Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari

rasa tidak enak atau sakit perut pada saluran cerna bagian atas (SCBA). Istilah
dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini
dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di
dalamnya penyakit yang mengenai lambung. Dari data negara barat didapatkan angka
prevalensinya berkisar antara 7-41%, tetapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan
medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 1-8%. Menurut studi
berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia
fungsional dari 1,9% pada tahun1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Dispepsia
fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5%
dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi
tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan
dispepsia ternyata telah terinfeksi H. Pylori yang terdeteksi setelah dilakukan
pemeriksaan lanjutan. Indonesia sendiri belum ada data epidemiologinya, akan tetapi
dalam praktek sehari-hari 60% pada praktek gastroenterologist merupakan kasus
dispepsia.
BAB 2
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Dispepsia Fungsional

2.1.1

Pengertian
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri di pada abdomen bagian

atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indisgation) mungkin digunakan oleh
pasien untuk menggambarkan dispepsia, regurgitasi atau flatus.
Dispepsia merupakan salah satu penyakit tidak menular. Dalam Konsensus
Roma III (2006), dispepsia (uninvestigated dispepsia) didefinisikan sebagai one or
more of the following bothersome postprandial fullness or early satiation, or
epigastric pain and/or epigastric burning (salah satu atau lebih dari rasa penuh yang
menyusahkan setelah makan, atau cepat merasa kenyang, atau nyeri epigastrium dan
atau rasa terbakar di epigastrium). Dalam konsesus Roma III (tahun 2006), dispepsia
fungsional didefinisikan sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri
ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum
diagnosa ditegakkan (Djojoningrat D, 2009).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak atau sakit perut pada saluran cerna bagian atas (SCBA). Istilah
dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
2

nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit,
tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung. Dari data
negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar antara 7-41%, tetapi hanya 1020% yang mencari pertolongan medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara
1-8% (Abdullah, 2012).
2.1.2 Klasifikasi dispepsia
Klasifikasi didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dispepsia), dengan gejala:
a.
b.
c.
d.

Nyeri epigastrium terlokalisasi


Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
Nyeri saat lapar
Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan


gejala:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
3.

Mudah kenyang
Perut cepat terasa penuh saat makan
Mual
Muntah
Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
Rasa tak nyaman bertambah saat makan
Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).
Walaupun mempunyai tanda yang berbeda, kedua dispepsia (ulkus dan

dismotility) ini mempunyai penyebab yang sama yaitu adanya ketidakseimbangan


antara faktor defesif dan faktor agresif (Djojoningrat D, 2009).

2.1.3

Etiologi
Pada dewasa muda, refluks gastroesofagus dan gastritis dengan helicobater

positif merupakan penyebab yang sering.

Dispepsia dapat merupakan salah satunya yang menjadi gejala keganasan


saluran cerna bagian atas. Oleh karena itu semua pasien tua dan pasien yang tidak
iketahui penyebabnya perlu dilakukan endoskopi (pierce, 2006)
Alarm yang perlu diperhatikan akan adanya gejala dari keganasan adalah
1.
2.
3.
4.
5.

Disfagia
Penurunan berat badan
Muntah yang berlarut-larut
Anoreksia
Hematemesis dan melena (Kumar dan Clarks, 2009)
Obat obatan juga dapat menyebabkan dispepsia seperti anti inflamasi non

steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.

Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Selain
itu makanan juga dapat menyebabkan dispepsia seperti makanan yang pedas-pedas,
dingin( termasuk lingkungan, ruangan ber AC dan stress.
2.1.4 Patofisiologi
Berbagai teori telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis terjadinya
dispepsia. Pada dispepsia fungsional sesuai dengan kriteria tidak adanya kelainan
organik pada saluran cerna atas maka teorinya pun sangat bervariasi. Proses
patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensil berhubungan dengan
dispepsia fungsional adalah sebagai berikut (Rani, Simadribata, & Syam, 2011):
1. Sekresi asam lambung
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik, dan
intestinal. Fase sefalik sudah dimulai dari bahkan sebelum makanan masuk ke
lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase
ini diperantarai oleh nervus vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Fase sefalik
menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan
makanan. Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi
antrum dapat mengakibatkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor-reseptor
pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui aferen vagus
dan kembali ke lambung melalui eferen vagus. Impuls ini merangsang pelepasan
hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung.
Gastrin dilepas dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung
untuk merangsang sekresi. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari duapertiga
sekresi lambung total. Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke
5

duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya
protein yang yang tercerna dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan
gastrin usus yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah
kecil cairan lambung. Pada periode interdigestif (antar dua waktu pencernaan)
sewaktu tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung
dalam kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut pengeluaran
asam basal (Basal Acid Output, BAO) (Price & Wilson, 2006).
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin yang rata-rata
normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak diperut (Abdullah & Gunawan, 2012). Hubungan
antara sekresi asam dengan gejala-gejala abdominal pada pasien dispepsia fungsional
adalah sebagai berikut (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011):
a.
b.
c.
d.

Peningkatan stimulasi lambung terhadap gastrin releasing peptide.


Peningkatan sensitivitas viseral terhadap asam lambung.
Perubahan sekresi dan respons terhadap sekretin dan kolesistokinin.
Perubahan fase migrating motor complex akibat asam lambung.
2. Infeksi Helicobacter pylori (H.pylori)
Helicobacter pylori adalah organisme patogen yang memiliki angka infeksi
tinggi di negara berkembang. Di daerah yang endemik, tampaknya infeksi ini
berjangkit pada masa anak dan menetap selama 10 tahun. H.pylori pada gastritis
menyebabkan cedera jaringan akibat kombinasi pengeluaran enzim dan toksin bakteri
serta pengeluaran zat kimia merugikan oleh neutrofil yang datang (Kumar, Cotran, &
Robbins, 2012).

Peran infeksi H.pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya


dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan H.pylori pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan angka
kekerapan H.pylori pada kelompok orang sehat. Korelasinya sebagai faktor penyebab
masih banyak diperdebatkan dan juga manfaat eradikasi H.pylori pada dispepsia
fungsional (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
3. Dismolitas gastrointestinal
Motilitas adalah gerakan propulsi/peristaltik yang dipengaruhi oleh regulasi
susunan saraf enterik melalui berbagai neurontransmiter. Berbagai keadaan dapat
mempengaruhi motilitas ini (baik hiper, hipo maupun dismotilitas) dengan berbagai
manifestasi persepsi viseralnya (keluhan nyeri perut, nausea, dan lain-lain). Isu
dibidang ini menjadi menonjol pada gangguan saluran cerna fungsional dimana tidak
didapatkan temuan lesi organik struktural. Aktivitas listrik otot polos usus pada garis
besarnya terdiri atas aktivitas pada waktu puasa dan tidak ada makanan dalam
lambung dan aktivitas postprandial. Migrating motor complex (MMC) adalah
aktivitas elektrik yang klasik pada fase puasa yang banyak dikaitkan dengan
patogenesis berbagai gangguan saluran cerna fungsional. Gangguan motorik lambung
banyak dilaporkan sebagai dasar terjadinya dispepsia fungsional ini. Dismotilitas
saluran cerna merupakan keadaan yang kompleks yang melibatkan aktivitas elektrik
otot polos, perubahan tekanan intralumen usus dan proses pasase isi usus (Rani,
Simadibrata, & Syam, 2011).
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan
beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, diantaranya keterlambatan

pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas


fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi melaporkan bahwa
pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses
motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks sehingga gangguan
pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya
gangguan motilitas (Abdullah & Gunawan, 2011).

4. Persepsi viseral lambung


Cenderung

telah

banyak

dibuktikan

bahwa

gangguan

fungsional

gastrointestinal lebih banyak didasarkan atas disfungsi sensorik-motorik ketimbang


gangguan primer motorik, tetapi juga ternyata bahwa derajat gejala tidak selaras
dengan temuan tingkat gangguan motilitas yang ada, bahkan perbaikan gejala atau
sebaliknya. Perbedaan tingkat persepsi viseral tidak hanya terhadap stimulus
patologis tetapi juga terhadap stimulus fisiologis (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011).
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik dan nosiseptor. Kasus dispepsia dalam studi tampaknya mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensti balon di gaster atau duodenum dan
mekanismenya masih belum dipahami. Penelitian dengan mengunakan balon
intragastrik didapatkan data bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul
rasa nyeri perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan

volume menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol (Perhimpunan Dokter


Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).
5. Peran kolesistokinin (CCK) dan sekretin
Sama seperti hormon gastrin, kolesistokinin akan meningkat setelah makan.
Hormon ini bersama dengan gastrin menginduksi relaksasi gaster dan menurunkan
tekanan intragaster. Komponen lemak dan protein menstimulasi pelepasan hormon ini
dari sel I, sedangkan karbohidrat merangsang sedikit pelepasan hormon ini.
Trigliserida rantai panjang dan asam lemak baik aromatik dan asam amino alifatik
(seperti fenilalanin, triptofan, valin, dan metionin) dan peptida kecil yang merangsang
CCK. Target utama dari hormon ini adalah sel asinar pankreas dan jika sel ini
dirangsang maka akan dilepaskan enzim-enzim pencernaan. Hormon ini juga akan
merangsang otot polos kandung empedu untuk kontraksi dan berperan untuk
menyebabkan kontraksi pilorus untuk memperlambat pengosongan lambung sehingga
nutrien lebih optimal untuk dicerna. Hormon ini juga meningkat pada pasien
dispepsia. Pengosongan lambat yang melambat pada dispepsia juga akibat dari
sekresi hormon sekretin. Hormon ini akan meningkat bila bagian proksimal
duodenum mengalami pengasaman (acidifaction). Sekretin ini akan merangsang
duodenum untuk memproduksi bikarbonat untuk membuat suasana duodenum lebih
alkali (buffering). Diperlukan pH yang optimal agar aktivitas enzim proteolitik dan
lipolitik dapat berfungsi (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011).
6. Disfungsi Otonom

Disfungsi

persarafan

vagal

diduga

berperan

dalam

hipersensitivitas

gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Keterlibatan neuropati vagal juga


dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang
(Abdullah & Gunawan, 2012).
7. Aktivitas mioelektrik lambung
Disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi
pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan
lebih lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).

8. Hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan
prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal (Abdullah & Gunawan, 2012).
9. Diet dan lingkungan
Berbagai jenis makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal yang mencetuskan
serangan antara lain buah-buahan, asinan, kopi, alkohol, makanan berlemak, dan lainlain. Sulit dibuktikan pada penelitian bahwa faktor itu berlaku untuk setiap orang,
demikian pula dengan pola makan sesorang (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011).
10. Psikologis
10

Peran latar belakang faktor psikologi banyak dibicarakan sebagai dasar


patogenesis dispepsia fungsional, tetapi tidak bukti yang kuat yang menyatakan
sebagai hubungan sebab akibat. Umumnya penderita melaporkan bahwa hubungan
episode keluhannya dengan stres akut atau kronik dan didapatkan data bahwa pada
kelompok dispepsia fungsional mengalami stres psikologik yang lebih berat
dibandingkan dengan kelompok orang sehat (Rani, Simadibrata, & Syam, 2011).
Stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. Melalui suatu
studi dipaparkan adanya kecendrungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan
seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).
Stres merupakan reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial, maka
seseorang yang mengalami stres dapat pula dilihat ataupun dirasakan dari perubahanperubahan yang terjadi pada tubuhnya seperti pada sistem pencernaan. Orang yang
mengalami stres seringkali mengalami gangguan pada sistem pencernaannya.
Misalnya, lambung terasa kembung, mual, dan pedih. Gejala ini disebabkan karena
asam lambung yang berlebihan (hiperacidity). Gangguan juga dapat terjadi pada usus
sehingga yang bersangkutan merasa perutnya mulas, sukar buang air besar atau
sebaliknya sering diare (Hawari, 2011).
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang
tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran pencernaan.
11

Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan dapat menimbulkan dispepsia


fungsional. Keadaan ini dijelaskan mengenai faal saluran cerna pada proses
pencernaan yang ada pengaruhnya dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya
merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral
gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal. Hanya dengan melihat, mencium bau
atau membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang
banyak mengandung asam klorida dan pepsin. Peristiwa ini terjadi secara reflektoris
oleh karena pengaruh nervus vagus (Hadi, 2013).

12

2.1.5

Penunjang diagnostik
Tujuan utama pemeriksaan diagnostik adalah untuk mengeksklusikan

gangguan organik/ biokimia.


1. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pangkreas dan
sebagainya)
2. Radiologi : barium meal, USG dan endoskopi merupakan langkah yang paling
penting untuk eksklusi penyebab organic ataupun biokimiwi.
3. Pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung

13

4. Manometri untuk menilai adanya gangguan fase III Migrating Motor


Complekx, elektrogastrografi, skintigrafi atau penggunaan pellet radioopak
2.1.6

(Djojoningrat D, 2009).
Diagnosis
Semua pasien dengan dispepsia yang persisten memerlukan pengambilan

riwayat pasien menyeluruh (anamnesis) dan pemeriksaan fisik untuk menentukan


penyebabnya. Bagi banyak pasien, diet, gaya hidup, atau pengubahan dalam hal
pengobatan dapat meringankan gejala mereka. Karena penyebab yang mendasari
keluhan dispepsia berkisar dari kelebihan gas sampai ulkus peptikum atau pun
keganasan,gejala alarmharus dicari dan diselidiki ketika muncul. Anemia,
penurunan berat badan, tanda-tanda perdarahan gastrointestinal, cepat kenyang, atau
disfagia harus dievaluasi. Keluhan awal, terutama pada pasien yang lebih tua dari usia
45 tahun, atau dengan keluhan kronis yang jelas memburuk harus dievaluasi. Tes
paling akurat untuk dispepsia adalah upper endoscopy yang memvisualisasi mukosa
untuk ulkus, radang yang lain, esofagitis erosif, atau keganasan dan pada saat yang
sama juga memungkinkan dilakukan biopsi untuk diagnosis histologis dan/
dokumentasi dari infeksi Helicobacter pylori. Radiografi dengan pewarnaan kontras
(barium) kurang sensitif dan spesifik dibandingkan dengan upper endoscopy tetapi
dapat digunakan sebagai alternatif. Ultrasonografi pada kuadran kanan atas dapat
dilakukan jika ada kecurigaan penyakit di daerah pankreas atau empedu sebagaimana
dibuktikan oleh riwayat pasien atau melalui enzim hati yang abnormal (Leppert dan
Peipert, 2004).

14

2.1.7

Diagnosis banding

1.

Dispepsia non ulkus

2.

Gastro-oesophageal reflux disease.

3.

Ulkus peptikum.

4.

Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen


kalium, digoxin.

5.

Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

15

6.
2.1.8

Cholelithiasis or choledocholithiasis dan lain-lain (Pierce, 2006)


Terapi

a. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,

16

Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya
simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu
lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun
dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat.
Magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer (Fauci,2012)
b. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H 2
antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin (Greenburger, 2008).
c. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah 18jam, jadi bisa
dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran
normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu
sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol (Fauci,2012).
d. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan

17

sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitarlesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik
daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan konstipasi (23%). Kontraindikasi pada
pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g per hari (Fauci,2012).
e. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional
dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam
lambung (acid clearance) (Greenburger, 2008).
f.

Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori


Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada

sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin


(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan

tetracycline

(Sumycin).
Terapi dual dengan antibiotic antara PPI/ARH2 dengan salah satu antibiotic
tidak dianjurkan karena efek eradikasi sangat minimal kurang 80% dan cepat
menimbulkan resisten kuman.
Regimen tripel terapi (PPI 2X1, Amoksisilin 2x1000 mg, Klaritromisin
2x500mg, Metronidazole 3x500mg, Tetrasiklin 4x500mg). Yang banyak digunakan
saat ini:

18

1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2x1000mg+Klaritromisin


2x500mg regimen terbaik
2. PPI 2X20 mg + Metronidazole 3x500mg + Klaritromisin 2x500mg bila alergi
penisilin
3. PPI 2X20mg + Metronidazole 3x500mg + Amoksisilin 2x1000 mg
kombinasi termurah
4. PPI 2X20mg + Metronidazole 3x500mg+ Tetrasiklin 4x500mg bila alergi
penisilin dan klaritromisin
Lama pengobatan untuk eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazole), 5 hari
rabeprazole. Ada anjuran lama prngobatan eradikasi 2 minggu, untuk
kesembuhan tukak, bias dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi.
Keberhasilan eradikasi sebaiknya ebaiknya diatas 90%. Efek samping triple
terapi 20-30%.
Terapi kuadritipel, jika gagal dengan terapi tripel. PPI 2X1hari,
Bismuth Subsasilat 4x2 tab, MNZ 4X250, Tetrasiklin 4x500mg, bila bismuth
tidak tersedia diganti dengan triple terapi.
Kombinasi PPI, amoksisilin dan rifabutin selama 10 hari hasil>80% teradikasi
pada pasien yang telah resisten dapat dianjurkan, bila belum juga
berhasilianjurkan kultur dan tes sensitivitas.
Untuk daerah yang resistensi tinggi terhadap metronidazole, maka
dapat digantikan dengan regimen PPI+Bismuth+Tetraiklin+Amoksisilin. Bila
Bismuth tidak tersedia digantikan dengan triple drugs (Djojoningrat D, 2009).
19

g. Psikoterapi
Dalam

beberapa

studi

terbatas,

tampaknya

memperliahatkan manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional.

20

behavioral

therapy

2.1.9 Pencegahan
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia
bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan
pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat
mengenai :
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan
menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan
penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan
harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan
juga diperhatikan porsi pemberiannya.
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi
serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik
meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan
penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang
penderita baru datang, pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang
berat, muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat
badan dan usia lebih dari 40 tahun.
3.

Pencegahan Tertier
21

a.Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita


gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah
yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di rumah
sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat (Delaney BC,
2001).
2.1.10 Prognosis
Dispepsia fungsional yang sudah ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik (Dyspepsia, edition 2001).
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah
diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana
makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat
dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah
bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian
tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang
berhubungan dengan usus 12 jari duodenum (Glenda NL, 2006).
Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa,
muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai
jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti
palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga
memperbanyak volume asam lambung yang dapat dikeluarkan. Submukosa ialah
lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan untuk menyalurkan
nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap,
urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang
22

membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan
otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam
lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar
yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara
perut dengan anggota tubuh lainnya (Glenda NL, 2006).

Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir, 5.Lapisan


Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus,
10.Duodenum
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu
sel goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief cell]. Sel goblet
berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel
agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk
memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna dalam pengaktifan

23

enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam
lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang
bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut. Di bagian dinding lambung sebelah dalam
terdapat kelenjar-kelenjar yang menghasilkan asam lambung. Aroma, bentuk, warna,
dan selera terhadap makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi asam
lambung. Asam lambung mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan
renin. Asam lambung berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan
enzim pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah
protein menjadi molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang
melicinkan makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada
mamalia, berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca 2+
dari susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renin susu yang berwujud
cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna (Glenda
NL, 2006).
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian
pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya,
otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh

24

kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan
berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam
tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali (Glenda
NL, 2006).
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks
pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang
tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk
dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan
demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral
(Glenda NL, 2006)

25

Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter asam lambung,
yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5,
yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang
dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi
protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida
juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen
yang tak aktif menjadi pepsin (Glenda NL, 2006).
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi asam lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan motilitas
lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf maupun
hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi asam lambung dibagi atas fase
sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).
a. Fase Sekresi Sefalik. diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan penciuman dan
rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf pusat akan
merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan dibebaskannya
asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi langsung pada sel
parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui
aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan menstimulasinya
sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamin

26

juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus.
Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini gastrin dapat bekerja.
b. Fase Lambung. Sekresi asam lambung disebabkan oleh makanan yang masuk ke
dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kafein atau
alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan gastrin. Jika pH
turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.
c. Fase Usus. mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti dengan
penurunan sekresi asam lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus duabelas jari
akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan merangsang
pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi asam lambung lainnya dilakukan oleh
kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak mengandung lemak
sampai pada usus halus bagian atas. Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada
hormon saluran cerna lainnya yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric
inhibitory polypeptide) menghambat sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan
juga merangsang sekresi insulin dari kelenjar pankreas.
Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di
sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta
kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung dan
sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan turun
(sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Di

27

samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah n.
Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30% (Glenda NL, 2006).

Rangsang bau dan rangsang kecap

Rangsang n. Vagus

Rangsang Lokal (makanan)

Rangsang Ganglion

Stimulasi sel G

Pembebasan asethilkolin

Degranulasi mastosit

Pembebasan histamin

Pembebasan Gastrin

Stimulasi Sel Parietal

BAB 3
KESIMPULAN
HCl waktu tertentu dapat dialami
Dispepsia adalah keluhan Pembebasan
utama yang dalam

seseorang. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau


penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor,
infeksi Helicobacter pylori. Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit
pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit
sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat

28

fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya
kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus. Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok
keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari
clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa
ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif
bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada
pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami
penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu
teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif
dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain daripada pengobatan. Pengobatan
dispepsia adalah antaranya seperti antasid, antikolinergik, antagonis reseptor
histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk
infeksi Helicobacter pylori dan kadang kadang diperlukan psikoterapi.

29

Anda mungkin juga menyukai