Oleh
I Gusti Agung Ngurah Arya Pradnyana Ngiiiiklulululuk
Lebih dari satu dekade lalu, para pemimpin Asean sepakat membentuk
sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Ini
dilakukan agar daya saing Asia Tenggara meningkat serta bisa menyaingi Cina
dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan
kesejahteraan. Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang
dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga
kompetisi akan semakin ketat.
Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan
barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter,
pengacara, akuntan, dan lainnya. Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Dita Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya
penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja
asing."Pembatasan, terutama dalam sektor tenaga kerja profesional, didorong
untuk dihapuskan," katanya. "Sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka
peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di
Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya."(BBC, 2014).
Dalam era masyarakat ekonomi ASEAN, persaingan perdagangan dan jasa
termasuk disektor kesehatan akan semakin kompetitif dan hanya negera dengan
pemerintah daerahnya yang siap saja yang akan mampu berkompetisi dan meraup
keuntungannya. Potensi keuntungan dapat berupa terciptanya lapangan kerja yang
luas pada sarana-sarana pelayanan kesehatan, meningkatnya kualitas pelayanan
kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan serta
kesenjangan sosial ekonomi. Secara makro, imbas positifnya juga pada
peningkatan pendapatan ekonomi rakyat dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
karena mendatangkan devisa yang besar bagi negara atau PAD bagi daerah,
perluasan cakupan skala ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi
investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta
memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis. Di samping itu, juga akan
memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar termasuk pasar jasa
kesehatan intra ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat
penyesuaian peraturan-peraturan dan standardisasi domestik. Intinya sumbersumber dan distribusi kesehatan dan kesejahteraan akan lebih dinikmati oleh
rakyat. Sebaliknya, negera dan pemerintah daerah yang tidak siap akan tergerus
oleh kuatnya arus persaingan dan daya saing melawan berbagai negara dalam
merebut pangsa pasar kesehatan dan tempat produksi berbagai obat, bahan obat
dan alat kesehatan.
Persaingan antar negara pasti memunculkan konflik trade war (perang
dagang), karena pada satu sisi ada negara-negara yang memiliki kemampuan
mengelola layanan kesehatan yang prima dilengkapi dengan berbagai teknologi
kedokteran yang canggih serta managemen korporasi rumah sakit yang dikelola
dengan prinsip efesiensi yang tinggi karena didukung oleh sumber daya kesehatan
yang berkualitas serta pelaku usaha bisnis farmasi dan peralatan medis yang kuat.
Negara-negara yang kuat seperti ini akan mampu menangkap peluang pasar sektor
kesehatan dan meluaskan basis produksi dan jasanya. Sementara di lain sisi, ada
negara-negara yang memiliki pasar yang besar dengan tingkat konsumen jasa
kesehatan yang potensial namun sumber daya kesehatan maupun pelaku usahanya
yang masih lemah. Apabila pasar ini dieksploitasi maka dapat menjanjikan
keuntungan yang besar bagi negara-negara yang kuat. Apalagi jika pemerintahnya
tidak cerdas dalam mengatur regulasi dan hukum perdagangan internasional untuk
memproteksi pasar sektor kesehatannya. Kenyatan ini sesuai dengan fakta bahwa
ketimpangan di sektor kesehatan antara negara anggota ASEAN masih
memprihatinkan, disparitas di sektor ini menyebabkan tingkat kesehatan
masyarakat yang berbeda-beda pula disetiap negara anggota ASEAN. Oleh karena
itu, tidak heran jika WHO, menyatakan bahwa hampir sepertiga dari kematian ibu
dan anak secara global terjadi di negara pada kawasan Asia Tenggara. WHO
memperkirakan bahwa sebanyak 37 juta kelahiran terjadi di Asia Tenggara setiap
tahun, tetapi ironisnya total kematian ibu dan bayi baru lahir di wilayah ini
diperkirakan mencapai 170.000-1.300.000 per tahun (WHO, 2012)
Jumlah kasus demam berdarah di Indonesia tercatat paling tinggi
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2014, sampai
pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia
sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut
lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah
penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871
penderita (DEPKES, 2015).
Perdagangan jasa kesehatan di ASEAN meliputi empat mode of supply
meliputi cross-border supply, consumption abroad, commercial presence,
danmovement
of
natural
supply merupakan
pasokan jasa lintas batas. Contohnya, layanan telemedicine atau pengobatan jarak
jauh oleh dokter Singapura bagi pasien Indonesia yang berdomisili di Indonesia,
dan sebaliknya.
Sementara pada mode kedua, consumption abroad
berarti
konsumen
domestik pergi ke luar negeri untuk membeli jasa kesehatan. Contohnya, pasien
Indonesia pergi berobat ke RS di Singapura, atau sebaliknya. Sedangkan mode
ketiga adalah commercial presence, yaitu penyedia jasa kesehatan luar negeri
memberikan jasa kesehatannya kepada konsumen di dalam negeri. Contohnya
adalah rumah sakit di Singapura yang mendirikan cabang rumah sakitnya di
Indonesia, atau sebaliknya. Kemudian yang keempat yaitu movement of natural
persons berarti tenaga kerja asing yang menyediakan jasa keahlian tertentu datang
ke negara konsumen. Umpamanya, dokter spesialis Singapura yang berpraktik
kedokteran di Indonesia, atau sebaliknya (ASEAN, 2014).
Perdagangan jasa di ASEAN diatur dalam perjanjian ASEAN Framework
Agreement on Service (AFAS) yang disepakati oleh para Menteri Ekonomi
ASEAN di Bangkok, Thailand, pada 15 Desember 1995. Secara garis besar,
AFAS mengatur antara lain: Pertama, menghapus secara nyata hambatan
perdagangan jasa untuk 5 sektor prioritas integrasi (Priority Integration
Sectors/PIS), salah satunya yaitu sektor kesehatan. Kedua, mendorong adanya
kemajuan liberalisasi sektor jasa dalam setiap putaran perundingan melalui
pengaturan
saling
pengakuan
kompetensi
(Mutual
Recognition
Recognition
kesepakatan
yang
profesional atau pelanggaran etika oleh PDRA dari negara asalnya, baik di tingkat
lokal maupun internasional, yang berkaitan dengan praktik dokter di negara
asalnya dan di negara lain (dalam batas pengetahuan PDRA di negara tersebut).
Selain itu, yang bersangkutan juga tidak boleh sedang tersangkut masalah hukum
di negara asalnya maupun di negara lain.
Di Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan lembaga
resmi yang berperan menjadi PDRA. KKI memiliki fungsi pengaturan,
pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan
praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis di
Indonesia. Pada tahun 2009, KKI telah menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia No. 157/KKI/PER/XII/2009 tentang Tata Cara Registrasi Dokter dan
Dokter Gigi Warga Negara ASEAN yang Akan Melakukan Praktik Kedokteran di
Indonesia (ASEAN, 2014). Peraturan ini juga mengharuskan adanya surat
rekomendasi dari PDGI cabang setempat di lokasi yang akan dijadikan tempatnya
berpraktik. Selain itu, peraturan ini juga mensyaratkan adanya program adaptasi,
sebagai kegiatan pembelajaran dan pengajaran bagi dokter dan dokter gigi Warga
Negara Indonesia atau Warga Negara Asing lulusan luar negeri untuk penyesuaian
kompetensi yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dan sikap serta perilaku
yang sesuai sosiobudaya masyarakat, terkait dengan kondisi dan masalah
kesehatan, agar dapat melakukan praktik kedokteran di Indonesia.
Untuk dapat bersaing dalam MEA Indonesia perlu memahami tantangan
yang dihadapinya. Beberapa tantangan bidang kesehatan yang dihadapi Indonesia
antara lain adalah kesiapan infrastruktur bidang kesehatan yang masih minim
sehingga mempengaruhi daya saing. Data terbaru dari the Global Competitiveness
Report 2013/2014 dari World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia
berada pada peringkat ke-38 dunia. Sementara itu kualitas infrastruktur Indonesia
pada posisi ke-82 dari 148 negara, dan diperingkat ke-5 diantara negara anggota
ASEAN. Gambaran peringkat ini menunjukkan bahwa infrastruktur masih lemah.
Jumlah tenaga medis di Indonesia juga masih jauh dari ideal. Kusnadi
Saputra, peniliti dari Pusat Humaniora Kementrian Kesehatan mengatakan, tahun
2014 untuk kebutuhan dokter spesialis di Rumah Sakit Umum Pemerintah dan
Pemerintah Daerah jumlahnya diperkirakan sekitar 8.626 orang, sedangkan untuk
Dokter umum kebutuhannya mencapai 4.183 orang. "Di tahun itu, Dokter
spesialis terisi 5.042 orang, dan masih kurang 1.792 orang. Sedangkan Dokter
umum
terpenuhi,"
kata
Kusnadi
Saputra,
Sabtu
(28/2/2015).
Kusnadi
menjelaskan, kebutuhan dan kekurangan itu dari berbagai fasilitas kesehatan yang
ada di Indonesia. Seperti di tahun 2014 kebutuhan itu ada di Rumah Sakit Umum
milik Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah, fasilitas Kesehatan atau
Rumah Sakit TNI, fasilitas Rumah Sakit Bhayangkara Polri dan Puskesmas total
kebutuhannya diperkirakan sebanyak 10.595 orang. Untuk kekurangannya
mencapai 3542 dokter. Tapi, untuk empat hingga lima tahun ke depan yaitu
memasuki tahun 2019, kebutuhan Dokter Spesialis di Rumah Sakit bisa
diperkirakan sekitar 18.109 orang dan kekurangannya 10.561 orang, untuk Dokter
Umum kebutuhannya 7.299 orang, kekurangannya mencapai 3.639 orang. "Untuk
fasilitasnya di tahun 2019 kebutuhannya diperkirakan sebanyak 11.069 orang,
kekurangannya 1.774 orang," kata dia (Suara Surabaya, 2015).
Terkait liberalisasi bidang jasa kesehatan di ASEAN, harmonisasi
kebijakannya masih dalam proses penjajakan, khususnya dari sisi bisnis kesehatan
seperti prasyarat mendirikan rumah sakit, pembukaan klinik, penggunaan alat
kesehatan, dan pembahasan soal penyamaan kurikulum pendidikan kedokteran.
Bila saatnya nanti disepakati maka mau tak mau Indonesia juga harus siap
mengantipasinya.
Harapan yang dapat diraih Indonesa, masih memberikan peluang yang
terbuka luas. Untuk meraihnya, Indonesia perlu meningkatkan standar kompetensi
tenaga kerja dokter di Indonesia, sambil berupaya mengejar keseragaman
kompetensi bersama di antara negara-negara ASEAN. Selain itu perlunya
melakukan evaluasi rutin standar kompetensi yang sudah dibuat untuk bisa
mengikuti perkembangan standar kompetensi di negara lain. Peningkatan jumlah
dokter melalui penambahan institusi pendidikan kedokteran, juga dibutuhkan.
Begitu pula pemerataan distribusi dokter dan intitusi kedokteran yang selama ini
bertumpuk di Pulau Jawa perlu didistrubusikan secara merata ke daerah. Selain
itu, infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi kedokteran dan institusi
pendidikan kedokteran yang memadai juga harus diperkuat. Lalu, terkait dengan
praktik dokter asing, pemerintah perlu memikirkan untuk menggunakan celah
Referensi :
WHO. 2012. Trends in maternal mortality: 1990 to 2010. WHO. Switzerland.
DEPKES. 2015. Demam Berdarah Biasanya Mulai Meningkat di Januari .
http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarahbiasanya-mulai-meningkat-di-januari.html . Diakses pada 20 Agustus 2016
pukul 19.00 WITA.
Majalah ASEAN. 2014. Kerja Sama Sektor Kesehatan ASEAN. Dirjen Kerjasama
ASEAN. Jakarta
BBC. 2014. Apa yang harus Anda ketahui tentang Masyarakat Ekonomi Asean.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140826_pasar_te
naga_kerja_aec . Diakses pada 20 Agustus 2016 pukul 20.00 WITA.
Suara Surabaya. 2015. Hadapi MEA, Indonesia Masih Kekurangan Dokter dan
Perawat.
http://www.suarasurabaya.net/print_news/Kelana