Oleh:
Alles Firmansyah
1210312035
Hidayaturrahmi F
1210312056
Nadia Oktarina
1210313046
Preseptor:
dr. Oea Khairsyaf, Sp.P (K)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculsosis. yang dapat menyerang berbagai organ, terutama
paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada di
dunia sejak 5000 tahun SM, namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian
penyakit TB baru terjadi dalam 2 abad terakhir.1
Kemajuan pengendalian TB di dunia pada awalnya terkesan lambat. Pada 1882
Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacerium tuberculosis. Pada 1906 vaksin
BCG berhasil ditemukan. Lama sesudah itu, mulai ditemuan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai anti TB pertama yang efektif.
Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan Asam Para-aminosalisilat (PAS). Pada 1951
ditemukan Isoniazid (Isonicotinic Acid Hydrazide; INH), diikuti dengan penemuan
Pirazinamid (1952) Cycloserine (1952), Ethionamide (1956), Rifampicin (1957), dan
Ethambutol (1962). Namun kemajuan pengobatan TB mendapat tantangan dengan
bermunculan strain M. Tuberculosis yang resisten terhadap OAT. Epidemi HIV AIDS
yang terjadi sejak tahun 1980-an semakin memperberat kondisi epidemi TB. Pada akhir
tahun 1980-an dan awal 1990-an mulai dilaporkan adanya resistensi terhadap OAT.1
Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan
Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan,
TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4). Sejak tahun 1969
pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Pada tahun 1995,
program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi pengobatan jangka
pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed Treatment Short-Course,
DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi
DOTS dilaksanakan secara Nasional diseluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang
diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.1
TB masih merupakan beban bagi negara berkembang baik dalam segi diagnosis
maupun tatalaksana. Diperlukan kerjasama antar sektor baik kesehatan maupun
pemerintah sebagai pengatur kebijakan mengenai masalah TB. Tatalaksana yang baik
dapat menghindari terjadinya resistensi dan komplikasi bagi pasien.
1.2 TUJUAN
Tujuan penulisan case report ini adalah untuk memahami dan menambah
pengetahuan mengenai definisi, epidemiologi, faktor resiko, patogenesis, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar terjadi pada paru yyang
mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20%
selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar.2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.3
WHO melaporkan pada tahun 2013 bahwa diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus
TB pada tahu 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan
HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah Afrika. Pada tahun 2012,
diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang
diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB pada anak diantara seluruh
kasus TB secara global menacapai 6% (530.000 pasien TB anak/ tahun), sedangkan
kematian anak yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun.4
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian
kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa
tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama pada golongan penyakit infeksi.
Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen
Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari
jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15
49 tahun.4
Usia.Usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB. Anakanak hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi. Anak dengan usia
antara lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap infeksi TB.
Daya tahan tubuh. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya
infeksi
HIV/AIDS
dan
malnutrisi
(gizi
buruk)
akan
memudahkan
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersamasama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.3
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara :
a)
Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup
gawat
seperti
tuberkulosis
milier,
meningitis
tuberkulosa,
Batuk 3 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratorik yang dialami oleh pasien sangat bervariasi, dari mulai tidak
ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi yang mengenai
paru pasien. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.4
2. Gejala Sistemik
Demam
Malaise
Keringat malam
Anoreksia
Berat badan menurun
Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada
Batuk 3 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Demam
Gejala lainnya malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
2. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
& mediastinum. Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada TB ekstra paru, antara lain :
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).4
kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif ulang
BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif bila 3
kali negatf Mikroskopik negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan
skala bronkhorst atau IUATLD. Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran
radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif,
2 kali negatif tidak perlu diulang.4
Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu
uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
dengan mudah
Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji
yang
mendeteksi
reaksi
serologi
yang
terjadi
d.
ICT
Uji
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
menegakkan diagnosis.
d. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel
limfosit dominan dan glukosa rendah
e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ
lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi
jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis,
terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila
pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan
hasil berupa granuloma dengan perkejuan
f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu
respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
g. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi
tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila
didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila
kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji
tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya
negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya
secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi
tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ
yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi
agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).
1. keluhan, gejala, dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung ke arah TB
2. kondisi yang memerlukan pengobatan segera seperti meningitis TB, TB milier, koinfeksi TB/HIV, dsb.
2.8 PENGOBATAN TB PARU
Pengobatan TB yang adekuat mengguunakan OAT harus mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. Obat harus diberikan dalam dosis
yang tepat, ditelan dalam dosis yang teratur, diawasi langsung oleh PMO (pengawas
makan obat). Pengobatan TB dibagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk
mencegah kekambuhan.6
Pada pengobatan tahap awal, OAT diberikan setiap hari untuk menurunkan
jumlah kuman. Untuk semua pasien baru, pengobatan TB harus diberikan selama 2
bulan. Umumnya, pengobatan yang teratur dan tanpa penyulit, daya penularan pasien
akan menurun secara signifikan dalam 2 minggu pengobatan. Pada tahap lanjutan,
pengobatan bertujuan untuk membunuh sisa bakteri M.tb hingga pasien benar-benar
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.6
Tabel 1.OAT lini pertama
: 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2
: 2(HRZE)S/9HRZE)/5(HR)3E3
1. Hasil Pengobatan TB
Hasil pengobatan TB dapat dilihat pada table berikut
2.9 KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau
dalam
masa
pengobatan
maupun
setelah
selesai
pengobatan.
Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
2.10 PROGNOSIS
Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat, ketersediaan
obat dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien dengan tb paru
tidak diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :8
50% meninggal
25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
BAB 3
LAPORAN KASUS
1
Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Negeri Asal
: Pak. BH
: 31 tahun
: Laki-laki
: Parak Laweh Lubeg Padang
: Padang
Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 31 tahun yang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang
bulan yang lalu. Saat ini sesak sudah berkurang. Batuk mulai dirasakan sejak 2 bulan
yang lalu. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit batuk berdahak berwarna putih
kekuningan. Batuk darah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Demam ada sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit, tidak tinggi dan tidak menggigil, namun saat ini pasien
sudah tidak demam. Keringat malam ada. Mual dan muntah ada sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati ada. Penurunan berat badan dan penurunan nafsu
makan ada. Buang air kecil berwarna teh pekat sebelum masuk rumah sakit namun saat
ini berwarna kemerahan setelah konsumsi obat TB. Buang air besar normal.
Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis kooperatif
Suhu
Tekanan darah
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Tinggi badan
Berat badan
: 38 C
: 100/70 mmHg
: 20x/min
: 69x/min
: 165 cm
: 43 kg
Kepala
Mata
Leher
Extremitas
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin
Hb
: 14,9 gr/dL
Leukosit
: 56.300/mm3
Ht
: 45%
Trombosit
: 194.000
AGD dan elektrolit
pH
: 7,38
PaCO2
: 25
PaO2
: 82
HCO3: 14,5
BE
: -10,5
SaO2
: 96
Na
: 124
K
: 2,8
Cl
: 92
Faal Ginjal
Ureum
: 19
Kreatinin
: 0,5
Faal Hepar
Bilirubin total
: 3,9
Bil. direct
: 2,5
Bil. Indirect
: 1,4
SGOT
: 51
SGPT
: 125
Kesan labor : Hiponatremia, hipokalemia, sepsis, hepatitis akut
Gambaran Rontgen toraks
Tampak multikavitas dengan fibroinfiltrat pada apeks paru.
3.5 Diagnosis Kerja
TB Paru + Hepatitis akut
6 Diagnosis Banding
Pneumonia, PPOK
7 Anjuran Terapi
Terapi non-farmakologis
-Terapi oksigen 2-3L
-NaCl 0.9% 12 jam per kolf.
Terapi farmakologis
-OAT dengan pengobatan tanpa pirazinamid karena adanya hepatitis akut
2 HRE(S) / 6 RH
BAB 4
DISKUSI
Telah datang seorang pasien usia 31 tahun dengan sesak napas pada saat 1 hari
sebelum masuk RS yaitu tanggal 28 Maret 2016. Sesak sudah dirasakan sejak 3 bulan
sebelum masuk RS dan dirasakan semakin meningkat, dirasakan sesak tidak menciut
saat sesak, sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi debu, cuaca, makanan dan
emosi, sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan asma. Dari anamnesis pasien
mengeluhkan batuk berdahak warna putih kekuningan namun tidak berdarah sejak 2
bulan yang lalu, demam subfebris, naik turun, tidak menggigil dan memiliki riwayat
keringat di malam hari. Sesak napas pada pasien dapat diduga karena adanya infeksi di
parenkim paru mengakibatkan berkurangnya tempat pertukaran oksigen di paru, dan
juga adanya fibrosis yang mengakibatkan tidak maksimal paru mengembang.4
Pasien mengalami mual, muntah dan penurunan nafsu makan. Pasien
mengeluhkan penurunan berat badan namun jumlah penurunan BB tidak diketahui
pasien. Nyeri dada tidak ada. Nafsu makan menurun. Infeksi TB menyebabkan
peningkatan metabolisme energi dan protein dalam tubuh. Asupan yang tidak adekuat
menimbulkan pemakaian cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dan kelainan
biokimia tubuh.2 Secara teori seseorang dapat diduga TB apabila menderita batuk yang
lebih dari 3 minggu, sesak napas dan adanya gejala sistemik lain seperti adanya demam,
keringat di malam hari dan adanya penurunan berat badan. Demam pada pasien ini
sering subfebril sehingga kemungkinan TB paru lebih dominan terjadi daripada
pneumonia. Untuk memastikan diagnosis maka harus dilakukan pemeriksaan lainnya,
yaitu BTA sputum dan radiologis thoraks sebagai penunjang.4
Pasien adalah seorang perokok yang menghabiskan 32 batang sehari selama 10
tahun dan sudah berhenti 3 tahun terakhir. Indeks Brinkman pasien ini masih berada
dalam kategori sedang, dimana nilai 0-199 seseorang dikatakan perokok ringan, 200599 perokok sedang, dan > 600 perokok berat. Hal ini dapat membuat pasien
mengalami sesak nafas sehingga diberikan diagnosis banding PPOK.
Pasien awalnya berobat ke Puskesmas dan didiagnosa TB Paru dan
mendapatkan OAT. OAT dihentikan oleh dokter setelah 3 hari meminum obat sejak 2
bulan yang lalu. Pasien masih harus meminum OAT kategori 1 diulang dari awal dan
dipertimbangkan keadaan hepatitisnya. Pasien harus cek BTA sputum lagi untuk melihat
apakah BTA (+) atau BTA (-).6
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinik ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada pasien karier virus
hepatitis, riwayat penyakit hepatitis akut, dan pecandu alkohol, dapat diberikan paduan
pengobatan OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis. Perlu
pemantauan pada pasien tersebut karena reaksi hepatotoksik terhadap OAT umumnya
terjadi pada pasien tersebut. Pemberian OAT harus segera dihentikan jika dicuragai
adanya alergi atau muncul gejala drug induced hepatits (DIH) seperti mual, muntah,
nyeri epigastrium dan disertaik dengan ikterik. Pasien pada layanan primer harus segera
dirujuk untuk mendapatkan tatalaksana spesialistik.6
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan
fungsi hati >3 kali normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat
dipertimbangan:
2 HRES / 6 HR
2 HES/ 10 HE
9 HRE
(ciprofloxasin tidak
9 RE / 3HE
direkomendasikan kerena
2 RZE / 4 RZE
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, maka
pengobatan TB harus semakin meminimalkan obat yang hepatotoksik. Pemantauan
klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama. Pada panduan OAT dengan
penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.7
DAFTAR PUSTAKA
2
3
Pusadatin, 2014
Darmanto D. Respirologi, respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2009.
PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia. Jakarta:
PDPI, 2014.
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta:
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
2014.
Pedoman
Nasional
PDPI, 2006.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2005.