasi.
3. PNPM pariwisata.
4. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan pembibitan.
5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata mangrove pemerintah.
6. Menggunakan event organizer dari masyarakat setempat dalam berbagai
acara/kegiatan yang dilakukan pemerintah di daerah Pamurbaya.
Pemerintah berpendapat bahwa setiap kegiatan pemerintah dan kebijakan
yang dikeluarkan harus dikonsultasikan dan didiskusikan kepada masyarakat,
karena masyarakat adalah stakeholder utama dan lebih mengetahui kondisi
lapang, selain itu pemerintah juga membutuhkan dukungan masyarakat untuk
setiap kegiatan dan kebijakan yang dibuat. Menurut mereka hal tersebut perlu
untuk dilakukan agar kebijakan yang dibuat tidak malah merugikan masyarakat
sekaligus untuk mendengar keluh kesah mereka.
Berbicara tentang pengelolaan mangrove oleh masyarakat, hasil wawancara
menunjukkan bahwa sebagian besar pihak pemerintah terkait tidak mengetahui
bentuk pengelolaan oleh masyarakat. Mereka hanya mengetahui bentuk
pengolahannya. Pihak pemerintah yang mengetahui kegiatan pengelolaan yang
dilakukan masyarakat adalah Distan serta beberapa pihak Kecamatan dan
Kelurahan setempat. Menurut mereka pengelolaan mangrove oleh masyarakat
hanyalah sebatas turut serta dalam penanaman dan penjagaan mangrove, untuk
pengelolaan lebih spesifik mereka tidak tahu.
Pengelola dari pihak masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi kreatif
di wilayah Pamurbaya ada 3 kelompok besar, yaitu Tani Mangrove, Griya Karya
Tiara Kusuma, dan Ekowisata Mangrove. Berdasarkan hasil wawancara dengan
ke-empat kelompok tersebut, perhatian dan dukungan yang diberikan pemerintah
adalah berupa pemberian bantuan fasilitas dan sarana prasarana dalam kegiatan
operasional, pendampingan dan pembinaan dalam hal pemasaran, pemberian izin
usaha, pemberian penghargaan, serta pelibatan kelompok dalam acara Pemkot.
Dukungan tersebut menurut beberapa pengelola hanya bersifat sementara, makin
ke depan dukungan tersebut seolah-olah makin pudar, selain itu Pemkot juga
cenderung menutup mata jika terjadi konflik.
Kegiatan oleh pemerintah tidak sepenuhnya menguntungkan masyarakat.
Pemerintah oleh beberapa pengelola dianggap cenderung berpihak pada pengelola
60
lain, sehingga kerja sama yang dilakukan cenderung memihak kepada pengelola
yang dekat dengan pemerintah. Hal tersebut menimbulkan konflik baru baik antar
pengelola dengan pemerintah, maupun antar pengelola itu sendiri. Sama hal nya
dengan dukungan yang diberikan pemerintah, beberapa pengelola menganggap
pelibatan kelompok dalam kegiatan pemerintah juga bersifat sementara, bahkan
beberapa mengatakan belum dilibatkan dalam kegiatan pemerintah.
Persoalan lain timbul dari adanya kebijakan pemerintah terkait RTRW
Pamurbaya. Kebijakan tersebut menimbulkan konflik terkait kepemilikan lahan
dengan beberapa pihak termasuk masyarakat dan pengembang. Pemerintah
mengklaim bahwa tanah konservasi adalah milik Negara, semntara masyarakat
menganggap tanah milik mereka diambil oleh pemerintah tanpa adanya ganti rugi,
sedangkan pengembang menganggap bahwa mereka adalah pemilik tanah tersebut
karena telah membelinya. Nugroho (2012) mengatakan, hak kepemilikan Negara
sangat rentan menjadi akses terbuka yang tidak jelas kepemilikannya, sehingga
sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak. Masalah lain adalah
berkaitan dengan kegiatan ekowisata oleh pemerintah. Pengelola ekowisata dari
pihak masyarakat menganggap ini sebagai bentuk saingan bisnis yang dilakukan
oleh pemerintah, sehingga menurunkan nilai pendapatan yang diterima oleh
pelaku ekowisata tersebut. Hal demikian sangat disayangkan oleh masyarakat
karena tidak seharusnya terjadi.
Berdasarkan hal diatas, dapat dikatakan pemerintah kurang mendukung
kegiatan pengelolaan oleh masyarakat, karena sebagian besar dinas yang terlibat
dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya tidak mengetahui pengelolaan mangrove
yang dilakukan masyarakat, padahal seharusnya sebagai pengelola dari pihak
pemerintah setidaknya mengetahui bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat meskipun secara umum, bahkan pihak kecamatan dan kelurahan yang
berhubungan langsung dengan masyarakat setempat tidak mengetahui
pengelolaan yang dilakukan, selain itu pihak pemerintah juga tidak mengetahui
pengolahan mangrove masyarakat secara lengkap, mereka hanya mengenal sirup,
batik, dodol, tepung, dan ekowisata, padahal masih ada beberapa kegiatan
pengolahan lain.
61
62
berkoordinasi lebih mendalam dengan Distan terkait stakeholder yang
terlibat langsung dengan mangrove Pamurbaya. Hal ini dikarenakan Distan
dianggap paling mengerti pengelolaan oleh stakeholder-stakeholder di
Pamurbaya, selain itu hampir seluruh kegiatan pengelolaan mangrove
Pamurbaya ada dibawah pengawasan Distan.
3. Sikap dan persepsi masyarakat terkait mangrove dapat dikatakan sudah
baik, akan tetapi masih ada sebagian kecil masyarakat Pamurbaya yang
masih belum mengerti dan tidak peduli dengan mangrove. Hal tersebut
perlu diperhatikan untuk meminimalkan ancaman terhadap mangrove,
sehingga diperlukan penyuluhan dan pelatihan terkait hal tersebut guna
mengubah mindset masyarakat terkait mangrove.
4. Pengelolaan mangrove yang dilakukan pemerintah dan swasta beberapa
dianggap masih kurang baik, sehingga perlu perbaikan mengenai hal
tersebut. Misalnya kebijakan pemerintah terkait kegiatan properti yang
sudah berjalan di Pamurbaya, disarankan untuk mengubah bangunan yang
ada menjadi bangunan dengan konsep ramah lingkungan, seperti
mendirikan bangunan dengan konsep green building. Hal lain terkait
pemberian project pengadaan bibit dan rehabilitasi pada suatu kelompok.
Disarankan jangan berdasarkan pada kedekatan personal dengan
pengelola, tetapi melalui seleksi tingginya frekuensi kegiatan yang
dilakukan kelompok dan mempertimbangkan tingkat keberhasilan dalam
pengadaan bibit dan penanaman mangrove, sehingga kelompok yang
diberi project oleh pemerintah adalah kelompok yang memiliki jam
terbang tinggi, jika perlu telah tersertifikasi. Hal ini secara tidak langsung
dapat mendorong kelompok yang ada untuk lebih bersungguh-sungguh
dalam melakukan rehabilitasi, tidak hanya sekedar project.
5. Pemerintah harus lebih peduli terhadap kegiatan yang dilakukan
masyarakat, termasuk mempertimbangkan hal tersebut dalam setiap
kegiatan dan kebijakan yang dibuat. Hal ini bertujuan agar diperoleh
keterpaduan antara keduanya dan bersifat menguntungkan.
Peneliti juga menyadari kekurangan dalam penelitian ini. Berbicara tentang
pengelolaan tidak cukup dengan memandang beberapa aspek saja. Aspek penting
yang belum terbahas secara detail dalam penelitian ini adalah tentang konflik serta
penyelesaiannya di kawasan Pamurbaya, sehingga dibutuhkan penelitian lebih
lanjut mengenai hal tersebut.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abbas R. 2005. Mekanisme perencanaan partisipasi stakeholder Taman Nasional
Gunung Rinjani [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Adrianto L. 2004. Sinopsis pengenalan/konsep dan metodologi valuasi ekonomi
sumberdaya pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
IPB. Bogor.
Affandy D, Wulandari P. 2012. An exploration local wisdom priority in public
budgeting process of local government. International Journal of Economics
and Research 3(5): 61-76.
Andersen JH, Schlter L, rtebjerg G. 2006. Coastal eutrophication : recent
developments in definition and implications for monitoring strategies.
Journal of plankton research, 28(7): 621-628.
Andriani J. 2002. Studi kualitatif mengenai alasan menyitir dokumen: Kasus pada
lima mahasiswa Program Pascasarjana IPB. Jurnal Perpustakaan Pertanian
11(2): 29-40.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surabaya. 2012. Profil keanekaragaman
hayati dan ekosistem Kota Surabaya tahun 2012. BLH Kota Surabaya.
Surabaya.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya. 2005. RTRL
Kota Surabaya tahun 2005-2015. Bappeko Kota Surabaya. Surabaya.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya. 2012. Dokumen
rencana tata ruang kawasan strategis (RTRKS) Kota Surabaya. BAPPEKO
Kota Surabaya. Surabaya.
Bayu A. 2009. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber produk alam laut.
Jurnal Oseana, 34(2): 15-23
Bengen DG. 2000. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem
mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan LautanIPB. Bogor.
Bogdan RC, SK Biklen. 1982. Qualitative research for education. Allyn and
Bacon, Inc. USA.
Cahyandito, M. F., 2005, Corporate sustainability reporting A new approach for
stakeholder communication. Kessel Publisher. Remagen-Oberwinter.
Chaiphar W, Sakolnakorn TPN, Naipinit A. 2013. Local wisdom in the
environmental management of a community: Analysis of local knowledge
in Tha Pong Village, Thailand. Journal of Sustainable Development 6(8):
16-25.
Dahuri R. 1998. Kebutuhan riset untuk mendukung implementasi pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. Indonesian Journal of Coastal
and Marine Resource 1(2): 82-99
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut : Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
David. 2002. Analisis SWOT. Edisi ke-2 cetakan ke-3. Pustaka pelajar.
Yogyakarta.
64
Dewi IA, I Santoso. 2007. Aplikasi metode AHP (Analytical Hierarchy Process)
dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi mutu bakso ikan
kemasan. Jurnal Teknologi Pertanian 8(1): 19-25.
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2012. Kebijakan dan
tantangan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Direktorat Kawasan
Konservasi dan Jenis-jenis Ikan.
Ghufran MH, K Kordi. 2012. Potensi, fungsi, dan pengelolaan ekosistem
mangrove. PT Rineka Cipta. Jakarta. Hal 16.
Herdiansyah G. 2012. Analisis stakeholder dalam pembangunan KPH di
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Tropis, 13(1): 62-72.
Imran Z, M Yamao. 2014. Bagian kedua : Kontruksi peran Panglima Laot Lhok
menuju tata kelola kawasan konservasi daerah berbasis sosial-ekologi
sistem. Annals of tropical research 4: 36-62.
Inoue Y, O Hadiyati, HMA Affendi, KR Sudarma, IN Budiana. 1999. Sustainable
management models for mangrove forest. Japan International Cooperation
Agency. Hal. 46.
Indrayanti MD. 2012. Pengelolaan ekosistem mangrove di Teluk Blanakan,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Proposal Penelitian. Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Krausset KW, CE Lovelock, KL McKee, LL Hoffman, SML Ewe, P Sousa. 2008.
Environmental Ddrivers in Mangrove Establishment and Early
Development: A Review. Journal Aquatic Botany 89: 105127.
Kusmana C, Pradyatmika P, Husin YA, Shea G, Martindale D. 2000.
Mangrove litter-fall studies at the Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia.
Indonesian Journal of Tropical Agriculture, 9(3): 39-47.
Kustanti A, Nugroho B, Darusman D, Kusmana C. 2012. Integrated
management of mangrove ecosystem in Lampung Mangrove Centre, East
Lampung, Regency Indonesia. Journal of Coastal Development, 15(2):
209-216.
Kusumastanto T, KA Aziz, M Boer, A Purbayanto, R Kurnia, G Yulianto, E
Eidman, Y Wahyudin, Y Vitner, A Solihin. 2004. Kebijakan pengelolaan
sumberdaya perikanan Indonesia. Kerja sama Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Bogor.
Lasabuda R. 2013. Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif
Negara kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax, 1(2):92-101.
Maedar F. 2008. Analisis ekonomi pengelolaan mangrove di Kecamatan
Merawang Kabupaten Bangka. Bangka.
Martinuzzi S, WA Gould, A Lugo, E Medina, 2009. Conversion and Recovery of
Puerto Rican Mangroves: 200 Years of Change. Journal Forest Ecology and
Management 257: 7584.
Mufid AS. 2010. Revitalisasi kearifan lokal dalam pemberdayaan masyarakat.
Jurnal Multikultural & Multireligius, 9(34): 83-92.
Mulyadi E, O Hendriyanto, N Fitriani. 2009. Konservasi hutan mangrove sebagai
ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 1: 51-57.
Mungmachon MR. 2012. Knowledge and local wisdom: Community treasure.
International Journal of Humanities and Socal Science 2(13): 174-181.
65
Musianto LS. 2002. Perbedaan pendekatan kuantitatif dengan pendekatan
kualitatif dalam metode penelitian. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan
4(2): 123-136.
Nugroho B. 2012. Land rights of community forest plantation policy: Analysis
from an institutional perspective. Journal of Tropical Forest Management,
17(3): 111-118.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Edisi ketiga. Gajah mada University Press.
Jogjakarta. Hal. 134-162.
Ostrom E. 2009 A general framework for analyzing sustainability of social
ecological systems. Science 325: 419422.
Paharudin. 2011. Aplikasi sistem informasi geografi untuk kajian kerentanan
Pantai Utara Jakarta [tesis]. Program Studi Ilmu Teknologi Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Paloma V, MG Ramirez, C Camacho. 2014. Well being and social justice among
Moroccan migrants in Southern Spain. Journal of Community Psychol 54:
111.
Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT: Teknik membedah kasus bisnis reorientasi
konsep perencanaan strategis untuk menghadapi abad 21. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 200 hal.
Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT: Teknik membedah kasus bisnis. Gramedia.
Jakarta
Rahmat PS. 2009. Penelitian kualitatif. Jurnal Equilibrium, 5(9): 1-8.
Reed M, A Graves, N Dandy, H Posthumus, K Hubacek, J Morris, C Prell, CH
Quinn, LC Stringer. 2009. Whos and why? A typology of stakeholder
analysis methods for natural resource management. Journal of
Environmental Management, 90(2009): 1933-1949.
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 tentang
rencana tata ruang wilayah Kota Surabaya. Peraturan Daerah Kota Surabaya
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 27 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-Undang Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Nomor 17 tentang kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menteri Kelautan dan
Perikanan Republk Indonesia.
Ridwan NA. 2007. Landasan keilmuan kearifan lokal. Jurnal Studi Islam dan
Budaya, 5(1): 27-38.
Ruddle K. 2000. System of knowledge: Dialog, relationship, and process. Jurnal
Environment, Development, Sustainability, 2: 277-304.
Saaty TL. 1993. Decision making for leader: The analytical hierarchy process for
decision in complex World. Pittsburgh: prentice Hall Coy. Ltd.
Sanudin, Harianja AH. 2009. Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan mangrove
di Desa Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara. Jurnal Sosial Ekonomi,
9(1): 37-45.
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafati. Jurnal
Filsafat, 37(2): 111-120.
Stanis S. 2005. Pengelolaan sumberdaya pesisir Dan laut melalui pemberdayaan
kearifan lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur [tesis].
Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP. Semarang.
66
Sulistiyowati H. 2009. Biodiversitas Mangrove di Cagar Alam Pulau Sempu.
Jurnal Sainstek, 8(1): 59-63.
Suporaharjo. 2005. Strategi dan praktek kolaborasi di dalam manajemen
kolaborasi memahami pluralisme untuk membangun konsensus. 2005.
Pustaka Latin. Bogor
Supriharyono, 2007. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir
dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tambunan R, RH Harahap, Z Lubis. 2005. Pengelolaan hutan mangrove di
Kabupaten Asahan. Jurnal Studi Pembangunan, 1(1): 55-69.
Wagiran. 2010. Pengembangan model kearifan lokal di wilayah Provinsi DIY
dalam mendukung perwujudan visi pembangunan DIY menuju tahun 2025.
Penelitian Biro Administrasi Pembangunan. Yogyakarta.
Wagiran. 2012. Pengembangan karakter berbasis kearifan lokal hamemayu
hayuning bawana. Jurnal Pendidikan Karakter, 2(3): 329-339.
Wahyudin Y. 2004. Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM). Makalah
Disampaikan Pada Pelatihan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu 15
September 2004 Bogor. Bogor.
Waryono T. 2000. Keanekaragaman hayati dan konservasi ekosistem mangrove.
Makalah Disampaikan Pada Diskusi Panel Biologi Konservasi FMIPA-UI
Tahun 2000. Depok.
Wei-dong H, Jin-ke Le, Xiu-Ling H, Ying-Ya C, Fu-Liang Y, Li-qiang X, Ning
Y. 2003. Shelfish and fish biodiversity of mangrove ecosystems in Leizhou
Peninsula, China. Journal of Coastal Development, 7(1): 21-29.
Wijaya NI. 2011. Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui
optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata) di Taman
Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur [disertasi]. Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya
pesisir berbasis konservasi. Makalah seminar sains pada Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
67
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Untuk Mengetahui Sikap Masyarakat Terhadap
Mangrove Pamurbaya
Sikap Masyarakat Terhadap Keberadaan Mangrove Pamurbaya
No.
Daftar Pernyataan
STS TS
TT
S
1 Masyarakat mengerti mangrove
2 Masyarakat menganggap mangrove
penting
3 Masyarakat setempat mau untuk
mengenal dan mengelola mangrove
4 Mangrove Pamurbaya memiliki banyak
manfaat
5 Masyarakat memperoleh manfaat dari
mangrove Pamurbaya
6 Masyarakat peduli dengan mangrove
7 Kondisi mangrove Pamurbaya rusak
8 Kerusakan
mangrove
dapat
memberikan
efek
negatif
pada
masyarakat
9 Mangrove berperan besar dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat
Sikap Masyarakat Terhadap Pengelolaan Mangrove Pamurbaya
No.
Daftar Pernyataan
STS TS
TT
S
1 Pengelolaan mangrove oleh pemerintah
sudah baik
2 Pengelolaan mangrove oleh pihak lain
yang berkepentingan sudah baik
3 Masyarakat sudah mengelola mangrove
dengan baik
Keterangan : STS (Sangat Tidak Setuju)
TS (Tidak Setuju)
TT (Tidak Tahu / Ragu-ragu)
S (Setuju)
SS (Sangat Setuju)
SS
SS
68
Lampiran 2. Panduan Scoring untuk Mengetahui Tingkat Kepentingan
Stakeholder
1.
2.
3.
Sumber daya apa saja yang disediakan oleh instansi bapak / ibu / saudara?
Skor 5 : Sumberdaya manusia, dana, fasilitas, informasi
Skor 4 : Menyediakan tiga sumberdaya
Skor 3 : Menyediakan dua sumberdaya
Skor 2 : Menyediakan satu sumberdaya
Skor 1 : Tidak menyediakan sumberdaya apapun
4.
5.
69
Lampiran 3. Panduan Scoring untuk Mengetahui Tingkat Pengaruh
Stakeholder
1.
2.
3.
4.
70
5.
71
Lampiran 4. Kuesioner untuk Orang-orang yang terlibat dalam Sampel
Pada AHP
Penelitian yang berjudul Pengelolaan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal
dan Hubungannya dengan Kebijakan Pemerintah, bertujuan untuk melihat
bentuk-bentuk pengelolaan magrove yang dilakukan oleh masyarakat setempat,
dan bagaimana hubungannya dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
setempat.
Kearifan lokal yang digunakan dalam penelitian ini ada sembilan, yaitu :
1. Pembuatan sirup dengan bahan dasar buah mangrove jenis Sonneratia
caseolaris. Pengelolaan yang dilakukan agar mangrove terus lestari, yaitu
mendonasikan 2,5 % laba untuk perawatan dan penanaman mangrove,
menanam 5 bibit mangrove setiap petik buah, serta menanam 10 bibit
mangrove bagi masyarakat yang tertarik membuat sirup mangrove.
2. Pembuatan batik dengan pewarna yang berbahan dasar daun mangrove.
Pengelolaan yang dilakukan agar mangrove terus lestari, yaitu dengan
mendonasikan 2,5 % laba untuk perawatan dan penanaman mangrove,
serta menanam 10 bibit mangrove bagi masyarakat yang tertarik untuk
membuat batik mangrove.
3. Pembuatan olahan permen yang terdiri permen, dodol, dan jenang dengan
menggunakan bahan dasar buah mangrove jenis Sonneratia caseolaris
atau sisa sari dari pembuatan sirup mangrove. Pengelolaan yang dilakukan
agar mangrove terus lestari, yaitu mendonasikan 2,5 % laba untuk
perawatan dan penanaman mangrove, menanam 5 bibit mangrove setiap
petik buah, serta menanam 10 bibit mangrove bagi masyarakat yang
tertarik membuatnya, dan membersihkan sampah di daerah mangrove.
4. Pembuatan selai dengan bahan dasar buah mangrove jenis Sonneratia
caseolaris. Pengelolaan yang dilakukan agar mangrove terus lestari, yaitu
dengan mendonasikan 2,5 % laba untuk perawatan dan penanaman
mangrove, serta menanam 5 batang bibit mangrove tiap sekali petik buah.
5. Pembuatan tepung dengan menggunakan bahan dasar buah mangrove jenis
Bruguiera gymnorrhiza. Tepung mangrove ini dapat digunakan untuk
membuat mie, brownies, cendol, serta kerupuk. Pengelolaan yang
dilakukan agar mangrove terus lestari, yaitu dengan mendonasikan 2,5 %
laba untuk perawatan dan penanaman mangrove, menanam 5 batang bibit
mangrove setiap sekali petik buah, serta menanam 10 batang bibit
mangrove bagi masyarakat yang tertarik untuk membuat tepung mangrove.
6. Pembuatan tempe dengan menggunakan kedelai yang dibungkus daun
mangrove. Pengelolaan yang dilakukan agar mangrove lestari, yaitu
mendonasikan 2,5 % laba untuk perawatan dan penanaman mangrove,
serta menanam 10 bibit mangrove bagi masyarakat yang tertarik membuat.
7. Pembuatan sabun (sabun cuci dan sirvega) dengan bahan dasar ampas sisa
pengolahan mangrove. Pengrajin memanfaatkan ampas mangrove yang
merupakan limbah pembuatan makanan dan minuman berbahan dasar
mangrove. Limbah sisa pencucian daari sabun ini juga tidak berbahaya
bagi lingkungan karena terbuat dari bahan alami. 2,5 % laba dari kegiatan
ini didonasikan untuk perawatan dan penanaman mangrove.
72
8.
Nilai 1
Nilai 3
Nilai 5
Nilai 7
Nilai 9
Nilai 2, 4, 6, 8
Panduan Penilaian
Kedua faktor sama pentingnya
Faktor yang satu sedikit lebih penting daripada faktor
yang lainnya
Faktor satu esensial atau lebih penting daripada faktor
Lainnya
Satu faktor jelas lebih penting daripada faktor lainya
Satu faktor mutlak lebih penting daripada faktor lainnya
Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan.
73
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Sirup mangrove
Batik mangrove
Batik mangrove
Batik mangrove
Batik mangrove
Batik mangrove
Batik mangrove
Batik mangrove
Permen mangrove
Permen mangrove
Permen mangrove
Permen mangrove
Permen mangrove
Permen mangrove
Selai mangrove
Selai mangrove
Selai mangrove
Selai mangrove
Selai mangrove
Tepung mangrove
Tepung mangrove
Tepung mangrove
Tepung mangrove
Tempe mangrove
Tempe mangrove
Tempe mangrove
Sabun mangrove
Sabun mangrove
74
Lampiran 5. Kuesioner untuk Masyarakat yang Terlibat dalam Pengelolaan
Mangrove Berbasis Kearifan Lokal Prioritas
Kekuatan :
A1 :
A2 :
A3 :
A4 :
Kelemahan :
: B1
: B2
: B3
: B4
Peluang :
C1 :
C2 :
C3 :
C4 :
Ancaman :
: D1
: D2
: D3
: D4
Penentuan Bobot
1 : Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal;
2 : Jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal;
3 : Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal;
4 : Jika indikator horizontal sangat penting daripada indikator vertikal.
Penentuan Nilai (bobot) IFAS
A1
A2
A3
A1
A2
A3
A4
B1
B2
B3
B4
Penentuan Nilai (bobot) EFAS
C1
C2
C3
C1
C2
C3
C4
D1
D2
D3
D4
A4
B1
B2
B3
B4
C4
D1
D2
D3
D4
75
Penentuan Rating
Skala penilaian peringkat kekuatan untuk matriks Internal Factor Evaluation
(IFE)
1 = Kekuatan yang kecil
3 = Kekuatan yang besar
2 = Kekuatan sedang
4 = Kekuatan yang sangat besar
Skala penilaian rating faktor kelemahan, merupakan kebalikan dari faktor
strategis kekuatan
1 = Kelemahan yang sangat berarti
3 = Kelemahan yang tidak berarti
2 = Kelemahan yang cukup berarti
4 = Kelemahan yang tidak berarti
Pemberian nilai peringkat peluang untuk Eksternal Factor Evaluation (EFE)
untuk faktor peluang
1 = Peluang rendah, respon kurang
3 = Peluang tinggi, respon diatas
rata-rata
2 = Peluang sedang, respon rata-rata
4 = Peluang tinggi, respon superior
Pemberian nilai peringkat ancaman, merupakan kebalikan dari faktor peluang
1 = Ancaman sangat besar
3 = Ancaman sedang
2 = Ancaman besar
4 = Ancaman kecil
A1=
A2=
A3=
A4=
B1=
B2=
B3=
B4=
Hari/tanggal
Nama Responden
Pendidikan
Pekerjaan
Umur
Tanda tangan
:
:
:
:
:
:
C1=
C2=
C3=
C4=
D1=
D2=
D3=
D4=
76
Lampiran 6. Kuesioner untuk Mengetahui Sikap, Persepsi, dan Kebijakan
Pemerintah Terhadap Pengelolaan Mangrove Pamurbaya
(Hubungannya dengan Masyarakat)
1. Apakah anda mengetahui, bagaimana pengaruh mangrove Pamurbaya
terhadap masyarakat sekitar? Jelaskan!
2. Manfaat apa yang didapatkan oleh masyarakat dari pengelolaan kawasan
mangrove Pamurbaya oleh pemerintah? Jelaskan!
3. Bagaimana menurut pandangan anda, tentang kawasan mangrove sebagai
lahan yang dapat mensejahterahkan masyarakat? Jelaskan!
4. Apakah anda mengetahui kegiatan pengolahan dan pengelolaan mangrove
yang dilakukan masyarakat? Sebut dan Jelaskan! (Jika ya lanjut ke
pertanyaan 6-8, jika tidak langsung ke 9)
5. Bagaimana menurut anda pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut? Jelaskan!
6. Apakah anda mendukung kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat?
7. Langkah apa yang anda tempuh untuk mendukung kegiatan pengelolaan
mangrove yang dilakukan oleh masyarakat? Sebut dan jelaskan!
8. Menurut anda, apakah keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
mangrove itu perlu? Jelaskan sejauh apa dan bagaimana bentuk
keterlibatannya!
9. Dalam kegiatan apa saja masyarakat ikut dalam program pengelolaan
mangrove Pamurbaya oleh pemerintah? Jelaskan!
10. Kegiatan apa saja yang sudah instansi anda lakukan terkait pengelolaan
mangrove Pamurbaya? Sebutkan!
11. Apakah instansi anda telah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
mangrove yang instansi anda lakukan? Jelaskan!
12. Menurut anda, apakah setiap kebijakan pengelolaan mangrove harus
dikonsultasikan kepada masyarakat? Jika ya, jelaskan juga apakah hal
tersebut sudah dilakukan!
13. Apa tujuan anda terlibat dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya?
Jelaskan korelasinya dengan kepentingan masyarakat!
14. Apakah ada kebijakan yang anda buat terkait dengan pengelolaan
mangrove Pamurbaya yang dilakukan oleh masyarakat? Jika ada, berapa
banyak kebijakan dan apa isinya!
15. Bagaimana perkembangan pengelolaan mangrove Pamurbaya yang
dilakukan oleh masyarakat dari tahun ke tahun (5 tahun terakhir)?
Jelaskan!
77
Lampiran 7. Kuesioner untuk Masyarakat yang Terlibat dalam Pengelolaan
Mangrove Berbasis Kearifan Lokal
1. Bagaimana mekanisme pengelolaan mangrove yang anda/kelompok anda
lakukan? Jelaskan!
2. Apa kendala yang anda/kelompok anda alami selama melakukan
pengelolaan mangrove di Pamurbaya ini?
3. Apakah ada perhatian, peran atau dukungan dari pemerintah terhadap
kegiatan anda/kelompok anda? Jika ya, dalam bentuk apa!
4. Apakah pemerintah mengetahui kegiatan yang anda/kelompok anda
lakukan? Jika ya, apa tindakan pemerintah!
5. Apakah dalam melakukan kegiatan ini, anda/kelompok anda meminta izin
kepada pemerintah? Jika ada, bagaimana mekanismenya!
6. Menurut anda, apakah kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan
pemerintah, memberikan pengaruh terhadap kegiatan pengelolaan yang
anda/kelompok anda lakukan? Jelaskan!
7. Apakah pemerintah melibatkan anda/kelompok anda dalam kegiatan
pengelolaan mangrove yang dilakukannya? Jelaskan!
8. Apakah pemerintah menyukai dan setuju dengan kegiatan yang
anda/kelompok anda lakukan? Jelaskan bagaimana pemerintah
mengapresiasinya!
9. Aspek apa yang paling menonjol dalam pengelolaan yang anda/kelompok
anda lakukan (sosial, ekonomi, ekologi)? Mana yang paling disenangi
pemerintah?
78
Lampiran 8. Data Jenis Mangrove Kawaasan Lindung Pamurbaya
No Nama Ilmiah
I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Mangrove Sejati
Acanthus ebracteatu
Acanthus ilicifolius
Acrostichum aureum Linn
Aegiceras floridum
Aegiceras corniculatum
Avicennia alba
Avicennia marina
Avicennia officinallis
Excoecaria agalocha
Rhizophora mucronata
Rhizipora apiculata
Sonneratia caseolaris
Sonneratia ovata
Sonneratia alba
Xylocarpus granatum
Bruguiera cylindrical
Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera parviflora
Scyphiphora hydrophyllacea
Mangrove Ikutan
Barringtonia asiatica (L.) Kurs
Calophyllum inophyllum L
Calotropis gigantea L. Dryander
Cerbera manghas L
Derris trifolia
Finlaysonia maritima
Hibiscus tiliaceus L
Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet
Morinda citrifolia
Passiflora foetida (L.)
Ricinus communis Linn
Sesuvium portulacastrum (L.)
Terminalia catappa L
Wedelia biflora (L.) DC
Nama Lokal
GA
Jeruju putih
Jeruju hitam
Paku laut
Mangekasihan
Perepat tudung
Api-api
A. Daun lebar
Api-api putih
Buta-buta
Bakau hitam
Bakau minyak
Bogem merah
Bogem
Bogem
Niri
Tanjang putih
Tanjang merah
Tanjang
Persebaran
KPT WR
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Keben
Nyampulng
Widuri
Bintaro
Tuba laut
Basang siap
Waru laut
Katang-katang, Tapak kuda
Mengkudu
Semangka kurung
Jarak kepyar
Krokot laut
Ketapang
Seruni laut
Keterangan:
GA
= Kelurahan Gunung Anyar
KPT = Kelurahan Kejawan Putih Tambak
WR = Kelurahan Wonorejo
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
79
Lokasi Sampling Mangrove
Nama Ilmiah
Crustacea
Episesarma lafondi (Hombron & Jacquinot, 1846)
Uca dussumieri (H. Milne-Edwards 1852)
Metopograpsus latifrons (White, 1847)
Ocypode ceratophthalmus (Pallas, 1772)
Uca pugnax (Smith, 1870)
Metaplax elegans (de Man, 1888)
Uca paradussumieri (Bott, 1973)
Uca minax (Le Conte, 1855)
Dotilla myctiroides (Edwards, 1852)
Uca forcipata (Adams & White, 1848)
Clibanarius amboinensis (De Man, 1888)
Parathelphusa convexa (De Man, 1879)
Scylla serrata (Forskal, 1775)
Scylla paramamosain
Scylla olivacea (Herbst, 1796)
Varuna yui (Hwang & Takeda, 1984)
Tachypleus gigas (Muller, 1785)
Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille, 1802)
Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758)
Status
Keterangan
A
I
I
A
I
I
I
I
A
I
A
A
A
A
A
I
A
A
I
Seluruh Pamurbaya
G. Anyar, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
G. Anyar, Rungkut
G. Anyar
Seluruh Pamurbaya
G. Anyar, Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Rungkut
Sukolilo
81
Rajungan karang
Udang
Udang galah
Udang putih
Udang ronggeng
Udang tambak
Udang windu
Keong 1
Keong 2
Keong 3
Keong 4
Keong biasa
Keong cassidula
Keong freshwater
Keong giant african
Keong java turrid
Keong malaysian trumpet
Keong rare-spined murex
Keong red-mouth nerite
Keong spiky trumpet
Keong terompet
Keong 5
Keong mas
Keong sawah / Kreco
I
A
A
A
A
Sukolilo
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
A
A
I
A
A
A
I
A
A
A
A
A
A
A
I
A
Seluruh Pamurbaya
G. Anyar, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
G. Anyar, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
82
Keong teleskop
Keong ternate
Kerang batik
Kerang bulu 1
Kerang bulu 2
Kerang darah
Kerang hijau
Kerang nenek
Ular air pelangi
Ular air tambak
Ular bandotan tutul
Ular laut 2
Nyambik
Bekepek / genggehek
Blosoh
Buntal
Cucut
Ikan glodok
Ikan kapas-kapas
Bandeng
Bandeng lanang
Gurami
Ikan belut
A
A
I
A
A
A
A
A
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
A
I
I
A
A
Sukolilo
Seluruh Pamurbaya
Sukolilo
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
A
A
A
A
A
A
A
A
A
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
83
Ikan lidah
Ikan manyung
Jendil
Kakap putih
Kerong-kerong
Ketang-ketang
Kurau
Layur
Lele
Lele dumbo
Montho / nilem
Mujaer
Nila
Patin
Payus
Peperek
Sembilang
Sepat
Sili
Tawes
Tigawaja
Ulo
Ubur-ubur bulan
A
A
A
A
A
I
I
A
A
A
I
I
A
A
I
A
A
I
A
I
A
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
84
Keterangan :
Status
: (A) Asli bukan endemik; (I) Introduksi
Keterangan : Kecamatan ditekukannya spesies
Darat
Nama Lokal
Katak pohon
Kodok bangkong
Kodok besar
Kodok buduk
Kodok puru hutan
Katak hijau
Kodok sawah 1
Kodok sawah 2
Laba-laba 5
Berkik ekor kipas
Berkik rawa
Biru laut ekor blorok
Biru laut ekor hitam
Burung madu kelapa
Burung madu sriganti
Cabai jawa
Nama Ilmiah
Amphibia
Polypedates leucomystax (Gravenhorst, 1829)
Bufo asper (Gravenhort, 1829)
Kaloula baleata (Muller, 1836)
Bufo melanostictus (Schneider, 1799)
Bufo biporcatus (Gravenhorst, 1829)
Rana macrodon (Inger, 1958)
Fejervarya cancrivora (Gravenhorst, 1829)
Fejervarya limnocharis (Boie, 1835)
Arachinida
Nephila vitiana (Walckenaer, 1847)
Aves
Gallinago gallinago (Linnaeus, 1758)
Gallinago megala (Swinhoe,1861)
Limosa lapponica (Linnaeus, 1758)
Limosa limosa (Linnaeus, 1758)
Anthreptes malacensis (Scopoli, 1786)
Nectarinia jugularis (Linnaeus, 1766)
Dicaeum trochileum (Sparrman, 1789)
Famili
Status
Keterangan
Rhacophoridae
Bufonidae
Microhylidae
Bufonidae
Bufonidae
Ranidae
Ranidae
Ranidae
A
A
A
A
A
A
A
A
Sukolilo
Sukolilo
Sukolilo
Sukolilo
Sukolilo
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Nephilidae
Rungkut
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Nectariniidae
Nectariniidae
Dicaeidae
A
A
A
A
A
A
A
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
85
Cabak kota
Caladi tilik
Cangak abu
Cangak besar
Cangak merah
Cekakak australia
Cekakak jawa
Cekakak suci
Cekakak sungai
Cerek jawa
Cerek kalung kecil
Cerek kernyut
Cerek pasir besar
Cerek pasir mongolia
Cerek tilil
Cikalang christmas
Dara laut
Dara laut biasa
Dara laut jambon
Dara laut jambul
Dara laut kecil
Dara laut kumis
Dara laut sayap putih
Dara laut tengkuk hitam
Dara laut tiram
Caprimulgidae
Picidae
Ardeidae
Ardeidae
Ardeidae
Halcyonidae
Halcyonidae
Halcyonidae
Halcyonidae
Charadriidae
Charadriidae
Charadriidae
Charadriidae
Charadriidae
Charadriidae
Sulidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
Sternidae
A
A
A
A
A
I
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
Seluruh Pamurbaya
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Rungkut, Sukolilo
Sukolilo
Sukolilo, Rungkut
Rungkut, Sukolilo
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Sukolilo
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
86
Gagang bayam belang
Gajahan besar
Gajahan kecil
Gajahan pengala
Itik benjut
Kedasi Australia
Kedidi besar
Kedidi golgol
Kedidi jari panjang
Kedidi leher merah
Kedidi merah
Kekep babi
Kipasan belang
Kirik-kirik biru
Kirik-kirik laut
Kirik-kirik senja
Pecuk padi hitam
Pecuk padi kecil
Raja udang biru
Raja udang erasia
Raja udang meninting
Tikusan alis putih
Tikusan kerdil
Tikusan merah
Tikusan seruling
Recurvirostridae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Anatidae
Cuculidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Artamidae
Rhipiduridae
Meropidae
Meropidae
Meropidae
Phalacrocoracidae
Phalacrocoracidae
Alcedinidae
Alcedinidae
Alcedinidae
Rallidae
Rallidae
Rallidae
Rallidae
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Rungkut
Rungkut
G. Anyar, Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
G. Anyar, Rungkut
G. Anyar, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
87
Titihan australia
Trinil bedaran
Trinil ekor kelabu
Trinil kaki hijau
Trinil kaki merah
Trinil lumpur asia
Trinil nordmann
Trinil pantai
Trinil rawa
Trinil rumbai
Trinil semak
Bondol jawa
Bondol peking
Burung gereja
Cici merah
Cici padi
Cipoh kacat
Elang bondol
Elang laut perut putih
Elang tiram
Kancilan bakau
Kareo padi
Kicuit kerbau
Kokoan laut
Kowak malam kelabu
Podicipedidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Scolopacidae
Estrildidae
Estrildidae
Passeridae
Cisticolidae
Cisticolidae
Aegithinidae
Accipitridae
Accipitridae
Pandionidae
Pachycephalidae
Rallidae
Motacillidae
Ardeidae
Ardeidae
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
G. Anyar, Rungkut
G. Anyar, Rungkut
G. Anyar, Rungkut
G. Anyar, Rungkut
G. Anyar, Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
G. Anyar, Rungkut
Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
Rungkut, Sukolilo
G. A, Rungkut
Rungkut
Rungkut
Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Seluruh Pamurbaya
88
Kowak malam merah
Kuntul besar
Kuntul cina
Kuntul kecil
Kuntul kerbau
Kuntul perak
Mandar batu
Mandar bontot
Mandar padi sintar
Ular kadut
Keterangan :
Status
: (A) Asli bukan endemik; (I) Introduksi
Keterangan : Kecamatan ditekukannya spesies
Ardeidae
Ardeidae
Ardeidae
Ardeidae
Ardeidae
Ardeidae
Rallidae
Rallidae
Rallidae
A
A
A
A
A
A
A
A
A
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Seluruh Pamurbaya
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Sukolilo, Rungkut
Homalopsidae
Seluruh Pamurbaya
Skor Kepentingan
17
8
12
14
17
11
11
5
Skor Pengaruh
20
9
11
20
21
9
13
5
Skor Kepentingan
12
12
12
12
15
16
Skor Pengaruh
13
8
8
8
15
7
Skor Kepentingan
8
12
10
14
5
5
13
Skor Pengaruh
11
9
16
7
5
5
8
90
Stakeholder Kecamatan Rungkut
Nama Instansi
Kecamatan Rungkut
Kelurahan Wonorejo
Universitas Pembangunan Negara
Universitas Tujuh Belas Agustus
Pertamina
Coca Cola
Sampoerna
POS
LSM Nol Sampah
Kelompok Sadar Wisata
Kelompok Tani Mangrove Wonorejo
Kelompok Trunojoyo
Kelompok Nelayan Wonorejo
Kelompok Bintang Timur
Kelompok Ekowisata
Kelompok Griya Karya Tiara Kusuma
Forum Kemitraan Polisi Masyarakat
PT. Gunung Anyar Sentosa
Skor Kepentingan
19
12
11
9
13
9
12
11
11
10
16
14
11
17
20
14
12
5
Skor Pengaruh
17
11
14
8
6
6
12
7
15
6
15
6
6
9
15
15
12
5
Skor Kepentingan
14
9
14
20
11
15
5
5
Skor Pengaruh
15
8
9
9
7
7
5
5
DJOKO SUWONDO
Distan
ITS
92
UHT
93
Analisis Kearifan Lokal Prioritas dari Aspek Ekologi
CHUSNIYA
Distan
94
DJOKO SUWONDO
ITS
95
UHT
96
Analisis Kearifan Lokal Prioritas dari Aspek Sosial
CHUSNIYA
Distan
97
DJOKO SUWONDO
ITS
98
UHT
99
Analisis Kearifan Lokal Prioritas dari Aspek Ekonomi
CHUSNIYA
Distan
100
DJOKO SUWONDO
ITS
101
UHT
102
Analisis Kearifan Lokal Prioritas Secara Keseluruhan
CHUSNIYA
Distan
103
DJOKO SUWONDO
ITS
104
UHT
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 26 Juni 1989 dari
ayah Muslimin Abdulrahim dan ibu Fatmawati. Penulis merupakan putra pertama
dari tiga bersaudara. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMU Muhammaduyah 2
Sidoarjo dan di tahun yang sama memasuki Universitas Airlangga (UNAIR), pada
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, dan lulus
pada tahun 2011. Penulis Berkesempatan melanjutkan pendidikan magister
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2012.