Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi HIV
1. Definisi
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan infeksi
yang menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh. Karakteristik dari
penyakit ini adalah infeksi dan deplesi limfosit T CD4+, serta gejala
imunosupresi yang mengarah ke infeksi oportunistik, neoplasma sekunder,
dan manifestasi neurologis.7
2. Etiologi
HIV merupakan suatu retrovirus pada manusia. HIV terbagi menjadi
2, yaitu HIV-1 dan HIV-2, yang memiliki karakteristik biologik dan genetik
yang sama, namun berbeda pada regulasi dan struktur gennya. Epidemi HIV
secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 merupakan
kausa tersering di Afrika Barat.8
a. Taksonomi HIV9
a) Kingdom:
Virus
b) Famili: Retroviridae
c) Subfamili:
Lentivirinae
d) Genus: Lentivirus
e) Spesies:
Human Immunodeficiency Virus
b. Struktur HIV

Gambar 1. Struktur virion HIV-110


5

Mikroskop elektron menunjukkan virion HIV-1 merupakan suatu virus


RNA untai tunggal yang memiliki struktur ikosahedral dan berbentuk sferis,
dengan

diameter

1000

angstrom.

Intinya

berbentuk

kerucut

dan

mengandung: (1) kapsid utama protein p24, (2) protein nukleokapsid p7/p9,
(3) dua salinan RNA genom, (4) tiga enzim virus (protease, reverse
transcriptase, dan integrase). Inti virus dilingkupi sebuah protein matriks
p17, yang terdapat di bawah lapisan selubung lipid virion, yang berasal dari
membran sel hospes. Selubung virion itu memiliki banyak tonjolan
eksternal yang tersusun oleh dua glikoprotein virus, yaitu gp120 permukaan
dan gp41 transmembran.10, 11, 12
c. Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV secara umum berawal dari infeksi sel, produksi
DNA virus dan integrasi ke dalam genom hospes, ekspresi gen virus, serta
produksi partikel virus.13

Gambar 2. Basis molekuler masuknya HIV ke dalam sel hospes10


Untuk dapat terjadi infeksi HIV, diperlukan molekul CD4 sebagai
reseptor spesifik pada sel hospes yang memiliki afinitas sangat tinggi
terhadap HIV. Reseptor CD4 terdapat pada berbagai permukaan sel tubuh,
seperti makrofag, sel dendritik, astrosit, mikroglia, dan Langerhans,
namun paling banyak terdapat pada limfosit T. Reseptor ini merupakan
pasangan ideal bagi protein gp120 pada permukaan luar HIV, dan
pengikatan antar keduanya (CD4 dengan gp120) mengawali proses
masuknya HIV ke dalam sel hospes. Pengikatan tersebut mengakibatkan
perubahan konformasional yang membuka suatu lokasi pengenalan baru
pada gp120 untuk koreseptor kemokin permukaan sel, CXCR5 atau
CCR5. Selanjutnya, gp41 transmembran akan mengalami perubahan
6

konformasional yang memungkinkan terjadinya fusi antara permukaan


luar HIV dengan membran plasma sel hospes. Setelah itu, inti virus yang
mengandung kompleks pre-integrasi, berupa genom RNA dan enzimenzim HIV, yang diselubungi protein kapsid masuk ke sitoplasma sel
hospes. Di sini, selubung tersebut dicerna oleh protease virus dan RNA
dilepaskan.10, 14, 15

Gambar 3. Siklus replikasi HIV8


Bersamaan dengan kompleks pre-integrasi mencapai nukleus,
enzim reverse transcriptase virus mengkatalisis proses transkripsi-balik
(reverse-transcription) genom RNA menjadi DNA untai ganda. Selubung
protein pun terbuka untuk melepaskan DNA tersebut. Lalu, DNA menuju
ke nukleus untuk berintegrasi dengan kromosom sel hospes melalui
aktivitas enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi tersebut disebut
juga provirus. Provirus dapat tetap inaktif secara transkripsional (laten)
ataupun bertranskripsi menjadi RNA genom atau mRNA, yang bergantung
pada adanya aktivasi sel terinfeksi melalui pemajanan antigen atau sitokin.
Setelah

proses

transkripsi,

mRNA

ditranslasi

menjadi

protein.

Penggabungan protein HIV, RNA genom, dan enzim-enzim, dengan lipid


bilayer dari hospes sebagai selubung inti, dalam membran plasma sel akan
membentuk partikel virus baru dan siap menginfeksi sel lain.11, 14, 16
3. Epidemiologi
Secara global, terdapat 36,9 juta (34,3 juta-41,4 juta) jiwa yang hidup
dengan HIV pada tahun 2014, dimana terjadi peningkatan bila dibandingkan
dengan tahun 2013 yaitu sebesar 36,2 juta jiwa. Regio yang paling banyak
menyumbang angka tersebut adalah Afrika sub Sahara, dengan estimasi
sebesar 69%. Setelah Afrika sub Sahara, regio lain yang juga terkena wabah
penyakit infeksi HIV yang parah adalah Asia dan Pasifik, Eropa Tengah dan
Barat, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia Tengah.3, 4
Di Asia, terdapat 5 juta orang yang terinfeksi HIV, 340 ribu
diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 240 ribu
jiwa di tahun 2014. Cara penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang
mendorong epidemi adalah tiga pelaku yang berisiko tinggi, yaitu seks
komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat suntik di kalangan pengguna
napza, dan seks antara lelaki yang tidak terlindungi.3, 4, 17

Gambar 4. Peta prevalensi infeksi HIV dunia tahun 20143, 4


Salah satu negara di Asia dengan perkembangan epidemi HIV/AIDS
yang cepat adalah Indonesia. Pada tahun 2015, terdapat 191.073 kasus

terinfeksi HIV, 70,5% diantaranya dalam golongan usia produktif 25-49


tahun. Persentase faktor risiko HIV tertinggi secara berurutan adalah
hubungan seks berisiko pada heteroseksual, lelaki seks lelaki, dan
penggunaan jarum suntik tidak steril pada pengguna napza suntik.
Sedangkan, jumlah kumulatif penderita AIDS sebanyak 77.112 orang,
dengan persentase usia tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (31,8%).5,
17

4. Faktor Risiko dan Jalur Transmisi


Pajanan terhadap HIV tidak selalu menyebabkan infeksi, karena
bergantung pada ukuran inokulum, jalur masuk, dan mungkin faktor hospes.
Dosis untuk menginfeksi manusia yang terpajan diperkirakan sangat rendah,
yaitu sekitar < 10-100 virion. Maka dari itu, satu kali pajanan kemungkinan
besar dapat menyebabkan infeksi.18
Virus HIV ditransmisikan sesama manusia melalui tiga jalur, yaitu
secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung,
persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual ataupun
heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak antardarah atau produk
darah yang terinfeksi.15
Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV.
Infeksi

diperantarai

dengan

adanya

robekan

lapisan

epitel,

yang

menyediakan jalan masuk langsung ke jaringan atau aliran darah. Individu


dengan penyakit menular seksual, terutama yang memiliki lesi ulserasi,
berisiko tinggi menularkan dan ditularkan HIV. Mukosa rektum yang relatif
rapuh menyebabkan mudahnya terjadi lesi pada kontak seksual transrektal,
dan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka penyakit
HIV di antara pria homoseksual. Pada kontak pervaginal, transmisi dari lakilaki ke perempuan dilaporkan lebih sering terjadi daripada transmisi dari
perempuan ke laki-laki.16, 18, 19
Selain melalui kontak seksual, infeksi HIV juga ditularkan terutama
melalui darah. Transmisi ini terjadi terutama pada individu yang termasuk
penyalahguna obat-obatan intravena yang berbagi jarum suntik. Transmisi
HIV juga dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah. Produk
9

darah yang berpotensi menularkan HIV yakni transfusi darah lengkap (whole
blood), sel darah merah (packed red blood cell), trombosit, leukosit, dan
plasma; sedangkan imunogamaglobulin, globulin imun hepatitis B, vaksin
hepatitis B yang berasal dari plasma, dan globulin imun Rho (O) belum
pernah dilaporkan dapat menularkan HIV. Namun, hal ini jarang terjadi
karena saat ini sudah dilakukan penapisan terhadap darah yang akan
ditransfusikan, yaitu dengan mendeteksi adanya antigen p24 HIV maupun
antibodi HIV dalam darah.15, 19, 20
Penularan HIV secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi
HIV kepada bayinya, baik pada saat kehamilan, saat persalinan, maupun saat
menyusui. Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari
ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.6
a. Faktor ibu
a) Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu
menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu
ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar
HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar
b)

HIV di atas 100.000 kopi/ml.6


Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan
HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko

penularan HIV semakin besar.6


c) Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama
hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi
yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV
ke bayi.6
d) Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.6
e) Gangguan pada payudara

10

Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis,


abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI.6
b. Faktor bayi
a) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem
kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.6
b) Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar.6
c) Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika
diberikan ASI.6
c. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama apersalinan adalah:6
a) Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria).6
b) Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama
terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.6
c) Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam.6
d) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.6
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu
dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta
melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi
ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.6
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat
persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang

11

tidak mendapatkan penanganan PMTCT saat hamil diperkirakan sekitar


15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin,
sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat
terjadi pada masa nifas dan menyusui.6
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi
20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV.
Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko
penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15%
apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan terapi
antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke
anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara
eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan
PMTCT yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi
kurang dari 2%.6
HIV terdapat dalam darah, semen, cairan serviks, cairan vagina,
ASI, air saliva, serum, urine, air mata, cairan alveolar, dan cairan
serebrospinal. Namun, sejauh ini belum pernah dilaporkan penularan
HIV melalui droplet, gigitan serangga, kontak biasa (non seksual), saliva,
air mata, urine, feses, keringat, maupun cairan amnion. Ini kemungkinan
diakibatkan sangat rendahnya titer virus dalam cairan tersebut.15, 16, 18

Tabel 1. Individu yang berisiko terinfeksi HIV18


Risiko tinggi
Laki-laki homoseksual dan biseksual
Pengguna obat-obatan suntik yang bergantian menggunakan
jarum suntik
Pasangan seksual individu yang termasuk kelompok risiko tinggi
Anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi, terutama pada
yang tidak mendapat terapi antiretroviral
Penerima transfusi darah di negara yang tidak tersedia tes bank
darah
Risiko rendah
Pekerja kesehatan, termasuk perawat, dokter, dokter gigi, dan

12

petugas laboratorium
5. Patogenesis dan Patofisiologi
Jalur utama masuknya HIV ke tubuh manusia adalah transeksual. HIV
masuk melalui kulit dan mukosa yang tidak intak, dan ditangkap oleh sel
dendritik di lamina propria mukosa genital yang bertindak sebagai antigen
presenting

cell

(APC).

Proses

ini

dikendalikan

molekul

major

histocompatibility complex (MHC) kelas I dan kelas II yang diekspresikan


pada permukaan sel dendritik. Setelah itu, HIV dibawa menuju kelenjar limfe
regional dan menginfeksi sel-sel limfosit T CD4+ dan makrofag secara kontak
langsung. Virus lalu bereplikasi dan menyebabkan viremia, yang diikuti gejala
infeksi akut.10, 12
Viremia menyebabkan virus menyebar ke seluruh tubuh dan
menginfeksi sel T CD4+, makrofag, dan sel dendritik di jaringan limfoid.
Penyebaran infeksi ini akan merangsang sistem imunitas, baik humoral
maupun seluler, terhadap antigen virus. Respons imun akan mengendalikan
infeksi dan produksi virus, dimana sebagian besar virus terakumulasi dan
bereplikasi di dalam sel dendritik folikuler kelenjar limfoid. Akibatnya, terjadi
penurunan virion di plasma. Namun, respons imun tersebut menyebabkan
menurunnya jumlah sel T CD4+ di darah, dikarenakan mobilisasi limfositlimfosit ke kelenjar limfoid sehingga semakin banyak sel T CD4+ yang
terinfeksi dan akhirnya didestruksi. Diperkirakan HIV dapat menghancurkan
1-2 x 109 T CD4+ setiap harinya. Pada tahap ini, tubuh masih dapat
memproduksi sel-sel T CD4+ baru untuk menggantikan sel-sel lama yang
terdestruksi. Fase ini dinamakan fase infeksi laten.10, 15
Replikasi virus secara terus menerus yang diikuti kerusakan dan
kematian sel dendritik folikuler di dalam kelenjar limfe akan menurunkan
fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus. Virus akhirnya dicurahkan ke
darah sehingga terjadi peningkatan viral load. Terjadi penurunan respons imun
dalam meredam jumlah virion yang berlebihan dalam sirkulasi sistemik
tersebut. Sel limfosit akan menurun drastis dan mengakibatkan menurunnya
sistem imun, sehingga individu rentan terhadap berbagai infeksi sekunder.
Infeksi kronis ini akan mengarah ke keadaan AIDS.15

13

6. Manifestasi Klinis
Setelah infeksi awal oleh HIV, individu mungkin tetap seronegatif
selama beberapa minggu. Namun individu bersifat menular selama periode
ini. Periode ini disebut juga window period atau masa jendela.21
Selanjutnya, manifestasi klinis infeksi HIV pada tubuh hospes dapat
terbagi menjadi 4 fase:
a. Fase akut
2-4 minggu pasca terinfeksi HIV, lebih dari 50% individu
mengalami gejala-gejala akut yang menyerupai mononukleosis
infeksiosa. Gejala predominan antara lain demam, letargi, sakit kepala,
nyeri tenggorokan, arthralgia, malaise, dan ruam. Temuan klinis
meliputi faringitis; limfadenopati generalisata; ruam makulopapula di
wajah, batang tubuh, dan ekstremitas; serta hepatosplenomegali. Selain
itu, dapat pula ditemukan kelainan neurologis, seperti meningitis,
ensefalitis, cranial nerve palsies, miopati, dan neuropati perifer.
Terjadi leukopenia, namun jumlah T CD4+ masih di atas 500 sel/mm 3.
Selain itu, terdeteksi pula RNA HIV dan antigen p24 yang tinggi
dalam plasma. Resolusi spontan akan terjadi dalam 2 minggu, dan
diikuti penurunan kadar viremia.8, 18, 19
Antibodi HIV mulai terlihat 10-14 hari setelah terinfeksi, dan
pada umumnya akan mengalami serokonversi 3-4 minggu setelah
terinfeksi. Setelah viremia awal, muncul viral set point yang
menggambarkan jumlah virus yang diproduksi (viral load) dan akan
konstan selama beberapa tahun. Semakin tinggi set point saat akhir
masa viremia inisial, semakin mungkin terjadi progresivitas ke arah
AIDS.19
b. Fase laten
Setelah

mengalami

gejala-gejala

akut,

individu

akan

mengalami fase laten sekitar 7-11 tahun. Individu tersebut tidak akan
menunjukkan gejala-gejala selama periode ini. Pada fase ini hanya

14

sedikit virion di plasma yang terdeteksi, tetapi jumlah limfosit T CD4+


menurun hingga 200-500 sel/mm3.15, 19
c. Fase simptomatis
Perkembangan gejala-gejala terkait HIV merupakan bukti
adanya

disfungsi

progresif

sistem

imun.

Gejala

dan

tanda

konstitusional mencakup demam persisten, berkeringat pada malam


hari, penurunan berat badan, diare kronik tanpa penyebab yang jelas,
eksema, psoriasis, dermatitis seboroik, herpes zoster, kandidiasis oral,
dan oral hairy leukoplakia. Dua keadaan terakhir merupakan penanda
buruknya prognosis dan progresivitas ke AIDS.18
d. AIDS
Fase terakhir dari infeksi HIV adalah AIDS. Seorang individu
yang terinfeksi HIV didiagnosis mengalami AIDS apabila memiliki
jumlah T CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3, tanpa mempertimbangkan
ada atau tidaknya infeksi oportunistik. Individu dapat mengalami
berbagai macam infeksi sekunder, seperti toksoplasmosis, herpes
simpleks rekuren, infeksi CMV diseminata, meningitis kriptokokkal,
dan lain-lain. Individu bahkan dapat terserang mikroba-mikroba
intraseluler, seperti Pneumocystic jiroveci dan mikobakteria atipikal,
yang normalnya dapat dilawan oleh sistem imunitas yang diperantarai
sel T. Individu juga rentan terkena malignansi yang disebabkan virus
onkogenik. 2 jenis kanker yang tersering adalah limfoma sel B yang
disebabkan Epstein-Barr virus, dan sarkoma Kaposis yang merupakan
tumor pembuluh darah kecil akibat herpesvirus. Selain itu, dapat pula
mengalami wasting syndrome dimana terjadi penurunan berat badan
yang signifikan akibat gangguan metabolisme dan penurunan masukan
kalori.11, 14

15

Gambar 5. Perjalanan klinis infeksi HIV22

7. Stadium/Klasifikasi Klinis
Penentuan derajat berat infeksi HIV dapat menggunakan stadium klinis
menurut WHO

15

Stadium klinis infeksi HIV menurut WHO pada remaja dan

dewasa ( 15 tahun) adalah:


a. Stadium klinis I
Asimptomatis; limfadenopati persisten generalisata; dengan atau
penampilan/aktivitas fisik skala I: asimptomatis, aktivitas normal.
b. Stadium klinis II
Penurunan berat badan sedang tanpa penyebab yang jelas (< 10%);
infeksi saluran pernafasan rekuren (infeksi saluran nafas, sinusitis,
bronkhitis, otitis media, faringitis); herpes zoster; cheilitis angular;
ulkus oral rekuren; erupsi papular pruritik; dermatitis seboroik;
infeksi jamur pada kuku; dengan atau penampilan/aktivitas fisik
skala II: simptomatis, aktivitas normal.
c. Stadium klinis III
Penurunan berat badan berat (> 10%); diare kronis tanpa penyebab
yang jelas lebih dari satu bulan; demam persisten tanpa penyebab
yang jelas (intermiten atau konstan lebih dari satu bulan);
kandidiasis oral; oral hairy leukoplakia; TB pulmonal terdiagnosis
dalam dua tahun terakhir; infeksi bakterial berat (pneumonia,
empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis,
bakteremia); stomatitis, gingivitis, atau periodontitis ulseratif

16

nekrosis akut; anemia (< 8 g/dl), dan atau neutropenia (< 500
/mm3), dan atau trombositopenia (< 50.000 /mm3) tanpa penyebab
yang jelas lebih dari satu bulan; dengan atau penampilan/aktivitas
fisik skala III: lemah, berada di tempat tidur kurang dari 50% per
hari dalam bulan terakhir.
d. Stadium klinis IV
Wasting syndrome HIV; pneumonia Pneumocystis; pneumonia
bakterial berat atau radiologik rekuren; infeksi herpes simpleks
kronik (orolabial, genital, atau anorektal lebih dari satu bulan);
kandidiasis esofagus; TB ekstrapulmonal; sarkoma Kaposis;
toksoplasmosis

SSP;

ensefalopati

HIV;

kriptokokosis

ekstrapulmonal termasuk meningitis; infeksi mikobakteria non-TB


diseminata; leukoensefalopati multifokal progresif; Candida pada
trakhea, bronkhi, atau paru; kriptosporidiosis; isosporiasis; infeksi
herpes simpleks viseral; infeksi CMV (retinitis atau pada organ
selain hati, limpa, atau KGB); berbagai mikosis diseminata
(histoplasmosis,

koksidiomikosis,

penisilosis);

septikemia

Salmonella non typhoid rekuren; limfoma (serebral atau sel B nonHodgkin); karsinoma servikal invasif; leishmaniasis viseral;
dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala IV: sangat lemah,
selalu berada di tempat tidur lebih dari 50% per hari dalam bulan
terakhir.15, 23
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Sebagai alat diagnostik
Pemeriksaan penapisan standar untuk infeksi HIV adalah
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), yang disebut juga
enzyme immunoassay (EIA). Sensitifitas pemeriksaan ini 93-98%,
dan spesifitasnya 98-99%. EIA mengandung antigen HIV-1 dan HIV2. EIA terbaru yaitu generasi-4 dapat mendeteksi antibodi terhadap
HIV dan antigen p24 HIV. Hasil pemeriksaannya dinyatakan sebagai
positif (sangat reaktif), negatif (non-reaktif), atau indeterminate
(reaktif parsial). Faktor-faktor yang berkaitan dengan positif palsu
pada EIA adalah adanya antibodi terhadap antigen kelas II (seperti
pada kehamilan, transfusi darah, atau transplantasi), autoantibodi,
17

penyakit hepar, vaksinasi influenza baru-baru ini, dan infeksi viral


akut. Maka dari itu, seseorang yang diduga terinfeksi HIV
berdasarkan hasil EIA positif atau indeterminate harus dikonfirmasi
menggunakan assay yang lebih spesifik.11
Pemeriksaan konfirmasi yang umumnya digunakan adalah
Western blot. Antigen-antigen HIV dapat dipisahkan berdasarkan
berat molekulnya, dan antibodi terhadap tiap komponen dideteksi
sebagai pita-pita pada Western blot. Western blot dianggap positif
bila terdapat antibodi terhadap paling tidak dua dari tiga protein HIV:
p24, gp41, dan gp 120/160. Pada hasil indeterminate, perlu
dilakukan pemeriksaan Western blot ulang dalam 1 bulan untuk
memastikan apakah pola indeterminate tersebut akan mengalami
perubahan. Meskipun merupakan pemeriksaan yang sangat baik
untuk mengkonfirmasi infeksi HIV pada individu dengan hasil EIA
positif atau indeterminate, Western blot merupakan pemeriksaan
penapisan yang buruk.11

Gambar 6. Algoritma pemeriksaan serologi dalam diagnosis infeksi


HIV-1 atau HIV-211
Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV, pemeriksaan awal
yang paling tepat dilaksanakan adalah EIA. Bila hasilnya negatif,
kecuali terdapat kecurigaan kuat adanya infeksi HIV dini (seperti
18

pada individu yang terpajan dalam 3 bulan terakhir), diagnosis dapat


disingkirkan dan pemeriksaan ulang hanya dilakukan bila ada
indikasi klinis. Bila hasilnya indeterminate atau positif, pemeriksaan
harus diulang. Bila hasil pemeriksaan ulang negatif sebanyak dua
kali, dapat diasumsikan terdapat kesalahan teknis pada hasil positif
pemeriksaan pertama, dan pasien negatif terinfeksi HIV. Bila hasil
pemeriksaan ulang indeterminate atau positif, harus dilakukan
pemeriksaan konfimasi yaitu Western blot HIV-1.11
Pada pemeriksaan Western blot HIV-1, jika hasilnya positif
maka dapat ditegakkan diagnosis infeksi HIV-1. Jika hasilnya
negatif, hasil EIA sebelumnya dapat diduga merupakan positif palsu
dan diagnosis infeksi HIV-1 dapat disingkirkan; sebaiknya dilakukan
pemeriksan serologi spesifik untuk HIV-2 dengan algoritma yang
sama dengan HIV-1. Jika hasilnya indeterminate, pemeriksaan
sebaiknya diulang dalam 4-6 minggu; dapat pula dilakukan
pemeriksaan lanjutan seperti p24 antigen capture assay, HIV-1 RNA
assay, atau PCR DNA HIV-1 dan pemeriksaan serologi spesifik
untuk HIV-2. Jika hasil assay p24 dan RNA HIV-1 negatif dan tidak
ada perkembangan pemeriksaan Western blot, diagnosis HIV-1
disingkirkan. Jika salah satu dari assay p24 atau RNA HIV-1 positif
dan/atau Western blot HIV-1 menunjukkan perkembangan, diagnosis
sementara

infeksi HIV-1 dapat dibuat dan

nantinya

akan

dikonfirmasikan dengan Western blot ulang yang menunjukkan hasil


positif.11
Pemeriksaan lain untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV
yang cukup populer adalah OraQuick Rapid HIV-1. Pemeriksaan ini
mendeteksi antibodi dalam darah, plasma, atau saliva, dan dapat
memberikan hasil dalam waktu 1-60 menit. Sensitifitas dan
spesifitasnya 99%. Hasil negatif dari pemeriksaan ini cukup adekuat
untuk menyingkirkan diagnosis infeksi HIV, sedangkan hasil positif
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi standar, seperti
dijelaskan sebelumnya.11

19

b. Sebagai alat pemantauan


Hitung sel T CD4+ merupakan pemeriksaan laboratorium yang
diterima sebagai indikator terbaik status kompetensi imunologi pada
individu terinfeksi HIV. Pengukuran ini dapat dilakukan secara
langsung ataupun dikalkulasikan dengan cara hasil perkalian antara
persen sel T CD4+ dan hitung limfosit total. 15% T CD4+ setara
dengan hitung T CD4+ 200 sel/mm3. Individu dengan hitung T
CD4+ < 200 sel/mm3 berisiko tinggi terinfeksi P. jiroveci, sementara
individu dengan hitung T CD4+ < 50 sel/mm3 berisiko tinggi
terinfeksi CMV, M. avium complex (MAC), dan/atau T. gondii. Pada
individu yang terinfeksi HIV sebaiknya dilakukan pengukuran sel T
CD4+ pada saat diagnosis dan setiap 3-6 bulan setelahnya, serta
lebih

sering

dilakukan

apabila

ditemukan

kecenderungan

penurunan.11
Pengukuran kadar RNA HIV serum atau plasma telah menjadi
komponen esensial dalam memantau perkembangan infeksi HIV.
Dua teknik yang umumnya digunakan adalah RT-PCR assay dan
bDNA assay. Keduanya dapat menghitung jumlah kopi RNA HIV
per mililiter serum atau plasma. Pengukuran perubahan kadar RNA
HIV dari waktu ke waktu sangat bermanfaat dalam menggambarkan
hubungan antara kadar virus dan progresivitas penyakit, tingkat viral
turnover, hubungan antara aktivasi sistem imun dan replikasi virus,
dan waktu perkembangan resistensi obat. Kadar RNA HIV plasma
sebaiknya dipantau setiap 4 minggu sampai efektivitas regimen
terapi ditentukan oleh perkembangan status kadar RNA HIV yang
menetap. Dalam kebanyakan kasus, terapi antiretroviral efektif
menurunkan RNA HIV hingga < 50 kopi per mililiter dalam 6 bulan
setelah awal terapi. Selama terapi, kadar RNA HIV sebaiknya
dipantau tiap 3-4 bulan untuk mengevaluasi kelanjutan efektivitas
terapi.11
9. Diagnosis

20

Diagnosis infeksi HIV ditegakkan berdasarkan WHO case definition


for HIV infection. Kriteria diagnosis infeksi HIV pada dewasa adalah:
a. Pemeriksaan antibodi HIV positif (rapid/laboratory-based enzyme
immunoassay), yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi HIV
kedua positif menggunakan antigen berbeda atau metode berbeda;
dan/atau
b. Pemeriksaan virologi HIV atau komponennya (RNA HIV atau DNA
HIV atau antigen p24 HIV) positif, yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan virologi HIV kedua positif.
Sedangkan diagnosis AIDS ditegakkan berdasarkan WHO case
definition of advanced HIV (including AIDS). Kriteria klinis diagnosis AIDS
adalah diagnosis presumptif atau definitif kondisi-kondisi pada stadium 3
dan 4, dan kriteria imunologis diagnosis AIDS adalah hitung limfosit T
CD4+ kurang dari 350 sel/mm3 dalam darah.23

10. Penatalaksanaan
Setelah didiagnosis terinfeksi HIV, maka pasien perlu dirujuk ke
layanan Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) untuk menjalankan
serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, imunologis, dan
virologis. Hal tersebut dilaksanakan untuk menentukan apakah pasien sudah
memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral (ARV), menilai status supresi
imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi,
serta menentukan paduan obat ARV yang sesuai. Selain itu, sebelum mendapat
terapi ARV, pasien juga harus dipersiapkan secara matang dengan konseling
kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.2 Prinsip
pemberian terapi ARV antara lain:
a. Terapi ARV tidak bersifat kuratif melainkan supresif; karena infeksi
HIV tidak dapat dieradikasi, terapi akan diberikan seumur hidup
dengan obat-obat yang tersedia.
b. Semua regimen terapi mungkin dapat menyebabkan toksisitas,
beberapa bahkan bisa membahayakan hidup.

21

c. Terdapat risiko meningkatnya perkembangan resistensi terhadap terapi


seiring ketidakpatuhan berobat.
d. Walaupun kerusakan sistem imunitas hospes terjadi selama masa
infeksi HIV, hilangnya respon imunitas protektif terhadap infeksi
oportunistik yang paling serius hanya terjadi pada penyakit HIV
berat.8
Terapi ARV diberikan pada seluruh dewasa berusia lebih dari 19 tahun
yang terinfeksi HIV, tanpa memandang stadium klinisnya maupun jumlah sel
T CD4+ nya. Sebagai prioritas, terapi ARV diberikan pada dewasa terinfeksi
HIV dengan stadium klinis 3 dan 4 atau jumlah sel T CD4+ 350 sel/mm3.25
Saat ini telah diketahui terdapat enam golongan ARV, yaitu (1)
penghambat

reverse

transcriptase

nukleosida/nukleotida

(Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor / NRTI), (2)


penghambat reverse transcriptase non-nukleosida (Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor / NNRTI), (3) penghambat protease (Protease
Inhibitor / PI), (4) penghambat fusi, (5) antagonis reseptor CCR5, dan (6)
penghambat integrase.26, 27

Gambar 7. Tempat kerja agen antiretroviral26


Tabel 3. Agen antiretroviral yang tersedia26, 27
Golongan dan Agen
Mekanisme Kerja
NRTI:
Bekerja melalui inhibisi kompetitif
Abacavir (ABC), Didanosine (ddI),
reverse transcriptase HIV-1 dan
Emtricitabine
(FTC),
Lamivudine
juga dapat tergabung dengan rantai
(3TC), Stavudine (d4T), Tenofovir
DNA virus yang sedang bertumbuh

22

(TDF),

Zalcitabine

(ddC),

dan untuk menyebabkan terminasinya.

Zidovudine (AZT).
NNRTI:
Berikatan langsung dengan reverse
Delavirdine (DLV), Efavirenz (EFV),
transcriptase
HIV-1
dan
Etravirine (ETV), dan Nevirapine
menyebabkan
blokade
DNA
(NVP).
polimerase yang bergantung RNA
PI:
Amprenavir (APV), Atazanavir (ATV),
Darunavir
(FPV),

(DRV),

Indinavir

Fosamprenavir

(IDV),

Lopinavir

dan DNA.
Mencegah pembelahan poliprotein
Gag-Pol,

sehingga

menghasilkan

partikel virus imatur yang tidak


menular.

(LPV), Nelfinavir (NFV), Ritonavir


(RTV),

Saquinavir

(SQV),

Tipranavir (TPV).
Penghambat fusi:
Enfurvirtide (T-20).

dan
Berikatan

dengan

subunit

gp41

glikoprotein kapsul virus, sehingga


mencegah

perubahan

konformasi

yang dibutuhkan untuk fusi virus


Antagonis reseptor CCR5:
Maraviroc (MVC).

dan membran sel.


Berikatan dengan protein CCR5
hospes, yang merupakan salah satu
kemokin

reseptor

yang

penting

untuk masuknya HIV ke dalam sel T


Penghambat integrase:
Raltegravir (RAL).

CD4+.
Berikatan dengan enzim integrase,
sehingga
antara

menghambat

DNA

HIV

integrasi

yang

ditranskripsi-balik

sudah
dengan

kromosom sel hospes.


Paduan terapi ARV yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini
pertama adalah 2 obat golongan NRTI ditambah 1 obat golongan NNRTI.
Paduan lini pertama terapi ARV yang direkomendasikan adalah:25
AZT + 3TC + NVP, atau
AZT + 3TC + EFV, atau
TDF + 3TC + NVP, atau
23

TDF + 3TC + EFV, atau


TDF + FTC + NVP, atau
TDF + FTC + EFV.

B. Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT)


Prevention of mother to child transmission (PMTCT) adalah suatu upaya
untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayinya. PMTCT dilaksanakan
melalui kegiatan komprehensif yang meliputi 4 pilar (prong), yaitu:6

Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49

tahun).
Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV

positif.
Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya
kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya.

1. Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi


Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan
HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum
terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual
berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu hamil
agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.6
Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan
dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan
didalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya
harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses
edukasi termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV-AIDS
dikalangan remaja semakin baik.6

24

Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah


penularan HIV menggunakan strategi ABCD, yaitu:6
a. A (Abstinence), artinya absen seks atau tidak melakukan hubungan
seks bagi orang yang belum menikah;
b. B (Be Faithful), artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan);
c. C (Condom), artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom;
d. D (Drug No), artinya dilarang menggunakan narkoba.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain:
a. Menyebarluaskan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang
HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu maupun
kelompok, untuk:6
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari
penularan HIV dan IMS.
a) Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini
mungkin.
b) Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tatalaksana
ODHA perempuan.
c) Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk
meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS.
Sebaiknya, pesan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga
disampaikan kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak
terinfeksi HIV. Informasi tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak juga penting disampaikan kepada masyarakat luas sehingga
dukungan masyarakat kepada ibu dengan HIV dan keluarganya semakin
kuat.6
a. Mobilisasi masyarakat6
a) Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK,
PLKB, atau posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan
HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien
mendapatkan akses layanan kesehatan.
b) Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV
dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik
steril.

25

c) Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh


agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan
diskriminasi.
b. Layanan tes HIV
Konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan
Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) dan Konseling dan Tes
Sukarela (KTS), yang merupakan komponen penting dalam upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Cara untuk mengetahui
status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan
tes darah dilakukan dengan memperhatikan 3 C yaitu counselling,
confidentiality, dan informed consent.6
Jika status HIV ibu sudah diketahui,6
a) HIV positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu
tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.
b) HIV negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap
HIV negatif.
Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan
pelayanan KIA sesuai dengan strategi layanan komprehensif
berkesinambungan, agar:6
a) Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu
hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan
mengurangi stigma terhadap HIVAIDS;
b) Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan
menjangkau banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan
ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini mungkin.
c) Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua
petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil
dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi
stigma terhadap HIV-AIDS.
d) Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman
Konseling dan Tes HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan
melakukan pemeriksaan IMS, termasuk tes sifilis, kepada semua
ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama dengan

26

pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil (inklusif dalam


paket pelayanan ANC terpadu).
e) Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan
ibu hamil yang dites (couple conselling);
f) Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan
PPIA dalam paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang
mampu melakukan konseling dan tes HIV;
g) Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV
negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien
tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya;
h) Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil
yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan
konseling berpasangan dan penawaran tes HIV bagi pasangan
laki-laki;
i) Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu
hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah
tes HIV harus terjamin;
j) Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti
mengintegrasikan juga program HIV-AIDS dengan layanan
lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS,
layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan
keluarga berencana;
k) Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian
kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan.
Dukungan untuk perempuan yang HIV negatif6
a) Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar
status dirinya tetap HIV negatif;
b) Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV;
c) Membuat pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga
mudah dan dapat diakses oleh suami/pasangan ibu hamil;
d) Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada

saat

kunjungan ke layanan KIA;


e) Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil,
dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri/
pasangannya tentang perilaku seksual yang aman;
f) Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami
bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman,

27

dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya


sendiri;
g) Menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami
tentang

pentingnya

memakai

kondom

untuk

mencegah

penularan HIV.
2. Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan
dengan HIV
Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang
dikandungnya jika hamil. Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk
mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana
kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan. Konseling yang berkualitas, penggunaan alat kontrasepsi yang
aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu
perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta
menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat
bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi.6

Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan


kontrasepsi yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan

kondom untuk mencegah penularan HIV dan IMS.


Perempuan dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai
anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan
tetap menggunakan kondom.
Kontrasepsi untuk perempuan yang terinfeksi HIV:6

Menunda kehamilan: kontrasepsi jangka panjang + kondom.


Tidak mau punya anak lagi: kontrasepsi mantap + kondom.
Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA,

ibu dengan HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar


bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan
informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat
terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk
tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa

28

perempuan dengan HIV yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila
memutuskan untuk hamil akan menerima ARV seumur hidupnya. Jika
ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV di tubuhnya
menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV
dari ibu ke anak menjadi kecil, Artinya, ia mempunyai peluang besar
untuk memiliki anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan
keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami
atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan walau ibu/pasangannya sudah
mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus tetap dilakukan
setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada
pasangannya.6
Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain:6

Mengadakan KIE tentang HIV-AIDS dan perilaku seks aman;


Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;
Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;
Melakukan promosi penggunaan kondom;
Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB

dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;


Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV
yang ingin merencanakan kehamilan.

3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi yang
Dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah
terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif
mencakup kegiatan sebagai berikut:6

Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;


Diagnosis HIV
Pemberian terapi antiretroviral;
Persalinan yang aman;
Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
Menunda dan mengatur kehamilan;
Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;

29

Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.


Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika

dijalankan

secara

berkesinambungan.

Kombinasi

kegiatan

tersebut

merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan


yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak
pada periode kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.6
Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi pelayanan pra-,
persalinan dan pascapersalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA
bisa menjadi pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya
ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan
mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka,
termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak. Tes HIV atas
inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu hamil
sesuai kebijakan program. Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu mau
dites dengan sukarela.6
Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui
pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP), yang
merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan
klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin
dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang, seperti pada saat
pemberian ARV. Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan dan
menunjukan adanya gejala yang mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari
petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien
tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis.6
Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu,
pemeriksaan IMS terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat
meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan
HIV. Hendaknya klinik KIA juga menjangkau dan melayani suami atau
pasangannya, sehingga timbul keterlibatan aktif para suami/ pasangannya
dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya pencegahan

30

IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian pelayanan IMS dan


HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA.6
4. Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada Ibu
dengan HIV beserta Anak dan Keluarganya
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti
setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia
membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu.
Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu
sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan
keluarganya.6
Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara
lain:6

Pengobatan ARV jangka panjang


Pengobatan gejala penyakitnya
Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV

(termasuk CD4 dan viral load)


Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri

dan bayinya.
Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV

dan pencegahannya
Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
Kunjungan ke rumah (home visit)
Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu

dengan HIV
Adanya pendamping saat sedang dirawat
Dukungan dari pasangan
Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan

bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan


bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan

31

anaknya, serta berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya
ke orang lain.6
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA
ini perlu diketahui oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia
reproduktif. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang
merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar
mengetahui status HIV mereka.6

Gambar 8. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan prong 3 dan 46

32

33

Anda mungkin juga menyukai