PENDAHULUAN
PENYAJIAN
Patogen yang hanya dapat masuk melalui luka disebut sebagai parasit luka.
Patogen golongan ini tidak dapat masuk kedalam jaringan inang melalui lubang alami
maupun dengan menembus secara langsung. Luka yang dapat ditembus oleh patogen
ini dapat berupa luka yang sangat halus maupun luka yang dapat terlihat secara
langsung dengan mata biasa, luka yang terjadi secara mekanis, maupun luka yang
disebabkan karena gigitan serangga. Beberapa jamur bahkan hanya dapat masuk
melalui luka yang telah disebabkan oleh patogen yang telah menyerang terlebih
dahulu. Patogen ini disebut dengan patogen sekunder.
Lubang alami yang sering digunakan sebagai tempat masuk oleh jamur
patogen adalah stomata atau mulut kulit. Spora jamur yang berada di atas permukaan
daun akan berkembang dan membentuk buluh kecambah. Setelah mencapai mulut
kulit ujung buluh kecambah akan membesar dan membentuk apresorium. Dari
apresorium ini akan dibentuk tabung penetrasi yang masuk ke dalam lubang stomata
dan di dalam ruang udara akan membengkak menjadi gelembung substoma yang
kemudian dari tempat ini akan tumbuh hifa infeksi yang berkembang ke semua arah,
membentuk haustorium dan mengisap makanan dari sel-sel inang, sehingga infeksi
sudah terjadi.
Lentisel yang berisi sel-sel berdinding tipis yang lepas-lepas dan di dalamnya
terdapat lebih banyak ruang antar sel juga merupakan salah satu tempat yang dapat
dilalui oleh patogen untuk masuk ke dalam jaringan selama belum terbentuk gabus di
bawahnya. Patogen yang masuk melalui lentisel akan mendapat perlawanan oleh
pembentukan gabus, sehingga agak mirip dengan penetrasi melalui luka.
Infeksi patogen dapat juga terjadi melalui kelenjar madu, dan madu yang
berada di dalmnay sering berfungsi sebagai alas makanan bagi patogen sebelum
masuk ke dalam jaringan. Hal ini biasanya terjadi pada patogen-patogen yang terbawa
oleh serangga pengisap madu.
Jamur yang melakukan infeksi dengan menembus langsung permukaan
jaringan, buluh kecambah dari spora jamur terlebih dahulu akan membentuk
apresorium yang melekat erat pada permukaan kulit luar karena adanya laipsan lendir.
Apresorium kemudian akan membentuk hifa infeksi yang berupa tonjolan kecil namun
mempunyai kekuatan besar untuk menembus kutikula. Senyawa kutin yang
merupakan penyusun dinding kutikula akan dapat dihancurkan secara kimiawi,
sehingga jamur tidak hanya mengandalkan kekuatan mekanisnya saja. Selanjutnya
hifa infeksi akan bertemu dengan
dinding luar sel epidermis yang terutama tersusun oleh selulosa, dan dapt dihancurkan
oleh jamur secara enzimatis, sehingga selulosa mengalami hidratasi yang terlihat
sebagai suatu pembengkakan dan berlapis-lapis. Hifa infeksi akan membuat saluran
kecil di dalam bengkakan ini dan masuk ke dalam ruang sel.
Jika hifa infeksi mulai menguraikan dinding luar sel epidermis, keseimbangan
dalam sel mulai terganggu. Protoplas mengalami perubahan dalam strukturnya,
menjadi lebih kasar dan granuler. Kadang-kadang plasma mengalami koagulasi dan
mengendap pada permukaan hifa yang telah masuk, sehingga hifa yang masuk
terbungkus oleh selaput yang padat, yang dapat menghalangi difusi sekresi jamur ke
dalam sel. Ada kalanya lapisan pembungkus ini menjadi lebih kuat karena adanya
endapan
selulosa
dan
hemiselulosa
yang
disebut
lignituher,
yang
dapat
masuk bakteri. Pada waktu udara lembap hidatoda akan mengteluarkan tetes air
gutasi. Jika kelembapan turun maka penguapan daun akan bertambah sehingga tetes
air yang berada di depan hidatoda akan terisap masuk dan bila di situ ada spora
bakteri yang menempel maka akan ikut terserap masuk bersama dengan tetes air
gutasi tersebut. Infeksi yang terjadi melalui hidatoda ini sering ditunjukkan dengan
gejala awal kerusakan yang terlihat pada tepi daun.
c. Virus
Virus tumbuhan tidak dapat melakukan infeksi tanpa adanya bantuan, karena
virus tidak dapat mengadakan penetrasi dinding sel. Virus akan masuk ke dalam sel
untuk melakukan replikasi. Infeksi virus pada permukaan daun terutama terjadi pada
sel-sel epidermal. Partikel virus dapat masuk melalui luka kecil yang tidak
menyebabkan matinya sel. Virus tertentu dapat menginfeksi melalui luka mekanis,
sedangkan virus lainnya harus masuk ke dalam sel inang dengan bantuan jasad
tertentu yang disebut vektor. Setelah masuk kedalam jaringan inang virus akan segera
melepaskan mantelnya, sedang intinya akan segera berperan dalam proses infeksi
yaitu dengan mengikuti proses metabolisme dalam tubuh inang. Asam nukleat dari
virus akan bergabung dalam sistem informasi genetik tumbuhan, sehingga tidak hanya
mengadakan replikasi untuk membentuk RNA sendiri tetapi juga menentukan
terbentuknya protein virus.
Pada tumbuhan dikenal adanya tiga tipe ketahanan yaitu (a) ketahanan
mekanis, (b) ketahanan kimiawi dan (c) ketahanan fungsional. Ketahanan mekanis
dan ketahanan kimiawi dapat terdiri dari ketahanan aktif dan ketahanan pasif.
Ketahanan aktif terjadi karena sifat-sifat ketahanan memang sudah ada sebelum
infeksi terjadi, sedangkan ketahanan pasif terbentuk setelah infeksi yang terjadi karena
terimbas oleh adanya infeksi.
Ketahanan mekanis pasif antara lain berupa lapisan epidermis yang berkutikula
tebal, adanya lapisan lilin, mulut kulit yang sedikit, dll. Laisan kutikula yang tebal pada
permukaan epidermis akan mampu menahan adanya infeksi oleh patogen, sehingga
akan menghalangi proses infeksi. Adanya lapisan Win pada permukaan tumbuhan
akan menyebabkan permukaan tumbuhan tidak basah pada waktu hujan, sehingga
spora jamur tidak dapat berkecambah, bakteri tidak, zoospora, dan nematoda tidak
dapat bergerak menuju tempat yang memungkinkan terjadinya infeksi. Selain itu
susunan kimia lilin sendiri juga berkoralasi positif terhadap ketahanan. Ukuran mulut
kulit yang sempit akan menjadi penghalang bagi masuknya patogen, selain itu
lamanya mulut kulit menutup pada siang hari juga akan mengurangi infeksi patogen.
Lentisel yang cepat bergabus juga akan menyebabkan tanaman menjadi lebih tahan
terhadap patogen. Bulu daun (trikoma) yang rapat akan menjadi penghalang untuk
menempelnya spora pada permukaan daun.
Ketahanan mekanis aktif terutama terjadi atas reaksi ketahanan yang bersifat
histologis. Hal ini terjadi dengan pembentukan lapisan sel yang membatasi bagian
tumbuhan yang terinfeksi dan terbentuknya bengkakan mirip kalus pada dinding sel. Di
sekitar bagian yang terinfeksi dapat terbentuk lapisan pemisah yang terdiri atas
lapisan gabus, sel-sel yang berisi blendok, sel-sel absisi, dan tilosis. Gabus luka
merupakan jaringan penyembuh bergabus yang melokalisir patogen dalam jaringan
yang terinfeksi. Hal ini terjadi karena hasil metabolisme jamur dapat memacu
terbentuknya lapisan ini. Infeksi patogen juga dapat menyebabkan terbentuknya gom
yang terdapat dalam sel-sel jaringan atau di sekitar bagian yang terinfeksi, sehingga
patogen akan terlokalisir dan tidak dapat menyebar. Terbentuknya lapisan absisi akan
menyebabkan adanya bagian yang terlepas, sehingga terjadi gejala shot-hole. Satu
atau dua lapis sel di sekitar bercak akan menjadi turgesen, berdinding tipis dan seperti
meristem. Jika lamela tengahnya terlarut, kesenjangan terjadi antara jaringan yang
sehat dengan yang mengalami nekrotik. Sel-sel membengkak dan membulat, terutama
sel-sel palisade dan parenkim bunga karang, yang menyebabkan jaringan yang
terinfeksi terlepas. Di belakang lapisan absisi sering terjadi
lapisan sel yang tersusun seperti batu bata, rapat, bergabus dan sedikit berlignin,
kadangkadang juga terjadi lapisan sel yang bergabus untuk mencegah penguapan
yang berlebihan akibat adanya sel yang lepas. Pada tumbuhan yang terinfeksi oleh
patogen pembuluh, di dalam pembuluh kayu sering terbentuk adanya pertumbuhan
yang luar biasa dari protoplas sel parenkim hidup di sampingnya, yang menonjol ke
dalam ruang xilem melalui noktah yang disebut dengan tilosis. Tilosis mempunyai
dinding selolusa yang dapat menyumbat pembuluh, sehingga pada tanaman yang
terinfeksi
patogen pembuluh,
tilosis
dapat
menghambat
perkembangan
dan
waktu yang lebih pendek akan kelihatan lebih tahan terhadap patogen yang
menginfeksi lewat stomata. Untuk penyakit yang ditularkan oleh serangga dapat
terbentuk ketahanan fungsional karena tumbuhan tersebut tidak disenangi oleh
serangga vektor, sehingga penularan tidak terjadi.
PENUTUP
REFERENSI
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3d Ed. Academic Press, New York. 803p.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. 754p.