Anda di halaman 1dari 12

Dic2hivaids's Blog

Just another WordPress.com weblog


Beranda About

ARV, efek samping dan penanganannya


Oke Zone, 29 Nopember 2009
Maria Ulfa Eleven Safa Okezone
JAKARTA HIV/AIDS memang belum ditemukan obatnya. Namun upaya
pemerintah untuk mencegah agar virus mematikan ini terus dilakukan, salah
satunya dengan memberikan terapi Antiretrorival (ARV). Departemen Kesehatan
mencatat Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mengkonsumsi obat ini sebanyak
13.858 jiwa.
ARV diyakini dapat menekan replikasi HIV dan viral load. Jumlah ODHA yang
mengkonsumsi ARV tertinggi terdapat di DKI Jakarta yakni sebanyak 6.135 jiwa,
papar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(Dirjen P2PL) Departemen Kesehatan , Tjandra Yoga Aditama melalui rilis yang
diterima okezone, Sabtu (28/7/2009) malam.
Sedangkan Jawa Barat menempati posisi kedua dengan jumlah pengkonsumsi
ARV sebanyak 1.724, Jawa Timur (1.145) , Bali (811), Jawa Tengah (436), Papua
(433), Sumatera Utara (442), Kalimantan Barat (382), Kepulauan Riau (335), dan
Sulawesi Selatan (314).
Kematian ODHA menurun dari 46 persen pada tahun 2006 menjadi 17 persen
pada tahun 2008. Sampai dengan September 2009, sebanyak 79 persen ODHA
mengkonsumsi obat ini, tandasnya.(bul)(hri)
Berbagai Jenis ARV
Beberapa jenis obat-obatan ARV diungkapkan oleh Teguh. Obat-obatan ini dibagi
dalam 3 golongan yaitu Nucleosid Reverse Transcriptase inhibitor (NRTI), Non
Nucleosid Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease Inhibitor (PI).
Obat yang termasuk dalam golongan NRTI dieliminir terutama melalui ginjal dan
tidak berinteraksi dengan obat lain yang melalui cytocrom P-450. Obat-obatan ini
juga dapat diokombinasikan dengan obat dari golongan PI dan NNRTI tanpa
dilakukan penyesuaian dosis. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah
Zidovudine (AZT), Didanosine (DDL), Zalcitabine (ddC), Stavudin (d4T), Lamivudine
(3TC), Abacavir (ABC), Tenofovir (TDF), dan Emtricitabine (FTC).
Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir) memiliki efek samping anemia, netropenia, mual,
muntah, rasa lemah, lelah, asidosis laktat. Dengan dosis pemakaian 2300 mg per
hari obat ini tidak boleh dipakai bersama Stavudine (d4T). Sedangkan Stavudine

(d4T, Zerit) memiliki efek samping neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya


berdasarkan berat badan. Bila >60 kg maka dosisnya adalah 240 mg per hari dan
View Full Site

bila <60 kg adalah 230 mg per hari. Lamivudine (3TC, Epivir, Hiviral) biasanya
Now Available! Download WordPress for Android
dapat ditoleransi baik dengan efek samping ringan. Dosisnya adalah 2150 mg
per hari.
Blog pada WordPress.com.

Obat yang termasuk dalam golongan NNRTI adalah Nevirapine (NVP), Delavirdine
(DLV), Efavirenz (EFV). Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas
cytocrom P-450 di hati sehingga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain yang
melalui cytokrom P-450. Obat ini memerlukan lebih, apabila akan dikombinasikan
dengan ARV lain. Nevirapin akan menurunkan kadar Indinavir dan Saquinavir.
Efavirenz akan menurunkan kadar plasma Indinavir, Lopinavir, Saquinavir,
Amprenavir dan akan menaikkan kadar plasma Ritonavir dan Nelvinavir.
Nevirapine dan Efavirenz juga akan menurunkan plasma konsentrasi Metadon
sebesar 50 persen sehingga pemakaian bersama dengan kedua obat ARV ini,
harus berhati-hati terhadap gejala withdrawal serta membutuhkan dosis yang
lebih tinggi.
Nevirapine (Viramun, Neviral) memiliki efek samping rash karena alergi, steven
johnsons syndrome, anafilaksis, meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi
rifampisin dan ketokonazol dalam darah. Dosis yang digunakan dadalah 1200
mg per hari untuk 2 minggu pertama, dan selanjutnya 2200 mg per hari.
Efavirenz (stocin, sutiva) dimakan pada malam hari dengan dosis 600 mg per hari.
Efek samping mengonsumsi obat ini adalah teratogenik, gejala sistem saraf pusat
(dizziness, sakit kepala ringan, mimpi buruk) yang akan hilang pada mingggu
pertama pertama.
Golongan obat ketiga dari ARVadalah PI, yang terdiri dari Saquinavir (SQV),
Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), Nelvinafir (NFV), Amprenavir (APV),
Lopinavir/Kaletra (LPV/r), Atazanavir (ATV). Obat-obatan ini menghambat CYP3A4
sehingga harus berhati-hati jika digunakan bersama obat lain. Golongan obat ini
memiliki kontraindiksi jika dipakai bersama dengan obat antiaritmia, hinotiksedatif, dan derivat ergot serta menurunkan knsentrasi plasma lovastatin dan
simvastatin secara umum.
Terapi Lini Pertama
WHO pada Kongres HIV Internasional 2006 di Toronto merekomendasikan
pemakaian terapi lini pertama pada orang dewasa terdiri dari 2 kombinasi NRTI
dan 1 NNRTI. Rekomendasi ini didasarkan bahwa regimen ini memiliki efikasi
yang baik, lebih murah dibanding regimen lain, memiliki versi generik, dan tidak
memerlukan rantai dingin. Namun ada beberapa kelemahan yaitu waktu paruh
obat yang berbeda dan adanya fakta mutasi diasosiasikan dengan resistensi
beberapa obat misalnya 3TC dan beberapa NNRTI.
Analog thiacytadine (3TC atau FTC) digunakan sebagai pilihan pertama
digabungkan dengan nukleoside atau analognya yang pilihannya adalah AZT, TDF,
ABC, atau d4T. Akhirnya kombinasi ketiga adalah EFV atau NVP.

Gambar 1. Pilihan terapi lini pertama ARV


AZT atau d4T

EFV

3TC atau FTC


TDF atau ABC

NVP

Regimen tiga NRTI dapat dipertimbangkan sbagai alternative terapi lini pertama
saat pilihan NNRTI mengakibatkan terjadinya kompikasi dan ketika golongan PI
dirancang untuk terapi lini kedua. Hal ini misalnya pada wanita dengan jumah
CD4 antara 250-350 sel/mm3, ko-infeksi dengan virus hepapatitis atau
tuberkulosis, atau adanya reaksi terhadap NVP atau EFV. Kombinasi 3 NRTI yang
direkomendasikan adalah zidovudine+lamivudine+abacavir dan
zidovudine+lamivudine+tenofovir.
Monoterapi atau dual terapi tidak dapat digunakan untuk terapi infeksi HIV
kronik. Kombinasi ini hanya digunakan untuk setting PMTCT (Prevention Mother
to Child Transmission) dan profilaksis pasca paparan. Beberapa kombinasi
pasangan NRTI juga tidak dapat digunakan. KOmbinasi itu adalah d4T+AZT,
d4T+ddl dan 3TC+FTC.
Berhasil atau Gagal?
Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik
setelah 6 bulan terapi, misalnya berat badan bertambah. Ukuran jumah sel CD4
menjadi prediktor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Jumlah CD4 yangmenurun
diasosiasikan sebagai perbaikan yang lambat dalam terapi, meski pada
kenyataannya pasien yang memulai terapi pada saat CD4 rendah, akan
menunjukkan perbaikan yang lambat. Namun jumlah CD4 di bawah 100 sel/mm3
merepresentasikan risiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang
progresif. Maka, kegagalan imunologik dikatakan terjadi jika jumlah CD4 kurang
dari angka tersebut.
Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informatif dan sensitif untuk
mengidentifikasikn kegagalan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara
virulogik jika tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 copy/ml atau 50
copy/ml setelah 6 bulan terapi.
Jika gagal, maka dapat dipertimbangkan untuk mengganti regimen atau masuk ke
terapi lini kedua. (Ika)
Efek samping spesifik terhadap ART beragam tergantung ras dan jenis
kelamin
Oleh: The Kaiser Daily HIV/AIDS Report

Tgl. laporan: 1 Mei 2008

Walaupun tingkat efek samping pada Odha yang memulai terapi antiretroviral
(ART) secara keseluruhan tidak berbeda secara bermakna berdasarkan ras dan
jenis kelamin yang berbeda, ada perbedaan yang bermakna pada efek samping
spesifik. Hal ini berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of
Acquired Immune Deficiency Syndromes baru-baru ini. Untuk penelitian ini, Ellen
Tedaldi dari Fakultas Kedokteran Universitas Temple dan rekan membandingkan

frekuensi dan tipe efek samping pada 1.301 pasien yang baru mulai ART.
Penelitian ini melibatkan 701 peserta berkulit hitam, 225 Hispanik dan 273
perempuan. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan yang bermakna di antara
ras atau jenis kelamin sehubungan dengan kematian karena penyebab apapun
atau penghentian pengobatan karena toksisitas obat.
Berdasarkan penelitian ini, beberapa ciri-ciri pada awal berbeda berdasarkan
ras dan jenis kelamin, termasuk usia, risiko penularan HIV, koinfeksi hepatitis B
atau C, viral load, diagnosis AIDS, indeks massa tubuh dan tekanan darah tinggi
pada awal. Efek samping kardiovaskular adalah 2,64 dan ginjal 3,83 lebih sering di
antara peserta berkulit hitam dibandingkan peserta berkulit putih, penelitian
menemukan. Temuan ini sesuai dengan peningkatan tingkat penyakit jantung,
diabetes dan penyakit ginjal yang ditemukan di antara semua laki-laki dan
perempuan berkulit hitam, penelitian mencatat.
Laki-laki berkulit hitam mengalami peristiwa efek samping terkait masalah
psikiatris 2,45 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki berkulit putih. Tedaldi dan
rekan mengatakan bahwa kemungkinan efek samping psikiatris grade empat
menunjukkan kumpulan faktor yang termasuk hubungan psikososial dan
biologis, misalnya penyakit kejiwaan yang tidak terdiagnosis atau dampak virus
pada susunan saraf pusat (SSP).
Penelitian ini menemukan 409 peristiwa efek samping grade empat selama
kurang lebih lima tahun masa tindak lanjut, atau rasio 8,9 peristiwa per orang per
100 tahun. Peristiwa grade empat adalah tipe yang paling berat berdasarkan skala
satu hingga empat. Penelitian ini menemukan bahwa perempuan adalah 2,34 kali
lebih mungkin mengalami anemia grade empat, dibandingkan laki-laki, menurut
penelitian. Temuan ini bukan tidak terduga karena kebanyakan perempuan
belum mati haid dan berkulit hitam, para peneliti menulis. Para peneliti juga
mencatat 176 kematian rasio tiga per orang per 100 tahun. Penelitian ini juga
mencatat 523 penghentian ART karena segala jenis toksisitas rasio 13 per orang
per 100 tahun.
Para peneliti mencatat bahwa data yang diterbitkan tentang rasio dan tipe efek
samping berdasarkan jenis kelamin dan ras adalah terbatas, menyimpulkan
bahwa temuan ini dapat memberi tahu para dokter yang mengobati HIV tentang
masalah khusus yang perlu dipertimbangkan waktu memilih rejimen ARV untuk
populasi yang beragam.
Ringkasan: Specific Adverse Events of Antiretroviral Therapy Vary Depending on
Race, Gender, Study Says
Sumber: JAIDS 47(4):441-448
ART yang dipakai terus-menerus mengurangi kepadatan mineral tulang
Oleh: Derek Thaczuk, aidsmap.com

Tgl. laporan: 27 Oktober 2008

Subpenelitian dari penelitian SMART menemukan tingkat kehilangan kepadatan


mineral tulang (bone mineral density/BMD) yang lebih tinggi pada orang yang

tetap memakai terapi antiretroviral (ART) dibandingkan orang yang menghentikan


pengobatannya secara berkala. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa
orang yang tetap memakai pengobatan hampir lima kali lebih sering mengalami
patah tulang berat selama masa tindak lanjut dibandingkan orang yang
menghentikan pengobatan.
Orang HIV-positif pada umumnya memiliki BMD yang lebih rendah dibandingkan
pasangan kontrolnya yang HIV-negatif. Ada bukti yang bertentangan tentang
hubungan antara ART dan infeksi HIV jangka panjang sebagai penyebab yang
turut menyokong penurunan BMD dan pertanyaan tersebut terus diteliti. Para
peneliti penelitian SMART mempresentasikan temuan dari subpenelitian
komposisi tubuh dalam sebuah poster pada Interscience Conference on
Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICAAC) ke-48 di Washington DC, AS.
Penelitian SMART dirancang untuk membandingkan hasil penggunaan ART secara
terus-menerus dan yang melibatkan penghentian. Peserta secara acak ditunjuk
untuk memakai ART secara terus-menerus atau menghentikan pengobatan
apabila viral loadnya tidak terdeteksi atau waktu jumlah CD4-nya di atas 350,
mulai kembali memakai pengobatan waktu jumlah CD4-nya turun menjadi kurang
lebih 200. Penelitian dihentikan lebih dini ketika ditemukan bahwa pasien yang
menghentikan pengobatan lebih mungkin mengalami penyakit terkait HIV dan
penyakit yang tidak terkait HIV.
Sejumlah 275 pasien dalam penelitian SMART secara prospektif didaftarkan
dalam subpenelitian yang dirancang untuk menilai dampak ART terhadap BMD;
data tersedia pada 214 pasien tersebut. Antara Mei 2002 dan Januari 2006, 98 di
antara pasien tersebut terus memakai ART dan sisa 116 pasien menghentikan
pengobatan sesuai dengan tata-cara penelitian. Kedua kelompok pasien tersebut
sangat serupa, dengan usia rata-rata kurang lebih 44 tahun; keragaman ras cukup
seimbang dan kurang lebih 20% adalah perempuan. Sejumlah peserta yang
bermakna merokok (41% pada kelompok yang menghentikan pengobatan dan
51% pada kelompok yang memakai ART secara terus-menerus). Perokok kian
kehilangan BMD sejalan dengan usia semakin tua, beberapa penelitian besar
menunjukkan.
Selama empat tahun masa subpenelitian, pasien yang memakai ART secara terusmenerus menerima ART selama 93% masa tindak lanjut, dibandingkan 37% pada
kelompok yang menghentikan pengobatan. Sebagian besar masa penghentian
pengobatan terjadi pada tahun pertama penelitian.
BMD diperiksa pada awal dan kemudian setiap tahun, pada panggul dan tulang
belakang dengan memakai teknik yang disebut dual-energy X-ray absorptiometry
(DEXA). BMD pada tulang belakang juga diperiksa dengan memakai pemetaan CT.
Secara keseluruhan, BMD tulang belakang menurun secara tetap pada kelompok
yang memakai ART secara terus-menerus. Pada kelompok yang menghentikan
pengobatan, BMD tulang belakang meningkat pada tahun pertama, ketika paling
banyak peserta yang menghentikan pengobatan. BMD tulang belakang menurun

setelah itu, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan BMD pada kelompok yang
memakai ART secara terus-menerus. Walaupun perbedaan tersebut berada di
bawah angka yang bermakna secara statistik pada empat titik waktu selanjutnya
(karena berkurangnya jumlah data tindak lanjut yang tersedia serta tingkat
perbedaan yang dengan sendirinya juga menurun secara bertahap), secara
keseluruhan perbedaan longitudinal (dihitung selama beberapa waktu) tetap
bermakna.
Dibandingkan dengan pasien yang menghentikan ART-nya, kelompok yang
memakai ART secara terus-menerus mengalami 0,9% penurunan BMD pada
panggul setiap tahun, 2,9% penurunan BMD pada tulang belakang (sebagaimana
diukur dengan memakai pemetaan CT), dan 0,4% penurunan BMD pada tulang
belakang (sebagaimana diukur dengan DEXA). Di tulang belakang (sebagaimana
diukur dengan DEXA), perbedaan BMD lebih baik pada kelompok yang
menghentikan ART, sebanyak 1,7% pada tahun pertama (p = 0,003) dan 1,2%
selama masa penelitian (p = 0,05). Di panggul, perbedaannya adalah 1,3% pada
tahun pertama (p = 0,002) dan 1,4% selama masa penelitian (p = 0,002).
Walaupun perbedaan di antara hasil yang diamati pada orang yang memakai
unsur ARV yang berbeda, penelitian tersebut tidak cukup besar untuk menilai
perbedaan tersebut.
Dalam penelitian SMART yang lebih besar, patah tulang grade 4 muncul dengan
rasio 0,13 per 100 orang-tahun pada pasien yang memakai ART secara terusmenerus, dibandingkan 0,03 per 100 orang-tahun pada pasien yang
menghentikan ART (rasio hazard 4,9, CI: 95%, 1,1 22,5, p = 0,04).
Para peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan ART secara terus-menerus turut
menyokong kehilangan BMD dan dapat meningkatkan risiko patah tulang
berbeda dengan ART berdenyut. Namun para peneliti menekankan bahwa
menghentikan ART tidak disarankan, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian
SMART bahwa penghentian ART meningkatkan risiko pengembangan penyakit HIV
dan kematian.
Ringkasan: Continued antiretroviral therapy reduces bone mineral density in
SMART study
Sumber: Grund B. et al. Continuous antiretroviral therapy decreases bone mineral
density: results from the SMART study. Interscience Conference on Antimicrobial
Agents and Chemotherapy, abstract H-2312a, Washington, 2008.
ART jangka panjang dapat menyebabkan masalah optalmologi
Oleh: Scott Baltic, Reuters Health

Tgl. laporan: 17 Oktober 2008

Terapi antiretroviral (ART) jangka panjang untuk infeksi HIV dapat mengakibatkan
ptosis dan optalmoplegia luar (kelumpuhan secara bertahap pada otot
ekstraokular atau di luar mata). Hal ini berdasarkan serangkaian kasus pada lima
pasien yang dilaporkan oleh para peneliti dari Universitas Texas (UT)
Southwestern Medical Center, Dallas, AS.

Ini adalah penelitian pertama yang melaporkan ptosis dan optalmoplegia luar
yang dikaitkan dengan penggunaan ART jangka panjang untuk HIV, Dr. Dolores
M. Peterson dari UT Southwestern mengatakan.
Bukti tersebut memberi kesan bahwa ptosis adalah miogenik dan bukan bentuk
involusional yang lebih umum, para peneliti melaporkan dalam jurnal Clinical
Infectious Diseases edisi 15 September 2008.
Sebagai tambahan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa ptosis didahului oleh
lipodistrofi berat dengan perubahan morfologi, termasuk lipoatrofi dan
penumpukan lemak pada kelima pasien dengan ART yang dipakai mengandung
analog timidin atau PI.
Kelima pasien diamati dalam satu praktik pendidikanselama dua tahun. Median
usia saat laporan dibuat adalah 50 tahun, dengan median waktu sejak diagnosis
infeksi HIV adalah 11,2 tahun dan median masa penggunaan ART adalah 7,8
tahun.
Median waktu sejak mulai lipodistrofi adalah 4,7 tahun, dan sejak mulai ptosis
adalah 0,4 tahun. Median masa tindak lanjut untuk ptosis adalah 1,8 tahun.
Dua pasien dilaporkan memiliki ptosis dan optalmoplegia luar. Neuropati sensori
perifer juga mengembangkan ptosis pada empat kasus, gangguan konduksi
jantung menyertai ptosis pada tiga kasus dan ada satu kasus ensepalopati.
Empat dari lima pasien berhasil menjalani pembedahan untuk memperbaiki
ptosis. Dokter bedah mencatat bahwa aponeurosis levator perlu ditingkatkan
lebih dari yang biasanya diperlukan pada ptosis yang muncul karena aponeuroticinvolutional.
Para peneliti menyarankan bahwa petugas klinis waspada terhadap
kemungkinan efek samping terkait dengan ART dan waspada terhadap
kemungkinan komplikasi miopati lain terkait dengan ptosis, termasuk kelemahan
proksimal, disfagia, tuli, neuropati dan gangguan konduksi jantung.
Dr. Peterson mengatakan bahwa data penelitian tersebut tidak
memungkinkannya untuk memperkirakan prevalensi dari kedua efek samping
atau menentukan subkelompok pasien Odha yang mungkin paling terdampak
oleh penggunaan ART jangka panjang.
Ringkasan: Long-Term HIV Therapy Can Cause Ophthalmologic Problems
Sumber: Clin Infect Dis 2008;47:845-852.
ART mengurangi motilitas sperma
Oleh: Derek Thaczuk, aidsmap.com

Tgl. laporan: 28 Maret 2008

Persentase sperma motil (sperma yang dapat bergerak sendiri secara spontan)
berkurang dalam kohort kecil laki-laki yang mulai terapi antiretroviral (ART). Hal
ini berdasarkan penelitian Belanda yang diterbitkan dalam jurnal AIDS. Tidak ada

parameter mutu air mani lain yang terdampak dan para peneliti tidak
menentukan apakah ada dampak terhadap kesuburan laki-laki yang diteliti
tersebut.
Karena ada banyak pasangan HIV-positif atau yang salah satunya HIV-positif yang
berharap untuk mempunyai anak, masalah kesehatan dan keamanan reproduksi
Odha semakin mendapat perhatian. Tetapi, sampai saat ini baru ada dua
penelitian yang menilai dampak ART terhadap mutu sperma.
Dalam penelitian ini, para peneliti meneliti delapan parameter yang berbeda pada
air mani dari laki-laki HIV-positif dalam kohort prospektif longitudinal, sebelum,
sesudah dan selama 48 minggu pertama memakai ART.
Sejumlah 34 peserta dicari dari klinik rawat jalan HIV di Academic Medical Centre
di Amsterdam, Belanda antara Februari 2003 dan Oktober 2005. Semuanya belum
pernah memakai ART (ART-naif) kecuali dua peserta pernah memakai ART selama
kurang dari delapan minggu pada dua dan tiga tahun sebelumnya. Selain
memakai ART, kriteria lain untuk tidak dapat dilibatkan adalah bukti
ketidaksuburan.
Usia median adalah 41 tahun; peserta didiagnosis HIV-positif selama median 2,7
tahun; jumlah CD4 pada awal adalah 230 dan viral load 5,0 log. Sebelas
(sepertiga) adalah perokok.
Ciri-ciri pada awal dicatat pada kunjungan klinik terakhir sebelum memulai ART;
kemudian semua peserta memulai berbagai rejimen ART pertama termasuk
kombinasi yang berbasis PI dan NNRTI.
Masa tindak lanjut median 48 minggu; sejumlah 146 contoh air mani
(dikumpulkan pada awal, 4, 12, 24, 36, dan 48 minggu pasca-ART) dianalisis
terhadap parameter mutu air mani berikut ini; volume air mani, kepadatan
sperma, persentase bentuk sperma yang normal, jumlah sperma, persentase
sperma yang terus bergerak (yaitu, sperma dengan motilitas normal), yang
bergerak perlahan, dan sperma yang tidak bergerak, dan jumlah sperma yang
aktif (jumlah sperma yang terus bergerak atau disebut TMC).
Tanggapan terhadap ART adalah baik dengan CD4 rata-rata meningkat dari 276
menjadi 428 selama masa tindak lanjut, viral load rata-rata menurun dari 5,0
menjadi 2,1 log, dan 74% dengan viral load <50 setelah 48 minggu.
Persentase rata-rata sperma yang tidak bergerak tinggi pada awal dan seterusnya
selama masa tindak lanjut antara 60% dan 70%. Persentase rata-rata sperma
yang bergerak aktif adalah rendah (28%) pada awal dan menurun menjadi 17%
setelah 48 minggu (p = 0,02). Menurut WHO kisaran normal persentase sperma
yang bergerak aktif adalah di atas 25% dan di bawah 50% untuk sperma yang
tidak bergerak).
Semua parameter lain berada dalam kisaran normal WHO dan tetap stabil selama
ART. Walaupun persentase sperma yang aktif adalah rendah, TMC yang mutlak

tetap di atas normal karena jumlah sperma secara keseluruhan tinggi. Tidak ada
hubungan yang bermakna yang terlihat antara parameter mutu air mani dan
jumlah CD4, tingkat viral load atau penggunaan analog timidin.
Dalam penelitian terhadap laki-laki HIV-positif yang sebelumnya adalah naif-ART
ini, penggunaan ART selama 48 minggu, berdampak negatif terhadap persentase
sperma yang terus bergerak, walau kriteria mutu air mani lainnya tidak
terdampak termasuk jumlah sperma yang bergerak. Apakah hal ini berdampak
pada kesempatan untuk membuahkan anak atau meningkatkan kebutuhan
inseminasi buatan, saat ini belum diketahui.
Dalam editorial bersama, Pietro Vernazza dari Swiss menyatakan bahwa hasil
tersebut luar biasa, mencatat bahwa karena rancangan penelitian, semua
faktor pembaur yang mungkin dihilangkan secara hati-hati.
Vernazza sependapat dengan para peneliti bahwa toksisitas mitokondria terkait
nukleosida dapat berdampak buruk terhadap mitokondria sperma. Penelitian
yang sebelumnya ia lakukan menemukan hubungan yang lemah antara DNA
mitokondria dalam sperma dan pajanan terhadap ddI dan d4T.
Tajuk rencananya menghimbau penelitian lebih lanjut tentang toksisitas
mitokondria pada sperma dan dampak relatif dari berbagai obat terhadap
pergerakan sperma. Ia berpendapat bahwa apabila hasil penelitian yang
ditunjukkan secara jelas ini dikonfirmasikan, pergerakan sperma dapat menjadi
salah satu indikator yang paling sensitif terhadap toksisitas ARV.
Ringkasan: Antiretroviral therapy reduces sperm motility, Dutch study finds
Sumber:
van Leeuwen E et al. Effects of antiretroviral therapy on semen quality. AIDS
2008;22:637-642.
Vernazza P. HAART improves quality of life: should we care about the quality of
spermatozoa? AIDS 2008;22:747-648
Usaha untuk meringankan efek samping HIV
Oleh: Physicians Research Network

Tgl. laporan: 27 Februari 2007

Di Los Angeles, AS pada 26 Februari para peneliti menyampaikan tiga penelitian


tentang penyebaran lemak terkait penyakit HIV dan obat dalam Conference on
Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) ke-14. Perubahan lemak dalam
tubuh dan tingkat kolesterol dapat berdampak buruk pada kepatuhan pasien
HIV/AIDS terhadap pengobatan, serta mutu hidupnya, dan berpotensi
meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
Dalam penelitian terkontrol dengan plasebo yang melibatkan 412 peserta, peserta
yang memakai obat percobaan TH9507 mengalami penurunan penumpukkan
lemak di perut dan punggung sebanyak 15 persen. Obat tersebut, dibuat oleh
Theratechnologies Inc., Kanada, merangsang pertumbuhan hormon untuk
membakar kelebihan lemak, dilaporkan Dr. Steven Grinspoon dari Massachusetts

General Hospital. Terapi bakal ini juga menurunkan trigliserid dalam darah
sebanyak 18 persen.
Penelitian kedua yang didukung oleh Merck & Co. dan melibatkan 48 pasien
disampaikan oleh Dr. David Wohl dari Universitas North Carolina-Chapel Hill, AS.
Di antara setengah peserta yang menerima obat ezetimibe keluaran Merck
sebagai tambahan terapi AIDS untuk menurunkan kolesterol, sebanyak rata-rata
12 persen mengalami penurunan lipoprotein rendah kepadatan (LDL, atau
kolesterol buruk). Peserta yang memakai plasebo mengalami peningkatan LDL
sebanyak tiga persen.
Penelitian ketiga, disampaikan oleh Dr. D. William Cameron dari Universitas
Ottawa, AS menemukan bahwa pasien yang tidak pernah diobati yang memakai
Kaletra sebagai salah satu kandungan kombinasi obatnya, dan yang kemudian
hanya memakai Kaletra, 5 persen mengembangkan penyebaran lemak yang
abnormal, terutama hilangnya lemak pada tungkai. Di antara kelompok
pembanding yang memakai rejimen yang baku, 34 persen menderita penyebaran
lemak yang abnormal.
Ringkasan: Working to Ease HIV Side Effects
Sumber: Los Angeles Times::Jia-Rui Chong; Courtesy of the CDC National Center
for HIV, STD, and TB Prevention
Petunjuk baru untuk efek samping obat HIV
Oleh: Ishani Ganguli, Reuters New Media

Tgl. laporan: 17 Juli 2007

Para peneliti mendapatkan petunjuk baru mengenai mengapa suatu obat AIDS
yang dipakai secara luas mempunyai efek samping tertentu seperti penumpukan
lemak secara misterius, mereka melaporkan.
Perbandingan antara efek samping protease inhibitor (PI) komponen penting
dari kombinasi obat HIV dan kondisi genetik yang menyebabkan penuaan dini
mungkin dapat menjelaskan penumpukan lemak yang sering menimbulkan
keletihan dan efek lain, mereka mengatakan.
PI dapat menyebabkan masalah metabolik misalnya peningkatan kolesterol
dalam darah yang kurang sehat, tekanan darah tinggi dan peningkatan risiko
diabetes.
Obat ini juga memicu keadaan yang disebut lipodistrofi penyebaran lemak
dalam tubuh secara tidak wajar yang mengakibatkan pipi cekung dan tungkai
pasien yang sangat kurus, dan yang disebut punuk kerbau tumpukan lemak di
belakang leher.
Dokter sudah lama kebingungan dengan bagaimana PI dan obat HIV lain
menyebabkan dampak semacam itu, yang timbul pada puluhan ribu pengguna
obat di seluruh dunia, dikatakan Dr. Charles Flexner di Fakultas Kedokteran
Universitas Johns Hopkins School, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Dalam usaha untuk menyoroti hal ini, sebuah kelompok dari Universitas
California di Los Angeles dan Universitas Purdue di Indiana, AS, memajan sel tikus
dan manusia dengan PI, dan menemukan bahwa mereka terutama
mengumpulkan gumpalan protein yang disebut prelamin A.
Obat ini memicu hal ini dengan cara menghambat kegiatan protein lain yang
disebut ZMPSTE24 yang mengubah prelamin A menjadi bentuk yang
bermanfaat, mereka melaporkannya dalam jurnal Proceedings of the National
Academy of Sciences.
Sel dengan tingkat ZMPSTE24 yang lebih rendah pada awal adalah yang terutama
terdampak oleh PI.
Christine Hrycyna dari Universitas Purdue, yang melakukan penelitian ini,
mengatakan bahwa menghambat protein ini dapat menimbulkan efek samping
metabolik PI.
Pasien dengan sindrom penuaan dini, termasuk progeria Hutchinson-Gilford,
mempunyai gejala yang menyerupai efek samping ini, dan protein yang sama
mengumpal dalam sel tersebut, dikatakan Hrycyna. Tetapi bagaimana hal ini
dapat mempengaruhi dampak metabolisme masih belum jelas, dia mengatakan.
Efek samping ini mungkin bukan karena satu hal yang sederhana saja, Hrycyna
mengatakan.
Saya berpendapat laporan ini dapat menyediakan pandangan baru mengenai
mekanisme yang mungkin terjadi pada beberapa efek samping PI, ditambahkan
Flexner.
Para peneliti juga melakukan uji coba terhadap beberapa obat yang umum
dipakai dalam kombinasi obat AIDS, yang dikenal dengan terapi antiretroviral
(ART).
Tetapi obat lain tidak menyebabkan akumulasi protein yang sama, walaupun
mereka dapat menyebabkan efek samping yang serupa pada orang, para peneliti
menulis.
Barangkali hal tersebut karena kombinasi dari berbagai jenis obat yang berbeda
ini, Hrycyna menambahkan.
Saat ini para peneliti ingin mengetahui apakah teori mereka benar terbukti pada
pasien HIV, dan apabila PI jenis tertentu yang banyak menghambat ZMPSTE24
dapat menimbulkan lebih sedikit efek samping pada pasien ini.
Artikel asli: New clue for HIV drug side effects: study
Be the first to like this post.
Januari 21, 2010

Tinggalkan sebuah balasan

Tinggalkan Balasan
Sebelumnya

Berikutnya

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Nama

*
Surel

*
Situs web

Komentar

Kirim Komentar
Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik.

Anda mungkin juga menyukai