Dispeps
Dispeps
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak atau sakit perut pada saluran cerna bagian atas (SCBA). Istilah
dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini
dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di
dalamnya penyakit yang mengenai lambung. Dari data negara barat didapatkan angka
prevalensinya berkisar antara 7-41%, tetapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan
medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 1-8%. Menurut studi
berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia
fungsional dari 1,9% pada tahun1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Dispepsia
fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5%
dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi
tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan
dispepsia ternyata telah terinfeksi H. Pylori yang terdeteksi setelah dilakukan
pemeriksaan lanjutan. Indonesia sendiri belum ada data epidemiologinya, akan tetapi
dalam praktek sehari-hari 60% pada praktek gastroenterologist merupakan kasus
dispepsia.
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Dispepsia Fungsional
2.1.1
Pengertian
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri di pada abdomen bagian
atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indisgation) mungkin digunakan oleh
pasien untuk menggambarkan dispepsia, regurgitasi atau flatus.
Dispepsia merupakan salah satu penyakit tidak menular. Dalam Konsensus
Roma III (2006), dispepsia (uninvestigated dispepsia) didefinisikan sebagai one or
more of the following bothersome postprandial fullness or early satiation, or
epigastric pain and/or epigastric burning (salah satu atau lebih dari rasa penuh yang
menyusahkan setelah makan, atau cepat merasa kenyang, atau nyeri epigastrium dan
atau rasa terbakar di epigastrium). Dalam konsesus Roma III (tahun 2006), dispepsia
fungsional didefinisikan sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri
ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum
diagnosa ditegakkan (Djojoningrat D, 2009).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak atau sakit perut pada saluran cerna bagian atas (SCBA). Istilah
dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
2
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit,
tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung. Dari data
negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar antara 7-41%, tetapi hanya 1020% yang mencari pertolongan medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara
1-8% (Abdullah, 2012).
2.1.2 Klasifikasi dispepsia
Klasifikasi didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dispepsia), dengan gejala:
a.
b.
c.
d.
Mudah kenyang
Perut cepat terasa penuh saat makan
Mual
Muntah
Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
Rasa tak nyaman bertambah saat makan
Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).
Walaupun mempunyai tanda yang berbeda, kedua dispepsia (ulkus dan
2.1.3
Etiologi
Pada dewasa muda, refluks gastroesofagus dan gastritis dengan helicobater
Disfagia
Penurunan berat badan
Muntah yang berlarut-larut
Anoreksia
Hematemesis dan melena (Kumar dan Clarks, 2009)
Obat obatan juga dapat menyebabkan dispepsia seperti anti inflamasi non
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Selain
itu makanan juga dapat menyebabkan dispepsia seperti makanan yang pedas-pedas,
dingin( termasuk lingkungan, ruangan ber AC dan stress.
2.1.4 Patofisiologi
Berbagai teori telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis terjadinya
dispepsia. Pada dispepsia fungsional sesuai dengan kriteria tidak adanya kelainan
organik pada saluran cerna atas maka teorinya pun sangat bervariasi. Proses
patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensil berhubungan dengan
dispepsia fungsional adalah sebagai berikut (Rani, Simadribata, & Syam, 2011):
1. Sekresi asam lambung
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik, dan
intestinal. Fase sefalik sudah dimulai dari bahkan sebelum makanan masuk ke
lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase
ini diperantarai oleh nervus vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Fase sefalik
menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan
makanan. Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi
antrum dapat mengakibatkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor-reseptor
pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui aferen vagus
dan kembali ke lambung melalui eferen vagus. Impuls ini merangsang pelepasan
hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung.
Gastrin dilepas dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung
untuk merangsang sekresi. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari duapertiga
sekresi lambung total. Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke
5
duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya
protein yang yang tercerna dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan
gastrin usus yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah
kecil cairan lambung. Pada periode interdigestif (antar dua waktu pencernaan)
sewaktu tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung
dalam kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut pengeluaran
asam basal (Basal Acid Output, BAO) (Price & Wilson, 2006).
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin yang rata-rata
normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak diperut (Abdullah & Gunawan, 2012). Hubungan
antara sekresi asam dengan gejala-gejala abdominal pada pasien dispepsia fungsional
adalah sebagai berikut (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011):
a.
b.
c.
d.
telah
banyak
dibuktikan
bahwa
gangguan
fungsional
Disfungsi
persarafan
vagal
diduga
berperan
dalam
hipersensitivitas
8. Hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan
prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal (Abdullah & Gunawan, 2012).
9. Diet dan lingkungan
Berbagai jenis makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal yang mencetuskan
serangan antara lain buah-buahan, asinan, kopi, alkohol, makanan berlemak, dan lainlain. Sulit dibuktikan pada penelitian bahwa faktor itu berlaku untuk setiap orang,
demikian pula dengan pola makan sesorang (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011).
10. Psikologis
10
12
2.1.5
Penunjang diagnostik
Tujuan utama pemeriksaan diagnostik adalah untuk mengeksklusikan
13
(Djojoningrat D, 2009).
Diagnosis
Semua pasien dengan dispepsia yang persisten memerlukan pengambilan
14
2.1.7
Diagnosis banding
1.
2.
3.
Ulkus peptikum.
4.
5.
15
6.
2.1.8
a. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,
16
Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya
simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu
lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun
dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat.
Magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer (Fauci,2012)
b. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H 2
antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin (Greenburger, 2008).
c. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah 18jam, jadi bisa
dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran
normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu
sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol (Fauci,2012).
d. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
17
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitarlesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik
daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan konstipasi (23%). Kontraindikasi pada
pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g per hari (Fauci,2012).
e. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional
dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam
lambung (acid clearance) (Greenburger, 2008).
f.
tetracycline
(Sumycin).
Terapi dual dengan antibiotic antara PPI/ARH2 dengan salah satu antibiotic
tidak dianjurkan karena efek eradikasi sangat minimal kurang 80% dan cepat
menimbulkan resisten kuman.
Regimen tripel terapi (PPI 2X1, Amoksisilin 2x1000 mg, Klaritromisin
2x500mg, Metronidazole 3x500mg, Tetrasiklin 4x500mg). Yang banyak digunakan
saat ini:
18
g. Psikoterapi
Dalam
beberapa
studi
terbatas,
tampaknya
20
behavioral
therapy
2.1.9 Pencegahan
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia
bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan
pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat
mengenai :
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan
menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan
penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan
harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan
juga diperhatikan porsi pemberiannya.
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi
serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik
meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan
penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang
penderita baru datang, pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang
berat, muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat
badan dan usia lebih dari 40 tahun.
3.
Pencegahan Tertier
21
membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan
otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam
lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar
yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara
perut dengan anggota tubuh lainnya (Glenda NL, 2006).
23
enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam
lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang
bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut. Di bagian dinding lambung sebelah dalam
terdapat kelenjar-kelenjar yang menghasilkan asam lambung. Aroma, bentuk, warna,
dan selera terhadap makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi asam
lambung. Asam lambung mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan
renin. Asam lambung berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan
enzim pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah
protein menjadi molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang
melicinkan makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada
mamalia, berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca 2+
dari susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renin susu yang berwujud
cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna (Glenda
NL, 2006).
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian
pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya,
otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh
24
kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan
berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam
tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali (Glenda
NL, 2006).
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks
pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang
tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk
dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan
demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral
(Glenda NL, 2006)
25
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter asam lambung,
yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5,
yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang
dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi
protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida
juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen
yang tak aktif menjadi pepsin (Glenda NL, 2006).
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi asam lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan motilitas
lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf maupun
hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi asam lambung dibagi atas fase
sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).
a. Fase Sekresi Sefalik. diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan penciuman dan
rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf pusat akan
merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan dibebaskannya
asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi langsung pada sel
parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui
aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan menstimulasinya
sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamin
26
juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus.
Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini gastrin dapat bekerja.
b. Fase Lambung. Sekresi asam lambung disebabkan oleh makanan yang masuk ke
dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kafein atau
alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan gastrin. Jika pH
turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.
c. Fase Usus. mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti dengan
penurunan sekresi asam lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus duabelas jari
akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan merangsang
pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi asam lambung lainnya dilakukan oleh
kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak mengandung lemak
sampai pada usus halus bagian atas. Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada
hormon saluran cerna lainnya yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric
inhibitory polypeptide) menghambat sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan
juga merangsang sekresi insulin dari kelenjar pankreas.
Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di
sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta
kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung dan
sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan turun
(sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Di
27
samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah n.
Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30% (Glenda NL, 2006).
Rangsang n. Vagus
Rangsang Ganglion
Stimulasi sel G
Pembebasan asethilkolin
Degranulasi mastosit
Pembebasan histamin
Pembebasan Gastrin
BAB 3
KESIMPULAN
HCl waktu tertentu dapat dialami
Dispepsia adalah keluhan Pembebasan
utama yang dalam
28
fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya
kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus. Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok
keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari
clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa
ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif
bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada
pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami
penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu
teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif
dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain daripada pengobatan. Pengobatan
dispepsia adalah antaranya seperti antasid, antikolinergik, antagonis reseptor
histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk
infeksi Helicobacter pylori dan kadang kadang diperlukan psikoterapi.
29