SINDROMA NEFROTIK
Disusun oleh :
Dayu Fitria Indriati
1102012049
Pembimbing :
dr. Hj. Shelvi Febrianti, SpPD
I. Identitas diri
Nama
: Tn.C
Nomor CM
: 829xxx
Umur
: 20 th
Alamat
: Wanasari, wanaraja
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Sunda
Status Pernikahan
: Belum Menikah
Status Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal Masuk
: 28 / 08 / 2016
Tanggal Keluar
: 07 / 09 / 2016
Jam Masuk
: 00.15 WIB.
Ruangan
: Agate
II. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 5 September di ruangan Agate
A. Keluhan Utama
sering muncul sejak usia 6 tahun. Pasien juga mengaku adanya sesak nafas yang
muncul hampir sepanjang hari apabila tidur berbaring telentang. Pasien
menyangkal adanya demam, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, penurunan berat
badan, keringat malam dan alergi.
Pasien juga menyangkal adanya nyeri pada persendian, sering sariawan,
dan silau terhadap cahaya matahari. BAK sedikit tidak terdapat lendir, darah
maupun
kencing berpasir namun berwarna kuning pekat seperti air teh dan
Pasien tinggal dengan kedua orang tua dan sehari hari pasien hanya tinggal
dirumah atau bermain bersama temannya diluar rumah.
G. Anamnesis Sistem
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
Thoraks
Abdomen
: Nyeri ulu hati (-), Mual (+) dan oudeme pada semua lapang
abdomen
Saluran Kemih
Kelamin
Ekstremitas
: oedema (+)
H.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Keadaan Umum
: Kompos mentis
Tekanan Darah
: 110 / 80 mmHg
Nadi
: 100 x / menit
Respirasi
: 20 x / menit
Suhu
: 36,2o C
Keadaan Gizi
Sianosis
Edema
: Normal
Mobilitas
: Aktif
Aspek Kejiwaan
: Tingkah laku
: Wajar
: Alam Perasaan
: Biasa
: Proses Berpikir
: Wajar
: Warna
: putih
: Jaringan Parut
: Tidak ditemukan
: Pembuluh Darah
: Keringat
: Normal
Kulit
Kepala
: Efloresensi
: Tidak ditemukan
: Pigmentasi
: Tidak ditemukan
: Suhu Raba
: Hangat
: Kelembapan
: Biasa
: Normocephal
: Ekspresi Wajah
: Wajar
: Simetrisitas Muka
: Oedema Simetris
: Rambut
Mata
: Exophthalmus
:-/-
: Endophtalmus
:-/-
: Kelopak
: Oedema
: Conjungtiva Anemis
:-/-
: Sklere Ikterik
Telinga
:-/-
: Lapang Penglihatan
: Tidak diperiksa
: Lensa
: Normal
: Visus
: Tidak diperiksa
: Tidak diperiksa
: Lubang
: Normal
: Serumen
: Tidak diperiksa
: Selaput Pendengaran
: Tidak diperiksa
: Cairan
: Penyumbatan
: Perdarahan
: Tidak tampak
: Tidak tampak ada darah
: Tidak tampak
Mulut
: Bibir
: Lembab
:Langit Langit
: Normal
:Faring
: Tidak hiperemis
: Sianosis perioral
: Tidak tampak
: Tonsil
Leher
Cardio
: T1 T1
: Trakea
: Tiroid
: Inspeksi
: Palpasi
: Perkusi
: Auskultasi
: Bunyi jantung S1 = S2
murni regular
: Murmur ( - ) Gallop ( - )
Pulmo
: Inspeksi
: Palpasi
: Perkusi
: Auskultasi
Abdomen
: Arteri Temporalis
: Tidak Diperiksa
: Arteri Karotis
: Teraba
: Arteri Brakhialis
: Teraba
: Arteri Radialis
: Teraba
: Arteri Femoralis
: Tidak Diperiksa
: Arteri Poplitea
: Tidak Diperiksa
: Tidak Diperiksa
: Inspeksi
: Cembung
: Auskultasi
: Palpasi
tidak
teraba,
: Purpura
: Tidak ditemukan
: Petechie
: Tidak ditemukan
: Hematom
: Tidak ditemukan
: Edema
: Akral
: Hangat
ekstremitas
Kelenjar getah bening : Axila
: Inguinal
I.Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan:
Hematologi ( 28/8/16 )
Darah Rutin
Haemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
: 16,0 gr/dl
: 47 %
: 14,040 /mm3
: 333,000 / mm3
: 5.56 juta/mm3
Kimia klinik
Bilirubin total
: 0,43 mg/dL
Protein total
: 6,12 g/dL
AST (SGOT)
: 15 U/L
ALT (SGPT)
: 17 U/L
Ureum
: 22 mg/dL
Kreatinin
: 1.0 mg/dL
Glukosa Darah Sewaktu
: 114 mg/dL
s/d 1,0
6,6 8,7
s/d 37
s/d 40
15 50
0,7 1,3
< 140
Elektrolit
Natrium (Na)
: 150 mEq/L
135 145
Kalium (K)
: 2.6 mEq/L
3,6 5,5
Klorida (Cl)
: 98 mEq/L
98 108
Hematologi (31/8/2016)
Kimia klinik
Protein Total
: 3,93 g/dL
Albumin
: 2.09 g/dL
(3,5 5 g/dL)
Kolesterol total
: 273 mg/dL
Kolesterol HDL
: 36 mg/dL
( > 45 mg/dL )
Kolesterol LDL
: 210 mg/dL
Trigliserida
: 230 mg/dL
: 1.020
(1,002 1,030 )
Blood urine
: POS (+++)
Urine
Urine rutin
Leukosit esterase
: POS (++)
pH urine
: 6.5
( 4,8 7,5 )
Nitrit urine
: negatif
( Negatif )
Protein urine
: POS (+++)
( Negatif )
Glukosa urine
: negatif
( Negatif )
Keton urine
: POS (+)
( Negatif )
Urobilinogen urin
: POS (+++)
( 0,2 1,0 )
Bilirubin urin
: POS (+)
( Negatif )
Eritrosit
: >50
(<1)
Leukosit
: 20-25
(<1)
Sel epitel
: 10-15
Bakteri
: negatif
(Negatif)
Kristal
: negatif
(Negatif)
Silinder
: negatif
(Negatif)
Mikroskopis urine
J.Ringkasan Permasalahan
Laki laki berusia 20 tahun, muntah-muntah lebih dari 6x/hari sejak 9 jam,
bertambah buncit, bengkak diseluruh badan diakui pasien terutama dikedua
tungkai bawah dan diwajah yang semakin hari semakin membesar,pagi hari
kelopak mata membengkak. BAK berwarna kuning pekat seperti air teh, pasien
memiliki riwayat penyakit sindroma nefrotik sejak usia 6 tahun. Protein urin
(POS+++) , Hiperkolesterolemia kolesterol total (>200), HDL (<45), LDL (>130).
K.Daftar Permasalahan
- Edema anasarka e.c Sindroma Nefrotik
- Hipoalbuminemia dan Hiperkolesterolemia e.c Sindroma Nefrotik
L.Perencanaan
Planning Diagnosis
USG Abdomen
Biopsi Ginjal
ANA test
Planning Terapi
Cefotaxime 1x2gr iv
KSR 1x1 po
Ketorolac 1x1 po
Ranitidin 2x1 po
Metilprednisolon 2-0-1 po
Atorvastatin 0-0-2 po
M.Prognosis
Quo ad Vitam
: Quo ad Bonam
Quo ad Fungsional
: Quo ad Malam
Quo ad Sanationam
: Quo ad Bonam
N. Follow Up
10
Tanggal
pegal
dipersedia
n
R: 20 x/menit
- sindroma
D:
nefrotik
Hipoalbumin
Monitoring :
Evaluasi :
- Protein
total
dan
albumin
- Elektrolit
dan S : 36.2 C
muntah
- Bengkak
Mata: CA - / - SI - / -
diseluruh
tubuh
- BAK terasa
nyeri
T: 110/80 mmHg
dan N: 80 x/menit
belakang
leher
- Mual
KS: CM
dan
tidak
tuntas
PCH (-)
SPO (-)
Cardio: BJ I - II reg.
M (-) G (-)
Pulmo: VBs ki=ka
berwarna
kuning dan Rh -/- Wh -/berbusa
- terasa
kesemutan
pada
tangan dan
kedua kaki
- sesak nafas
- Sulit tidur
- BAB keras
T:
- Infus D5% + Ca
glukonas 2 amp 15
gtt
- Inf
Albumin
2x100ml
- Inj
Ondansetron
1x4mg iv
- Inj Farsix 1x1 iv
- Cefotaxime 1x2gr iv
- Sucralat syr 3xCTH
I
- KSR 1x1 po
- Ketorolac 1x1 po
- Ranitidin 2x1 po
- Metilprednisolon 20-1 po
- Atorvastatin
po
11
0-0-2
Hematologi (05/09/2016)
Albumin
: 2.17 g/dL
Natrium
: 133 mEq/L
Klorida
: 4.7 mEq/L
Kalium
: 100 mEq/L
S
- Pegal-pegal
: 4.01 mg/dL
O
KU: SS
KS: CM
berkurang
- Mual
dan T: 110/80 mmHg
muntah
N: 88 x/menit.
tidak
dirasakan
- Bengkak
badan dan
esktremitas
R: 22 x/menit.
S: 36,5 C
Mata: CA - / - SI - / -
berkurang
- BAK tidak Cardio:BJ I - II reg.
nyeri
namun
masih
M (-) G (-)
Pulmo: VBs ki = ka
berbusa
Rh /- Wh -/- Sesak nafas
sudah tidak Abdomen: BU (+) NT
dirasakan
(-)
- BAB lancar
Edema: atas +/+ bawah
+/+
Akral: Hangat
- Sindroma
D:
Nefrotik
Hipoalbuminemi
a
Monitoring :
Evaluasi :
Cek Albumin
T:
- Infus D5% + Ca
glukonas 2 amp
15 gtt
- Inf
Albumin
2x100ml
- Inj
Ondansetron
1x4mg iv
- Inj Farsix 1x1 iv
- Cefotaxime 1x2gr
iv
- Sucralat
syr
3xCTH I
- KSR 1x1 po
- Ketorolac 1x1 po
- Ranitidin 2x1 po
12
- Metilprednisolon
2-0-1 po
- Atorvastatin 0-0-2
po
- Diet extra putih
telur
S
7/9/16 - Pegal-pegal
tidak
dirasakan
- Mual dan
KU: SS
O
KS: CM
T: 110/80 mmHg
Sindroma Nefrotik
D:
Hipoalbuminemia
Monitoring :
N: 80 x/menit.
R: 20x/menit.
Evaluasi :
S: 36.4 C
T:
muntah
tidak
dirasakan
- Bengkak
badan dan
esktremitas
berkurang
- BAK tidak
nyeri
- Sesak nafas
sudah
tidak
dirasakan
- BAB lancar
Rh /- Wh -/Abdomen: BU (+)
NT (-)
- Infus D5% + Ca
glukonas 2 amp 15
gtt
- Inf Albumin 2x100ml
- Inj Ondansetron
1x4mg iv
- Inj Farsix 1x1 iv
- Cefotaxime 1x2gr iv
- Sucralat syr 3xCTH I
- KSR 1x1 po
- Ketorolac 1x1 po
bawah +/+
- Ranitidin 2x1 po
Akral: Hangat
- Metilprednisolon 2-01 po
13
- Atorvastatin 0-0-2 po
- Diet extra putih telur
Hematologi (06/09/2016)
Albumin
: 3,07 g/dL
PERTANYAAN KASUS
(S)
1. Bagaimana diagnosa
pada pasien ini?
1. Pasien datang dengan keluhan muntah-muntah lebih dari 6x/hari. BAK
berwarna kuning pekat seperti teh, sedikit dan berbuih.
2. Pasien mengaku seluruh badan bengkak terutama pada kaki dan wajah. Pertama
14kemudian ketika
kali bengkak muncul pada pagi hari di kelopak mata dan wajah
siang bengkak di kelopak mata menghilang.
3. Riwayat memiliki penyakit sindroma nefrotik saat usia 6 tahun diakui pasien.
(O)
KU
: Sakit Sedang
KS
: Compos Mentis
: 110/80 mmHg
: 80 x / menit.
: 36,2 oC
Mata
Ekstremitas
Abdomen
Paru
(A)
-edema tungkai + asites ec susp sindrom nefrotik dd/ penyakit ginjal kronik dd/
GNAPS
Berdasarkan hal diatas diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom
nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
15
(P)
Albumin
: 2.17 g/dL`
(N = 3.5 5)
Kolesterol total
: 273 mg/dL
(N = < 200)
Kolesterol LDL
: 210 mg/dL
Trigliserida
: 230 mg/dL
Protein urine
: +++
(positif)
Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosis
sindrom nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang
terdiri dari edema generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
proteinuria. Penyebab utama terjadinya SN belum dapat dipastikan, baik primer
ataupun sekunder. Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe SN ini adalah dengan
melakukan biopsi ginjal.
PEMBAHASAN TEORI
SINDROMA NEFROTIK
16
a. DEFINISI
Sindroma Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria massif
>3,5mg/hari, hipoalbuminemia <3.5mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus di temukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN, tetapi
pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah eskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berperan penting terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali
sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada
beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukan respon yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.
b. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO
Sindrom nefrotik disebabkan oleh banyak varian penyakit, seperti
kerusakan ginjal, fokal segmental glomerulosklerosis (FSGS) atau nefropati
membranosus. Secara langsung, dapat menyebabkan ekskresi protein abnormal
dalam urin. Penyebab paling sering pada anak-anak adalah minimal lesi, dan
glomerulonefritis membrane pada orang dewasa.
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibody.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulanbulan pertama kehidupannya atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor predisposisi
kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal. Pasien bisa
diselamatkan dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini
2. Sindroma nefrotik sekunder
Dapat disebabkan oleh :
17
18
19
h.
(GNLM),
membranosa
Glomerulosklerosis
(GNMN),
Glomerulonefritis
fokal
(GSF),
Glomerulonefritis
membranoproliperatif
(GNMP)
c.
KLASIFIKASI
j. Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik.
20
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin,
sedangkan pada proteinuria non-selektif yang lolos keluar merupakan protein
dengan molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria sendiri
ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.
n.
ISP = Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective
Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria)
yang banyak melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang
difiltrasi, di tubulus proksimal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan
tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron, yang
merangsang absorbsi natrium di tubulus distal. Rasio sintesis albumin di hati
meningkat untuk mengatasi hal ini namun tidak mencapai level yang cukup untuk
mencegah hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang hilang biasanya
21
melebihi 2 gram per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema
muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl.
r.
sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
s.
t. Edema
u.
22
x.
y.
z.
aa.
Teori Underfill
Teori Overfill
ab.
ac.
Hiperlipidemia
ad.
Disebut
kadar
hiperkolesterolemia
bila
akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja
yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah.
Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low
density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida.
ae.
lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu
menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar
apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.
ag.
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali
normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid)
dan lipoprotein serum meningkat.
23
ah. Hiperkoagulabilitas
ai. Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C
dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V,
VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,
perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX,
XI).
aj. Lipiduri
ak. Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel.
al. Kerentanan terhadap infeksi
am.Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia,
an.
ao.
e. DIAGNOSIS
ap.
Anamnesis
aq.
bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan
berat badan, dan rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan
juga mengenai riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar,
adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah ke penyebab penyakit
ginjal seperti hipertensi.
ar.
as.
at.
au.
Pemeriksaan fisik
24
av.
tungkai atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang
ditemukan., tanda-tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema.
aw.
Pemeriksaan penunjang
ax.
lain hitung darah lengkap, kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada
urinalisis ditemukan masif proteinuria (3+ sampai 4+), glikosuria, sel-sel granular,
sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati
hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya lesi glomerular
(misal : sklerosis glomerulus fokal). Dari makroskopis, urin tampak berbuih. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperkolesterolemia
lebih dari 200 mg/dl.
ay.
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien
dianggap menderita sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada
tingkat lebih atau setara dengan 50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami
sindrom nefrotik.
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal
yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
az.
f. PENATALAKSANAAN
ba.
25
bf.
2) Koreksi hipoproteinemia
bg.
peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit
dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin.
26
Untuk
penderita
SN
diberikan
diit
tinggi
kalori/karbohidrat
(untuk
3) Terapi hiperlipidemia
bi.
bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut.
Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya
minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol
dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil.
bk.
total dan
bl. kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada
absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada
SN.
bm.
4) Hiperkoagulabilitas
bn.
5) Pengobatan infeksi
27
bp.
6) Pengobatan hipertensi
br.
Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam
juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
bs.
Terapi Spesifik
bt.
kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain
menemukan bahwa pada lomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien
memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan
kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa
idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka
waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung
pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.
bv.
di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat
diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai
28
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari,
albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan
masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
bx.
SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya
nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.
by.
bz.
Pengobatan Relaps
ca.
29
cc.
cd.
dengan
steroid
alternating
dengan
dosis
yang
diturunkan
Cyclophosphamide
biasa
digunakan
untuk
penderita
yang
>3
kali
dalam
setahun
(frequently
relapsing)
bisa
diberikan
30
ci.
g. KOMPLIKASI
1) Hiperkoagulasi
cj.
kehilangan antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C
dan S, peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi
platelet. Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan
emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering
terjadi pada pasien SN.
ck.
Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas
dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3) Gangguan tubulus renalis
31
cn.
perkembangan
komensal
usus.
Biasanya
akibat
infeksi
globulin pengikat tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik
dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
8) Hipokalsemia
cs.
Disebabkan
albumin
serum
yang
rendah,
dan
berakibat
menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di
samping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal
dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan
eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara
hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT
32
dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D
dan 1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas
tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka
osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada
SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein (thyroid-binding
protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas
dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap
normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.
9) Hiperlipidemia dan Lipiduria
cu.
apabila disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus
yang menurun, dan proses katabolisme yang tinggi. Penurunan massa otot sering
ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak
setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa
tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.
11) Keseimbangan Nitrogen
cw.
33
cy.
cz.
dijaga pada pH antara 3,5 sampai 6,5 dengan natrium bikarbonat. Larutan dextrose
5% iso-osmosis dengan darah. Larutan dextrose injeksi merupakan larutan jernih dan
tidak berwarna
a. SIFAT FISIOKIMIA
da.
Dextrose berisi satu molekul air hidrasi atau anhydrous. Keristal tidak
berwarna atau putih, serbuk kristal atau granul. Tidak berbau dan mempunyai rasa
manis. Larut 1 dalam 1 bagian air dan 1 dalam 100 bagian alkohol; sangat larut dalam
air mendidih; larut dalam alkohol mendidih
b. DOSIS PEMBERIAN OBAT
db. Larutan dextrose 10% adalah hipertonik dan sebaiknya diberikan dengan kateter pada
vena sentral yang besar. Jika digunakan vena perifer, dipilih vena besar pada lengan dan
bila memungkinkan tempat infus harus dipindah-pindah tiap hari. Kecuali pada
penanganan emergensi hipoglikemia berat, konsentrasi dextrose yang lebih tinggi (20%
keatas) harus diberikan melalui vena sentral dan hanya setelah dilakukan dilusi yang
tepat. Kecepatan infus pada orang sehat adalah 0,5g/kg/jam untuk tanpa menimbulkan
glikosuria.2,3 Kecepatan maksimum pemberian infus dextrose tidak boleh melebihi 0,8
g/kg/jam.3 b. Dextrose 5% dapat diberikan secara intravena melalui vena perifer.
Kecepatan pemberian infus yang dapat diberikan tanpa menimbulkan glukosuria adalah
0,5 g/kg/jam, dengan kecepatan maksimum idak melebihi 0,8 g/kg/jam. Dosis dextrose
tergantung pada usia, berat badan dan keseimbangan cairan, elektrolit, glukose dan asam
basa dari pasien
c. FARMAKOLOGI
Dextrose adalah monosakarida dijadikan sebagai sumber energi bagi tubuh. Dextrose juga
berperanan pada berbagai tempat metabolisme protein dan lemak. Dextrose disimpan di
dalam tubuh sebagai lemak dan di otot dan hati sebagai glikogen. Jika diperlukan untuk
meningkatkan kadar glukosa secara cepat, maka glikogen segera akan melepaskan
glukosa. Jika suplai glukosa tidak mencukupi maka tubuh akan memobilisasi cadangan
lemak untuk melepaskan atau menghasilkan energi. Dextrose juga mempunyai fungsi
berpasangan
dihasilkan
dari
oksidasi
Pada
keadaan
fraksi-fraksi
asam
kekurangan
amino
yang
terdeaminasi. Dextrose juga dapat menjadi sumber asam glukoronat, hyaluronat dan
kondroitin sulfat dan dapat dikonversi menjadi pentose yang digunakan dalam
pembentukan asam inti (asam nukleat). Dextrose dimetabolisme menjadi karbondioksida
dan air yang bermanfaat untuk hidrasi tubuh.
d. KONTRAINDIKASI
df. - PREDNISON
a. CARA KERJA OBAT
dg. Prednison merupakan kortikosteroid sistemik dengan efek glukokortikoid dan
antiinflamasi.
Mekanisme
kerja
dengan
mempengaruhi
sintesa
protein.
c. KONTRA INDIKASI
protein.
dw.Reaksi hipersensitif: reaksi anafilaktik.
f. PERINGATAN DAN PERHATIAN
-
panjang.
Hati-hati pemakaian pada anak anak yang masih dalam pertumbuhan.
Tidak dianjurkan diberikan kepada wanita hamil dan menyusui. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang mungkin menyebabkan katarak subkapsular
posterior, glaukoma, dengan kemungkinan kerusakan pada syaraf mata dan
dapat meningkatkan infeksi okuler sekunder karena fungi dan virus.
insulin.
Pemakaian kortikosteroid pada penderita hipotiroid dan sirosis dapat
dapat
mempercepat
metabolisme
kortikosteroid.
dz. Pemberian vaksin bersama kortikosteroid dapat menyebabkan vaksin tidak
bekerja.
ea. - FARSIX
eb. Farsix merupakan salah satu obat diuretik kuat (furosemid), yang diberikan pada
pasien gagal jantung yang disertai dengan kelebihan beban cairan. Diuretik dapat
mengurangi retensi air dan natrium sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
aliran balik venda dan tekanan pengisian ventrikel, tanpa mengurangi volume curah
jantung. Efek samping dari pemberian diuretik kuat adalah hipokalemi dan
hipomagnesemia yang dpaat menimbulkan aritmia oleh digitalis.
ec.
1. Membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus sehingga merupakan
lapisan pelindung.
2. Menghambat aksi asam, pepsin dan garam empedu.
3. Menghambat difusi asam lambung menembus lapisan film sukralfat-albumin.
Penelitian menunjukkan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu lama
dalam
saluran
cerna
sehingga
menghasilkan
efek
obat
yang
panjang.
KALSIUM GLUKONAS
a. Penggunaan sediaan
eh.
kalsium yang rendah dalam darah pada pasien yang kekurangan kalsium pada asupan
harian. Kalsium Glukonat digunakan untuk mengobati penyakit kekurangan kalsium
seperti hipokalsemik tetani, hipokalsemia
hipokalsemia karena pertumbuhan yang cepat atau kehamilan. Kalsium Glukonat juga
digunakan pada pengobatan pada rakhitis, hipoparatiroidisme kronis, dan ricketsia,
osteomalacia, kolik, dan overdosis magnesium sulfat. Kalsium glukonat juga telah
digunakan
untuk
mengurangi
permeabilitas
kapiler
dalam
kondisi
alergi,
b. Efek Farmakologi
ej.
Kalsium adalah unsur kelima paling berlimpah dalam tubuh dan sangat
penting untuk menjaga integritas fungsional dari sistem saraf, muskular dan sistem skelet
dan membran sel serta permeabilitas kapiler. Kalsium juga merupakan aktivator penting
pada banyak rekasi enzimatis dan essensial untuk beberapa proses fisiologis mencakup
transmisi dari impuls syaraf; konstraksi kardiak; otot polos dan skelet; fungsi renal;
respirasi dan koagulasi darah. Kalsium juga memegang peranan dalam regulasi yaitu
melepas dan menyimpan neurotransmitters dan hormon, pada pengikatan asam amino,
dan pada absorbsi sianokobalamin(vitamin B12) dan sekresi gastrik.
ek.
c. Dosis
el.
en. -KSR
eo. Obat ini adalah suplemen mineral yang digunakan untuk mengobati atau mencegah
jumlah rendah kalium dalam darah.
a. Efek samping
ep. sakit perut, mual, muntah, gas, atau diare dapat terjadi. Reaksi alergi yang sangat
serius terhadap obat ini jarang terjadi. Selama kehamilan, obat ini harus digunakan
hanya ketika jelas dibutuhkan. Kalium masuk ke dalam ASI.
b. Dosis pemberian
eq. 1 atau 2 tab 2-3 kali sehari. Di mana KSR diberikan secara rutin dengan dosis
pemeliharaan harian rata-rata agen diuretik lisan, 1 atau 2 tab sehari-hari mungkin
cukup. Tablet KSR harus ditelan utuh dengan sedikit air sebaiknya saat makan.
c. Kontraindikasi
er. Gagal ginjal tahap lanjut, penyakit Addison yang tidak diobati, dehidrasi akut,
hiperkalemia, dengan adanya obstruksi pada saluran pencernaan (misalnya, akibat
kompresi kerongkongan akibat pelebaran atrium kiri atau dari stenosis usus). KSR
dalam situasi seperti ini bisa dibayangkan menimbulkan ulserasi atau perforasi.
d. Tindakan Pencegahan Khusus
es. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, perawatan khusus harus dilakukan ketika
meresepkan garam kalium karena risiko hiperkalemia. Elektrolit serum harus dipantau
pada pasien ini dan juga pada pasien dengan gagal jantung kongestif, terutama jika di
bawah pengobatan dengan digitalis, di antaranya hipokalemia harus dihindari. Selama
pemerintahan KSR, pemantauan laboratorium kadar elektrolit serum harus dilakukan
secara berkala.
e. Reaksi yang merugikan
et. Persiapan kalium oral dapat memprovokasi gangguan gastrointestinal misalnya, mual,
muntah, sakit perut, diare. Dalam kasus yang jarang terjadi, KSR juga dapat
menyebabkan efek samping. Dalam hal ini, pengurangan dosis atau penarikan obat
mungkin diperlukan.
f. Interaksi
eu. KSR mungkin telah meningkatkan risiko hiperkalemia jika diambil bersamaan dengan
inhibitor ACE, siklosporin, hemat kalium diuretik misalnya, spironolactone,
triamterene atau amilorid.
g. Mekanisme aksi
ev. Modus Aksi: lambat The dan berkelanjutan-release selama 6 jam menghalangi
konsentrasi tinggi kalium klorida terhadap area lokal dari dinding usus yang mungkin
mengganggu atau merusak mukosa. Rilis berkelanjutan memberikan kondisi toleransi
lambung maksimal dan penyerapan efektif untuk pengobatan semua jenis kekurangan
kalium, apakah hipokloremik atau hipokalemik alkalosis. KSR tidak mengubah fungsi
ginjal normal; dapat digunakan pada semua kelompok umur; menggantikan anion
klorida penting dan kalium, dan mencegah alkalosis hipokloremik.
ew. - ONDANSETRON
a. Farmakodinamik
ex. Mekanisme
demikian yang saat ini sudah diketahui adalah bahwa Ondansetron bekerja sebagai
antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara
menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks
muntah.
ey.
ez.
pelepasan 5HT dalam usus halus yang merupakan awal terjadinya refleks muntah
karena terjadi aktivasi aferen-aferen vagal melalui reseptor 5 HT3. Aktivasi aferenaferen vagal juga dapat menyebabkan pelepasan 5HT pada daerah psotrema otak yang
terdapat di dasar ventrikel 4. Hal ini merangsang terjadinya efek muntah melalui
mekanisme sentral. Jadi efek ondansentron dalam pengelolaan mual muntah yang
disebabkan sitostatika (kemoterapi) dan radioterapi bekerja sebagai antagonis reseptor
5HT3 pada neuron-neuron yang terdapat pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf
tepi.
b. Farmakokinetik
fa.
8 mg akan diserap dengan cepat dan konsentrasi maksimum (30 ng / ml) dalam
plasma dicapai dalam waktu 1,5 jam. Konsentrasi yang sama dapat dicapai dalam 10
menit dengan pemberian Ondansetron 4 mg i.v
fb.
yang setara juga dapat dicapai melalui pemberian secara i.m atau i.v. Waktu paruhnya
sekitar 3 jam. Volume distribusi dalam keadaan statis sekitar 140 L. Ondansetron yang
berikatan dengan protein plasma sekitar 70 76%. Ondansetron dimetabolisme sanagt
baik di sistem sirkulasi, sehingga hanya kurang dari 5 % saja yang terdeteksi di urine.
c. Indikasi
fc. Mencegah dan mengobati mual-muntah akut pasca bedah (PONV)
fd. Mencegah dan mengobati mual-muntah pasca kemoterapi pada penderita kanker
fe. Mencegah dan mengobati mual-muntah pasca radioterapi pada penderita kanker
ff.
fh. Dosis
fk. 8 mg
fn. 4 mg
fq. Awal : 8 mg
fr. Diikuti : 1
mg/jam selama
24 jam atau
fs. 2 x 8 mg
ft. Atau
fu. Awal : 32 mg
fv. Diikuti 2 x 8
mg
ge. Awal : 8 mg
gf. Atau 8 mg
gg. Dilanjutkan : 2
x 8 mg
gl. Awal : 5 mg /m
gm.
Dilanjut
kan : 2 x 4 mg
gq. Awal : 8 mg
gr. Dilanjutkan : 8
mg
gv. Dapat ditolerir
dengan
baik
pada usia >65
tahun. Tidaka
diperlukan
penyesuaian
dosis,
hanya
perlu
dipertimbangka
n frekuensi dan
cara
pemberiannya
gy. Tidak
diperlukan
penyesuaian
dosis
harian,
frekuensi dan
cara pemberian
hb. Total
dosis
harian
tidak
boleh lebih dari
8 mg
gp. Radioterapi
gu. Usia Lanjut
gx. Pasien
gangguan
ginjal
dengan
fungsi
ha. Pasien
gangguan
hepar
dengan
fungsi
hd.
e. Kontra Indikasi
he. Pasien hipersensitif terhadap Ondansetron
hf.
f. Interaksi Obat
fw. i.v.
perlahan,
sesaat
sebelum kemoterapi
fx. infus
fy.
gz.
hc.
h. Efek Samping
hl.
merupakan efek samping yang paling sering ditemukan (11%). Kadang dapat
dijumpai sakit kepala, wajah ke merahan (flushing), rasa panas atau hangat di kepala
dan epigastrium yang bersifat sementara. Peningkatan aminotransferase tanpa disertai
gejala-gejala, Kadang juga dapat dijumpai peningkatan serum transaminase (5%) dan
ruam kulit (1%), sedasi dan diare, karena meningkatnya waktu transfer di usus besar.
hm.
CEFOTAXIME
a. Komposisi :
hq. Cefotaxime 500mg : Tiap vial mengandung cefotaxime sodium setara dengan
cefotaxime 500mg
hr.
Cefotaxime 1g : Tiap vial mengandung cefotaxime sodium setara dengan
cefotaxime 1.000mg
b. Indikasi
Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang sensitif terhadap cafotaxime antara
lain:
-
Infeksi intra-abdominal
Meningitis
Septikemia
Bakteremia
Belum terdapat data klinis yang cukup untuk mendukung pengobatan terhadap
infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhidan infeksiparatyphi Adan B.
c. Kontraindikasi
Penderita
yang
hipersensitif
terhadap
antibiotika
sefalosporin.
hs.
KETOROLAC
a. Indikasi
ht. Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan
ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal
selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek
anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti morfin pada keadaan pasca operasi
ringan dan sedang.
b. Farmakodinamik
hu. Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim
siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin,
juga menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine memberikan efek anti
inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak,
menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear
dan makrofag ke tempat peradangan.
c. Farmakokinetik
hv. Ketorolac tromethamine 99% diikat oleh protein. Sebagian besar ketorolac
tromethamine dimetabolisme di hati. Metabolismenya adalah hidroksilate, dan yang
tidak dimetabolisme (unchanged drug) diekresikan melalui urin.
d. Dosis
hw.Ketorolac tromethamine tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi. Pemberian injeksi
lebih dianjurkan. Pemberian Ketorolac tromethamine hanya diberikan apabila ada
indikasi sebagai kelanjutan dari terapi Ketorolac tromethamine dengan injeksi. Terapi
Ketorolac tromethamine baik secara injeksi ketorolac ataupun tablet hanya diberikan
selama 5 hari untuk mencegah ulcerasi peptic dan nyeri abdomen. Efek analgesic
Ketorolac tromethamine selama 4-6 jam setelah injeksi.
hx. Untuk injeksi intramuscular :
-
Pasien
dengan
umur
<65
tahun
diberikan
dosis
60
mg
Ketorolac
tromethamine/dosis.
-
Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat
badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 30 mg/dosis.
hy.
-
dengan
umur
<65
tahun
diberikan
dosis
30
mg
Ketorolac
tromethamine/dosis.
-
Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat
badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15 mg/dosis.
hz.
maksimal :
-
Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari. Bila diberikan dengan
injeksi intravena, maka diberikan setiap 6 jam sekali.
e. Efek Samping
ia. Selain mempunyai efek yang menguntungkan, Ketorolac tromethamine juga
mempunyai efek samping, diantaranya :
a. Efek pada gastrointestinal
ib. Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi peptic, perdarahan dan
perlubangan lambung. Sehingga Ketorolac tromethamine dilarang untuk pasien yang
sedang atau mempunyai riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic.
b. Efek pada ginjal
ic. Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau kegagalan depresi volume pada
ginjal, sehingga dilarang diberikan pada pasien dengan riwayat gagal ginjal.
c. Resiko perdarahan
id. Ketorolac tromethamine menghambat fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan
hemostasis yang mengakibatkan risiko perdarahan dan gangguan hemostasis.
d. Reaksi hipersensitivitas
ie. Dalam pemberian Ketorolac tromethamine bias terjadi reaksi hypersensitivitas dari
hanya sekedar spasme bronkus hingga shock anafilaktik, sehigga dalam pemberian
Ketorolac tromethamine harus diberikan dosis awal yang rendah.
f. Kontra Indikasi
if. Ketorolac tromethamine dikontra indikasikan untuk pasien dengan riwayat gagal
ginjal, riwayat atau sedang menderita ulcerasi peptic, angka trombosit yang rendah.
Untuk menghindari terjadinya perdarahan lambung, maka pemberian ketorolac
tromethamine hanya selama 5 hari saja.
ig.
RANITIDIN
Ranitidin adalah obat yang diindikasikan untuk sakit maag. Pada penderita
sakit maag, terjadi peningkatan asam lambung dan luka pada lambung. Hal tersebut yang
sering kali menyebabkan rasa nyeri ulu hati, rasa terbakan di dada, perut terasa penuh, mual,
banyak bersendawa ataupun buang gas
ii.
tersebut dengan cara memblok langsung sel penghasil asam lambung. Ranitidin sebaiknya
diminum sebelum makan sehingga saat makan, keluhan mual penderita telah berkurang.
Ranitidin dianggap lebih potensial dibandingkan antasida (obat maag yang sering ditemui
dijual bebas di apotek ataupun warung). Bila sakit maag cukup berat atau gejala tidak
membaik dengan antacida, biasanya ranitidin akan diresepkan.
ij.
Selain untuk sakit maag, ranitidin juga dapat digunakan untuk pengobatan
radang saluranan pencernaan bagian atas (kerongkongan), dan luka lambung. Ranitidin
termasuk kedalam obat maag yang aman. Pada beberapa kondisi berikut ranitidin sebaiknya
tidak diberikan, yakni:
1. Riwayat alergi terhadap ranitidin;
2. Ibu yang sedang menyusui;
3. Pemberian ranitidin juga perlu diawasi pada kondisi gagal ginjal.
ik. b. EFEK SAMPING
il. Efek samping yang ditimbulkan sangat jarang ditemukan. Adapun efek samping
tersebut beserta persentase frekuensi kemunculannya adalah sebagai berikut:
1. Sakit kepala (3%);
2. Sulit buang air besar (<1%);
3. Diare (<1%);
4. Mual (<1%);
5. Nyeri perut (<1%);
6. Gatal-gatal pada kulit (<1%)
im.
c. DOSIS
in.
Ranitidin juga tersedia sebagai obat generik maupun obat paten. Ranitidin dalam bentuk
tablet tersedia dalam ukuran dosis 75 mg, 150 mg, dan 30 mg. Ranitidin dalam bentuk
sirup tersedia dalam ukuran dosis 15 mg/ml. Sedangkan ranitidin dalam bentuk cairan
untuk disuntikan tersedia dalam ukuran dosis 1 mg/ml dan 25 mg/ml. Cairan suntikan
tersebut dapat disuntikan langsung ke dalam pembuluh darah atau ke dalam otot. Dosis
ranitidin untuk orang dewasa ialah 150 mg dua kali sehari atau 300 mg sekali sehari.
Untuk peradangan kerongkongan, ranitidin dapat diberikan hingga 150 mg tiga kali
sehari. Dosis untuk anak-anak ialah 2-4 mg/kg berat badan dua kali sehari. Dosis
maksimal untuk anak-anak ialah 300 mg sehari.
io.
iq. Pada pasien ini terjadi perbaiakan klinis berupa penurunan rasa sesak dan pasien
merasa lebih nyaman. Pasien juga terlihat lebih segar serta adanya peningkatan dalam
beraktivitas.
-
ir. Prognosis perbaikan fungsi Ginjal adalah buruk karena keadaan jantung tidak dapat
dikembalikan seperti semula.
-
is. Pasien sudah dapat menjalani aktifitas seperti sebelumnya, namun sewaktu waktu jika
pasien melakukan aktifitas yang lebih berat dari normal maka potensi penyakit buruk
kembali menyerang lebih besar dan dapat dirasakan kembali efek dari penyakit
tersebut.
it.
DAFTAR PUSTAKA
iu.
1.
Alatas H, et al. 2013. Konsensus tatalaksana sindroma nefrotik pada anak.
Diakses
pada
15
September
2016
di
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Konsensus_-Tatalaksana_-Sindroma_Nefrotik.pdf.pdf
iv.
iw.
3.
Nishi S, et al. 2015. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines for
Nephrotic
Syndrome
2014.
Diakses
pada
13
september
2016
di
http://www.jsn.or.jp/guideline/pdf/NS_eng.pdf
ix.
4.
Rauf S. Sindrom Nefrotik. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUH. p. 21-30.
iy.
5.
Shafa R. Sindroma Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Diakses pada 15
September 2016 di http://drshafa.wordpress.com/sindrom-nefrotik/.
iz.
6.
Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Diakses pada 14
September 2016 di www.scribd.com.
ja.
7.
Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Diakses pada 15 September
2016 di http://skydrugz.blogspot.com/.
jb.
8.
Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW d, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2007.
jc.