Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT

SINDROMA NEFROTIK

Disusun oleh :
Dayu Fitria Indriati

1102012049

Pembimbing :
dr. Hj. Shelvi Febrianti, SpPD

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SMF


INTERNA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD. DR. SLAMET GARUT
SEPTEMBER 2016

I. Identitas diri
Nama

: Tn.C

Nomor CM

: 829xxx

Umur

: 20 th

Alamat

: Wanasari, wanaraja

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Sunda

Status Pernikahan

: Belum Menikah

Status Pekerjaan

: Pelajar

Tanggal Masuk

: 28 / 08 / 2016

Tanggal Keluar

: 07 / 09 / 2016

Jam Masuk

: 00.15 WIB.

Ruangan

: Agate

II. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 5 September di ruangan Agate
A. Keluhan Utama

: Muntah-muntah lebih dari 6x/hari sejak 9


jam yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSU DR. SLAMET GARUT dengan muntah-muntah


lebih dari 6x/hari sejak 9 jam yang lalu SMRS. Muntah berupa cairan berwarna
putih disertai ampas makanan tanpa darah dan lendir, pasien mengaku sejak 5 hari
yang lalu dirasakan mual dan tidak nafsu makan. Keluhan nyeri perut disangkal
pasien namun bertambah buncit dan bila pasien berbaring, perut melebar ke
samping dan bila pasien duduk perut terlihat sangat buncit ke depan. Keluhan
bengkak diseluruh badan diakui pasien terutama dikedua tungkai bawah dan
diwajah yang semakin hari semakin membesar serta dikeluhkan kedua tungkai
bawah sering keram dan bengkak dirasakan tidak memerah maupun terasa panas.
Pasien juga mengeluh pada pagi hari di kelopak mata membengkak kemudian
ketika siang hari bengkak di kelopak mata menghilang keluhan ini sudah lama

sering muncul sejak usia 6 tahun. Pasien juga mengaku adanya sesak nafas yang
muncul hampir sepanjang hari apabila tidur berbaring telentang. Pasien
menyangkal adanya demam, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, penurunan berat
badan, keringat malam dan alergi.
Pasien juga menyangkal adanya nyeri pada persendian, sering sariawan,
dan silau terhadap cahaya matahari. BAK sedikit tidak terdapat lendir, darah
maupun

kencing berpasir namun berwarna kuning pekat seperti air teh dan

berbuih. Pasien juga menyangkal adanya nyeri ketika BAK, anyang-anyangan..


BAB pasien lancar, berwarna kuning kecoklatan, tidak terdapat darah ataupun
lendir.
C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit sindroma nefrotik sejak usia 6


tahun. Memiliki riwayat sering dirawat di RS, terakhir kali dirawat 1 tahun yang
lalu atas indikasi hipoalbuminemia. Riwayat penyakit lainnya seperti sakit kuning,
maag, diabetes melitus, penyakit paru-paru dan darah tinggi disangkal.
D.Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku keluarga tidak ada yang menderita keluhan serupa


sebelumnya. Juga tidak ada keluarga yang menderita DM, Hipertensi, Asma,
Penyakit Ginjal.
E.Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi pada pasien dan keluarga


F.Keadaan Sosial Ekonomi

Pasien tinggal dengan kedua orang tua dan sehari hari pasien hanya tinggal
dirumah atau bermain bersama temannya diluar rumah.
G. Anamnesis Sistem
Kulit

: Tidak ada kelainan

Kepala

: wajah mengalami pembengkakan sejak usia 8 tahun


sebelum ke RS

Mata

: kelopak mata bengkak pada pagi hari

Telinga

: Tidak ada kelainan

Hidung

: Tidak ada kelainan

Mulut

: Tidak ada kelainan

Leher

: Tidak ada kelainan

Thoraks

: Tidak ada kelainan

Abdomen

: Nyeri ulu hati (-), Mual (+) dan oudeme pada semua lapang
abdomen

Saluran Kemih

: Tidak ada kelainan

Kelamin

: Tidak ada kelainan

Saraf dan Otot

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas

: oedema (+)

H.Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

: Sakit sedang

Keadaan Umum

: Kompos mentis

Tekanan Darah

: 110 / 80 mmHg

Nadi

: 100 x / menit

Respirasi

: 20 x / menit

Suhu

: 36,2o C

Keadaan Gizi

: BB : 65kg TB: 166 IMT : 23,58 (Normal)

Sianosis

: Tidak tampak sianosis perioral

Edema

: Oedema pada wajah, Ascites (+), ekstremitas bawah (+),

ektremitas atas (+)


Cara Berjalan

: Normal

Mobilitas

: Aktif

Aspek Kejiwaan

: Tingkah laku

: Wajar

: Alam Perasaan

: Biasa

: Proses Berpikir

: Wajar

: Warna

: putih

: Jaringan Parut

: Tidak ditemukan

: Pembuluh Darah

: Tidak tampak melebar

: Keringat

: Normal

Kulit

Kepala

: Efloresensi

: Tidak ditemukan

: Pigmentasi

: Tidak ditemukan

: Suhu Raba

: Hangat

: Kelembapan

: Biasa

: Normocephal
: Ekspresi Wajah

: Wajar

: Simetrisitas Muka

: Oedema Simetris

: Rambut

: Hitam , tebal dan tidak


mudah dicabut

Mata

: Exophthalmus

:-/-

: Endophtalmus

:-/-

: Kelopak

: Oedema

: Conjungtiva Anemis

:-/-

: Sklere Ikterik

Telinga

:-/-

: Lapang Penglihatan

: Tidak diperiksa

: Lensa

: Normal

: Visus

: Tidak diperiksa

: Tekanan Bola Mata

: Tidak diperiksa

: Lubang

: Normal

: Serumen

: Tidak diperiksa

: Selaput Pendengaran

: Tidak diperiksa

: Cairan

: Tidak tampak ada cairan


yang keluar dari liang telinga

: Penyumbatan
: Perdarahan

: Tidak tampak
: Tidak tampak ada darah

keluar dari liang telinga


Hidung

: Pernafasan cuping hidung

: Tidak tampak

Mulut

: Bibir

: Lembab

:Langit Langit

: Normal

:Faring

: Tidak hiperemis

: Sianosis perioral

: Tidak tampak

: Tonsil
Leher

Cardio

: T1 T1

: Kelenjar getah bening

: Tidak teraba pembesaran

: Trakea

: Tidak ada Deviasi

: Tiroid

: Tidak teraba pembesaran

: Inspeksi

: Iktus cordis terlihat

: Palpasi

: Iktus cordis teraba pada sela


iga ke 5 sebelah medial garis midclavicula
kiri

: Perkusi

: Batas jantung kanan pada


linea midclavicula sela iga ke
4 kanan
:Batas jantung kiri pada linea
aksilaris anterior kiri sela iga
ke 5
: Batas pinggang jantung
pada parastenum kiri sela iga
ke 3

: Auskultasi

: Bunyi jantung S1 = S2

murni regular
: Murmur ( - ) Gallop ( - )
Pulmo

: Inspeksi

: Hemitoraks kanan dan kiri


simetris, tidak tampak adanya
sikatrik, massa dan fraktur
pada kedua hemitoraks.

: Palpasi

: Fremitus taktil dan fremitus


vocal kanan dan kiri simetris
dalam keadaan statis dan
dinamis

: Perkusi

: Sonor di seluruh lapang


paru

: Auskultasi

: VBS kanan = kiri

: Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)


Pembuluh darah

Abdomen

: Arteri Temporalis

: Tidak Diperiksa

: Arteri Karotis

: Teraba

: Arteri Brakhialis

: Teraba

: Arteri Radialis

: Teraba

: Arteri Femoralis

: Tidak Diperiksa

: Arteri Poplitea

: Tidak Diperiksa

: Arteri Tibialis Posterior

: Tidak Diperiksa

: Inspeksi

: Cembung

: Auskultasi

: BU ( + ), 4 kali per menit di

setiap kuadran abdomen


: Perkusi

: redup dibagian 1/3 abdomen

: Palpasi

:Lembut, terdapat nyeri tekan

kanan dan kiri


di epigastrium. Pembesaran
hepar

tidak

teraba,

pembesaran lien tidak teraba


Ekstremitas

: Purpura

: Tidak ditemukan

: Petechie

: Tidak ditemukan

: Hematom

: Tidak ditemukan

: Edema

: Tampak edema pada kedua

ekstremitas Atas dan Bawah.


: Varises

: Tidak tampak varises pada

: Akral

: Hangat

ekstremitas
Kelenjar getah bening : Axila
: Inguinal

: Tidak teraba pembesaran


: Tidak diperiksa

I.Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan:
Hematologi ( 28/8/16 )
Darah Rutin
Haemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit

: 16,0 gr/dl
: 47 %
: 14,040 /mm3
: 333,000 / mm3
: 5.56 juta/mm3

(13.0 16,0 gr/dl)


(40 52 %)
(3,800 10,600/ mm3)
(150,000440,000 mm3
(3,5 6,5 juta/mm3)

Kimia klinik
Bilirubin total
: 0,43 mg/dL
Protein total
: 6,12 g/dL
AST (SGOT)
: 15 U/L
ALT (SGPT)
: 17 U/L
Ureum
: 22 mg/dL
Kreatinin
: 1.0 mg/dL
Glukosa Darah Sewaktu
: 114 mg/dL

s/d 1,0
6,6 8,7
s/d 37
s/d 40
15 50
0,7 1,3
< 140

Elektrolit
Natrium (Na)

: 150 mEq/L

135 145

Kalium (K)

: 2.6 mEq/L

3,6 5,5

Klorida (Cl)

: 98 mEq/L

98 108

Hematologi (31/8/2016)
Kimia klinik
Protein Total

: 3,93 g/dL

(6,6 8,7 g/dL)

Albumin

: 2.09 g/dL

(3,5 5 g/dL)

Kolesterol total

: 273 mg/dL

( < 200 mg/dL)

Kolesterol HDL

: 36 mg/dL

( > 45 mg/dL )

Kolesterol LDL

: 210 mg/dL

( < 130 mg/dL )

Trigliserida

: 230 mg/dL

(< 160 mg/dL )

Berat jenis urine

: 1.020

(1,002 1,030 )

Blood urine

: POS (+++)

Urine
Urine rutin

Leukosit esterase

: POS (++)

pH urine

: 6.5

( 4,8 7,5 )

Nitrit urine

: negatif

( Negatif )

Protein urine

: POS (+++)

( Negatif )

Glukosa urine

: negatif

( Negatif )

Keton urine

: POS (+)

( Negatif )

Urobilinogen urin

: POS (+++)

( 0,2 1,0 )

Bilirubin urin

: POS (+)

( Negatif )

Eritrosit

: >50

(<1)

Leukosit

: 20-25

(<1)

Sel epitel

: 10-15

Bakteri

: negatif

(Negatif)

Kristal

: negatif

(Negatif)

Silinder

: negatif

(Negatif)

Mikroskopis urine

J.Ringkasan Permasalahan
Laki laki berusia 20 tahun, muntah-muntah lebih dari 6x/hari sejak 9 jam,
bertambah buncit, bengkak diseluruh badan diakui pasien terutama dikedua
tungkai bawah dan diwajah yang semakin hari semakin membesar,pagi hari
kelopak mata membengkak. BAK berwarna kuning pekat seperti air teh, pasien
memiliki riwayat penyakit sindroma nefrotik sejak usia 6 tahun. Protein urin
(POS+++) , Hiperkolesterolemia kolesterol total (>200), HDL (<45), LDL (>130).
K.Daftar Permasalahan
- Edema anasarka e.c Sindroma Nefrotik
- Hipoalbuminemia dan Hiperkolesterolemia e.c Sindroma Nefrotik
L.Perencanaan
Planning Diagnosis

USG Abdomen

Biopsi Ginjal

ANA test
Planning Terapi

Infus D5% + Ca glukonas 2 amp 15 gtt

Inf Albumin 2x100ml

Inj Ondansetron 1x4mg iv

Inj Farsix 1x1 iv

Cefotaxime 1x2gr iv

Sucralat syr 3xCTH I

KSR 1x1 po

Ketorolac 1x1 po

Ranitidin 2x1 po

Metilprednisolon 2-0-1 po

Atorvastatin 0-0-2 po

M.Prognosis
Quo ad Vitam

: Quo ad Bonam

Quo ad Fungsional

: Quo ad Malam

Quo ad Sanationam

: Quo ad Bonam

N. Follow Up

10

Tanggal

05/09/1 - Terasa pegal- KU: SS


6

pegal
dipersedia
n

R: 20 x/menit

- sindroma

D:

nefrotik
Hipoalbumin

Monitoring :
Evaluasi :
- Protein

total

dan

albumin
- Elektrolit

dan S : 36.2 C

muntah
- Bengkak

Mata: CA - / - SI - / -

diseluruh
tubuh
- BAK terasa
nyeri

T: 110/80 mmHg

dan N: 80 x/menit

belakang
leher
- Mual

KS: CM

dan

tidak
tuntas

PCH (-)

SPO (-)

Cardio: BJ I - II reg.
M (-) G (-)
Pulmo: VBs ki=ka

berwarna
kuning dan Rh -/- Wh -/berbusa
- terasa
kesemutan
pada
tangan dan
kedua kaki
- sesak nafas
- Sulit tidur
- BAB keras

Abdomen: BU (+) NT (-)


Asites (+)
Edema: atas +/+ bawah +/+
Akral: Hangat

T:
- Infus D5% + Ca
glukonas 2 amp 15
gtt
- Inf

Albumin

2x100ml
- Inj

Ondansetron

1x4mg iv
- Inj Farsix 1x1 iv
- Cefotaxime 1x2gr iv
- Sucralat syr 3xCTH
I
- KSR 1x1 po
- Ketorolac 1x1 po
- Ranitidin 2x1 po
- Metilprednisolon 20-1 po
- Atorvastatin
po

11

0-0-2

Hematologi (05/09/2016)
Albumin

: 2.17 g/dL

Natrium

: 133 mEq/L

Klorida

: 4.7 mEq/L

Kalium

: 100 mEq/L

Kalsium (Ca bebas)


Tanggal.
6/9/16

S
- Pegal-pegal

: 4.01 mg/dL
O
KU: SS

KS: CM

berkurang
- Mual
dan T: 110/80 mmHg
muntah

N: 88 x/menit.

tidak
dirasakan
- Bengkak
badan dan
esktremitas

R: 22 x/menit.
S: 36,5 C
Mata: CA - / - SI - / -

berkurang
- BAK tidak Cardio:BJ I - II reg.
nyeri
namun
masih

M (-) G (-)
Pulmo: VBs ki = ka

berbusa
Rh /- Wh -/- Sesak nafas
sudah tidak Abdomen: BU (+) NT
dirasakan
(-)
- BAB lancar
Edema: atas +/+ bawah
+/+
Akral: Hangat

- Sindroma

D:

Nefrotik
Hipoalbuminemi
a

Monitoring :
Evaluasi :
Cek Albumin
T:
- Infus D5% + Ca
glukonas 2 amp
15 gtt
- Inf

Albumin

2x100ml
- Inj

Ondansetron

1x4mg iv
- Inj Farsix 1x1 iv
- Cefotaxime 1x2gr
iv
- Sucralat

syr

3xCTH I
- KSR 1x1 po
- Ketorolac 1x1 po
- Ranitidin 2x1 po

12

- Metilprednisolon
2-0-1 po
- Atorvastatin 0-0-2
po
- Diet extra putih
telur

S
7/9/16 - Pegal-pegal
tidak
dirasakan
- Mual dan

KU: SS

O
KS: CM

T: 110/80 mmHg

Sindroma Nefrotik

D:

Hipoalbuminemia

Monitoring :

N: 80 x/menit.

Cek darah rutin

R: 20x/menit.

Evaluasi :

S: 36.4 C

T:

muntah
tidak
dirasakan
- Bengkak
badan dan
esktremitas
berkurang
- BAK tidak
nyeri
- Sesak nafas

Mata: CA - / - SI - / Cardio:BJ I - II reg.


M (-) G (-)
Pulmo: VBs ki = ka

sudah
tidak
dirasakan
- BAB lancar

Rh /- Wh -/Abdomen: BU (+)
NT (-)

- Infus D5% + Ca
glukonas 2 amp 15
gtt
- Inf Albumin 2x100ml
- Inj Ondansetron
1x4mg iv
- Inj Farsix 1x1 iv
- Cefotaxime 1x2gr iv
- Sucralat syr 3xCTH I
- KSR 1x1 po

Edema: atas +/+

- Ketorolac 1x1 po

bawah +/+

- Ranitidin 2x1 po

Akral: Hangat

- Metilprednisolon 2-01 po

13

- Atorvastatin 0-0-2 po
- Diet extra putih telur

Hematologi (06/09/2016)
Albumin

: 3,07 g/dL

PERTANYAAN KASUS
(S)
1. Bagaimana diagnosa
pada pasien ini?
1. Pasien datang dengan keluhan muntah-muntah lebih dari 6x/hari. BAK
berwarna kuning pekat seperti teh, sedikit dan berbuih.
2. Pasien mengaku seluruh badan bengkak terutama pada kaki dan wajah. Pertama
14kemudian ketika
kali bengkak muncul pada pagi hari di kelopak mata dan wajah
siang bengkak di kelopak mata menghilang.
3. Riwayat memiliki penyakit sindroma nefrotik saat usia 6 tahun diakui pasien.

(O)
KU

: Sakit Sedang

KS

: Compos Mentis

: 110/80 mmHg

: 80 x / menit.

: 20 x/menit reg, isi cukup

: 36,2 oC

Mata

: edema kelopak mata +/+

Ekstremitas

: pitting edema ekstremitas bawah.

Abdomen

: asites pada kuadran kanan dan kiri bawah

Paru

: dalam batas normal

(A)
-edema tungkai + asites ec susp sindrom nefrotik dd/ penyakit ginjal kronik dd/
GNAPS
Berdasarkan hal diatas diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom
nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium.

15

(P)
Albumin

: 2.17 g/dL`

(N = 3.5 5)

Kolesterol total

: 273 mg/dL

(N = < 200)

Kolesterol LDL
: 210 mg/dL
Trigliserida
: 230 mg/dL
Protein urine
: +++
(positif)
Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosis
sindrom nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang
terdiri dari edema generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
proteinuria. Penyebab utama terjadinya SN belum dapat dipastikan, baik primer
ataupun sekunder. Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe SN ini adalah dengan
melakukan biopsi ginjal.

PEMBAHASAN TEORI
SINDROMA NEFROTIK

16

a. DEFINISI
Sindroma Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria massif
>3,5mg/hari, hipoalbuminemia <3.5mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus di temukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN, tetapi
pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah eskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berperan penting terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali
sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada
beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukan respon yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.
b. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO
Sindrom nefrotik disebabkan oleh banyak varian penyakit, seperti
kerusakan ginjal, fokal segmental glomerulosklerosis (FSGS) atau nefropati
membranosus. Secara langsung, dapat menyebabkan ekskresi protein abnormal
dalam urin. Penyebab paling sering pada anak-anak adalah minimal lesi, dan
glomerulonefritis membrane pada orang dewasa.
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibody.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulanbulan pertama kehidupannya atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor predisposisi
kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal. Pasien bisa
diselamatkan dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini
2. Sindroma nefrotik sekunder
Dapat disebabkan oleh :

17

a. Malaria kuartana atau parasit lain


b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematous diseminata, purpura
anafilaktoid
c. Glumerulonefritis akut atau glumerulonefritis kronis dan thrombosis
vena renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, air raksa
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik
3. Sindroma nefrotik idiopatik
Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal
dengan mikroskop biasa dan mikroskop elektron. Churg membagi dalam 4
golongan yaitu:
a. Kelainan minimal
b. Nefropati membranosa
c. Glumerulonefritis proliferatif
d. Glumerulosklerosis fokal segmental
Klasifikasi lain yaitu :
1. Glomerulonefritis pimer
a. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)

18

d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)


e. Glomerulonefritis proliferatif lain
2. Glomerulonferitis sekunder akibat infeksi :
a. HIV
b. Hepatitis virus B dan C
c. Sifilis
d. Malaria
e. Skistosomiasis
f. Tuberkulosis
g. Lepra
3. Keganasan
a. Adenokarsinoma paru
b. Limfoma Hodgkin
c. Mieloma multipel
d. Karsinoma ginjal
4. Penyakit jaringan penghubung
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Artritits reumatoid
5. Efek obat dan toksin
a. NSAID
b. Preparat emas
c. Penisilinamin
d. Probenesid
e. Air raksa
f. Kaptopril
g. Heroin
6. Lain-lain
1) Diabetes melitus
2) Amiloidosis
3) Pre-eklamsia
4) Refluks vesikoureter
5) Sengatan lebah

19

h.

i. Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang


paling sering. Dalam kelompok Glomerulonefritis primer, Glomerulonefritis lesi
minimal

(GNLM),

membranosa

Glomerulosklerosis

(GNMN),

Glomerulonefritis

fokal

(GSF),

Glomerulonefritis

membranoproliperatif

(GNMP)

merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder


akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada Glomerulonefritis
pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat
NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik, misalnya pada SLE dan
diabetes melitus.

c.

KLASIFIKASI
j. Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik.

Menurut berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering


dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.
Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada
respon klinik, yaitu :
a. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
b. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
k.

d. PATOFISIOLOGI dan MANIFESTASI KLINIS


l.

Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat

dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, namun penyebab


terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Dalam keadaan normal, membran
basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu. Hilangnya

20

muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus


dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin
yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
m.

Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif

berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin,
sedangkan pada proteinuria non-selektif yang lolos keluar merupakan protein
dengan molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria sendiri
ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.
n.

Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana

basalis glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana


untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah index
selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan mengukur rasio
antara clearance IgG dan clearance transferin.
o.

ISP = Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective

Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan :


1. Kerusakan glomerulus ringan
2. Respon terhadap kortikosteroid baik
p.

Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria)

yang secara klinik menunjukkan :


1. Kerusakan glomerulus berat
2. Tidak respon terhadap kortikosteroid
q.

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi melalui kehilangan

yang banyak melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang
difiltrasi, di tubulus proksimal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan
tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron, yang
merangsang absorbsi natrium di tubulus distal. Rasio sintesis albumin di hati
meningkat untuk mengatasi hal ini namun tidak mencapai level yang cukup untuk
mencegah hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang hilang biasanya

21

melebihi 2 gram per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema
muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl.
r.

Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus

sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
s.

t. Edema
u.

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan

overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor


kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas system
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti
diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine
menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume intravaskular tetapi retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan
onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial sehingga edema akan semakin berlanjut.
v.

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek

renal utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium


sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema.
Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.
w.

22

x.
y.
z.

aa.

Teori Underfill
Teori Overfill
ab.

ac.
Hiperlipidemia
ad.

Disebut

kadar

hiperkolesterolemia

bila

kolesterol > 250 mg/100ml. akhir-

akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja
yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah.
Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low
density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida.
ae.

Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis

lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan


katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat
albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel
hepar juga akan membuat VLDL.
af.

Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh

lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu
menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar
apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.
ag.

Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan

ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali
normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid)
dan lipoprotein serum meningkat.

23

ah. Hiperkoagulabilitas
ai. Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C
dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V,
VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,
perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX,
XI).
aj. Lipiduri
ak. Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel.
al. Kerentanan terhadap infeksi
am.Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia,
an.

Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang


diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.

ao.

e. DIAGNOSIS
ap.

Anamnesis
aq.

Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti

bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan
berat badan, dan rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan
juga mengenai riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar,
adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah ke penyebab penyakit
ginjal seperti hipertensi.
ar.
as.
at.

au.

Pemeriksaan fisik

24

av.

Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids),

tungkai atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang
ditemukan., tanda-tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema.
aw.

Pemeriksaan penunjang
ax.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara

lain hitung darah lengkap, kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada
urinalisis ditemukan masif proteinuria (3+ sampai 4+), glikosuria, sel-sel granular,
sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati
hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya lesi glomerular
(misal : sklerosis glomerulus fokal). Dari makroskopis, urin tampak berbuih. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperkolesterolemia
lebih dari 200 mg/dl.
ay.

Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien

dianggap menderita sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada
tingkat lebih atau setara dengan 50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami
sindrom nefrotik.

Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk

menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal
yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
az.

f. PENATALAKSANAAN
ba.

Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan

tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,


penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Pengobatan SN terdiri dari terapi umum pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Albumin kurang dari 2
gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada,
harus dipantau secara berkala.
bb.

25

1) Pengobatan untuk proteinuria


bc.

Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk

mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting


Enzyme Inhibitor (ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat
vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau enalapril dosis rendah,
dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI berfungsi untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak
dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang
ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
bd.

Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal

indometasin 3x50mg. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien


nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan
sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan
tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria
sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related
antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian
pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
be.

Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang


sama dengan ACEI, dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat
inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor
pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.
Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih
besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau
ARB saja.

bf.

2) Koreksi hipoproteinemia
bg.

Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan

peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit
dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin.

26

Untuk

penderita

SN

diberikan

diit

tinggi

kalori/karbohidrat

(untuk

memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup (0,8-1mg/


kgBB/hr).
bh.

3) Terapi hiperlipidemia
bi.

Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada

SN meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada


populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid
pada penderita SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat
hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek
samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna
kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol.
bj.

Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat

bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut.
Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya
minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol
dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil.
bk.

Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol

total dan
bl. kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada
absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada
SN.
bm.

4) Hiperkoagulabilitas
bn.

Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian anti-

koagulasi jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya


resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu
dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti warfarin.
bo.

5) Pengobatan infeksi

27

bp.

Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi

sekunder. Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan


antibiotik profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai
edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis,
tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera
diberikan antibiotik.
bq.

6) Pengobatan hipertensi
br.

Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI , Non Dihydropiridin

Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam
juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
bs.
Terapi Spesifik
bt.

Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan

gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian


imunosupresif.
bu.

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua

kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain
menemukan bahwa pada lomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien
memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan
kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa
idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka
waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung
pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.
bv.

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam,

di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat
diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai

28

20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah


kortikosteroid dihentikan.
bw.

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi

lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari,
albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan
masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
bx.

Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus

SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya
nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.
by.

bz.

Pengobatan Relaps
ca.

Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4

minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada


SN yang mengalami proteinuria 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum
dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah
pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps.
cb.

Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan

inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.


Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid
inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan :
a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
b. Relaps jarang : jumlah relaps <2
c. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali (40-50%)

29

cc.

cd.

Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


ce.

Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau

dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,


diteruskan

dengan

steroid

alternating

dengan

dosis

yang

diturunkan

perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan


relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold
dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi
relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.
cf.

Cyclophosphamide

biasa

digunakan

untuk

penderita

yang

mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami


relaps

>3

kali

dalam

setahun

(frequently

relapsing)

bisa

diberikan

cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan


cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas,
cystitis, alopecia, infeksi, malignansi. Chlorambucil digunakan dengan alasan
yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12
minggu.
cg.

Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian

cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5


mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA
dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan
perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor
fungsi ginjal.
1) Pengobatan SN resisten steroid
ch.

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi


ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi
anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan
hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS.
Dapat juga diberikan siklosporin, metilprednisolon, dan obat imunosupresif
lainnya.

30

ci.

g. KOMPLIKASI
1) Hiperkoagulasi
cj.

Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya

kehilangan antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C
dan S, peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi
platelet. Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan
emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering
terjadi pada pasien SN.
ck.

Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN

terutama pada Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien


dengan thrombosis vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau
abdomen, gross hematuria, dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan
pasien asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga merupakan komplikasi yang
potensial terjadi akibat hiperkoagulasi.
2) Infeksi sekunder
cl.

Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian

pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi


pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem
komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat
dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam
sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini
dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar
dapat berfungsi dengan normal, infeksi yang paling sering terutama infeksi kulit
oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,TBC.
cm.

Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan.

Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas
dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3) Gangguan tubulus renalis

31

cn.

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin

disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya


hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai
dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
4) Gagal ginjal akut
co.

Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut

melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering


menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan
menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadi edema intrarenal yang
menyebabkan kompresi pada tubular ginjal yang menyebabkan penurunan LFG.
Sindrom nefrotik dapat progresi dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir.
5) Anemia
cp.

Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal,

namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein


pengangkut Fe yaitu transferin serum yangmenurun akibat proteinuria.
6) Peritonitis
cq.

perkembangan

Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk


kuman-kuman

komensal

usus.

Biasanya

akibat

infeksi

streptokokus pneumonia, E.coli.


7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
cr.

Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya

globulin pengikat tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik
dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
8) Hipokalsemia
cs.

Disebabkan

albumin

serum

yang

rendah,

dan

berakibat

menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di
samping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal
dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan
eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara
hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT

32

menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun


penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.
ct.

Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium

dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D
dan 1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas
tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka
osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada
SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein (thyroid-binding
protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas
dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap
normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.
9) Hiperlipidemia dan Lipiduria
cu.

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.

Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal


sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya
LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density
lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density
lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein)
cenderung normal atau rendah.
10) Malnutrisi
cv.

Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama

apabila disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus
yang menurun, dan proses katabolisme yang tinggi. Penurunan massa otot sering
ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak
setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa
tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.
11) Keseimbangan Nitrogen
cw.

Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan

nitrogen menjadi negati

33

1. Bagaimana tata laksana pada pasien ini?


cx.
-

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah sebagai berikut :

Infus DEXTROSE 5% 500 cc 15 tpm.

cy.

cz.

Komposisinya adalah glukosa anhidrous dalam air untuk injeksi. Larutan

dijaga pada pH antara 3,5 sampai 6,5 dengan natrium bikarbonat. Larutan dextrose
5% iso-osmosis dengan darah. Larutan dextrose injeksi merupakan larutan jernih dan
tidak berwarna
a. SIFAT FISIOKIMIA
da.

Dextrose berisi satu molekul air hidrasi atau anhydrous. Keristal tidak

berwarna atau putih, serbuk kristal atau granul. Tidak berbau dan mempunyai rasa
manis. Larut 1 dalam 1 bagian air dan 1 dalam 100 bagian alkohol; sangat larut dalam
air mendidih; larut dalam alkohol mendidih
b. DOSIS PEMBERIAN OBAT
db. Larutan dextrose 10% adalah hipertonik dan sebaiknya diberikan dengan kateter pada
vena sentral yang besar. Jika digunakan vena perifer, dipilih vena besar pada lengan dan
bila memungkinkan tempat infus harus dipindah-pindah tiap hari. Kecuali pada
penanganan emergensi hipoglikemia berat, konsentrasi dextrose yang lebih tinggi (20%
keatas) harus diberikan melalui vena sentral dan hanya setelah dilakukan dilusi yang
tepat. Kecepatan infus pada orang sehat adalah 0,5g/kg/jam untuk tanpa menimbulkan
glikosuria.2,3 Kecepatan maksimum pemberian infus dextrose tidak boleh melebihi 0,8
g/kg/jam.3 b. Dextrose 5% dapat diberikan secara intravena melalui vena perifer.
Kecepatan pemberian infus yang dapat diberikan tanpa menimbulkan glukosuria adalah
0,5 g/kg/jam, dengan kecepatan maksimum idak melebihi 0,8 g/kg/jam. Dosis dextrose
tergantung pada usia, berat badan dan keseimbangan cairan, elektrolit, glukose dan asam
basa dari pasien
c. FARMAKOLOGI
Dextrose adalah monosakarida dijadikan sebagai sumber energi bagi tubuh. Dextrose juga
berperanan pada berbagai tempat metabolisme protein dan lemak. Dextrose disimpan di
dalam tubuh sebagai lemak dan di otot dan hati sebagai glikogen. Jika diperlukan untuk
meningkatkan kadar glukosa secara cepat, maka glikogen segera akan melepaskan
glukosa. Jika suplai glukosa tidak mencukupi maka tubuh akan memobilisasi cadangan

lemak untuk melepaskan atau menghasilkan energi. Dextrose juga mempunyai fungsi
berpasangan

dengan protein (protein sparing).

glukosa, energi dapat

dihasilkan

dari

oksidasi

Pada

keadaan

fraksi-fraksi

asam

kekurangan
amino

yang

terdeaminasi. Dextrose juga dapat menjadi sumber asam glukoronat, hyaluronat dan
kondroitin sulfat dan dapat dikonversi menjadi pentose yang digunakan dalam
pembentukan asam inti (asam nukleat). Dextrose dimetabolisme menjadi karbondioksida
dan air yang bermanfaat untuk hidrasi tubuh.
d. KONTRAINDIKASI

dc. Koma diabetikum, pemberian bersama produk darah; anuria, perdarahan


intraspinal & intrakranial, delirium dehidrasi (dehydrated delirium tremens)
e. EFEK SAMPING
dd. Efek Samping yang sering terjadi: injeksi dextrose, khususnya jika hipertonik
dapat menurunkan pH dan dapat menyebabkan iritasi vena dan thrombophlebitis.4
Hiperglikemia dan glukosuria dapat terjadi pada pemberian dengan kecepatan
lebih dari 0,5 g/kg/jam.2 Ada juga yang menyebutkan diatas 0,8 g/kg/jam.3
Penggunaan jangka lama dapat menimbulkan gangguan keseimbangan cairan dan
asam basa serta pengenceran konsentrasi elektrolit, yang dapat menimbulkan
udem, hipokalemia, hipomagnesia dan hipofosfatemia. Dapat juga terjadi
defisiensi vitamin B kompleks.
f. INTERAKSI OBAT
Cairan parenteral, khususnya yang mengandung ion natrium, harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien yang sedang menggunakan kortikosteroid atau
kortikotropi
de.

df. - PREDNISON
a. CARA KERJA OBAT
dg. Prednison merupakan kortikosteroid sistemik dengan efek glukokortikoid dan
antiinflamasi.

Mekanisme

kerja

dengan

mempengaruhi

sintesa

protein.

Kortikosteroid bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma


sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid.
b. INDIKASI
dh. Keadaan alergi, peradangan dan penyakit lain yang membutuhkan pengobatan
dengan glukokortikoid seperti rheumatik, penyakit kolagen, penyakit kulit.
di.

c. KONTRA INDIKASI

dj. Penderita hipersensitif terhadap obat ini.


dk. Peptic ulcer, active tuberculosis, osteoporesis, gangguan saraf, gangguan
ginjal, jantung.
dl. Infeksi fungsi sistematik, herpes simpleks okuler.
d. DOSIS
dm.Dewasa : 1 4 tablet sehari atau menurut petunjuk dokter.
dn. Dosis diturunkan secara bertahap sampai dosis terendah efektif.
e. EFEK SAMPING
do. Gangguan cairan dan elektrolit. Retensi natrium dan cairan kehilangan kalium,
alkalosis hipokalemia, hipertensi, kegagalan kongesti jantung.
dp. Muskuloskeletal

: otot lemas, miopati steroid, kehilangan massa otot,

osteoporesis, kompressi fraktur vertebral, fraktur patologik pada tulang panjang.


dq. Gastrointestinal

: peptic ulcer, dengan kemungkinan perforasi dan

pendarahan, pankreatitis, distensi abdominal, esofagitis ulceratif.


dr. Dermatologi : kegagalan penyembuhan luka, kulit mudah menipis eritema
muka, keringat bertambah.
ds. Neurologi

: kejang tekanan intrakranial bertambah dengan edema

papil (pseudo tumor cerebri), vertigo, dan sakit kepala.


dt. Endokrin

: menstruasi tidak teratur, pertumbuhan pada anak

anak terhambat, adrenokortikoid sekunder dan pituitary nonresponsif terutama


pada stress, trauma dan pembedahan atau sakit, penurunan toleransi karbohidrat.
du. Pada mata

: katarak subkapsular posterior, tekanan intraokuler

bertambah, glaukoma dan exoftalmus.


dv. Metabolik

: keseimbangan nitrogen negatif karena katabolisme

protein.
dw.Reaksi hipersensitif: reaksi anafilaktik.
f. PERINGATAN DAN PERHATIAN
-

Hindari penghentian pemberian secara tiba tiba pada pemakaian jangka

panjang.
Hati-hati pemakaian pada anak anak yang masih dalam pertumbuhan.
Tidak dianjurkan diberikan kepada wanita hamil dan menyusui. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang mungkin menyebabkan katarak subkapsular
posterior, glaukoma, dengan kemungkinan kerusakan pada syaraf mata dan
dapat meningkatkan infeksi okuler sekunder karena fungi dan virus.

Insufisiensi adrenokortikal sekunder karena pemakaian obat ini mungkin dapat

dikurangi dengan menurunkan dosis secara bertahap.


Hati hati pemakaian kortikosteroid pada penderita diabetes mellitus karena
dapat meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi sensitivitas terhadap

insulin.
Pemakaian kortikosteroid pada penderita hipotiroid dan sirosis dapat

meningkatkan efek kortikosteroid.


Hati hati pemakaian pada penderita gagal jantung, penyakit infeksi, gagal

ginjal kronis dan usia lanjut.


g. INTERAKSI OBAT
dx. Pemakaian asetosal bersama dengan kortikosteroid tidak dianjurkan pada
penderita kolitis ulseratif non spesifik.
dy. Rifampicin, fenitoin, fenobarbital

dapat

mempercepat

metabolisme

kortikosteroid.
dz. Pemberian vaksin bersama kortikosteroid dapat menyebabkan vaksin tidak
bekerja.
ea. - FARSIX
eb. Farsix merupakan salah satu obat diuretik kuat (furosemid), yang diberikan pada
pasien gagal jantung yang disertai dengan kelebihan beban cairan. Diuretik dapat
mengurangi retensi air dan natrium sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
aliran balik venda dan tekanan pengisian ventrikel, tanpa mengurangi volume curah
jantung. Efek samping dari pemberian diuretik kuat adalah hipokalemi dan
hipomagnesemia yang dpaat menimbulkan aritmia oleh digitalis.
ec.

ed. - SUKRALFAT SIRUP


ee. Sukralfat adalah suatu kompleks yang dibentuk dari sukrosa oktasulfat dan
polialuminium hidroksida. Aktivitas sukralfat sebagai anti ulkus merupakan hasil dari
pembentukan kompleks sukralfat dengan protein yang membentuk lapisan pelindung
menutupi ulkus serta melindungi dari serangan asam lambung, pepsin dan garam
empedu.
Percobaan laboratorium dan klinis menunjukkan bahwa sukralfat menyembuhkan
tukak dengan 3 cara:

1. Membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus sehingga merupakan
lapisan pelindung.
2. Menghambat aksi asam, pepsin dan garam empedu.
3. Menghambat difusi asam lambung menembus lapisan film sukralfat-albumin.
Penelitian menunjukkan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu lama
dalam

saluran

cerna

sehingga

menghasilkan

efek

obat

yang

panjang.

Sukralfat sangat sedikit terabsorpsi di saluran pencernaan sehingga menghasilkan efek


samping sistemik yang minimal.
ef. - ATORVASTATIN
eg. Atorvastatin yang bekerja menghambat enzim HMG-CoA reductase, suatu enzim
yang berperan mengkatalisa perubahan HMG-CoA menjadi mevalonic acid. Hasilnya
kerja obat ini adalah menginduksi reseptor LDL, sehingga menurunkan konsentrasi
kolesterol LDL. Indikasi dari atorvastatin adalah Sebagai terapi tambahan terhadap
diet untuk mengurangi peningkatan kolesterol total, kolesterol LDL, apolipoprotein B
dan trigliserida pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer, kombinasi
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia heterozigot-homozigot familial, bila respon
terhadap diet dan terapi non-obat lainnya tidak mencukupi. Untuk mencegah
komplikasi penyakit jantung dan pembuluh darah : menurunkan risiko penyakit
jantung yang fatal dan infark jantung nonfatal, stroke dan revaskularisasi, angina
pectoris
-

KALSIUM GLUKONAS

a. Penggunaan sediaan
eh.

Kalsium Glukonat digunakan untuk mencegah atau mengobati kondisi kadar

kalsium yang rendah dalam darah pada pasien yang kekurangan kalsium pada asupan
harian. Kalsium Glukonat digunakan untuk mengobati penyakit kekurangan kalsium
seperti hipokalsemik tetani, hipokalsemia

terkait dengan hipoparatirodism dan

hipokalsemia karena pertumbuhan yang cepat atau kehamilan. Kalsium Glukonat juga
digunakan pada pengobatan pada rakhitis, hipoparatiroidisme kronis, dan ricketsia,
osteomalacia, kolik, dan overdosis magnesium sulfat. Kalsium glukonat juga telah
digunakan

untuk

mengurangi

permeabilitas

kapiler

dalam

kondisi

alergi,

nonthrombositopenik purpura dan eksudatif dermatosa seperti dermatitis herpetiformis


dan untuk pruritus yang disebabkan oleh obat-obatan tertentu. Pada hiperkalemia,
kalsium glukonat dapat membantu mengantagonisn toksisitas jantung seorang pasien
yang tidak menerima terapi digitalis.
ei.

b. Efek Farmakologi
ej.

Kalsium adalah unsur kelima paling berlimpah dalam tubuh dan sangat

penting untuk menjaga integritas fungsional dari sistem saraf, muskular dan sistem skelet
dan membran sel serta permeabilitas kapiler. Kalsium juga merupakan aktivator penting
pada banyak rekasi enzimatis dan essensial untuk beberapa proses fisiologis mencakup
transmisi dari impuls syaraf; konstraksi kardiak; otot polos dan skelet; fungsi renal;
respirasi dan koagulasi darah. Kalsium juga memegang peranan dalam regulasi yaitu
melepas dan menyimpan neurotransmitters dan hormon, pada pengikatan asam amino,
dan pada absorbsi sianokobalamin(vitamin B12) dan sekresi gastrik.
ek.

c. Dosis
el.

Kebutuhan tubuh 4,5-5,5 mEq kalsium per hari.


-

1gr Ca. Glukonat monohidrat ~ 4,5 mEq calcium.

1 gram kalsium glukonat (monohidrat) setara dengan 2,2 mmol kalsium.

11,2 g kalsium glukonat ekivalen dengan 1 gram kalsium.

Bayi dan anak-anak : 60-100 mg/kg/dosis (maksimum : 3 g/dosis)

Dewasa : 500-2000 mg secara oral, 2-4 kali per hari


em.

en. -KSR
eo. Obat ini adalah suplemen mineral yang digunakan untuk mengobati atau mencegah
jumlah rendah kalium dalam darah.
a. Efek samping
ep. sakit perut, mual, muntah, gas, atau diare dapat terjadi. Reaksi alergi yang sangat
serius terhadap obat ini jarang terjadi. Selama kehamilan, obat ini harus digunakan
hanya ketika jelas dibutuhkan. Kalium masuk ke dalam ASI.
b. Dosis pemberian

eq. 1 atau 2 tab 2-3 kali sehari. Di mana KSR diberikan secara rutin dengan dosis
pemeliharaan harian rata-rata agen diuretik lisan, 1 atau 2 tab sehari-hari mungkin
cukup. Tablet KSR harus ditelan utuh dengan sedikit air sebaiknya saat makan.
c. Kontraindikasi
er. Gagal ginjal tahap lanjut, penyakit Addison yang tidak diobati, dehidrasi akut,
hiperkalemia, dengan adanya obstruksi pada saluran pencernaan (misalnya, akibat
kompresi kerongkongan akibat pelebaran atrium kiri atau dari stenosis usus). KSR
dalam situasi seperti ini bisa dibayangkan menimbulkan ulserasi atau perforasi.
d. Tindakan Pencegahan Khusus
es. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, perawatan khusus harus dilakukan ketika
meresepkan garam kalium karena risiko hiperkalemia. Elektrolit serum harus dipantau
pada pasien ini dan juga pada pasien dengan gagal jantung kongestif, terutama jika di
bawah pengobatan dengan digitalis, di antaranya hipokalemia harus dihindari. Selama
pemerintahan KSR, pemantauan laboratorium kadar elektrolit serum harus dilakukan
secara berkala.
e. Reaksi yang merugikan
et. Persiapan kalium oral dapat memprovokasi gangguan gastrointestinal misalnya, mual,
muntah, sakit perut, diare. Dalam kasus yang jarang terjadi, KSR juga dapat
menyebabkan efek samping. Dalam hal ini, pengurangan dosis atau penarikan obat
mungkin diperlukan.
f. Interaksi
eu. KSR mungkin telah meningkatkan risiko hiperkalemia jika diambil bersamaan dengan
inhibitor ACE, siklosporin, hemat kalium diuretik misalnya, spironolactone,
triamterene atau amilorid.
g. Mekanisme aksi
ev. Modus Aksi: lambat The dan berkelanjutan-release selama 6 jam menghalangi
konsentrasi tinggi kalium klorida terhadap area lokal dari dinding usus yang mungkin
mengganggu atau merusak mukosa. Rilis berkelanjutan memberikan kondisi toleransi
lambung maksimal dan penyerapan efektif untuk pengobatan semua jenis kekurangan
kalium, apakah hipokloremik atau hipokalemik alkalosis. KSR tidak mengubah fungsi
ginjal normal; dapat digunakan pada semua kelompok umur; menggantikan anion
klorida penting dan kalium, dan mencegah alkalosis hipokloremik.
ew. - ONDANSETRON
a. Farmakodinamik
ex. Mekanisme

kerja obat ini sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Meskipun

demikian yang saat ini sudah diketahui adalah bahwa Ondansetron bekerja sebagai

antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara
menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks
muntah.
ey.

ez.

Pemberian sitostatika (kemoterapi) dan radiasi dapat menyebabkan

pelepasan 5HT dalam usus halus yang merupakan awal terjadinya refleks muntah
karena terjadi aktivasi aferen-aferen vagal melalui reseptor 5 HT3. Aktivasi aferenaferen vagal juga dapat menyebabkan pelepasan 5HT pada daerah psotrema otak yang
terdapat di dasar ventrikel 4. Hal ini merangsang terjadinya efek muntah melalui
mekanisme sentral. Jadi efek ondansentron dalam pengelolaan mual muntah yang
disebabkan sitostatika (kemoterapi) dan radioterapi bekerja sebagai antagonis reseptor
5HT3 pada neuron-neuron yang terdapat pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf
tepi.
b. Farmakokinetik
fa.

Setelah pemberian per oral, Ondansetron yang diberikan dengan dosis

8 mg akan diserap dengan cepat dan konsentrasi maksimum (30 ng / ml) dalam
plasma dicapai dalam waktu 1,5 jam. Konsentrasi yang sama dapat dicapai dalam 10
menit dengan pemberian Ondansetron 4 mg i.v
fb.

Bioavalibilitas oral absolut Ondansetron sekitar 60%. Kondisi sistemik

yang setara juga dapat dicapai melalui pemberian secara i.m atau i.v. Waktu paruhnya
sekitar 3 jam. Volume distribusi dalam keadaan statis sekitar 140 L. Ondansetron yang
berikatan dengan protein plasma sekitar 70 76%. Ondansetron dimetabolisme sanagt
baik di sistem sirkulasi, sehingga hanya kurang dari 5 % saja yang terdeteksi di urine.
c. Indikasi
fc. Mencegah dan mengobati mual-muntah akut pasca bedah (PONV)
fd. Mencegah dan mengobati mual-muntah pasca kemoterapi pada penderita kanker
fe. Mencegah dan mengobati mual-muntah pasca radioterapi pada penderita kanker
ff.

d. Dosis dan Cara Pemberian


fg.

fj. Pencegahan PONV

fh. Dosis
fk. 8 mg

fi. Cara Pemberian


fl. p.o. ; 1 jam sebelum
anestesi diikuti 8mg tiap

fm. Pengobatan PON


V

fn. 4 mg

8jam dalam 16 jam


fo. i.v. perlahan, saat induksi
anestesi

fp. Kemoterapi sangat


emetogenik

fq. Awal : 8 mg
fr. Diikuti : 1
mg/jam selama
24 jam atau
fs. 2 x 8 mg
ft. Atau
fu. Awal : 32 mg
fv. Diikuti 2 x 8
mg

gd. Kemoterapi kurang


emetogenik

ge. Awal : 8 mg
gf. Atau 8 mg
gg. Dilanjutkan : 2
x 8 mg

gk. Kemoterapi pada


anak > 4 tahun

gl. Awal : 5 mg /m
gm.
Dilanjut
kan : 2 x 4 mg
gq. Awal : 8 mg
gr. Dilanjutkan : 8
mg
gv. Dapat ditolerir
dengan
baik
pada usia >65
tahun. Tidaka
diperlukan
penyesuaian
dosis,
hanya
perlu
dipertimbangka
n frekuensi dan
cara
pemberiannya
gy. Tidak
diperlukan
penyesuaian
dosis
harian,
frekuensi dan
cara pemberian
hb. Total
dosis
harian
tidak
boleh lebih dari
8 mg

gp. Radioterapi
gu. Usia Lanjut

gx. Pasien
gangguan
ginjal

dengan
fungsi

ha. Pasien
gangguan
hepar

dengan
fungsi

hd.

e. Kontra Indikasi
he. Pasien hipersensitif terhadap Ondansetron
hf.

f. Interaksi Obat

fw. i.v.
perlahan,
sesaat
sebelum kemoterapi
fx. infus
fy.

fz. i.v. dengan jarak waktu 2


4 jam
ga.

gb. infus selama 15 menit


sesaat sebelum keomterapi
gc. p.o. selama 5 hari
gh. i.v.
perlahan,
sesaat
sebelem kemoterapi
gi. p.o. 1 2 jam sebelum
kemoterapi
gj. p.o. sampai 5 hari
gn. Infus selama 15 menit,
sesaat sebelum kemoterapi
go. p.o. selama 5 hari
gs. p.o. 1 2 jam sebelum
radioterapi
gt. p.o. sampai 12 jam
gw.

gz.

hc.

hg. Karena Ondansetron dimetabolisme oleh enzim metabolik sitokrom P-450,


perangsangan dan penghambatan terhadap enzim ini dapat mengubah klirens dan
waktu paruhnya. Pada penderita yang sedang mendapat pengobatan dengan obat-obat
yang secara kuat merangsang enzim metabolisme CYP3A4 (seperti Fenitoin,
Karbamazepin dan Rifampisin), klirens Ondansetron akan meningkat secara
signifikan, sehingga konsentrasi dalam darah akan menurun.
g. Peringatan dan Perhatian
hh. Ondansetron sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil, khususnya pada trimester
I, kecuali jika terdapat resiko yang lebih berat pada bayi akibat penurunan berat badan
ibu. Ondansetron dieksresi pada air susu ibu, sehingga dianjurkan untuk tidak
diberikan pada ibu menyusui.
hi.
hj.
hk.

h. Efek Samping
hl.

Ondansetron pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Konstipasi

merupakan efek samping yang paling sering ditemukan (11%). Kadang dapat
dijumpai sakit kepala, wajah ke merahan (flushing), rasa panas atau hangat di kepala
dan epigastrium yang bersifat sementara. Peningkatan aminotransferase tanpa disertai
gejala-gejala, Kadang juga dapat dijumpai peningkatan serum transaminase (5%) dan
ruam kulit (1%), sedasi dan diare, karena meningkatnya waktu transfer di usus besar.
hm.

Pernah dilaporkan terjadinya reaksi hipersensitif sampai kejadian

anafilaksis dan gangguan visual sementara (pandangan kabur). Juga pernah


dilaporkan terjadinya gerakan-gerakan tanpa sadar, setelah pemberian Ondansetron
secara cepat, tetapi kasus ini sangat jarang dan tanpa disertai gejala-gejala sisa
i. Sediaan
hn. tablet 4 dan 8 mg
ho. injeksi 4 dan 8 mg
hp.

CEFOTAXIME
a. Komposisi :
hq. Cefotaxime 500mg : Tiap vial mengandung cefotaxime sodium setara dengan
cefotaxime 500mg
hr.
Cefotaxime 1g : Tiap vial mengandung cefotaxime sodium setara dengan
cefotaxime 1.000mg

b. Indikasi
Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang sensitif terhadap cafotaxime antara
lain:
-

Infeksi saluran pemafasan bagian bawah (termasuk pneumonia)

Infeksi kulit dan struktur kulit

Infeksi tulang dan sendi

Infeksi intra-abdominal

Infeksi saluran kemih

Infeksi pada alat kelamin wanita

Meningitis

Septikemia

Bakteremia

Belum terdapat data klinis yang cukup untuk mendukung pengobatan terhadap
infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhidan infeksiparatyphi Adan B.

Tidak efektif terhadap Treponemapallidum dan Ciostridium difficile.

Pada infeksi parah dimana jiwa penderita terancam, kombinasi cefotaxime


dengan aminoglikosida dapat diberikan tanpa menunggu hasil tes sensitivitas.
Kedua sediaan tersebut harus diberikan secara terpisah, tidak dicampur daiam
satu syringe.

Infeksi karena Pseudomonas aeruginosa memerlukan pengobatan dengan


antibiotika lain yang efektif terhadap Pseudomonas.

c. Kontraindikasi
Penderita

yang

hipersensitif

terhadap

antibiotika

sefalosporin.

Pada penderita yang hipersensitif terhadap penisilin, kemungkinan terjadinya reaksi


silang harus dipikirkan.
d. Dosis :
-

Kecuali dinyatakan lain, dosis untukorang dewasadan anakdiatas 12 tahun adalah


1 gr setiap 12 jam.

Pada infeksi sedang sampai berat: 1 -2 g setiap 6-8 jam

Pada infeksi berat atau membahayakan diperlukan 2 g setiap 4 jam.

Dosis maksimum yang dianjurkan adalah 12 g per hah.

Untuk pencegahan infeksi yang terjadi setelah operasi: 1 g IM atau IV30-90


menit sebelum pembedahan.

Pada kasus operasi caesar : 1 g IV segera setelah umbilical cord diklem,


kemudian 1 g IM atau IV 6 dan 12 jam setelah dosis pertama.

hs.

KETOROLAC

a. Indikasi
ht. Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan
ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal
selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek
anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti morfin pada keadaan pasca operasi
ringan dan sedang.
b. Farmakodinamik
hu. Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim
siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin,
juga menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine memberikan efek anti
inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak,
menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear
dan makrofag ke tempat peradangan.
c. Farmakokinetik
hv. Ketorolac tromethamine 99% diikat oleh protein. Sebagian besar ketorolac
tromethamine dimetabolisme di hati. Metabolismenya adalah hidroksilate, dan yang
tidak dimetabolisme (unchanged drug) diekresikan melalui urin.
d. Dosis
hw.Ketorolac tromethamine tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi. Pemberian injeksi
lebih dianjurkan. Pemberian Ketorolac tromethamine hanya diberikan apabila ada
indikasi sebagai kelanjutan dari terapi Ketorolac tromethamine dengan injeksi. Terapi
Ketorolac tromethamine baik secara injeksi ketorolac ataupun tablet hanya diberikan
selama 5 hari untuk mencegah ulcerasi peptic dan nyeri abdomen. Efek analgesic
Ketorolac tromethamine selama 4-6 jam setelah injeksi.
hx. Untuk injeksi intramuscular :
-

Pasien

dengan

umur

<65

tahun

diberikan

dosis

60

mg

Ketorolac

tromethamine/dosis.
-

Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat
badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 30 mg/dosis.

hy.
-

Untuk injeksi intravena :


pasien

dengan

umur

<65

tahun

diberikan

dosis

30

mg

Ketorolac

tromethamine/dosis.
-

Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat
badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15 mg/dosis.

hz.

Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun oral

maksimal :
-

Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari. Bila diberikan dengan
injeksi intravena, maka diberikan setiap 6 jam sekali.

Pasien dengan umur >65 tahun maksimal 60 mg/hari.

e. Efek Samping
ia. Selain mempunyai efek yang menguntungkan, Ketorolac tromethamine juga
mempunyai efek samping, diantaranya :
a. Efek pada gastrointestinal
ib. Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi peptic, perdarahan dan
perlubangan lambung. Sehingga Ketorolac tromethamine dilarang untuk pasien yang
sedang atau mempunyai riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic.
b. Efek pada ginjal
ic. Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau kegagalan depresi volume pada
ginjal, sehingga dilarang diberikan pada pasien dengan riwayat gagal ginjal.
c. Resiko perdarahan
id. Ketorolac tromethamine menghambat fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan
hemostasis yang mengakibatkan risiko perdarahan dan gangguan hemostasis.
d. Reaksi hipersensitivitas
ie. Dalam pemberian Ketorolac tromethamine bias terjadi reaksi hypersensitivitas dari
hanya sekedar spasme bronkus hingga shock anafilaktik, sehigga dalam pemberian
Ketorolac tromethamine harus diberikan dosis awal yang rendah.
f. Kontra Indikasi
if. Ketorolac tromethamine dikontra indikasikan untuk pasien dengan riwayat gagal
ginjal, riwayat atau sedang menderita ulcerasi peptic, angka trombosit yang rendah.
Untuk menghindari terjadinya perdarahan lambung, maka pemberian ketorolac
tromethamine hanya selama 5 hari saja.
ig.

RANITIDIN

a. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI


ih.

Ranitidin adalah obat yang diindikasikan untuk sakit maag. Pada penderita

sakit maag, terjadi peningkatan asam lambung dan luka pada lambung. Hal tersebut yang
sering kali menyebabkan rasa nyeri ulu hati, rasa terbakan di dada, perut terasa penuh, mual,
banyak bersendawa ataupun buang gas
ii.

Di dalam lambung, ranitidin akan menurunkan produksi asam lambung

tersebut dengan cara memblok langsung sel penghasil asam lambung. Ranitidin sebaiknya
diminum sebelum makan sehingga saat makan, keluhan mual penderita telah berkurang.
Ranitidin dianggap lebih potensial dibandingkan antasida (obat maag yang sering ditemui
dijual bebas di apotek ataupun warung). Bila sakit maag cukup berat atau gejala tidak
membaik dengan antacida, biasanya ranitidin akan diresepkan.
ij.

Selain untuk sakit maag, ranitidin juga dapat digunakan untuk pengobatan

radang saluranan pencernaan bagian atas (kerongkongan), dan luka lambung. Ranitidin
termasuk kedalam obat maag yang aman. Pada beberapa kondisi berikut ranitidin sebaiknya
tidak diberikan, yakni:
1. Riwayat alergi terhadap ranitidin;
2. Ibu yang sedang menyusui;
3. Pemberian ranitidin juga perlu diawasi pada kondisi gagal ginjal.
ik. b. EFEK SAMPING
il. Efek samping yang ditimbulkan sangat jarang ditemukan. Adapun efek samping
tersebut beserta persentase frekuensi kemunculannya adalah sebagai berikut:
1. Sakit kepala (3%);
2. Sulit buang air besar (<1%);
3. Diare (<1%);
4. Mual (<1%);
5. Nyeri perut (<1%);
6. Gatal-gatal pada kulit (<1%)
im.

c. DOSIS

in.

Ranitidin tersedia dalam sediaan sirup, tablet, maupun cairan suntikan.

Ranitidin juga tersedia sebagai obat generik maupun obat paten. Ranitidin dalam bentuk
tablet tersedia dalam ukuran dosis 75 mg, 150 mg, dan 30 mg. Ranitidin dalam bentuk
sirup tersedia dalam ukuran dosis 15 mg/ml. Sedangkan ranitidin dalam bentuk cairan
untuk disuntikan tersedia dalam ukuran dosis 1 mg/ml dan 25 mg/ml. Cairan suntikan
tersebut dapat disuntikan langsung ke dalam pembuluh darah atau ke dalam otot. Dosis
ranitidin untuk orang dewasa ialah 150 mg dua kali sehari atau 300 mg sekali sehari.
Untuk peradangan kerongkongan, ranitidin dapat diberikan hingga 150 mg tiga kali
sehari. Dosis untuk anak-anak ialah 2-4 mg/kg berat badan dua kali sehari. Dosis
maksimal untuk anak-anak ialah 300 mg sehari.
io.

ip. Bagaimana prognosis pada pasien ini?


-

Quo ad vitam : ad bonam

iq. Pada pasien ini terjadi perbaiakan klinis berupa penurunan rasa sesak dan pasien
merasa lebih nyaman. Pasien juga terlihat lebih segar serta adanya peningkatan dalam
beraktivitas.
-

Quo ad functionam : ad malam

ir. Prognosis perbaikan fungsi Ginjal adalah buruk karena keadaan jantung tidak dapat
dikembalikan seperti semula.
-

Qua ad sanactionam : ad bonam

is. Pasien sudah dapat menjalani aktifitas seperti sebelumnya, namun sewaktu waktu jika
pasien melakukan aktifitas yang lebih berat dari normal maka potensi penyakit buruk
kembali menyerang lebih besar dan dapat dirasakan kembali efek dari penyakit
tersebut.

it.

DAFTAR PUSTAKA

iu.

1.
Alatas H, et al. 2013. Konsensus tatalaksana sindroma nefrotik pada anak.
Diakses
pada
15
September
2016
di
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Konsensus_-Tatalaksana_-Sindroma_Nefrotik.pdf.pdf

iv.

2. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Nephrotic


syndrome in adults. 2012. United States : The Clearinghouse. Diakses pada 13
September 2016 di www.kidney.niddk.gov.

iw.

3.
Nishi S, et al. 2015. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines for
Nephrotic
Syndrome
2014.
Diakses
pada
13
september
2016
di
http://www.jsn.or.jp/guideline/pdf/NS_eng.pdf

ix.

4.
Rauf S. Sindrom Nefrotik. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUH. p. 21-30.

iy.

5.
Shafa R. Sindroma Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Diakses pada 15
September 2016 di http://drshafa.wordpress.com/sindrom-nefrotik/.

iz.

6.
Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Diakses pada 14
September 2016 di www.scribd.com.

ja.

7.
Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Diakses pada 15 September
2016 di http://skydrugz.blogspot.com/.

jb.

8.
Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW d, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2007.
jc.

Anda mungkin juga menyukai