PARTAI POLITIK:
POLITIK ALIRAN DAN
KONDISI ELECTORAL
KOMPETENSI
Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami konteks
sosial, budaya, dan politik masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks sosial, mahasiswa
diharapkan mampu menggambarkan dan memahami realitas sosial baik dari sisi
pendidikan, ekonomi maupun relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Lebih jauh
mahasiswa diharapkan dapat memahi peran masyarakat sesuai dengan kondisi sosial
masing-masing. Dalam konteks budaya, mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami norma, adat, dan kebiasaan masyarakat di tingkat lokal.
Selanjutnya, dengan memahami budaya masyarakat, mahasiswa mampu memahami
dinamika kehidupan khas masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks politik,
mahasiswa dihapkan dapat menggambarkan dan memahami realitas politik di tingkat
lokal baik itu pola afiliasi maupun perilaku politik yang terjadi dalam setiap pemilu.
BAB I
PARTAI POLITIK:
POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL
PETA politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok
Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya
merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada
1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang
ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif
mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi
sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai
nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan
suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai
yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan
organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar
belakang Islam modernis.
A. Politik Aliran
Politik aliran merupakan istilah umum yang dipakai ketika
merujuk pada term political cleavages, walau sebenarnya agak
kurang tepat namun karena ketiadaan padanan kata yang serupa,
politik aliran dipakai untuk memberi arti pada term political cleavages
tersebut. Sejak pertama kali konsep politik aliran ini dikemukakan
oleh penemunya yaitu Cliford Geertz, walau dengan beragam kritik,
sampai sekarang politik aliran terus menjadi alat utama dalam studi
politik Indonesia. Dalam rangka menjelaskan kesinambungan politik
aliran ini, hal pertama yang menjadi persoalan adalah bagaimana
kita mendefinisikan dan menjelaskan politik aliran secara jernih.
Geertz memberi pemahaman secara inplisit pada pola politik aliran
3
Kajian mengenai hubungan anatra cleavage dan partai politik banyak dilakukan oleh para
ilmuwan politik, seperti Seymour Lipset dan Stein Rokkan, Bartolini, dan Sartori. Seymour
Lipset dan Stein Rokkan meyakini bahwa partai politik memainkan peran signifikan dalam
terbentuknya political cleavages. Karena mereka menganggap bahwa perbedaan struktur sosial
tidak serta merta ditranslasi menjadi perbedaan politik yang signifikan. Mobilisasi oleh partaipartai politik justru merupakan bagian yang amat penting dalam transformasi struktur sosial
yang berbeda menjadi mengeras dan mendorong terbentuknya political cleavages. Studi Bartolini
yang lebih kontemporer, misalnya, menunjukkan bahwa ketika sebuah cleavage (kelas, agama,
atau etnik misalnya) menjadi terorganisasi, maka cleavage ini akan menjelma menjadi kekuatan
politik yang otonom dan berpengaruh. Studi klasik Sartori juga menunjukkan bahwa partai
politik (kiri) bukanlah akibat dari eksistensi kelas ekonomi. Sebaliknya, partai politik lah yang
mengeraskan perbedaan kelas, melalui proses sosialisasi politik yang membentuk kesadaran kelas.
Lihat Afan Gaffar, Javanese Voters, A Case Study of Election Under s Hegemonic Party
System, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Hlm. 9.
3
Hilang nya istilah kiri bisa ditelusuri kebelakang ketika massa Soekarno dan Soeharto. Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai kiri hilang di Indonesia setelah dihancurkannya pada
tahun 1965. Juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sukarno dan juga
Suharto. Dampak dari hilangnya elemen kiri ini, partai dengan ideologi yang programatik menjadi
tidak ada Karena itu, attachment agama atau attachment yang bersifat primordial lain menjadi
lebih dominan. Literatur mengenai sistem politik yang mapan, terutama di Eropa, selalu
menampakan spektrum ideologis partai-partai politik yang konsisten: kiri-tengah-kanan. Kiri
berarti mendukung peran negara yang dominan dalam ekonomi dan kesejahteraan (bersifat
sosialistik, belum tentu sinonim dengan komunis), tengah adalah moderat, dan kanan adalah
kelompok liberal yang berusaha mengeliminir peran negara (singkatnya tidak setuju subsidi dan
pajak yang tinggi misalnya) dan berusaha mengembalikan kapital lewat aktifitas masyarakat (pasar).
4
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan
penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi
diantara kedua kutub tersebut. Baik Santri maupun Abangan, keduaduanya adalah Islam, sehingga dalam kehidupan praktis keagamaan
ada momen dan aktivitas yang mempersatukan mereka terutama pada
kelompok Santri Islam Tradisional (warga Nahdliyin).5
=====================================================
Ortodoks
Ortodoks
Modern
Tradisional
Sinkretis
____________________________________________________________
Santri
Abangan
Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan
Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1990.
Lebih Jauh Karl D. Jacktion (1978) menempatkan varian Santri
kedalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian
lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dalam hal ini kelompok
Modernis secara politik direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai
Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis
ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama.6
Format politik aliran sebagai mana dikemukakan Geertz, bisa
ditelusuri ketika ia mendiskusikan hubungan antara agama dan politik
dengan santri jawa di mojokuto sebagai berikut:
5
Clifford Geertz, The Religion of Java ( Glencoe, Illiones: The Free Press,1960), p. 368.
Alan Samson, Religious Beleifs and Political Action in Indonesia Islamic Modernism, in R.
William Liddle, ed., Political Participation in Modern Indonesia (Yale University Southeast
Asia Studies, Monograph Series, 1973).
8
Terkait dengan Santri Modernis di Kota dan Kabupaten Malang, yang paling menojol adalah
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Hijbutahrir, sementara Persis tidak begitu menonojol. Namun
dalam aktivitas politik Hijbutahrir tidak berperan aktif. Hijbutahrir berpendapat bahwa politik
sekarang tidak cocok dengan syariat Islam, karena bagi mereka konsep khilafah paling sesuai
dengan Islam. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Hijbutahrir pada bulan Desember
2008, di rumahnya di Taman Embong Anyar I Kabupaten Malang.
10
Yang dimaksud dengan pesantren tradisional adalah pesantren yang dalam pengelolaannya
sangat sederhana baik dari segi bangunan fisik maupun teknik pengajarannya. Umumnya
pesantren tradisional ini sangat mengandalkan pada kyai dalam pengelolaan pesantren, sementara
pesantren modern sudah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam sistem pengajaran,
akan tetapi kultur pesantren masih melekat. Sebagai contoh Pesantren modern Al-hikam yang
ada di Jengger Ayam Lowok Kota Malang yang didirikan oleh Ketua Umum PB NU, KH.
Hasyim Mujadi.
10
Bukti nyata dari besarnya kaum Abangan ini, ketika pemilu, mayoritas
dari masyarakat memilih partai Nasionalis, khususnya PDIP dalam
pemilu 1999 maupun 2004. Sementara, kalau dilihat dari sisi kultur,
Santri yang banyak di temui di Kota dan Kabupaten Malang adalah
Santri Tradisional yang umumnya berafiliasi dengan partai-partai
yang punya kedekatan secara sosiologis maupun historis dengan
organisasi Islam Tradisional yaitu NU. 11
Selain punya banyak varian dalam perilaku keberagamaan,
masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga punya keragamaan
dalam etnis, seperti Arab, Cina, Madura, Sunda, Bugis Makasar, termasuk etnis utamanya yaitu Jawa. Walaupun pluralitas etnis di Kota
dan Kabupaten Malang tergolong tinggi, namun konflik horizontal
yang melibatkan etnis boleh dibilang jarang terjadi.12 Walaupun
demikian, masih terdapat sekat-sekat yang membatasi komunikasi
sosial dan politik antar etnis ini, sehingga perlu adanya pengembangan
wacana multi-kulturalisme di Kota dan Kabupaten Malang.13
Disamping mempunyai tingkat keragaman sosial, ekonomi,
budaya, suku/ras, dan agama yang tinggi, Malang juga mempunyai
letak geografis yang upayas bagi pertahanan dan keamanan serta
faktor historis politis yang penting khususnya masa Orde Lama. Oleh
11
Pada pemilu 1999 dan 2004 umumnya kelompok Santri Tradisional di Kota dan Kabupaten
Malang berafiliasi dengan Partai Kebangkitab Bangsa. Hal ini bisa dibuktikan dari kemenangan
signifikan PKB dibanding dengan partai-partai lain yang punya kedekatan dengan NU.
12
Menurut hasil observasi penulis, selama tinggal di Malang, etnis pendatang yang paling
dominan adalah etnis Madura. Kelompok etnis ini tidak hanya berhasil masuk dan sukses di
dunia perdagangan, namun juga di bidang politik, birokrasi, dan pendidikan. Di bidang pendidikan
misalnya di Unibraw, pimpinan tertingginya, hampir tidak pernah diganti oleh orang selain dari
etnis madura, di birokrasi pemerintahan, pada tahun 2002 sampai dengan 2008, dan di Kabupaten
Malang Wakil Bupati peride 2005-2010 yang sekaligus sebangai Ketua DPD Golkar termasuk
etnis Madura. Menurut saya, yang menjadikan etnis Madura bisa diterima di Kota dan
Kabupaten Malang, walaupun ada resistensi secara laten akibat perilaku yang sedikit agresif,
dikarenakan adanya kesamaan agama dan kesamaan kultur yaitu kultur pesantren yang sangat
menghargai kyai.
13
Wacana multikulturalisme, khsusunya mulai pasca reformasi sebenarnya sudah banyak
dilakukan baik oleh generasi muda NU maupun Muhammadiyah. Generasi NU dalam
pengembangan Multikulturalisme ini dilakukan dengan membuat sekolah demokrasi, sementara
generasi muda Muhammadiyah banyak dilakukan di Kampus-kampus dengan menyelenggarakan
berbagai seminar dan diskusi yang melibatkan berbagai tokoh dari beragam agama. Hasil observasi
terhadap generasi muda NU yang dimotori aktivis PMI dan pemuda Muhammadiyah di Kota
dan Kabupaten Malang.
11
karena itu Kota dan Kabupaten Malang menjadi tolak ukur keamanan
dan ketertiban baik di tingkat regional Jawa Timur maupun Nasional.
Kondisi tersebut membawa Malang menjadi tempat bagi lokasi
penempatan kekuatan militer dan pemusatan latihan.14
3. Fondasi Sosial Budaya Yang Menopang Berkembangnya Politik
Aliran di Malang
Kota dan Kabupaten Malang merupakan bagian dari wilayah
provinsi Jawa Timur. Berdasarkan karakter budaya yang dimilikinya,
provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi 10 wilayah kebudayaan,
yaitu tlatah kebudayaan besar ada empat; Jawa Mataraman, Arek,
Madura kepulauan, Pandalungan. Sementara tlatah yang kecil terdiri
atas Jawa Ponoragan, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using),
dan Madura Kangenan (Ayu Sutarto, 2004).15 Masing-masing kelompok
etnik tersebut memiliki identitas masing-masing, disamping keunggulan atau kelebihan baik yang terkait dengan produk maupun kinerja
kulturalnya.
Tlatah kebudayaan Jawa Mataraman berada di sebelah barat.
Wilayahnya paling luas, membentang dari perbatasan Provinsi Jawa
Tengah hingga kabupaten Kediri. Wilayah ini mendapat pengaruh
kuat dari kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Budha maupun
era kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta dan
Surakarta. Karena itu wilayah ini mempunyai kemiripan dengan
budaya masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah Budaya
Mataraman dibagi lagi menjadi Mataraman Kulon, Mataraman
Wetan, dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak
sejarah dan budaya lokal yang berkembang. Ciri yang paling mudah
untuk mengenali ketiga wilayah Mataraman ini bisa dikenali melalui
bahasa yang dipergunakan. Dari segi kedekatan budaya dengan Jawa
14
Beberapa instalasi militer yang ada di Kota dan Kabupaten Malang, antara lain Korem 083
Baladhika Jaya, Kodim Kota, Kodim Kabupaten, Ajudan Jenderal Kodam, Resimen Induk
Milliter Kodam V Brawijaya, Hukum Kodam Brawijaya, Dodik Bela Negara Kodam Brawijaya,
Bataliyon Pembekalan dan Angkutan Divisi 2 Kostrad, Bataliyon Infanteri 512/QY, Perhubungan
Kodam V Brawijaya, Bataliyon Altileri Medan I, Divisi Infanteri 2 Kostrad. Bataliyon Kavaleri
Serbu, Bataliyon Infanteri 502 Kostrad, Brgadir Infanteri 18 Kostrad. Hasil Observasi selama
penelitian ini dilaksanakan di Kota dan Kabupaten Malang.
15
Untuk lebih lengkapnya lihat Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//
catalogue.nla.gov.au
12
Tengah, Mataraman Kulon lebih kuat. Bahasa jawa yang dipergunakan lebih halus jika dibanding dengan bahasa Jawa Mataraman
Wetan, yang wilayahnya bekas Keresidenan Madiun.
Samping Timur Mataraman merupakan tlatah budaya Arek.
Sisi Timur Kali Brantas menjadi batas antara wilayah Mataraman
dan Arek. Tlatah budaya Arek membentang dari utara ke Selatan,
dari Surabaya hingga Malang. Setelah industrialisasi masuk, menjadi
tempat tujuan bagi pendatang yang menjadikannya daerah ini sebagai
tempat peleburan budaya di Jatim. Meski luas wilayahnya hanya 17%
dari keseluruhan luas Jatim, hampir 49% aktivitas ekonomi Jatim ada
di wilayah arek. Dengan demikian budaya Arek ini merupakan sentuhan
dari aneka kultur baik lokal maupun asing, dan membentuklah
komunitas Arek. Masyarakat yang berkultur Arek ini terkenal dengan
semangat juang tinggi, mempunyai solidaritas kuat, terbuka terhadap
perubahan, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai
tekad dalam menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok opo
enake, ( baca: solusi agar sama-sama senang).
Komunitas budaya terbesar ke tiga adalah Madura.16 Wilayahnya adalah Madura. Karakteristik kultur warganya pun berbeda
dengan masyarakat di tlatah Mataraman. Menurut Kuntowijoyo
(2002), keunikan Madura adalah bentukan ekologis tegal yang khas,
yang berbeda dari ekologis sawah di Jawa. Pola pemukiman terpencar,
tidak memiliki solidaritas desa, sehingga membentuk ciri hubungan
sosial terpusat pada individual, dengan keluarga inti sebagai dasarnya.
Karakteristik lingkungan dan budaya inilah yang membuat banyak
orang madura berimigrasi ke daerah lain, terutama Jawa Timur
bagian Timur. Oleh karena itu dari Jawa Timur bagian timur ini bisa
dikatakan sebagai tanah tumpah darah kedua orang Madura Pulau.
Lingkungan bermukim orang Madura yang berdampingan dengan
orang Jawa, kawasannya disebut Pandalungan. Menurut Prawiroatmojo
(1985), kata pandalungan berasal dari kata dasar dhalung artinya
periuk besar. Wadah bertemunya budaya sawah dengan budaya tegal
atau budaya Jawa dengan budaya Madura, yang membentuk budaya
16
Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian
Pemerintah Kolonial Belanda (Sutjipto, 1983; Kusnadi, 2001) dalam Ayu Sutarto, Sekilas
Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au
13
14
15
16
22
Ketika ditelusuri lebih jauh, budaya arek yang melatar belakangi budaya di kawasan Kota dan
Kabupaten Malang lahir dari perpaduan berbagai aliran budaya: Hindu, Budha, Islam,
Mataraman, Kristen, dan Kolonial. Perpaduan budaya tersebut, menurut Ratna Indraswati
Ibrahim, cerpenis Malang, membuat orang Malang lebih egaliter, terbuka, toleransi, dan memiliki
rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan sikap masyarakat arek semakin terlihat setelah Kota
Malang berkembang menjadi kota pendidikan, pariwisata, peristirahatan, dan militer.
www.siwah.com
23
Kompas, 21 Juli 2008.
17
18
Hubungan patron-client yang banyak terdapat di beberapa Negara Asia lainnya dan Amerika
Latin yang sangat menitik beratkan aspek material. Sebab dalam sistem bapakisme ini pada
prinsipnya bapak atau patron menanggung pemenuhan kebutuhan sosial, material, spiritual,
dan pelepasan pemenuhan kebutuhan emosional untuk para anak buah atau client. Faktor
utama yang menentukan dalam bapakisme adalah hutang budi yang menimbulkan sikap
hormat yang begitu tinggi dari anak buah kepada bapak. Dalam hubungan seperti ini maka
anak buah tidak akan pernah mau menentang bapak sekalipun jelas diketahui bahwa bapak
tidak benar.
19
Hasil pemilu 2004, walaupun PDIP tetap menempati posisi pertama dalam perolehan
suara, namun mengalami penurunan yang cukup besar. Data KPUD Kota dan Kabupaten
Malang hasil Pemilu 2004, dan data hasil pemilu 1999.
27
Oleh karena itu menurut Hotman Siahaan, di wilayah budaya arek, kekuatan lebih egalitarian.
Ia menunjuk kenyataan menarik hasil pemilu di Jatim dalam lima pemilu sejak tahun 1971.
Hasil yang diperoleh PPP dan Golkar naik turun, tapi PDI menunjukkan garis turun tapi
menunjukkan garis terus naik. Pada pemilu 1971, PDI hanya memperoleh 5,83% dan turun
menjadi 5,11% pada pemilu 1977, kemudian naik menjadi 6,58% (1982), dan 7,99% (1987)
lalu melejit menjadi 15,97 persen (1992). Hasil yang diperoleh PPP pada pemilu 1971 sebanyak
39,25%, kemudian turun menjadi 36,05 persen (1977), lalu naik sedikit menjad 36,64 persen
(1982), lalu turun drastis hanya meraih 20,56 persen (1987) karena ada penggembosan oleh
NU. Kemudian naik lagi menjadi 25,21 persen (1992). Golkar meraih kemenangan besar pada
pemilu 1987 sebesar 71,45 persen, tapi turun drastis pada pemilu 1992 menjadi 58,82 persen.
Hasil pada pemilu sebelumnya adalah 54,92 persen (pemilu 1971), 58,84 persen (1977),
56,78 persen (1982). www.hamline.edu.
20
21
sosial tertinggi dan masih sekaligus menjadi panutan yang pengaruhnya ikut merembes ranah politik. Dalam pemilu 1999 dimenangi oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merah, dan
lima tahun kemudian, dalam pemilu 2004 PKB yang hijau unggul.29
B. Profil Umum Partai Politik Yang Lolos Treshold
Pada pemilu 1999 ada sekita 48 partai politik yang ikut berkompetisi
dalam pemilu, namun hanya ada enam partai yang lolos electoral
threshold 2,5% yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Pada
Pemilu 2004, jumlah partai yang ikut pemilu menurun drastris menjadi setengahnya (24 partai), dari keenam partai incumbent hanya
PBB yang tidak bisa lolos threshold 3% namun ada 2 partai yang
baru masuk yaitu PKS dan Demokrat. Pada pemilu 2009, partai politik
mengalami peningkatan kembali menjadi 38 partai politik yang ikut
kompetisi. Dari ke 38 partai ini, ada 9 partai politik yang lolos
parliamentary threshold 2,5%, 7 partai incumbent dan 2 partai baru
yaitu Gerindra dan Hanura.
1. Partai Demokrat
Demokrat merupakan partai baru dalam perpolitikan Indonesia.
Partai ini didirikan pada tahun 2001 oleh Soesilo Bambang Yudhoyono
untuk memfasilitasi pencalonannya sebagai presiden. Sebagaimana
aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, bahwa untuk
menjadi calon presiden harus didukung oleh partai politik, oleh karena
itu SBY mendirikan partai politik sendiri, dari pada masuk dalam
partai politik yang sudah ada. SBY merupakan figure militer yang
dikenal reformis yang mendorong diakhirinya keterlibatan militer
dalam politik. Pada masa pemerintahan Megawati, SBY diangkat
menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, dan pada masa Pemerintahan Gusdur menjadi Menteri Politik dan Keamanan (1999-2001).
SBY termasuk seorang nasionalis, baik dalam karir politik maupun militer, oleh karena itu Demokrat juga secara umum merupakan
partai yang tidak berbasis agama. Namun dalam hal pandangan
ideologi, Demokrat nampaknya ingin memberi ruang bagi semua
golongan agar bisa diakomodir. Oleh karena itu, Demokrat memper29
Lebih jelasnya lihat hasil rekapitulasi pemilu 1999 dan 2004 Provinsi Jatim, www.kpu.go.id
22
Orde Baru dibawah Soeharto, hanya ada tiga partai yang boleh ikut
pemilu yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Sebagian pemimpinnya berlatar
belakang Islam Tradisional NU, dan yang lain berasal Islam Modernis
Muhammadiyah. Setelah Orde Baru bubar, sebagian konstituennya
banyak yang beralih ke partai lain, utamanya partai yang punya
hubungan historis dengan NU seperti PKB. PPP berusaha menunjukkan karakter sebagai partai Islam dengan mempertahankan simbol
kabah sebagai lambang partai, mendorong dan mendukung diberlakukannya piagam Jakarta. Partai ini pada pemilu 1999 cukup populer
dengan posisi ke tiga dalam perolehan suara dan menjadikan Hamzah
Haz sebagai wakil Presiden mendampingi Megawati. Namun kinerja
partai ini terus mengalami kemunduran pada pemilu-pemilu berikutnya.
Setelah Hamzah Haz, kepemimpinan PPP di pegang oleh Suryadarma
Ali, yang menjadi menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
8. Partai Bulan Bintang (PBB)
Partai Bulan Bintang merupakan partai Islam Modernis lain
selain PKS dan PAN. Partai ini punya hubungan historis dengan Partai
Masyumi, hal ini bisa dilacak dari para pendiri partai yang merupakan
keturunan dari para tokoh Masyumi seperti Ahmad Sumargono,
Yusril Ihza Mahendra. Oleh karena itu basis pendukungan PBB banyak
datang dari pemilih di luar Jawa sebagaimana Masyumi tahun 1955.
Pada pemilu 1999 PBB menjadi salah satu partai yang lolos
electoral threshold 2,5%, namun pada pemilu 2004 partai ini dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi perolehan suara minimum
3% sebagaimana ketentuan baru threshold walau suaranya mengalami
peningkatan. PBB sangat kental dengan ideologi Islam, sebagaimana
yang terbaca dalam platformnya yang menjadikan Islam sebagai asas
partai.
9. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo tahun 2008 sebagai
sarana pencalonannya menjadi Presiden. Parbowo merupakan figur
yang terkenal dan kuat ketika Orde Baru, sebagai mantan Danjen
Kopasus dan menantu dari Penguasa Orde Baru Soeharto. Namun
demikian, Prabowo banyak dikaitkan dengan berbagai kasus HAM
yang membuatnya tidak popoler dalam pemilihan Presiden, ketika
28
30
1.1. Partai Politik Islam31: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok
Pemilih
Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai
politik Islam di inspirasi oleh adanya keinginan untuk membentuk
wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam pasca kemerdekaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang
ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November
1945 semua golongan ummat Islam sepakat untuk membentuk suatu
wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh. Sjafaat
Mintaredja, 1971).
Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi
kebersamaan ketiga ormas Islam ini mengalami perpecahan dalam
mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan dibentuknya kembali
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji
Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada
tahun 1953 disusul dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan
menjadi partai politik sendiri. Sampai pemilu 1955 praktis basis kelompok
pendukung Masyumi yang secara formal mendukung adalah
Muhammadiyah. Walapun pada akhirnya, Muhammadiyah harus
menyatakan diri mundur dari keanggotaan istimewa Masyumi
sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.32
Isu yang muncul dari partai Islam sering berhubungan dengan
upaya pembentukan negara Islam dan pelaksanaan syariat. Dalam
periode pasca pemilu 1955, pertarungan ideologis di arena pemilu
juga terjadi di arena parlemen ketika bersidang untuk menentukan
dasar Negara. Kelompok Islam mengajukan Islam sebagai Dasar
Negara, sementara Kelompok Nasionalis mengajukan Pancasila
sebagai Dasar Negara. Guna menunjukkan kedekatan ideologis
dengan kelompok Muslim, partai-partai Islam mendesain lambang
partai dengan simbol-simbol yang mencirikan nilai-nilai keislaman.
Dalam Pemilu 1955, secara Nasional, Partai Masyumi (Majelis
31
Yang dimaksud dengan parpol Islam dalam penelitian ini adalah parpol yang secara formal
mencantumkan Islam sebagai asas partai dan parpol yang secara sosiologis punya kaitan dengan
Islam seperti PAN dan PKB.
32
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat, Moh. Sjfaat Mintaredja, Masyarakat Islam dan Politik di
Indonesia, Jakarta, Permata Jakarta, 1971.
31
Situasi pada saat itu tidak memberikan pilihan lain bagi parpol kecuali mempusikan diri.
Kelompok Nasionalis yang disebut kelompok Demokrasi Pembangunan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 januari 1973. Sedangkan kelompok persatuan menjadi
Partai Persatuan Pembangunan. Sejak saat itu Indonesia mempunyai sistem tiga partai, yaitu:
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan partai Golongan Karya.
Walaupun dalam komunikasi politiknya Golkar tidak mau menyebutkan dirinya sebagai partai
politik, dalam setiap pemilu yang dilaksanakan pada masa Orde Baru selalu mencantumkan
dirinya hanya Golkar tanpa di embel-embeli dengan partai.
36
Secara formal berasas Islam artinya partai tersebut mencantumkan Islam secara formal sebagai
asas partai dalam AD dan ART nya.
35
Konsep politik berdasarkan pola aliran menjadi menonjol, tatkala kehidupan politik dalam
masyarakat bukan didasarkan pada ideologi politik belaka, melainkan antar hubungan organisasi-
38
39
Islam, dan mereka setuju dengan Piagam Jakarta. Di sisi lain PNI
dan PKI yang merupakan representasi dari kaum Abangan yang
Nasionalis, dan ditingkat legislatif tidak berkehendak untuk menjadikan negara Islam, dan berjuang agar Pancasila dipertahankan sebagai
Dasar negara.38 Pada pemilu 1999, 2004, 2009 pertarungan politik
yang berpusat pada pembentukan jati diri negara dalam hal ideologi
tidaklah menjadi tema persaingan partai politik. Persaingan antara
partai Islam dan Nasionalis lebih fokus pada bagaimana mengisi
negara Republik Indonesia ini dari perspektif ideologisnya masingmasing. Partai Islam berusaha agar Syariat Islam itu dapat teraktualisasi dalam kehidupan atau dalam hukum formal, seperti hukum
waris atau ekonomi Islam.39 Lebih jauh, pada pemilu 1955 spektrum
ideologi kiri dan kanan masih jelas. Kutub terkiri dari garis idologi
partai ditempati oleh PKI. Sementara pada pemilu pasca reformasi
kutub kiri menghilang, yang ada hanya partai-partai yang berideologi
tengah kanan.
Lebih jauh, sistem kepartaian yang dihasilkan dari pemilu yang
dilaksanakan di Indonesia bisa dilacak sebagai berikut: Pada tahun
1955, Indonesia mempunyai model sistem kepartaian yang
terpolarisasi dari hasil pemilu demokratis pertama sejak Indonesia
memproklamirkan diri sebagai negara merdeka Tahun 1945. Sistem
kepartaian selanjutnya adalah sistem tiga partai yang dihasilkan dari
pemilu yang dilaksanakan secara berturut-turut Tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, dengan suasana kehidupan demokrasi yang
sedikit banyak terkurangi akibat intervensi dari rezim otoriter Orde
Baru. Setelah terjadi reformasi politik 1988, sistem kepartaian yang
dihasilkan kembali terfragmentasi walau tidak menunjukkan adanya
polarisasi ideologis yang akut sebagaiman hasil pemilu 1955. Pemilu
demokratis pasca Orde Baru dilaksanakan Tahun 1999, 2004 dan
2009. Kembalinya pemilu demokratis, sedikit banyak punya dampak
38
Pertarungan ideology di tingkat legislative pasca pemilu 1955 lihat Herbert Feith, The Decline
of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca London: Cornell Univeristy Press, 1962.
39
Argument ini saya kemukakan karena pada pemilu 1999, walaupun partai-partai memberi
label sebagai Nasionalis atau Islam, namun secara ril isu-isu yang dimunculkan tidaklah terlalu
ekstrim. Walaupun demikian, lompatan ideology terjadi pada PPP yang lebih mengarah ke
kanan, sementara PKS lebih mengarah ke tengah. Lihat, Kuskridho Ambardhi, Mengungkap
Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009. hal 239.
40
40
Dekrit Presiden dikeluarkan atas dukungan TNI yang tidak senang dengan keadaan di Parlemen
yang terlalu banyak perselisihan dan pertentangan Ideolgi. Hal-hal yang terkait dengan persoalan
peran TNI pada masa kemerdekaan, bisa dilihat dalam bukunya Harold Crouch, Army and
Pilitic in Indonesia.
41
43
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi, dan menjadi pemilu paling
demokratis kedua stelah pemilu 1955. Menurut Data KPU, PDIP merupakan partai tertinggi
dalam peroleh suara yaitu sebesar 33,7%, diikuti Partai Golkar sebesar 22,4%, PKB sebesar
12,6%, PPP sebesar 10,7%, dan PAN sebesar 7,1%. Kalau dibandingkan dengan perolehan
suara hasil tahun 1997 era Orde Baru, mendapatkan suara paling kecil yaitu sebesar 3,1%, PPP
sebesar 22,4%, dan Golkar sebesar 76,5%. Sumber: Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dalam
Dwight Y. King, Half-Hearted Reform, Electoral Institution And The Struggle For Democracy
In Indonesia, USA: Praeger Publisher, 2003, hal. 32 tabel 2.3.
45
Pucuk pimpinan PPP dalam beberapa periode dipimpin oleh Idham Chalid yang merupakan
pimpinan puncak NU, namun secara geografis dia bukanlah kelahiran Jawa karena dia lahir di
Setui, Kalimantan Selatan pada tahun 1921. Setelah itu PPP dipimpin oleh Jaelani Naro, Hasan
Materium yang keduanya orang Sumatra. Sampai pada akhirnya terjadi upaya penggembosan
kepada PPP yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU, khususnya pada tahun 1987. Menurut
Bruinessen, pengaruh penggembosan NU atas perolehan suara PPP dalam pemilu ternyata
dramatis. Pada tiga pemilu sebelumnya, suara PPP tetap kurang lebih stabil. Pada pemilu 1971
keempat Partai Islam memperoleh 27,1% (dua pertiga di antaranya untuk NU), pada tahun
1977 pun ada pertambahan tipis menjadi 27,8%, dan pada tahun 1982 turun sedikit. Akan
tetapi, pada tahun 1987, perolehan suara PPP menurun menjadi 16%. Martin van Bruinessen,
NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru. Yogyakarta : LKIS, 1994.
44
Jumlah Daerah Pemilihan (DP) yang ada di Kabupaten Malang berdasarkan Rakernis yang
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Provonsi Jawa Timur pada hari rabu tangggal 1
oktober 2003 sebanyak 7 daerah pemilihan dengan alokasi kursi 6 (enam) hingga 7 (tujuh)
setiap Daerah Pemilihan (DP).
47
Sumber: KPUD Kabupaten Malang
45
46
50
51
Ibid.
Ibid.
47
48
Hasil observasi penulis di beberapa TPS, khusunya di wilayah Dusun Caru Desa Pendem,
Kecamatan Junrejo, pada saat penghitungan suara di TPS.
56
Selain tersebut di atas, hasil wawancara dengan Tono, 45 tahun, di Ampel Dento Kabupaten
Malang, rendahnya angka non partisan karena masyarakat masih menganggap bahwa pemilu itu
merupakan kewajiban. Oleh karena itu banyak masyarakat yang datang ke TPS untuk
menyalurkan aspirasinya.
49
50
60
Ibid.
Ibid.
62
Patut diketahui, di Kota Malang banyak sekali kebijakan-kebijkan yang dalam pandangan
pemilih kurang populer, seperti melanggar RUTRW Kota Malang yang dianggap hanya untuk
memenuhi kepentingan pemilik modal sehingga merusak dan menghabiskan lahan yang
diperuntukan konservasi hutan kota. Salah satu kebijakan yang cukup mendapat atensi
masyarakat adalah dibangunnya MATOS (Malang Town Square) yang menurut para pemerhati
lingkungan lahan yang dipakai merupakan area pendidikan.
61
51
52
BAB II
SISTEM KEPARTAIAN
DAN SISTEM PEMILU
53
KOMPETENSI
Dalam bab ini pertama, mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep dan definisi
sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia. Setelah memahami konsep dan definisi
tersebut, lantas mahasiswa diharapkan dapat memahami hubungan kausalitas antara
sistem pemilu dan sistem kepartaian yang terjadi. Kedua, mahasiswa diharapkan
memahami bekerjanya sistem pemilu baik itu closed list mapun open list dan
dampaknya pada perolehan suara partai. Selain itu, mahasiswa diharapkan dapat
memahami bekerjanya partai politik dalam merespon realitas masyarakat dan kondisi
hasil pemilu yang terjadi baik itu dalam tataran platform maupun program, baik
sebelum maupun saat kampanye pemilu
54
BAB II
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
DALAM rangka memperbaiki sistem demokrasi pasca reformasi, partai
dan pemilu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1999 tentang pemilu dan partai politik dilakukan penataan
ulang. Menghadapi pemilu tahun 2004, maka diberlakukan undangundang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 tentang
Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 2002 disebutkan bahwa: (1)
Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Akta notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memuat anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional.
(3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat:
a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan peraturan perundang-undangan lainnya;
b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh
persen) dari jumlah propinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah
kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota yang bersangkutan;
c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan nama,
55
Di Malang Raya, koalisi untuk kepentingan pilkada sampai tahun 2008 sering dilakukan
diantara tiga partai besar pemenang pemilu sperti PDIP, PKB, dan Golkar. Dalam prakteknya
koalisi terjadi antara PDIP dan PKB, PDIP dan Golkar, namun jarang terjadi koalisi antara
Golkar dan PKB. Dalam rangka memenangkan perebutan kekuasaan di eksekutif, mau tidak mau
haru melibatkan PDIP karena konsistensi dukungan pemilihnya cukup tinggi disamping secara
kuantitas merupakan pemilih mayoritas. Oleh karena itu sampai penelitian ini dilakukan, semua
58
59
2. Sistem Pemilu
Setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998, Indonesia sudah
menjalankan tiga kali pemilihan umum, yakni: Pemilu 1999, Pemilu
2004, Pemilu 2009. Pada Pemilu 1999, puluhan partai politik bermunculan meskipun hanya 48 partai politik yang dapat ikut pemilu.
Dimana sistem yang dipergunakan pada seluruh pemilu masa Orde
Baru sampai Pemilu 1999 adalah sistem proporsional dengan daftar
tertutup (PR Closed List). Persoalan yang paling menonjol di lapangan
terkait dengan sistem pemilu closed list ini adalah konflik dalam
penentuan calon dan stambus accord (suara sisa).
Pemilu 2004, berdasarkan UU No. 12 / 2003 menggunakan
sistem proporsional dengan daftar terbuka (PR Open List). Akan
tetapi, karena penetapan calon terpilih masih dibatasi dengan perolehan suara sebesar Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam
kenyataannya di Malang Raya, sistem ini hampir sama dengan daftar
tertutup karena tidak ada yang memperoleh suara memenuhi BPP
sekalipun calon dari partai besar. Seluruh anggota DPRD Malang Raya
yang terpilih, lolos karena posisinya pada nomor urut atas (nomor
jadi) dalam daftar calon. Data KPU (2004), secara Nasional calon
anggota Dewan Pusat yang memperoleh suara memenuhi BPP adalah
calon dari PKS, Hidayat Nur Wahid dengan perolehan suara 262.019
dari dapil DKI II dan calon dari Partai Golkar, Saleh Djasit dengan
perolehan suara 195.348 dari dapil Riau.
Dalam Pemilu 2004 yang diikuti 24 partai politik, banyak hal
baru yang diperkenalkan selain pemilihan anggota legislatif (DPR/
DPRD), yaitu sistem pemilihan presiden langsung dan pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pemilu legislatif
DPR/DPRD digunakan sistem proportional list atau open list system
dimana pemilih wajib mencoblos tanda gambar partai atau tanda
gambar dan nama calon legislatif.3 Sistem pemilu yang digunakan
untuk memilih anggota DPD adalah simple majority dengan multimember
constituency (berwakil banyak).
Walaupun dalam pemilu 2004 sistem pemilu menggunakan proporsional daftar terbuka, namun
caleg yang lolos menjadi anggota Dewan secara langsung harus melampaui Bilangan Pembagi
Pemilih (BPP). Sementara apabila caleg tidak sampai pada BPP, maka yang akan lolos menjadi
anggota Dewan adalah calon yang berada pada nomor urut di atasnya.
62
daftar terbuka ini, maka menjelang pemilu, MK mengabulkan gugatan tersebut. Maka pada pemilu 2009 diberlakukan sistem pemilu
proporsional dengan daftar terbuka secara penuh.4
Dibalik dikabulkannya guguatan ke MK mengenai BPP, ada
nuansa kekhawatiran dari partai-partai politik yang menganggap ada
partai lain yang sudah secara tidak langsung menerapkan sistem suara
terbanyak. Dalam hal ini, jauh sebelum pemilu 2009 dilaksa-nakan,
ada sinyalemen bahwa PAN sebenarnya telah menerapkan aturan
open list secara penuh. Kondisi ini teresonansi ke partai-partai lain untuk
memberlakukan hal serupa, karena dianggap kalau tidak menjalan
upaya seperti PAN, maka akan mempengaruhi semangat calon dalam
partainya mengendur. Sebagaima diketahui, caleg PAN menjadi lebih
heterogen karena banyak tokoh populer baik dari kalangan politisi,
akademisi, bisnismen, maupun artis.
B. Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Upaya Partai
1. Sistem Kepartaian dan Upaya Partai
Pada awal reformasi, semua partai belum punya keberanian
politik untuk membangun partai yang keluar dari pakem ideologis.
Oleh karena itu mereka berlomba-lomba memanfaatkan basis material
pemilih yang sejalan dengan politik aliran yaitu Islam dan Nasionalis.
Dengan demikian, partai-partai yang ada hampir dipastikan
mengembangkan tipe partai Massa. Dalam bersaing di pemilu, partaipartai berusaha mengemas ideologi dengan sebaik-baiknya. Walaupun
Partai Golkar sebagai partai kader yang dalam aliran Gerrtz, pemilihnya masuk dalam kategori priyayi, namun secara kultur priyayi itu
lebih condong ke Nasionalis.5
4
Akibat putusan MK yang mengubah system pemilu dari closed list proportional representation
menjadi open list proportional representation, menurut Bayu Dardias mengakibatkan beberapa
hal: Pertama berubahnya perilaku politik caleg dari yang semula berkmapanye untuk partai
menjadi berkampanye untuk diri sendiri. Kedua, lemahnya control partai terhadap kadernya.
Anggota DPR akan lebih memperhatikan aspirasi konstituen yang memilihnya daripada instruksi
partai sehingga fungsi fraksi di DPR melemah. Ketiga, munculnya free rider dalam politik
Indonesia yang bisa dilihat dari banyaknya public figures terpilih tampa melalui kaderisasi
partai yang ketat. Keempat, makin menyebarnya veto politik, sehingga semakin sulit untuk
melakukan reformasi akibat harus bernegosiasi dengan semua pemegang veto. Kelima,
terancamnya desain representasi perempuan. Bayu Dardias, Pemilu dan Putusan Hukum,
Kadaulatan Rakyat, 30 Juli 2009.
5
Perbedaan antara Abangan dan Priyayi hanyalah terletak pada etiket Jawa. Priyayi tegolong
64
punya kultur berbahasa yang stratified berdasarkan stratifikasi social, sementara Abangan tidak.
Namun baik Abangan maupun Priyayi dalam hal beragama hampir mirip, dimana keduanya
beragama secara minimal dan punya kepercayaan yang bersumber dari ajaran Hindu seperti
animisme dan dinamisme.
65
langkah praktis pragmatis. Dalam pemilu 1999 dan 2004, partai politik
belum punya pengalaman riil dalam berhubungan dengan pemilih.
Oleh karena itu, salah satu langkah bijak yang diambil adalah dengan
mendasarkan diri pada realitas politik yang pernah ada. Ideologi
menjadi salah satu komponen utama dalam upaya menggaet simpatisan pemilih dalam pemilu. Hal ini juga diakibatkan karena basis
material yang lain seperti kelas, belum berkembang di negara kita.
Oleh karena itu basis material yang bersumber dari primordialisme
lebih nyata dan lebih realitis untuk dijadikan sebagai pondasi pembangunan partai politik.
Oleh karena itu tidak salah apabila kebangkitan partai-partai
politik pasca reformasi sering disebut kalangan pengamat tertentu
sebagai bangkitnya politik aliran, yang tentunya terkait dengan
tipologi Santri, Abangan, priyayi dalam masyarakat Jawa sebagai
mana dirumuskan Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Meningkatnya ketegangan antara parpol-parpol Islam ditambah lagi dengan
seruan MUI dan ormas-ormas Islam untuk tidak memilih parpol lain
(PDI-P) yang banyak menampilkan caleg non-Muslim seakan-akan
memperkuat asumsi tentang kembalinya politik aliran ke kancah
politik Nasional (Azymardi Azra, 2002).
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PKNU, Partai Damai
Sejahtera (PDS) adalah beberapa contoh partai yang sangat berkaitan
erat dengan Agama. PPP, PKS mereka nyata-nyata memproklamirkan bahwa mereka adalah partai agama. Dengan tujuan meyedot
massa dari golongan yang fanatik agama, atau dengan kata lain orang
yang lebih sreg atau cocok dengan segala sesuatu yang berbau agama.
Dengan harapan orang tersebut akan memililih partai yang ada
embel-embel atau simbol agama, karena dianggap mewakili kepentingan mereka yang beragama, khususnya Islam.
Dari 48 partai politik pada pemilu 1999 tercatat ada 10 partai
politik yang secara formal berasaskan Islam. Sementara yang lainnya
berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan
antara Pancasila dan Islam. Kategorisasi ideologis yang didasarkan
pada asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak
akan mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang
bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun
66
67
68
69
pemilih selain Islam dan Kristen sangat sulit dideteksi kemana pilihan
politiknya berlabuh, akan tetapi yang jelas mereka sangat sulit untuk
memilih partai Islam atau pun partai Kristen seperti PDS.
Berdasar kenyataan tersebut, penulis berupaya untuk mengelompokan ideologi partai politik, khususnya partai politik perserta
pemilu 2004, ke dalam empat kategori, yaitu partai yang berideologi
Islam, Partai yang berideologi Nasionalis Sekuler, Partai yang
berideologi Nasionalis Religius, serta partai yang berideologi Kristen.
Walau pada pemilu 1999 dan 2004, partai-partai Islam berupaya
keras berjualan dengan berbagai iklan yang menjanjikan seperti
Syariat Islam, namun fakta hasil pemilu menunjukan bahwa masyarakat sudah tidak lagi begitu terpengaruh dengan ide Syariat Islam.
Hal ini dibuktikan dari hasil perolehan suara dalam pemilu untuk
partai-partai Islam yang getol meng-isu-kan Syariat Islam, seperti PPP,
yang tidak mendapat suara besar. PKB yang nota bene sebagai partai
yang berasas Nasionalis (Pancasila) dan tidak meng-gunakan isu
Syariat Islam justru banyak didukung oleh pemilih Islam, khususnya
Santri Tradisionalis yang cenderung umumnya sering terpengaruh
oleh isu Syariat Islam.
Data Lapangan menunjukan bahwa perolehan hasil suara
pemilu 2004, Partai Nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas perolehan suara di
Malang Raya dengan perincian sebagai berikut: Kota Malang 101.732,
Kabupaten Malang 357.008, dan Kota Batu 3.299. Sementara partai
agama, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menempati
posisi ke dua, dengan perincian Kota Malang 68.321, Kabupaten
Malang 316.665, dan Kota Batu 4.209.
Di Malang Raya PDI-P pada pemilu 1999 dengan mengemas
isu perjuangan wong cilik memperoleh suara hampir 40 % dengan
perincian: 41,22% di Kota Malang, 38,47% di Kabupaten Malang.9
Oleh karena itu tidak salah apabila ada pendapat yang mengatakan
Dengan realitas seperti itu, tampaknya sulit bagi partai Islam untuk mendapatkan popular
support. Jika mereka memasang isu-isu umum, maka kekuatan politik Nasionalis akan
menggilasnya. Tetapi jika mereka menggemakan isu-isu parokial seperti penerapan Syariat
Islam, dukungan politiknya menjadi sempit. Pendeknya, perjalanan partai-partai Islam akan
selalu berada pada situasi dilematis tersebut.
70
71
Diktator
Massa
Catchall
Kader
Murni
Kepentingan:
Kekuasaan,
Keamanan,
Pendapatan,
Kehor matan,
dll.
Proto
73
74
Kasus dalam pilkada Jatim, dalam mengusung calon gubernur pasangan calon KhopipahMujiono, untuk memenuhi syarat minimal pencalonan harus menyatukan koalisi yang secara
ideologis berseberangan yaitu PPP dan PDS. Dimana PPP secara ideologis menyatakan diri
sebagai partai Islam seperti yang dicantumkan dalam asas partai, sementara PDS merupakan
partai yang lahir dari kalangan Nasrani walaupun secara asas menggunakan Pancasila.
76
84
BAB III
MEMAHAMI ARTI PENTING
PARTAI BAGI PEMILIH
85
KOMPETENSI
Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan apa makna pilihan partai
bagi masyarakat baik dari sisi ideologis, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi.
Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bagaimana respon partai
terkait dengan pemaknaan masyarakat terhadap pilihan partai politik tersebut. Lebih
jauh, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bagaiama dampak yang terjadi dari
pemahaman masyarakat terhadap partai politik terhadap kinerja partai politik.
Terakhir, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang pola hubungan partai
dan pemilih yang didasarkan pada pemaknaan pemilih pada partai politik.
86
BAB III
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI
BAGI PEMILIH
PEMAHAMAN adalah gambaran dan pemahaman seseorang tentang
sesuatu yang bersifat subjektif. Karena bersifat subjektif, maka
gambaran atau pemahaman seseorang mengenai sesuatu tersebut
akan berbeda satu sama lain bergantung kepada pengetahuan,
pengalaman, keyakinan serta kondisi sosial budaya masing-masing.
Kalau dikaitkan dengan pemahaman partai, maka dapat diartikan
sebagai gambaran dan pemahaman seseorang mengenai partai sesuai
dengan pengetahuan, pengalaman, keyakinan serta kondisi sosial
budaya dimana orang tersebut berada. Terkait dengan penelitian yang
dilakukan, pembahasan dalam bab ini akan menjawab pertanyaan
apa pemahaman partai bagi pemilih?.
Guna menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka perlu
terlebih dahulu memahami dan mengetahui kondisi sosial ekonomi,
bahasa, kebiasaan, budaya, keyakinan sosial-religi, serta perilaku
keberagamaan seseorang, kelompok, atau warga setempat. Dengan
memahami kondisi sosial ekonomi serta budaya warga setempat akan
sangat berguna untuk memahami pandangan dan pemahaman
subjektif tentang partai, walaupun orang yang bersangkutan tidak
menyatakannya secara langsung. Sebagai contoh, perilaku pendukung
PKB yang rela untuk datang ke tempat kampanye walau dengan
biaya sendiri dan bahkan berani mati untuk membela PKB, bukan
berarti partai yang baik sehingga diperhatikan konstituennya. Namun
bisa dipahami sebagai ketaatan beragama. Bagi kalangan Nahdhilyin
87
mudah dibedakan dengan mereka yang bukan Santri. Cara berpakaian Santri Tradisional sangat khas, dimana sarung, baju koko, peci,
sorban menjadi ciri khas dari Santri Tradisional. Namun hal yang
paling umum, mereka yang tergolong Santri Tradisional, adalah
pemakaian sarung dalam kehidupan keseharian mereka.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa orang memilih PPP
masa Orba karena merupakan partai Islam dan ada gambar kabah
yang menjadi simbolnya. Oleh karena itu banyak pemilih Tradisional
memilih PPP walaupun banyak tekanan dari aparat maupun pemerintah. Banyak dari masyarakat yang rela dan setia untuk mendukung
PPP karena mereka menganggap dengan memilih PPP berarti sudah
bisa menjalankan dan membela Islam. Apalagi dalam gambar PPP
ada kabah nya yang merupakan simbolisasi dari Islam. Melihat kenyataan ini pemerintah Orba merasa perlu untuk melakukan rekayasa,
sehingga pemerintah meminta lambang kabah diganti.1
Pada pemilu 1999 dan 2004, walaupun PPP masih ada, namun
para pemilih di Malang Raya yang berbasis Islam Tradisional mengalihkan pilihan politiknya ke PKB. Alasan yang muncul kenapa mereka
tidak memilih PPP dikarenakan pimpinan PKB merupakan tokoh dan
sekaligus pimpinan teras NU yang mempunyai garis keturunan
langsung dari K.H. Hasyim Ashari yaitu Abdurahman Wahid atau yang
di kenal dengan Gus Dur. Padahal PKB yang dideklarasikan oleh
Gus Dur ini bukan merupakan partai Islam, karena dalam AD ART
nya tidak mencantum Islam sebagai asas tapi Pancasila. Namun bagi
pemilih Santri Tradisional itu tidak penting, karena yang mereka lihat
bukan substansi dari partai itu melainkan siapa yang duduk dalam
kepengurusan partai itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
1
Ketika jaman Orde Baru banyak pemilih Santri Tradisional memilih PPP dengan alasan bahwa
partai ini merupakan satu-satunya partai Islam. Apalagi ketika PPP di pimpin oleh Idham
Cholid yang nota bene sebagai pemimpin ormas Islam Tradisional Nahdlatul Ulama (NU).
Banyak para kader NU yang berjuang habis-habisan untuk mengkampanyekan dan memenangkan
PPP dalam setiap pemilu yang dilaksanakan. Dorongan kuat dari pemilih Tradisional untuk
membela PPP didasarkan pada keyakinan bahwa membela PPP sama dengan membela Islam,
karena PPP merupakan partai Islam yang disimbolisasikan dari pemimpin teras partai yang
merupakan tokoh-tokoh Islam khususnya NU. Dalam memperjuangkan PPP mereka tanpa
pamrih, setiap kegiatan yang mereka lakukan untuk mengkampanyekan PPP tanpa bantuan
apapun mereka jalan, bahkan untuk mendukung dan memenangkan PPP banyak pendukungnya
yang rela urunan sendiri, bahkan mereka berani mati untuk membela PPP.
94
yaitu PNI pada masa Orla dianggap sebagai partainya wong cilik.
Pada saat Orde Baru, PDI, walaupun tidak selamanya Megawati jadi
pimpinan di partai namun keluarga Soekarno tetap dipakai sebagai
vote getter karena pimpinan teras PDI pada saat itu menyadari betul
bahwa ruh partai ini adalah keluarga Soekarno.
Aguk, salah satu simpatisan PDIP menyampaikan kepada
penulis terkait dengan pilihan masyarakat terhadap partai berlambang kepala banteng sebagai berikut: Para pemilih yang mencoblos
PDI-P lebih banyak dipengaruhi oleh figur Pak Karno, sedangkan
Megawati sendiri tidak begitu dijadikan figure, dia diterima karena
sudah berjuang cukup lama. Oleh karena itu ketika Megawati menjadi
presiden dianggap tidak menjalankan komitmennya untuk memperbaiki wong cilik, maka pada saat pemilu presiden banyak dari pemilih
PDIP tidak mencoblos Megawati.
Sementara banteng yang menjadi gambar dalam partai PDIP,
bagi kalangan pemilih Abangan dianggap sebagai simbol perjuangan
dari kalangan orang kecil. Oleh karena itu, simbol banteng ini tidak
hanya dijadikan simbol partai tetapi juga dipakai dalam setiap
kegiatan yang pada intinya menunjukan identitas kelompok marginal.
Dalam bidang kesenian yang berasal dari kalangan Abangan, salah
satu acara yang sering ditampilkan dalam setiap acara tujuh belas
agustusan adalah bantengan.2 Karena para pemilih Abangan memahamani partai sebagai pembela wong cilik, maka partai yang menjadi
representasi dari mereka apabila mendapat perlakukan tidak adil dari
penguasa akan segera mendapat reaksi dengan membangun ikatan
solidaritas yang lebih kuat untuk mendukung partainya. Hal ini
terbukti dengan menang mutlaknya PDIP pada pemilu 1999, karena
pada saat Orde Baru, Megawati yang menjadi pemimpin partai di
kuyo-kuyo oleh pemerintah.
Dari hasil pengamatan penulis ketika menyaksikan acara tujuh belasan, tradisi kesenian bantengan
ini menjadi suguhan utama dari kalangan masyarakat Abangan yang umumnya kelompok marginal.
Dalam iring-iringan karnaval, barisan terdepan diisi oleh orang-orang yang membawa prototife
kerbau yang terdiri dari kepala kerbau yang terbuat dari kerdus dengan kain hitam dibagian
badannya dan dibelakangnya ada semacam ekor. Setelah itu dibelakang orang-orang yang
berpakaian dan berdandan layaknya petani, buruh, atau apapun yang menurut mereka
merepresentasikan kaum marginal.
97
di DPR. Mereka memilih partai Islam tidak lebih karena takut tidak
disebut seorang Muslim atau takut dikucilkan oleh kelompoknya.
Dengan demikian, pilihan partai politik Islam tidak menjamin mereka
sadar bahwa hal itu merupakan konsekuensi dari pemahaman
keberagamaan mereka.
Pemilih yang pada pemilu baik 1999 maupun 2004 mencoblos
partai Islam cenderung ikut ikutan saja, takut mereka tidak disebut
Islam atau dikucilkan oleh kelompok. Para pemilih tidak bisa membedakan mana wakil-wakil yang duduk di DPR itu yang merupakan
wakil Partai Islam atau bukan, karena mereka sama sama suka korupsi.
Padalah dalam ajaran Islam sangat memperhatikan sikap dan
perilaku amanah, tidak boleh berbuat merugikan orang lain.
Faktor keluarga dalam pilihan partai juga sangat kental. Sebagai
mana penuturan salah seoarang warga yang menjadi pemilih PDIP
pada pemilu 2004, - Saya memilih PDI-P karena disini umumnya PDIP, sodara saya Sony sebagai kader PDI yang mengkoordinir agar
mencoblos PDI. Kalau ada acara kampanye orang-orang yang akan
ikut diberi uang transport dan mereka yang punya sepeda motor
dikasih uang bensin.
Begitupun juga kasus pemilih Partai Golkar. Mereka yang
memilih Golkar disebabkan pengaruh keluarga, walaupun sekarang
mereka sudah tidak menjadi pegawai negeri sipil, namun banyak
keluarga yang sudah tersosialisasi cukup lama dengan Golkar pada
akhirnya semua keturunannya banyak yang memilih Golkar dalam
pemilu. Kita ketahui bahwa pada jaman Orde Baru mereka yang
punya jabatan di pemerintahan secara inplisit diwajibkan untuk
memenangkan Golkar, bahkan banyak tekanan dari aparat kepada
masyarakat pada saat itu untuk mencoblos Golkar. Disamping itu
ABRI di desa dengan memelalui babinsa, juga melakukan tekanan
tekanan sehingga babinsa menjadi alat pressure pada masyarakat.
Lebih jauh dapat dikemukakan bahwa sebagian masyarakat
sangat concern akan pentingnya kebersamaan dalam lingkungan
mereka. Mereka sadar bahwa kebersamaan merupakan bagian dari
pengamanan sosial bagi mereka, ketakberdayaan secara individu
dalam melangsungkan kehidupan mereka telah menjadi bagian yang
diyakini dalam alam bawah sadar mereka. Oleh karena itu, mereka
cenderung akan mengikuti pola umum dalam masyarakat karena
102
Anderson menyebutkan bahwa dalam komunitas Islam, orang yang mempunyai status tertinggi
adalah mereka yang berpengetahuan tinggi mengenai hukum agama dan mereka yang mengajarkan
ajaran Islama. Lihat Benedict R. OG. Anderson Culture and Politics in Indonesia (Ithaca and
London: Cornell University Press, 1990) terutama Hlm. 61.
104
Pemaham dan pemahamanan ideologi oleh pemilih bukannya ditindaklanjuti dengan melakukan pendidikan politik, namun lebih banyak
direspon dengan doktrinasi politik yang kadang menimbulkan sikap
fanatisme besar kepada partai, utamanya dari kalangan partai yang
berbasis Islam. Sementara pemahaman sosial kemasyarakat dan
ekonomi, lebih banyak ditindak lanjuti dengan berbagai program yang
sifatnya karikatif dan berbiaya tinggi.
Kenyataan tersebut di atas tidak lepas dari kenyataan bahwa
bekerjanya partai politik dalam sistem politik yang belum banyak
beranjak dari fungsi praktis jangka pendek sebagai alat meraih
kekuasaan. Kondisi ini sebagaimana dikemukakan mantan Ketua
Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung terhadap Partai Golkar
era kepemimpinan Jusuf Kalla pada saat Ujian Terbuka Program
Doktor UGM, awal September 2007. Menurut Akbar Tandjung,
Terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada
tahun 2004 menunjukkan, Partai Golkar masih dipenuhi orang yang
sangat berorientasi pada kekuasaan. Fenomena yang dikemukakan
Akbar Tandjung bisa mewakili watak parpol Indonesia secara umum.
Lebih jauh, partai menjadi alat negosiasi dengan penguasa untuk
mencapai kompensasi politik ketimbang benar-benar memperjuangkan aspirasi konstituen. Di sisi lain, fungsi mendasar sebuah parpol,
sebagai sarana artikulasi, agregasi, lebih-lebih sarana pendidikan
politik yang sehat bagi masyarakat sepertinya kian jauh dari harapan.
Ketidakmampuan parpol dalam mengorganisasikan diri, meredam
konflik internal, dan menumbuhkan militansi positif, pada saat yang
sama agaknya telah menumpulkan kemampuan mereka dalam
menerjemahkan kehendak politik publik dan memberi pendidikan
politik yang sehat kepada masyarakat. Wadah organisasi yang demokratis, sehat, dan bersih belum banyak tercermin pada partai politik
yang mapan maupun beberapa partai yang baru. Ketidakmampuan
menyerap aspirasi publik itu rupanya terus berlanjut saat parpol
menjalankan fungsi agregasi politik mereka sebagai wakil rakyat di
lembaga legislatif. Disamping itu konflik internal, perekrutan
keanggotaan dan kaderisasi yang tidak lancar serta ketergantungan
pada sosok elit partai menghiasi intenal partai.
110
111
karena banyak calon yang diajukan tidak punya treck record yang jelas.
Penjaringan calon-calon yang akan diajukan dalam pemilu jauh
dari demokrasi karena penjaringan dilakukan di dalam mekanisme
formal internal partai. Penjaringan di internal partai ini sarat dengan
intervensi kepentingan personal dan kelompok sehingga sangat
bergantung pada kedekatan personal dan hubungan baik dengan
pimpinan teras parpol. Banyak calon yang terdaftar dalam urutan
jadi (pada pemilu 1999 dan 2004) merupakan orang-orang yang
punya hubungan dengan petinggi partai politik, atau merupakan
orang yang didesakan dari kelompok organisasi tertentu yang dianggap basis konstituen mereka, termasuk juga adanya unsur uang dalam
pencalonan. Walaupun dalam lingkungan internal masing-masing
partai ada aturan main untuk menseleksi calon dengan berbagai
kriteria, namun dalam kenyataannya aturan tersebut kadang diabaikan atau dimanipulasi. Sebagai kekecualian, rekrutmen calon yang
ada di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), proses pencalegan sangat ketat
karena penjaringannya dimulai dari tingkat bawah dengan aturan
yang ketat.
Kondisi tersebut merupakan bias dari perilaku elit partai politik
yang terjadi masa Orde Baru yang sarat dengan nepotisme. Masa
Orde Baru, proses rekruitmen sarat dengan restu, surat sakti,
nepotisme dan intervensi pemerintah. Partai politik bukan untuk
menjaring kandidat anggota legislatif yang dapat menyuarakan
aspirasi rakyat, namun hanya akan dijadikan sebagai legitimator bagi
kebijakan rezim. Dengan demikian tidak dibutuhkan orang-orang
yang punya idealis dan kemampuan yang baik, cukup dengan hanya
sikap kooperatif dengan penguasa saja. Di sisi lain, ada hal yang cukup
penting untuk dijadikan argumen dari rendahnya kinerja partai politik
pasca Orde Baru adalah tingginya ketergantungan pada tokoh partai.
Sebagai contoh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ada
Megawati, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada Gus Dur, Partai
Amanat Nasional (PAN) ada Amin Rais, dan Partai Demokrat ada
Soesilo Bambang Yudhoyono.
Berdasar hasil temuan di lapangan, kemandegan proses kaderisasi di dalam partai politik ini telah menimbulkan kekecewaan dalam
masyarakat. Kekecewaan ini diwujudkan dengan banyak kader
partai yang beralih ke partai lain karena dalam partainya merasa
116
117
Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai politik Islam di inspirasi oleh
adanya keinginan untuk membentuk wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam
pasca kemerdekaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November 1945 semua golongan ummat Islam
sepakat untuk membentuk suatu wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh.
Sjafaat Mintaredja, 1971). Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organisasi
Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi kebersamaan ketiga ormas
Islam ini mengalami perpecahan dalam mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan
dibentuknya kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji
Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1953 disusul dengan
keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi partai politik sendiri. Dan akhirnya, sebagai
benteng terakhir, Muhammadiyah menyatakan diri untuk tidak lagi menjadi anggota istimewa
dari Masyumi sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.
5
Fenomena terseretnya gerbong agama dalam politik adalah fenomena Islam seacara umum.
Dengan doktrin agama dan negara, gagasan Islam politik mendapatkan legitimasi teologis dan
historis.
118
politik ini mengalami kemunduran dalam hal jumlah suara. Hal yang
menarik dalam pemilu 2004 ini adalah munculnya Partai Keadilan
Sejahtera yang pada pemilu 1999 bernama Partai Keadilan. PKS
mengalami peningkatan suara yang signifikan. PKS, berbeda dengan
PAN dan PKB yang menyatakan dirinya sebagai partai terbuka,
dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai, PKS
secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai.
Kemunculan PKS sebagai partai papan tengah baru tidak lepas dari
turunnya suara PAN pada pemilu 2004. Banyak pemilih yang pada
pemilu 1999 mencoblos PAN, mengalihkan pilihan politiknya pada
PKS karena dianggap lebih menjanjikan dalam perjuangan nilai-nilai
keislaman.
Hal yang patut di perhitungkan adalah kemenangan PKS sebagai
Partai yang mencantukam secara tegas Islam sebagai asas partai yang
dalam pemilu 2004 mengalami perolehan suara. Walaupun PKS tetap
teguh dengan asas Islam dan menjadikannya sebagai partai dawah,
namun upaya yang dikembangkan tidak hanya mengandalkan sisi
ideologis. PKS yang didukung oleh kaum muda kampus yang militan,
disamping mengadakan kaderisasi dan rekruitmen secara massif dari
kampus ke kampus, dan dari mesjid ke mesjid dengan media pendidikan agama, juga melakukan berbagai upaya yang simpatik berupa
program sosial. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh PKS
dengan upaya pendekatan sosial, juga telah merespon pemahaman
yang berkembang pada partai politik dari pemilih yang tidak hanya
pada aspek ideologis. Pemahaman sosial kemasyarakan dan pemahaman ekonomi yang ada pada masyarakat telah tertangkap oleh PKS,
dengan demikian tidaklah mengherankan apabila PKS pada pemilu
2004 mendapatkan suara yang signifikan yaitu sebesar 7,5 %. Walaupun demikian, perolehan suara PKS sebagai representasi dari Islam
Modernis masih kalah dari PKB yang mendapat suara 10,57 % dan
PPP 8,15 %, yang merupakan representasi dari Islam Tradisional.
Sementara partai lain, seperti PKB, maupun PPP, pada umumnya
jarang mengadakan program sosial, yang ada adalah pengajian yang
mendatangkan tokoh atau penceramah dari luar daerah yang sudah
terkenal. Namun ada, satu dua orang warga yang menyampaikan
bahwa PKB pernah mengadakan acara dangdutan, khususnya pada
ada kampanye terbuka. Mereka menyebutkan bahwa dia juga pernah
119
datang ke acara kampanye itu dengan menyewa mobil, namun kedatangan saya ke sana bukan untuk melihat dangdutan namun untuk
mendengarkan ceramah, karena di sana hanya ada dangdutan, kami
beserta rombongan pulang lagi. Lantas saya tanyakan apa dapat
bantuan dana untuk bensin?, mereka menyampaikan bahwa untuk
datang ke acara kampanye PKB tidak ada dana dari partai, kami
semua biayai sendiri. Lantas dia menyebutkan dengan nada rendah,
Yang saya tahu Golkar dan PDI sangat loyal dengan kegiatan dan
dana, beda dengan PKB dimana kalau ada kegiatan kampanye jarang
ada bantuan dana, ini juga atas himbauan kyai sehingga kami mau
pergi secara sukarela mengikuti kampanye walau pake dana sendiri.
Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa upaya politik yang dilakukan partai berbasis Islam tidak layak
lagi kalau hanya dengan mengadalkan kekuatan ideologis. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penurunan suara partai Islam jika dibanding
dengan kekuatan Islam pada masa Orde lama. Disamping itu juga
menjadi petujuk bahwa apa yang dilakukan oleh Orde Baru, dengan
berbagai regulasinya, telah berdampak pada keberadaan politik Islam
sekarang ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan R. William Liddle
yang yang menyatakan bahwa dengan berkembangnya gerakan Islam
kultural pada masa Orde Baru, kekuatan Islam politik tidak akan
muncul lagi. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kelompok skripturalisme
(kelompok Islam formalistic) tidak akan berkembang, hal ini karena
ada tiga hambatan yang akan dihadapi, yaitu : (1) komunitas
Abangan, yang meski semakin sedikit namun masih tetap; (2) Santri
Tradisionalis yang tetap akomadisionis, dan (3) kalangan Modernis
sendiri. Oleh karena itu banyak partai Islam pada pemilu 2009 merubah stateginya dengan cara lebih moderat dalam perjuangan ideologi,
disamping itu dikembangkan upaya lain terutama pendekatan sosial
ekonomi dalam bentuk program yang lebih kongkrit dan dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat seperti bakti sosial, bantuan
pembangunan lingkungan dan lain-lain.
3. Pemahaman Partai dan Upaya Partai Nasionalis
Partai Nasionalis di era multipartai baik 1999 maupun 2004,
terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu partai Nasionalis Sekuler dan
Partai Nasionalis Religius. Pada pemilu 2004 yang termasuk Partai
120
Pada Tahun 1955 dan pemilu Tahun1999 ada perbedaan komposisi partai politik, dimana
pada pemilu 1955 ada partai kiri yang mapan seperti PKI dan PSI, sementara pada pemilu
1999, partai kiri yang mapan boleh dibilang absen sama sekali, setelah dihancurkannya Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia
(PSI) oleh Sukarno dan juga Suharto. Lantas kemanakah larinya suara dari partai yang berhaluan
kiri ini? Kalau dilihat dari hasil perolehan suara, jelas bahwa larinya suara dari partai yang
berhaluan kiri ini sebagian besar ke PDIP dan sebagian lagi ke Golkar dan partai lainnya. PDIP
yang merupakan kelanjutan sejarah PNI pada pemilu 1955, dimana PNI dalam pemilu 1955
memperoleh suara 22,32 %. Kalau melihat hasil perolehan suara PNI pada pemilu 1955, maka
sejatinya perolehan suara PDIP itu berada pada kisaran 20 %. Artinya dalam PDIP ada limpahan
suara yang oleh Riwandan (2004) dikatan sebagai Swing Votes, dengan demikian suara PDIP
dalam pemilu 1999 bukan merupakan suara riil.
124
Di sisi lain bagi partai politik yang dilahirkan oleh NU, berbagai ritual
keagamaan yang dilakukan oleh warga dijadikan sebagai sarana
untuk melakukan sosialisasi dan sekaligus jastifikasi bahwa partai
politiknya merupakan bagian integral dari NU.
Hasil proses sosialisasi yang dilakukan baik oleh tokoh struktural
maupun kultural NU telah melahirkan sikap antipati dari warga
Nahdilyin terhadap Muhammadiyah dan sekaligus kepada PAN yang
dianggap partainya Muhammadiyah. Hasil dari FGD yang dilakukan,
diperoleh satu kesimpulan bahwa bagi Warga Nahdilyin, dari pada
harus memilih PAN mereka lebih baik memilih PDIP atau pun Golkar.
Mereka menganggap dengan memilih Golkar maupun PDIP tidak
mempunyai konsekuensi sosial dalam masyarakat ketimbang harus
memilih PAN.
Sementara di sisi lain, PAN yang diharapkan mendapat dukungan dari warga Muhammadiyah tidaklah gampang. Banyak warga
Muhammadiyah yang garis keras tidak menyukai PAN karena dianggap
tidak jelas ideologinya. PAN yang berasas Pancasila tidak melabelkan
partai Islami yang menjadi idaman sebagian warga Muhammadiyah
yang konservatif. Oleh karena itu banyak dari warga Muhammadiyah
yang memilih partai yang secara jelas berasaskan Islam seperti PKS,
PBB, Partai Masyumi. Disamping itu animo yang berkembang dikalangan warga Muhammadiyah sendiri, bahwa warga Muhammadiyah
yang terlibat di PAN itu lebih banyak mewakili perorangan. Mereka
yang duduk di legislatif yang diharapkan mampu membawa aspirasi
Muhammadiyah ternyata tidak begitu memberikan banyak pengaruh
terhadap perkembangan Muhammadiyah.
Lebih jauh, warga Muhammadiyah, khususnya perorangan
yang ada di Legislatif dalam perjalanannya mereka menjadi wakil
rakyat terkesan tidak punya citra positif di kalangan warga Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan warga Muhammadiyah yang
menjadi wakil dari PKS. Dari hasil wawancara dengan salah seorang
warga Muhammadiyah yang aktif dalam kepemudaan menuturkan,
sebagai berikut:
Secara organisasi waktu itu secara tertulis pimpinan PKS
yang berasal dari Muhammadiyah membuat surat pernyataan
pengunduran diri dari organisasi kepengurusan kepemudaan
Muhammadiyah tetapi dalam beberapa item kepemudaan
128
129
Kota Malang, para anggota Dewan bersaing agar mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan cara memperjuangkan
berbagai program pembangunan yang ada di masyarakat agar bisa
mendapat simpati dari warga yang diperjuangkan. Dalam kenyataannya, partai yang sering memberikan bantuan, seperti Fujianto caleg
dari PAN terpilih kembali pada pemilu 2009.
Kenyataan tersebut di atas, secara langsung menunjukan bahwa
pandangan subyektif dari warga terhadap partai. Partai yang sering
memberi bantuan dianggap partai yang baik, sementara partai yang
jarang memberi bantuan dianggap partai yang jelek. Partai selalu
dipemahamani dengan bantuan yang bersifat material, dan hal ini
sangat terasa dalam kehidupan politik sekarang, khususnya yang
terjadi di akar rumput. Kondisi tersebut juga didorong oleh perubahan
sistem pemilu dari proporsional daftar tertutup dengan BPP (2004)
menjadi proporsional daftar murni (2009). Persaingan di antara caleg
menjadi semakin keras, dengan demikian berbagai cara dilakukan
oleh caleg untuk memenangkan kompetisi dalam pemilu, termasuk
mempergunakan celah dalam masyarakat yang cenderung menonjolkan pemahaman ekonomi terhadap partai dengan melakukan
transaksi politik atau pembelian suara lewat berbagai bantuan atau
pemberian uang tunai.
Rasionalitas ekonomi yang berkembang pada pemilih di Malang
Raya bukannya rasionalitas seperti yang ada di negara maju. Di negara
maju rasionalitas dimaksudkan untuk menunjukan pada pemilih yang
dalam menentukan pilihan politiknya didasarkan pada preferensi
kebijkan partai, dan mereka akan memilih partai yang dianggap akan
lebih menguntungkan mereka atau sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan demikian, pemilu dianggap sebagap pasar, dan partai politik
dianggap sebagai pedagang yang menjajakan produknya berupa
rencana-rencana yang akan dijalankan kalau terpilih. Di Malang
Raya, rasionalitas ekonomi lebih berorientasi pada kepentingan
ekonomi jangka pendek dan bisa dirasakan secara langsung oleh
masyarakat dari partai atau caleg. Dengan demikian, kalau di negara
maju hak pilih dibelanjakan kepada partai untuk membeli rencanarencana yang sesuai dengan pemilih, sementara di Malang Raya
partai membeli hak pilih dengan sejumlah uang, bantuan sosial dan
pembangunan lingkungan.
131
132
BAB IV
UPAYA PARTAI POLITIK
DALAM PEMENANGAN
PEMILU
133
KOMPETENSI
Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan strategi partai politik dalam
merespom realitas politik masyarakat baik itu dari sisi ideologi maupun sosial
kemasyarakatan. Selanjutnya mahasiswa diaharapkan dapat menjelaskan terkait
peran figur yang ada dalam partai politik. Kita ketahui bahwa dalam masyarakat di
tingkat lokal, budaya partron-client sangat kental dan mempengaruhi pola afiliasi
politik masyarakat pada partai politik. Lebih jauh mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan mengenai strategi partai politik yang diterapkan dengan pola hubungan
yang terjadi dalam setiap pemilu di tingkat lokal.
134
BAB IV
UPAYA PARTAI POLITIK
DALAM MEMENANGKAN PEMILU
TERKAIT dengan adanya perubahan dalam pemahamanan partai
politik oleh pemilih, dalam bab ini mengkaji persoalan yang berhubungan dengan upaya partai politik dalam meraih simpati pemilih
agar mendukung atau memilih partai ketika pemilu dilaksanakan.
Pertanyaan yang akan dijawab dalam bab ini adalah bagaimana
upaya partai politik dalam meraih simpati di tengah perubahan
Pemahamanan partai oleh pemilih?.
Berhubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini penulis menguraikan bagaimana upaya partai di tengah Pemahamanan partai
politik yang ada, dan perubahan dalam sistem pemilu di era multipartai. Sub pokok bahasan pertama terkait dengan upaya dari partai
politik dalam meraih simpati massa, apakah upaya yang dilakukan
sejalan dengan Pemahamanan partai oleh pemilih. Selanjutanya,
dibahas mengenai peran figur dan hubungannya dengan stategi
partai. Terakhir dibahas mengenai pola hubungan pemilih dalam
kaitannya dengan adanya perubahan dalam sistem pemilu di era multi
partai.
A. Upaya Partai Politik
Upaya merupakan pola keputusan atau tindakan yang melibatkan lebih dari sekedar perencanaan seperangkat tindakan, juga melibatkan kesadaran bahwa upaya yang berhasil justru muncul dari dalam
organisasi. Namun dalam praktiknya, upaya pada kebanyakan organisasi merupakan kombinasi dari apa yang direncanakan dan apa
yang terjadi. Oleh karena itu tidak semua rencana upaya dapat
135
kader yang ada yang sudah jadi. Saya kira yang membuat partai
baru itu adalah orang-orang pintar sebab yang direkrut adalah
orang-orang yang sudah jadi, yang jadi andalan dari partaipartai seperti Golkar, PDI-P dan lain-lain. Dari fakta itu ada
kecenderungan berkurangnya jumlah kader maupun maupun
pemilih. Akan tetapi pemilih-pemilih, kader-kader yang tidak
konsisten itu sifatnya hanya sementara, ketika mereka dihadapkan pada pemilu berikutya mereka akan terpanggil kembali
untuk mendukung partai Golkar. (Hasil wawancara dengan
tokoh Golkar).
Padahal penguatan ideologi partai politik (ideologisasi) itu
penting, menurut Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 2008), penguatan
ideologi partai merupakan upaya dari partai politik dalam menanamkan dan memperkuat identitas partai. Hal ini mengandung pengertian
sebagai berikut: pertama, identitas partai yang pada mulanya masih
rapuh diperkuat dengan mematangkan orientasi politik dan platform
kebijakan. Kedua, pemahaman identitas partai (ideologi, pemahaman
identitas, atau platform) yang pada mulanya hanya menjadi gejala
di kalangan elite partai diperluas sebagai gejala pada anggota,
pendukung, dan simpatisan. Ketiga, partai menegaskan pemosisian
(positioning), diferensiasi (pembeda pokok yang dimiliki vis a vis partai
lain) dan branding (penegasan merek atau simbolisasi partai).
Terkait dengan program yang berhubungan dengan penguatan
ideologi, secara umum partai-partai politik masih tidak beranjak dari
pendidikan dan latihan kader. Lebih lanjut Eep mengungkapkan
bahwa ideologisasi partai dapat dilakukan antara lain melalui pembakuan mekanisme perekrutan politik serta kaderisasi dan regenerasi
kepemimpinan. Berkaitan dengan penentuan calon anggota legislatif,
ideologisasi ditandai dengan mengemukanya nama politisi partai
yang membina diri dari bawah bersama partai serta membentuk
kualifikasinya di tengah calon konstituen mereka. Dalam membangun
partai lewat ideologisasi partai, dibutuhkan ketekunan partai dan
politisi dalam memupuk dan menyuburkan modal politik mereka dari
waktu ke waktu. Disamping itu perlu membangun hubungan pertukaran jangka panjang dan bukan sekedar transaksi jangka pendek
dengan konstituen.
139
terhadap partai politik yang punya basis massa jelas banyak dikemukakan oleh para pimpinan politik terutama pada pemilu 1999 dan
2004, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhadi, mantan Pimpinan
Daerah Golkar Kabupaten Malang.
Tingkat konsistensi pemilih Golkar relatif stabil, hal ini
dikarenakan sistem kaderisasi yang ada di Golkar. Sebagai
contoh ada kader tingkat madya kita tingkatkan. Jadi orangorang yang jadi kader Golkar itu ada kelebihannya, setelah
masuk Golkar orang tidak tambah goblok tapi tambah pintar.
Kalau pengusaha diakan akan lebih meningkat dalam usahanya,
sebagai contoh kalau dulu punya sepeda motor satu setelah di
Golkar meningkat jadi dua atau tiga dan sebagainya. Karena
di Golkar dalam doktrin-doktrin yang juga berpikir ekonomi,
ada yang berpikir masa depan, ada yang berpikir bertaqwa
kepada Tuhan YME, sampai ada yang mengatur bagaimana
perjalanan umroh dan lain sebagainya. Disamping itu, kita
melakukan urunan untuk bangunan sekolah, urunan untuk
mesjid dan lain-lain. Itulah yang menyebabkan adanya militasi
dari pemilih Golkar, bahkan di luar jawa luar biasa (2006).
Dalam rangka penguatan ideologi partai, partai-partai politik
di Malang Raya berusaha membuat program-program yang terkait
dengan ideologi. Partai politik berusahan menguatkan ideologi partai
dari mulai tingkat kader, simpatisan, sampai partisan. Pada tingkatan
kader partai politik melakukannya dengan program kaderisasi, pada
tingkatan simpatisan dilakukan dengan pelatihan, dan pada tingkat
simpatisan dilakukan dengan sosialisasi.
2. Pendekatan Sosial dan Ekonomi
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, aspek sosial ekonomi
dan kemasyarakatan menjadi bagian terpenting dalam komunitas
masyarakat di pendesaan. Tidak hanya dalam kehidupan keseharian
dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama mereka, namun
juga telah menjadi indikator serta tolak ukur bagi kehidupan politik.
Komunitas masyarakat yang ada di Malang Raya yang terkenal dengan
budaya arek juga telah menjadi ciri khas karakteristik masyarakat.
Kehidupan rutin yang mewarnai aktivitas masyarakat pedesaan tidak
144
148
149
150
datang dari pemilih yang melakukan Swing Votes. Dan pada pemilu
2004 pemilih Swing Votes PDIP itu kembali lagi ke partainya semula
atau mengalihkan pilihan politiknya ke partai lain.
Kalau dilihat dari data yang ada, pada saat ini konstituen PDIP
masih yang terbanyak. Pada pemilu 2004, Kabupaten Malang dan
Kota Malang tetap masih dikuasi oleh PDIP. Sementara Kota Batu,
selisih suara antara Golkar yang memenangkan pemilu tidak jauh
selisihnya dengan PDIP. Keberhasilan PDIP mendominasi suara pada
setiap pemilu di Malang Raya tidak lepas dari kuatnya kelompok
Abangan di Malang Raya. Walaupun Malang Raya terkenal dengan
masyarakat religius, karena banyaknya pesantren dan pendidikan
agama, namun sebenarnya sebagian besar masyarakatnya punya
kedekatan secara historis dengan Abangan. Oleh karena itu, sebagian
masyarakat Malang Raya walaupun mereka ikut aktivitas ritual
keagamaan yang sering dilakukan oleh kelompok Santri Tradisional,
namun pilihan politiknya tetap pada partai politik Abangan yaitu
PDIP. Tidak mengherankan apabila di Jawa Timur banyak Kepala
Daerah yang (Bupati/Walikota) yang berasal dari partai PDIP.
Walaupun demikian, ada ciri khas yang secara gari besar membedakan setiap wilayah yang ada di Malang Raya yang membedakan
antara satu daerah dengan daerah lainya. Sebagai contoh Kecamatan
Lawang, Singosari dan Pakis. Lawang mayoritas masyarakatnya
mempunyai rasa Nasionalisme yang tinggi, dan pendidikan mereka
cukup. Singosari, masyarakatnya religius, umat Muslimnya sangat
besar, jadi untuk wilayah ini banyak pondok-pondok pesantren,
sekolah atau madrasah Islam dan kegiatannya pun banyak terkait
dengan keagamaan seperti pengajian. Sedangkan untuk Pakis,
masyarakatnya religius dan Nasionalis, namun masyarakatnya
mudah terpecah belah.
Di luar alur identifikasi kepartaian dari kelompok Abangan
terhadap PDIP, keberhasilan PDIP mendominasi suara dalam Pemilu,
juga karena dilakukannya pendekatan pada masyarakat. Salah
seorang tokoh PDIP, yang juga mantan Ketua DPRD Kota Malang
menyebutkan bahwa PDIP punya concern yang besar dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Walaupun demikian
ia mengakui bahwa tidak semua program kepada masyarakat itu
154
ikut pemilu 2009 seperti PIB, PKNU, Hanura, Gerinda dan lain-lain.
Sebagai contoh di Kota Batu, Saudah istri mantan Camat Junrejo lolos
menjadi anggota Dewan dari Partai Indonesia Baru (PIB), Nur Jayanti
istri Carik Desa Pendem lolos menjadi anggota Dewan dari Partai
Hanura.
Pola kepemimpinan kharismatik, serta budaya paternalis di
kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, bisa menjelaskan
variasi ketokohan tersebut. Dalam konteks politik di Tanah Air sejarah
tokoh pada umumnya ternyata lebih panjang dari pada sejarah partai
itu sendiri.
Kekuatan partai politik di Tanah Air kemudian akan banyak
ditentukan sejauh mana partai-partai tersebut mampu melakukan
rekrutmen terhadap tokoh-tokoh yang populer di mata massa pemilih.
Kemampuan elite partai untuk membangun citra yang positif
terhadap tokoh partai dan kemampuan untuk mensosialisasikan citra
yang positif ini secara massif lewat media massa merupakan poin
krusial bagi perkembangan dan kekuatan partai di masa yang akan
datang. Dari sini partai politik akan semakin terlembaga, yang pada
gilirannya akan menjadi kekuatan yang relatif otonom untuk menarik
masa pemilih. Akan tetapi secara umum penulis memperkirakan
ketokohan tetap merupakan faktor krusial, dan setidaknya dalam
jangka pendek dan menengah ketokohan akan menjadi tulang
punggung untuk menarik massa pemilih di Malang Raya, khususnya
bagi partai yang tidak basis pemilih tradisional yang jelas.
C. Upaya Partai Politik Dan Pola Hubungan
1. Upaya Partai Politik dan Pilihan Basis Massa
Upaya yang dikembangkan partai politik dengan menekankan
pada Ideologis telah melahirkan pola hubungan yang bersumber pada
basis massa masing-masing, Partai Islam menjalin hubungan dengan
Kelompok Santri dan Partai Nasionalis berhubungan dengan
Kelompok Abangan. Pola hubungan berbasis massa pemilih dicirikan
dengan adanya ikatan yang kuat antara partai dengan konstituennya.
Bahkan karena kedekatan partai dengan konstituennya yang sangat
kuat, maka pilihan politik mereka sangat fanatik. Pada saat kampanye,
bentuk fanatisme pemilih terhadap partai telah mengakibatkan
banyak terjadi bentrokan antara pendukung partai. Tidak jarang di
159
161
dari adalah sosok Amin Rais yang dikenal sebagai tokoh reformis
dan dikenal luas di kalangan mahasiswa dan akademisi. Dengan
demikian pada saat pemilu 1999, PAN ini juga banyak didukung oleh
kalangan pemilih muda, terutama mahasiswa yang pada saat itu
bersama-sama menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Hampir
segaris dengan PAN, PBB yang juga menjadi representasi dari pemilih
modernis banyak didukung oleh kalangan masyarakat yang punya
hubungan historis dengan Masyumi. Di Malang Raya PBB tidak
banyak pendukungnya, karena memang wilayah ini bukan basis dari
Santri Modernis, dan walaupun ada sudah habis diambil oleh PAN.
Sementara PPP yang merupakan partai Islam hasil fusi masa Orde
Baru, walaupun mengatasnamakan partai yang merepresentasikan
Santri Tradisional, namun di Malang Raya pendukungnya sangat
sedikit. Sementara partai-partai lainnya, tidak mendapatkan banyak
suara yang dihasilkan dari warisan ideologis. Mereka umumnya
banyak mendapatkan suara karena hasil kerja melalui pendekatan
sosial kemasyarakatan maupun pendekatan ekonomi.
Pemilu 2004 merupakan pemilu ke 2 pasca reformasi. Berbagai
pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari pemilu 1999 telah
menjadi pelajaran bagi partai-partai berikutnya pada pemilu 2004.
Bagi partai-partai yang memperoleh dukungan cukup besar, menatap
pemilu 2004 dengan penuh percaya diri, sehingga banyak elit politik
dari partai yang lupa kewajiban kepada konstituennya. Dengan hanya
menekankan pendekatan yang pernah dilakukan seperti pada masa
pemilu 1999 seperti yang dilakukan oleh partai PDIP, PKB, maka
pada pemilu 2004 di Malang Raya kedua partai tersebut kehilangan
suara yang signifikan terutama PDIP. Hampir semua partai politik
yang lulus electoral threshold mengalami penurunan suara dengan
kadar yang berbeda-beda, dan hanya partai Partai Golkar bertahan,
bahkan secara Nasional meningkat walaupun tidak signifikan.
Kemenangan Partai Golkar tidak lepas dari kerja keras dalam
konsolidasi partai yang dimotori oleh Akbar Tanjung.
Pada saat partai-partai lain yang lulus electoral threshold terlena
dengan kemenangan, justru Partai Golkar berjuang keras dengan
menggunakan pendekatan yang tidak hanya menekankan pada
idelogi namun sudah mengunakan pendekatan sosial kemayarakat
dan ekonomi. Dengan pengalaman selama Orde Baru, bagi Partai
165
pada pemilu 1999 dikuasai oleh hanya tiga partai yaitu PDIP, PKB,
dan Golkar. Komposisi partai di Dewan hasil pemilu 2004 telah
melahirkan dua kekuatan baru yaitu PKS dan Partai Demokrat,
sehingga pola sistem kepartaian yang pluralisme sederhana dengan
tiga kekuatan partai berubah menjadi pluralisme moderat dengan
lima kekuatan partai.
Pemilu yang paling menarik di era pasca reformasi adalah
pemilu 2009. Dengan sistem pemilu baru yang menerapkan rejim
suara terbanyak bagi calon yang lolos ke Dewan telah mempengaruhi
upaya dalam meraih simpati pemilih. Pada pemilu 2009, peran partai
menjadi minimal, dan peran caleg menjadi menonjol, oleh karena itu
pendekatan ideologi mengalami kekaburan dengan adanya caleg-celeg
yang berasal dari luar basis pendukung partai. Pendekatan yang
dilakukan para caleg lebih menintikberatkan pada pendekatan
ekonomi dan sosial kemasyarakan. Hal ini didorong oleh tingginya
kompetisi yang terjadi antara sesama caleg di tingkat partai. Masingmasing caleg dengan menggunakan jaringan sosial masing-masing
menyalurkan berbagai bantuan baik untuk pembangunan jalan,
Mushala, Masjid, bantuan sembako, dan bahkan uang tunai.
Hasil pemilu yang terjadi menunjukan bahwa sebaran perolehan suara sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Bahkan partaipartai yang punya basis massa yang jelas seperti PDIP, dan PKB harus
menerima kenyataan bahwa mereka telah banyak ditinggalkan oleh
kosntituennya. Bahkan perolehan suara PKB di Kota Batu mengalami
penurunan yang sangat tajam, sehingga PKB yang pada pemilu 2004
mendapatkan 4 kursi, pada pemilu 2009 tidak dapat satu kursi pun.
Perolehan suara di Kota Malang pada pemilu 2009, Partai
Demokrat memenangkan persaingan dalam pemilu dengan perolehan
suara 83.065, dan disusul oleh PDIP dengan perolehan suara 71.370.
Pada pemilu 2004, wilayah Kota Malang ini menjadi basis utama
dari PDIP, dan mengantarkan kadernya menjadi Walikota dalam
pilkada 2008. Menurut salah seorang informan, yang pernah
menuturkan kepada penulis, kemenangan Partai Demokrat tidak
hanya melulu karena faktor figur SBY yang menjadi Presiden, namun
juga adanya intervensi dari partai. Di Kota Malang banyak Ketua RT
yang dijanjikan bantuan 500.000,- per Kepala Keluarga dengan alasan
untuk perayaan 17 Agustus. Namun bantuan itu akan dicairkan
167
168
BAB V
POLA HUBUNGAN PARTAI
DAN PEMILIH
169
KOMPETENSI
Dalam bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan kondisi sosial budaya
masyarakat dan pemaknaan partai pada partai politik serta bagaimana pola hubungan
partai dan pemilih yang terjadi. Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
kaitan antara sistem kepartaian, pemilu, strategi partai, serta pola hubungan antara
pemilih dan partai politik yang berkembang. Selanjutnya mehasiswa diharapkan
dapat memahami basis massa masing-masing partai politik baik itu partai Islam
maupun Nasionalis. Apakah partai-partai tersebut masih setia dengan basis massanya
masing-masing atau sudah mengalami perubahan. Lebih jauh, mahasiwa diharapkan
dapat menjelaskan apakah terjadi perubahan pola hubungan yang terjadi dari pemilu
ke pemilu.
170
BAB V
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
DALAM perspektif rasional, mekanisme hubungan partai politik
dengan masyarakat merupakan hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme, dimana partai politik membutuhkan suara pemilih dalam
pemilu dan sebaliknya pemilih membutuhkan partai guna memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan mereka. Maka dari itu,
partai politik terpaksa harus memperhatikan keinginan para pemilih
sebelum mengambil keputusan mengenai program dan kebijakan
partai, sebaliknya pemilih harus dapat menentukan partai mana yang
mempunyai platform jelas dan sekaligus dapat memperjuangkannya.
Dengan demikian, politisi harus mencari informasi tentang kesulitan
dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat serta kepentingan
dan preferensi pemilih. Kemudian partai dapat menawarkan suatu
program politik yang menjadi isu dalam masyarakat. Oleh karena
itu dalam kompetisi multi-partai, dibutuhkan partai politik yang
responsive terhadap apa yang menjadi agenda masyarakat di tingkat
grassroot. Dengan demikian, hubungan partai dan pemilih di era multi
partai perlu membangun hubungan eksklusif agar partai dapat
memaksimalkan hasil di dalam pemilu.
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam bab ini adalah
bagaimana hubungan partai dan pemilih di Malang Raya?. Guna
keperluan tersebut, penulis akan menguraikan bagaimana hubungan
partai dan pemilih yang terjadi baik pada pemilu 1999, 2004, maupun
2009. Selanjutnya dibahas mengenai faktor sosial budaya,
Pemahamanan, dan pola hubungan, serta sitem kepartaian dan
pemilu, upaya partai, dan pola hubungan.
171
Yang dimaksud dengan kekaburan politik aliran adalah perubahan peta afiliasi politik masyarakat
yang diakibatkan oleh bergesernya basis pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan partai
politik. Pada pemilu 1955 dan pemilu 1999, dasar pertimbangan pemilih dalam menentukan
pilihan partai politik adalah ideology, pada pemilu 2004 sedikit bergeser kea rah transaksional,
dan pada pemilu 2009 semakin transaksional.
177
Kemenangan Partai Demokrat di Malang Raya tidak lepas dari popularitas SBY, serta kebijakan
popular Pemerintahnya pada saat-saat menjelang pemilu. Kebijakan Bantuan Langsng Tunai
(BLT) bagi masyarakat miskin, pemberian beras bagi masyarakat miskin, penurunan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi daya dorong kuat bagi pemilih kalangan menengah ke
bawah untuk memilih Partai Demokrat. Sementara kebijakan peningkatan kesejahteraan Pegawai
Negeri Sipil, seperti menaikan gaji bulanan, dan pemberian gaji ke 13 telah menodorong sebagian
PNS Sipil maupun militer (akitif maupun pensiunan) mengalihkan dukungannya ke Partai
Demokrat. Khusus untuk kalangan Guru, daya tarik ke partai Demokrat lebih banyak dikarenakan
oleh kebijakan sertifikasi. Dukungan pemilih ke Partai Demokrat sangat ditentukan oleh faktor
SBY dan kebijakan yang pro rakyat, oleh karena itu dukungan ini sangat cair dan bisa berubah
seiring dengan perubahan popularitas SBY dan kebijakan pemerintah.
178
PSII
Ortodoks
Modern
Tradisional
Santri
NU
PNI
PKI
Kaum Sinkretis
Abangan
179
Dalam menentukan responden, untuk menentukan bahwa mereka adalah betul-betul pemilih
Santri maupun pemilih Abangan, dilakukan dengan cara menentukan karakteristik Santri dan
Abangan, dan dilakukan secara acak. Pemilih Santri merupakan kelompok Islam yang taat
sehingga responden yang dipilih adalah mereka yang baru keluar dari Mesjid setelah menjalankan
Shalat. Sementara bagi responden Abangan yang merupakan pemeluk Islam nominal, dipilih
dari mereka yang tengah bekerja pada saat di survey atau mereka yang a da di pinggir jalan yang
menunjukan ciri-ciri kelompok Abangan. Para supir, tukan becak, atau pun orang-orang yang
bertato menjadi target dalam survey yang dilakukan terhadap kelompok Abangan. Dengan
pertanyaan, pada pemilu 2004 Bapak/Ibu/ Saudara memilih partai Islam atau Partai Nasionalis?
180
partai (PAN), namun kelahiran PAN mau tidak mau akan selalu
dikaitkan dengan Muhammadiyah dikarenakan Amin Rais sebagai
pendiri PAN merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Apa lagi di tingkat kepengurusan baik Wilayah maupun Daerah,
sebagian besar mereka adalah orang-orang yang merupakan aktivis
Muhammadiyah. Artinya ada benang merah yang menghubungankan antara Muhammadiyah sebagai organisasi massa keagamaan
yang Modernis dengan PAN sebagai partai politik.
Di sisi lain, Nahdlotul Ulama (NU) yang menjadi representasi
dari organisasi massa keagamaan Tradisional, harus merelakan diri
apabila diklaim sebagai ormas pendorong lahirnya partai politik,
dalam hal ini PKB. Kelahiran PKB sebagai partai politik tidak lepas
dari karyanya Gus Dur atau Abdurahman Wahid sebagai cucu pendiri
NU yang sekaligus mantan Ketua Umum PB NU, dan juga sebagai
mantan Presiden. Dengan adanya Gus Dur, PKB sepertinya dianggap
sah mempergunakan basis pemilih NU yang cukup besar khsusunya
di Jawa Timur. Oleh karena itu mau tidak mau, suka tidak suka, baik
PAN atau pun PKB, walaupun tidak secara formal mencantumkan
Islam sebagai asas partai, keduanya baik secara sosiologis maupun
historis merupakan partai Islam. Alasan sosiologis yang sangat jelas
tergambar dari para elit partai maupun konstituennya, serta historis
dari kelahiran partai-partai itu.
Lebih jauh, bagi kelompok yang disebut dengan Abangan,
walaupun dalam hal organisasi tidak bisa di lihat secara jelas sebagaimana pada kelompok Santri baik yang Tradisional maupun Modern,
namun kelompok masyarakat yang dibedakan dari perilaku keberagamaannya yang minimalis (Islam Nominal) mempunyai hubungan
yang kuat dengan partai Nasionalis. Pada pemilu 1999 dan 2004 pemilih
abangan ini sebagian besar afiliasi politiknya masih pada PDIP yang
merupakan partai politik yang berhaluan Nasionalis. Dengan demikian,
sesuai dengan kerja dari politik aliran bahwa kelompok santri yang
taat beragama akan mengidentifikasi dengan partai politik yang sama
yaitu Islam, sementara abangan akan mengidentifikasi dengan partai
yang bukan agama yaitu Nasionalis. Pada pemilu 2009, bangunan
politik aliran ini sudah mengalami perubahan yang besar seiring
dengan terjadinya perluasaan Pemahamanan partai oleh pemilih.
Pemahaman ideologis yang mewarnai Pemahamanan oleh pemilih
181
demikian ada spektrum afiliasi politik yang bergeser keluar baik dari
kelompok Santri maupun Abangan (outlayer). Dari hasil obeservasi
dilapangan menunjukan bahwa kelompok Santri Modernis yang
moderat, cenderung berafiliasi dengan Partai Golkar, begitupun
sebagian kelompok Santri Tradisional. Sementara, dari kelompok
abangan yang cenderung bergeser adalah punya historis dengan Orde
Baru. Kebijakan rezim Orde Baru yang melakukan berbagai rekayasa
untuk menghancurkan pengaruh politik aliran dalam kepartaian.4
PKS, PBB, PAN
PPP
PKB
Ortodoks
Ortodoks
Modern
Tradisional
Santri
PDIP
Kaum Sinkretis
Abangan
183
Santri. Pemilih Santri Golkar lebih banyak datang dari kalangan Santri
yang termasuk kategori Modernis, khususnya yang moderat. Sementara pemilih Abangan berasal dari kelompok Abangan yang tingkat
keabangannya lemah.
Di sisi lain, pemilih PDIP banyak datang dari kalangan pemilih
Abangan yaitu sebesar 72%, yang menurut Afan Gaffar merupakan
Abangan yang tingkat keabangannya kuat (strong Abangan). Hal ini
tidaklah mengherankan karena PDIP sangat kental dengan aroma
Nasionalis-nya. Dukungan dari kalangan Santri terhadap PDIP sebesar
28%, yang umumnya berasal dari kalangan pemilih Tradisional dan
tergolong Santri Lemah (week Santri). Kondisi PDIP ini hampir mirip
dengan Partai Demokrat. Partai Demokrat mendapat suara paling
banyak dari kalangan pemilih Abangan yaitu sekitar 68%, semenara
pemilih Santri 32%. Sementara PKB, keadaannya terbalik kalau
dibandingkan dengan PDIP. PKB lebih banyak pemilihnya datang
dari kalangan Santri yang terkategorikan Santri Tradisional yaitu 61%,
sementara pemilih dari kelompok Abangan sebesar 39%.
Bagi pemilih PAN dan PKS, walaupun sama-sama mayoritas
pemilihnya datang dari kalangan Santri, namun PKS mendapatkan
pemilih Santri yang paling besar. PKS mendapat 87% pemilih dari
kalangan Santri dan 13% datang dari pemilih Abangan, sementara
PAN hanya mendapat 65% dari kalangan pemilih Santri dan 35%
datang dari kalangan pemilih Abangan. Pemilih Santri PAN banyak
datang dari kelompok Santri Modernis yang tergolong reformis,
sementara PKS banyak datang dari kelompok Santri Modernis yang
tergolong Konservatif. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa
pemilih masih terikat dengan pakem aliran dalam menentukan
pilihan politiknya walaupun dengan tingkat identifikasi dirinya yang
sudah semakin melemah.
Dengan demikian, walaupun telah mengalami sedikit perubahan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa aliran politik
masih tetap eksis dalam pemilu era multipartai ini, khususnya dalam
pemilu 1999 dan 2004. Pemilih Santri masih berkecenderungan memilih
partai politik yang Islam, sementra pemilih Abangan masih punya
kecenderungan memilih partai yang Nasionalis. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa pemilu 1999 di Malang Raya keyakinan sosio-religi
yang bersumber aliran seperti yang dikemukakan Geertz, masih
184
Abangan, jaranan, dan sejak dini sudah disosialisasikan kepada anakanak mereka. Berbagai alat peraga yang sering dimainkan dalam
kesenian jaranan juga menjadi alat permainan anak-anak Abangan
sejak kecil, seperti kuda-kudaan, cambuk, bahkan perilaku kalap yang
sering dipertontokan dalam pertunjukan jaranan. Begitu juga dengan
apa yang disebut bantengan, kesenian ini selalu dipertontonkan dalam
masyarakat Abangan terutama menjelang peringatan hari besar
Nasional. Hal ini secara sadar atau tidak, masyarakat Abangan telah
mempunyai gambaran sendiri tentang kehidupan sosial maupun
kehidupan politik dengan simbol-simbol dalam setiap aktivitas yang
dilakukan dalam masyarakatnya.
Simbol perjuangan mereka dalam melawan penguasa yang
sering menindas kaum golongan kecil (wong cilik) mereka ilustrasikan
dalam sebuah aktivitas kesenian yang disebut bantengan. Dalam
kesenian itu wong cilik disimbolkan dengan kerbow/banteng, sementara penguasa disimbolkan dengan harimau. Keseniaan ini menjadi
totonan yang menarik dari kalangan Abangan karena dirasakan
mewakili kesadaran dan kenyataan kolektif mereka akibat tekanan
dan himpitan ekonomi yang mereka alami setiap hari. Acara kesenian
bantengan ini digelar selalu bertepatan dengan acara tujuh belasan,
sebagai bagian dari peringatan kemenangan masyarakat melawan
penjajah. Dan mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai wong
cilik, merasakan bahwa bagi mereka kenyataan nasib yang selalu
tidak berubah, salah satunya diakibatkan oleh adanya regulasi dan
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Maka dari
itulah, pemahaman PDI perjuangan yang mengusung simbol kepala
banteng, dengan embel-embel perjuangan memberikan napas baru
yang menyalurkan energi bagi kelompok Abangan untuk membangun
solidaritas kelompok seperjuangan dengan sama-sama mendukung
partai yang dipimpin Megawati.
2.1. Pola Hubungan Politik Pemilih Santri
Masyarakat Malang Raya dikenal dengan masyarakat yang
berbasis NU, namun hal itu lebih merupakan corak dari kehidupan
masyarakat yang Islami, seperti menjadikan kyai atau ulama-ulama
sebagai Patron yang dihormati sekaligus menjadi panutan dalam
kehidupan spiritualnya. Kondisi ini secara tidak langsung diwariskan
186
turun temurun, dari generasi ke generasi mengikuti kebiasaan menjadikan kyai ataupun ulama-ulama tertentu sebagai panutan. Berbagai
acara yang mempunyai keterkaitan dengan kehidupan beragama
Santri Tradisionalis, seperti ziarah ke makam para wali, istighosah,
ataupun kunjungan tetap tiap bulannya kepada kyai-nya menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan Santri Tradisionalis.
Pada saat pemilu, seorang kyai menjadi figur sentral dalam menentukan arah kemana masyarakat akan memilih partai politik. Kecenderungan umum pemilu pemilu 1999 dan 2004, para kyai di Malang Raya
mengidentikikasikan dirinya dengan partai Islam, khususnya PKB,
walaupun ada sebagian kecil yang menyebrang ke PPP, PPNU atau
ke partai Islam lainnya.
Karena pilihan politik kaum Santri Tradisionalis itu tidak
independen (ketergantungan pada kyai), maka ada kecenderungan
pilihan politiknya tidak sepenuhnya seragam. Hal ini sangat tergantung pada kyai lokal yang menjadi panutan dimana mereka tinggal.
Menurut pengamatan penulis, para kyai lokal, atas dorongan kepentingannya baik itu pembangunan, maupun eksistensi diri, maka ada
yang melakukan pengalihan politik dari alur kebanyakan. Di Malang
Raya umumnya, para kyai lokal menyalurkan aspirasi politiknya ke
PKB yang kepemimpinannya ada Gus Dur. Namun ada sebagian
ulama atau kyai yang tidak mendukung PKB, tetapi mendukung
partai Islam lain seperti PPP, PPNU atas dasar kepentingan dan
kedekatan pribadi dengan pimpinan partai tersebut. Bahkan ada
sebagian dari kyai yang memberi dukungan pada Golkar, baik secara
langsung atau pun sembunyi-sembunyi, karena kedekatan dengan
elit politik yang ada di Partai Golkar.
Oleh karena itu, penyebaran pilihan politik Santri di Malang
Raya, cukup tersebar walaupun tidak merata. Sebagian besar memilih
PKB dan sebagian lagi memilih partai Islam lain dan partai Nasionalis
seperti Golkar. Di sisi lain, para pemilih Islam Modernis menjatuhkan
pilihan politiknya sebagian besar kepada PAN, khususnya di wilayah
perkotaan. Hal ini bisa dilihat dari perolehan suaran PAN pada pemilu
1999 dan 2004 yaitu masing-masing 10,53 % dan 6,77 %. Namun
demikian, ada juga yang memberikan suaranya kepada PKS, dan
PPP. Bahkan bagi warga Muhammadiyah yang Konservatif, ada
kecenderungan mereka memilih PKS karena secara ideologis mereka
187
merasa pas dengan apa yang diperjuangkan oleh PKS. Sebagai partai
dawah, dengan ajaran yang secara garis besar tidak ada perbedaan
dengan ajaran yang dianut oleh Muhammadiyah. Dengan demikian,
banyak aktivis PKS yang berasal dari Muhammadiyah.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa
dukungan pemilih Islam Tradisional terhadap PKB di Jawa Timur,
khususnya di Malang Raya sangat besar. Dukungan besar dari warga
Nahdilyin di Malang Raya ini tidak lepas dari sosialisasi yang dilakukan
lewat jalur NU kultural yang ada di berbagai pelosok. Lewat kyai
lokal, PKB mengadakan sosialisasi informasi, isu dan gagasan politik
melalui berbagai aktivitas keagamaan dari mulai pengajian, tahlilan,
istighosah dan lain sebagainya. Kegiatan ini menjadi salah satu hal
yang penting dalam mendulang suara, karena pesan yang tersirat
adalah apabila mengaku warga nahdilyin, maka PKB harus menjadi
pilihan politiknya. Dengan demikian, banyak dari warga Nahdilyin
yang sangat fanatik dengan pilihan politiknya. Mereka tidak merasa
nyaman dan aman secara sosial apabila memilih partai politik selain
partai yang dilahirkan oleh NU ini. Disamping itu juga, PKB memperkokoh diri sebagai bagian dari partai NU dengan menggandeng PMII
untuk kemahasiswaannya, Fatayat untuk para pemudinya, dan IPNU
(Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama), termasuk juga Ansor dan Banser.
Hasil perolehan suara PKB di Malang Raya pada Pemilu 1999 dan 2004.
Keberpihakan massa Santri Tradisional kepada partai Islam
yang mempunyai tokoh dari masing-masing kelompok, bisa dijelaskan
dalam perspektif budaya masyarakat Jawa. Budaya patron-clien yang
berkembang tidak bisa begitu saja lepas dari pijakan masyarakat untuk
menentukan pilihan politik, dimana tokoh-tokoh itu merupakan
simbolisasi dari ideologi yang mereka perjuangkan. Di PKB, Gus Dur
yang nota bene sebagai cucu dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari,
selalu mendapat dukungan dari warga Nadhliyin karena budaya NU
yang paternalistis yang patuh pada guru, kyai atau menghormati
keluarga dari gurunya.
Para kyai yang mempunyai tradisi menghormati dan mematuhi
pada guru menjadi benang merah yang menjembatani kepentingan
politik PKB dengan warga Nahdilyin. Para kyai di Malang Raya yang
menjadi panutan dalam masyarakat, sebagian besar menjadi bagian
dari pendukung PKB, walaupun demikian ada sebagian lagi yang
188
mendukung PPP, PPNU. Para kyai dan pemimpin pondok yang keluar
dari jalur politik PKB umumnya mereka yang dulu menjadi aktivis
PPP atau mereka yang berseberangan dengan Gus Dur seperti Ketua
PBNU, K.H. Hasyim Muzadi.
Lebih jauh, walaupun masyarakat Malang Raya secara kultural
berbeda dengan kultur masyarakat Jawa Timur pada umumnya,
khususnya wilayah kultur padalungan, namun pola budaya paternalis
yang memberikan stratifikasi tertinggi pada kyai berkembang. Kondisi
sosial demikian berimplikasi pada pola hubungan sosial dan pola
komunikasi yang terjadi dalam masyarakat. Kyai menjadi sosok
panutan dan tauladan dalam setiap gerak dan langkahnya. Oleh
karena itu apa yang menjadi ucapan dan tindakan kyai menjadi
contoh dan pegangan masyarakat, tidak hanya dalam urusan sosial,
namun juga masuk ke dalam ranah politik. Fenomena kepatuhan
kepada kyai bukan hanya fenomena lokal, akan tetapi boleh dikatakan pola umum yang terjadi di masyarakat Jawa, dan Indonesia pada
umumnya. Sebagai contoh hasil penelitiannya Karl D. Jackson di Jawa
Barat mengenai kewibawaan Tradisional.
Hasil temuan di lapangan, di lingkungan yang kental dengan
suasana keagamaan Santri, khususnya Santri Tradisionalis, peran
ulama atau kyai sangat menonjol. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa di dalam masyarakat Santri, berbagai ritual yang mereka
lakukan selalu berhubungan dengan peran ulama atau kyai baik itu
ritual kematian, kelahiran, maupun perkawinan. Bahkan, hampir
setiap saat seorang ulama itu, dari mulai pagi sampai malam, selalu
terlibat dengan kehidupan masyarakat dari mulai menjadi imam
shalat, guru ngaji, pemberi ceramah, khotbah jumat, pemimpim doa,
pemimpin tahlil dan lain-lain. Dengan demikian posisi ulama atau
kyai di masyarakat Santri sangat sentral. Peran sentral kyai di dalam
masyarakat telah membuat kyai menjadi orang yang ditaati dan
dipatuhi oleh masyarakat tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari
secara sosial, namun juga secara politik.
2.2. Pola Hubungan Politik Pemilih Abangan
Kelompok Abangan banyak membina hubungan dengan elitelit partai politik yang berasal dari Partai Nasionalis. Bahkan dalam
kehidupan sosialnya, para kader politik di tingkat lokal mempunyai
189
masyarakat lain, tidak hanya datang dari satu partai yang berideologi
Islam. Akan tetapi hampir semua partai, dari beragam ideologi kecuali
Kristen.
Perilaku elit politik yang begitu agresif telah membuat pusatpusat yang menjadi simbolisasi moral dijadikan sebagai tempat mencari
keberuntungan dan sekaligus perjudian politik. Guna menguatkan
tekad dan kesungguhan mereka untuk dapat meraih dukungan, tidak
jarang elit partai ataupun caleg yang akan bersaing membuat janjijanji surga disamping bantuan kongkrit untuk alasan pengembangan
pesantren atau bantuan pembangunan sekedarnya.
Menyikapi perubahan yang terjadi, partai politik berusaha
membuka diri untuk menerima seluruh segmen masyarakat. Hal ini
harus dilakukan oleh partai politik setelah melihat kenyataan
perolehan suara pada pemilu 2004. Sebagimana yang dikemukakan
Sirmaji, Ketua DPD PDIP, PDI Perjuangan mendeklarasikan diri
sebagai partai terbuka berarti harus membuka diri untuk masuknya
semua elemen masyarakat dari segala atribut. Dengan demikian maka
terbuka pula untuk melakukan komunikasi, berinteraksi untuk sinergi
untuk bidang-bidang tertentu. Memang harus begitu jika mau jadi
partai terbuka. Sebagai partai terbuka dalam merekrut keanggotaan
tentu tidak membedakan akan membeda-bedakan secara diskriptif
(2006).
Lebih jauh, perubahan sistem pemilu yang lebih berpihak
kepada calon telah mendorong caleg untuk melakukan ekspansi
pemilih diluar basis tradisional partai. Dengan demikian, ideologi
partai menjadi tidak menonjol, yang terjadi justru kapasitas individu
caleg yang berpengaruh. Dengan adanya perubahan dari memilih
partai ke memlih caleg, keterikatan pemilih dengan partai menjadi
lemah karena yang ada hanyalah hubungan dengan caleg. Pemilih
tidak lagi memikirkan latar belakang partai dari caleg, bagi pemilih,
yang penting adalah kepentingan mereka dapat terpenuhi, terutama
ekonomi. Oleh karena itu, pada pemilu 2009, para caleg yang diusung
baik oleh Partai Islam maupun Partai Nasionalis, tidak lagi mempermasalahkan segmen pemilih, dan begitu juga sebaliknya pemilih.
199
200
Partai Keadikan Sejahtera (PKS), disamping sebagai partai politik, juga bergerak dalam bidang
sosial dengan dibentuknya Yayasan yang bisa memiliki sekolah, rumah sakit, maupun tempat
ibadah.
202
208
BAB VI
PENUTUP
209
210
BAB VI
PENUTUP
PROSES demokratisasi pasca kejatuhan rezim Orde Baru cukup pesat,
salah satunya ditandai dengan adanya transformasi dalam sistem
kepartaian dan pemilu, serta meningkatnya partisipasi politik. Sistem
kepartaian berkembang dari limitasi menjadi multipartai, sementara
pemilu dilakukan oleh lembaga independen yang bernama Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang menjamin proses pemilu berjalan dengan
jujur, adil, dan transfaran. Partisipasi masyarakat dalam politik pun
meningkat yang ditandai dengan besarnya minat masyarakat untuk
mendirikan partai, sekaligus aktif dalam berbagai aktivitas politik,
termasuk mereka yang ikut melakukan mobilisasi politik.
Pemilu pada masa Orde Baru hanya diikuti oleh dua partai
politik (yaitu, PPP dan PDI) dan satu Golkar, sebaliknya pada pemilu
era reformasi diikuti oleh banyak partai (multipartai). Pada pemilu
1999 diikuti oleh 48 partai politik, dan pada pemilu 2004 diikuti oleh
24 partai, sementara pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai, dengan enam
partai lokal yang ada di Provinsi Nangru Aceh Darussalam. Lahirnya
partai politik di era multipartai, lebih banyak mengadopsi basis massa
yang berlatar primordialisme (aliran) yang secara jamak dipakai partai
politik pada pemilu 1955 Orde Lama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi keparpolan pasca reformasi lebih merupakan
sistem kepartaian 1955 jilid dua, dengan situasi dan kondisi berbeda.
Hal ini telah mendorong adanya dinamika politik kepartaian yang
jauh berbeda dengan ketika masa rezim Orde Baru yang monolitik.
Sementara dalam sistem pemilu, proporsional dengan daftar tertutup
(1999) terus mengalami perubahan dan perbaikan dari mulai
proporsional dengan daftar terbuka plus Bilangan Pembagi Pemilih
211
PENUTUP
sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan lainlain. Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan
konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca Pemilu.
Kondisi ini berakibat pada hilangnya peran substansial anggota
Dewan sebagai pembuat keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan pemilih. Anggota Dewan menjadi
terpola untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat
karitatif dan berbiaya tinggi. Ketiga, belum terbangunnya suatu kelompok kepentingan dan infrastrukturnya yang solid, dimana parpol
menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentingan.
Keadaan ini membuat partai politik tidak mengetahui suara itu berasal
dari kelompok mana, karena infrastrukturnya belum terbangun.
Padahal suara dalam Pemilu sendiri merupakan konsekuensi logis
dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam
komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya.
Keempat, parpol menggunakan pemilih untuk kepentingan
jangka pendek, dimana parpol memakai pemilih sebagai objek
pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala
instrument partai membutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pemilih diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.
Realitas di atas dapat disimpulkan bahwa baik di tingkat supra
maupun infra struktur politik telah terjadi perubahan, antara lain:
Pertama, pada tingkatan pemilih terjadi perluasan dalam memahami
partai politik. Pemilih tidak lagi mepemahamani partai dalam kontek
ideologi, namun sudah berkembang pada Pemahamanan sosial
kemasyarakatan dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan dasar pilihan
masyarakat pada partai politik yang tidak hanya karena Islam atau
Nasionalis, namun juga karena pertimbangan kedekatan sosial dan
imbalan ekonomi. Kedua, pada tingkatan partai politik mengalami
kehilangan orientasi yang mengakibatkan rendahnya kinerja, dan
diperparah oleh berkembang perilaku praktis pragmatis dalam meraih
suara guna mengejar kepentingan jangka pendek berupa lolos
threshold. Hal ini ditandai dengan lemahnya perhatian pada program
kaderisasi guna penguatan ideologi dalam tubuh kader, dan lebih
menonjolkan program yang bersifat karikatif dan berbiaya tinggi.
Ketiga, makin tidak terkonstruksinya politik aliran dalam pemilu.
214
PENUTUP
PENUTUP
PENUTUP
pemilu 2009 dominasi ketiga partai ini tidak terjadi. Beberapa partai
muncul ke permukaan seperti Partai Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi
PDIP di Kota Malang yang pada pemilu 1999 dan 2004 menjadi
pemenangan pemilu di Malang Raya. Partai Demokrat di Kota Malang
yang pada pemilu 2004 memperoleh kursi 7 kursi kalah 5 kursi dari
PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada pemilu 2009 Demokrat
memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi.
Implikasi Teoritis
Dikotomi aliran politik yang dikemukakan Geertz (1960) yaitu
Santri dan Abangan, dalam kehidupan politik, ditransformasikan
menjadi ideologi partai berhaluan Islam dan Nasionalis. Santri yang
dikonsepsikan Geertz sebagai kelompok masyarakat yang taat dalam
menjalankan ajaran Islam terbagi ke dalam dua varian yaitu kelompok
santri modernis dan kelompok santri tradisional (Jackson, 1984).
Kedua varian santri ini, terutama santri yang mempunyai identifikasi
kesantrian yang kuat (Afan Gaffar, 1992), pilihan politik terhadap
partai sangat kental dengan nuansa ideologis, mereka cenderung akan
memilih partai Islam. Walaupun demikian, karena ada perbedaan
pemahaman serta kultur keagamaan dari kedua varian santri ini telah
melahirkan perilaku politik yang berbeda walaupun dasarnya sama
yaitu ideologi Islam. Begitupun mereka yang Abangan, dasar pertimbangan ideologis dalam memilih partai politik cukup kental. Pemilih
abangan umumnya memilih partai yang berhaluan Nasionalis, yang
juga sering dikonsepsikan sebagai partai Sekuler.
Dalam tataran praksis, kosep aliran pada awal pemilu pasca
reformasi masih menunjukan relevansinya, khususnya di Jawa Timur.
Kecenderungan pilihan politik kelompok Santri ke partai Islam dan
Abangan ke Partai Nasionalis berjalan sebagaimana terlihat dari hasil
pemilu baik 1999. Fakta ini dapat dijelaskan dengan konsep identifikasi
diri, yang merupakan hasil dari proses panjang sosialisasi dari mulai
keluarga, kelompok, maupun lingkungan (Hyman, 1959). Persoalan
yang terjadi pada pemilu pasca 1999, dimana partai-partai yang
memperoleh suara cukup besar dalam pemilu 1999 mengalami
penurunan suara pada pemilu 2004 dan 2009, hal ini berarti bahwa
identifikasi diri pemilih terhadap partai mengalami penurunan.
220
PENUTUP
Pemilu 2009 peran partai tidak begitu menonjol, dan peran identifikasi kepartaian menurun atau menjadi kurang signifikan dalam
mempengaruhi prilaku voting.
Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh karena lemahnya komitmen ideologis partai yang tersurat dalam platform partai
dan sekaligus menjadi agenda politik partai untuk diperjuangkan.
Lemahnya pemahaman ideologi dalam partai berdampak pada model
solusi persoalan bangsa yang relatif seragam dan tidak ada korelasinya
dengan ideologi yang diperjuangkan. Program penyelesaian terhadap
persoalan bangsa, hampir tidak menunjukan adanya perbedaan yang
substansial antara partai satu dengan yang lainnya. Ketika ideologi
menjadi suatu sistem nilai partai, cara berpikir dan bertindak dalam
menyelesaikan persoalan menjadi ciri khas dari parpol yang membedakannya dengan partai lain. Sebagai mana yang dikemukakan oleh
Anthony Downs (1957), bahwa ideologi politik merupakan himpunan
ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat
bekerja, dan menawarkan ketertiban (order) masyarakat tertentu
termasuk menawarkan bagaimana mengatur kekuasaan dan
bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Lemahnya ideologi partai berkorelasi pada perilaku politik partai
yang cenderung praktis-pragmatis dalam mensikapi semua persoalan
bangsa. Ideologi sebagai the right of conduct dan juga berperan untuk
mengkritisi ide, gagasan serta program dari partai yang berlainan
ideologi menjadi mandul. Tidak mengherankan bahwa akhirnya
konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan
memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya. Hal ini merupakan ciri dari fenomena yang oleh Nugent (2003)
disebut sebagai defisit demokrasi, karena para pemilih lebih suka figur
dari pada kemampuan kandidat yang berfokus pada muatan politik.
Perilaku pragmatis tersebut bisa dipemahamani sebagai ketidakpercayaan pada partai politik. Hal itu mendorong masyarakat untuk
berperilaku nonpartisan, disamping mendorong terjadinya swing
voters, yaitu berpindahnya pilihan partai politik dari satu partai dalam
pemilu ke partai lain dalam pemilu berikutnya. Apabila hal ini
berlangsung terus, maka identifikasi diri pemilih terhadap partai akan
mengalami kehancuran. Secara teoritik, kondisi ini dijelaskan oleh
Harrop sebagai proses dealignmen, yaitu suatu proses memudarnya
221
PENUTUP
224
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik ed. (1983) Agama dan perubahan Sosial. Jakarta :
Rajawali Press.
Alfian (1989) Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim
Modernist Organisation Under Dutch Colonialism. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
, (1973) Analisa Hasil Pemilihan Umum 1971, LIPI, Jakarta.
, dan Nazaruddin Syamsuddin, (1988) Masa Depan
Kehidupan Politik Indonesia, Rajawali Press: Jakarta.
, 1990, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik
Indonesia, Kumpulan Karangan, Jakarta: PT. Gramedia
Ali, Fachry (1994) How State Comes to the People?: the Acehnese and the
New Order State. A Paper presented at the Indonesian Study
group, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU,
Canberra, 8 June 1994.
(1994) Keharusan Demokratisasi dalam Islam di Indonesia.
A paper presented at a seminar held in LIPI by Majelis Sinergi
Kalam, ICMI, Jakarta.
, (1996) Pengaruh Aliran Dalam politik Indonesia,
unpublished paper.
Alford, Roberth R., (1963) Party and Society, Rand McNally and
Company, Chicago.
Almond, Gabriel and Sidney Verba, (1963) The Civic Culture. New
Jersey: Prenceton Univerity Press,
(1966) Comparative Politics, A Developmental Approach.
Boston: Little, Brown and Company.
Amal, Ichlasul, Dr., (1988) Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Amstutz, R., Mark, (1982) An Intorduction to Political Science, The
Management of Conflict. USA: Foreman and Company.
Anderson, Benedict R. OG., (1990) The Idea of Power in Javanese Power,
dalam Benedict R. OG. Anderson Culture and Politics in
Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
, (1990) Language and Power, Exploring Political Cultures in
Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
Andrews, Mac, Collin, dan Mohtar Masud. (1990) Perbandingan
225
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
California Press.
Emmerson, Donald K., (1976) Indonesias Elite: Political Cultural and
Cultural Politics, Ithaca: Cornell Univeersity Press.
Eriyanto, (1999) Metodologi Polling, Memberdayakan Suara Rakyat,
Bandung, PT Rosdakarya Offset Bandung.
Eulau, Heinz, (1965) The Behavior Persuation in Politics, New York:
Random House, New York.
Fajar, Mukti, (2008) Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Malang: In-TRANS Publishing.
Farrel, M. David, Comparing Electoral Syatem, London: MacMillan
Press Ltd., 1997.
Farganis, James, (2000) Reading In Social Theory, The Clasic Tradition
to Post-Modernism, USA:The McGraw-Hill Companies, Inc.
Fathoni, Khoerul and Zen, Muhammad (1992) NU Pasca Khittah:
Prospek Ukhuwwah dengan Muhammadiyah. Yogyakarta : Media
Widya Mandala.
Feith, H., (1970) Introduction. In Feith and Castle, Lance ed.
Indonesian Political Thinking, 19451965. Ithaca : Cornell
University Press.
, (1978) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,
Ithaca and London: Cornell University Press.
, (1957) Indonesian Elections of 1955, Modern Indonesia Project
Southeast Asia Program, Ithac, New York:Cornell niversity.
Fisher, Michael M.J., (1980) Iran: From Religious Dispute to Revolution.
Cambridge : Harvard University Press.
Flaniagan, H. W., (1968) Political Behaviro of the American Electorate,
Boston: Allyn and Bacon.
Fox, James J., (1991) Ziarah Visits to the Tombs of the Wali, the
Founders of Islam on Java. In Ricklefs, M.C. Islam in the
Indonesian Context. Clayton, Victoria : Centre for Southeast Asian
Studies, Monash University.
Fox, James J. and Dirjosanjoto, P., (1989) The Memories of Village
Santri from Jombang in East Java. In May, R.J. and OMallay,
William J. ed. Observing Change in Asia. Bathurst : Crawford
House Press.
Friedrich, Carl J. 1961 Political Leadership and the Problem of the
Charismatic Power, The Journal of Politics, No. 1 February: 324.
229
DAFTAR PUSTAKA
231
232
DAFTAR PUSTAKA
233
DAFTAR PUSTAKA
236
INDEX
Index
A
Abangan 4, 6, 7, 8, 10, 11, 18, 20, 39,
40, 59, 66, 67, 68, 69, 72, 74, 83,
84, 88, 89, 93, 97, 98, 99, 112, 120,
122, 123, 129, 143, 145, 146, 154, 159,
162, 163, 166, 173, 179, 180, 182, 183,
184, 185, 186, 190, 216, 219, 220
Abdurahman Wahid 33, 34, 94, 181
Abikoesno Tjokrosoejoso 31
ABRI 102, 148
Afan Gaffar 143, 184, 220
Agnelia Sondah 158
Agung Laksono 24
Ahmad Sumargono 28
Akbar Tandjung 110
Akbar Tanjung 165
Al-Irsyad 164
Alwi Sihab 27
Amien Rais
Amin Rais 26, 33, 38, 65, 116, 126,
147, 165, 173, 181
Ampelgading 45, 47
Andre Prana 79
Anis Baswedan 4
Anthony Downs 89, 221
Arab 11
Arek 12, 13, 14, 15, 16, 17
Arudji Kartawinata 31
Authoritarian 43
Ayu Sutarto 12
Azymardi Azra 66
B
Bali 14
Bamus 68
Bantur 45, 47
Banyuwangi 14
Baswedan 5
Bedoyo Keraton 15
Bell 73
Blambangan 14
Blessing indisguise 44
C
Castles 29
Catchall party 73, 74, 137, 193, 194, 198,
216
Character assasination 224
Chozin 71
Cina 11, 16
civic disangegament 175
Clifford Geertz 3, 6, 66, 123, 182
Closed list 62
D
Dampit 45, 47, 48
Darul Islam 179
Darul Komar 78
Dau 45, 46
Demokra 22
Demokrat 22, 29, 37, 38, 47, 49, 50,
60, 61, 77, 79, 80, 84, 108, 109, 116,
121, 122, 126, 127, 129, 138, 147, 152,
153, 155, 157, 158, 166, 167, 175,
177, 178, 184, 213, 220, 222
Dhakidae 29
Dibaan 17, 19
Diyah Pitaloka 158
Donomulyo 45, 47, 48
Drs. H. Nurrudin Huda 82
Dwight King 4
E
Edi Sudrajat 23
Eep Saefulloh Fatah 139
237
F
Fatayat 188
Feith 29, 30, 217
Floating mass 43
G
Gedangan 45, 47
Geertz 5, 7, 8, 18, 20, 30, 84, 88,
89, 126, 129, 143, 162, 180, 184, 220, 222
Gerinda
Gerindera 22, 28, 29, 38, 159, 213, 222
Gerrtz 64
GOLKAR 36
Golkar 20, 21, 22, 23, 24, 28, 30, 37,
38, 39, 43, 46, 47, 49, 50, 58, 59, 60,
61, 64, 65, 69, 77, 79, 80, 83, 84, 95,
102, 104, 105, 108, 109, 110, 120, 121,
123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 138,
139, 143, 144,148, 149, 150, 151, 152,
156, 158, 161, 163, 164, 165, 166, 167,
172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 182,
183, 184, 187, 195, 196, 205, 211, 218, 219
Gondanglegi 45
Grassroot 171
Gresik 16
Gus Dur 24, 27, 29, 33, 38, 67, 94,
106, 116, 126, 147, 157, 160, 173, 181, 187,
188, 196, 201
H
H. Fujianto 109
Habibie 156
Hague 136
Hambakawula 18
Hamzah Haz 28
Hanura 22, 29, 38, 80, 159, 213, 222
Harrop 221
Hartono 23
J
Jabung 45
Jakarta 28
Jamus 68
Jawa 13, 14, 15
Jawa Pos 197
Jember 14, 16
Jepang 140
Jombang 16
Junrejo 80, 125
Jusuf Kalla 24, 110
K
K.H. Hasyim Ashari 94
K.H. Hasyim Asyari 188
K.H. Hasyim Muzadi 189
Kali Brantas 13, 16
Kalipare 46
Kalipere 45
KAMI 34
Karangploso 45, 46
Karl D. Jackson 8, 179, 189
Kasembon 48
Kediri 15, 16, 42
Kedungkandang 50, 51, 93
238
INDEX
Kepanjen 45
Kesambon 45, 46
KH. Hasyim Asyari 173
Klojen 49, 50
Komunis 29, 36, 41
Komunisme 29, 30
Komaruddin Hidayat 67
Konservatif 93, 187, 201
Kopasus 28
Kristen 4, 67, 69, 70, 90, 199
Kromengan 45, 46, 48
Kuda tuli 24
Kuntowijoyo 13
Kyai 17, 19, 20, 21, 71, 104, 105, 106,
120, 152, 160, 187, 188, 189
L
Lamongan 15
Lawang 45, 154
Liddle 5
Lowok Waru 52
Lowokwaru 49, 50, 51, 93, 109, 198
Lumajang 14
M
M. Yudhie Haryono 67
Madiun 15, 42, 158
Madura 11, 12, 13, 14, 21, 42
Magetan 15, 158
Magis-religius 18
Majapahit 16
Malang Pos 197
Marginal turnover 75
Marhaen 156
Marhaenis 72
Marhaenisme 67, 68, 121
Mark N Hagopian 114
Marxis 6
MASYUMI 31
Masyumi 8, 26, 28, 29, 30, 31, 32,
34, 36, 39, 41, 42, 118, 124, 126, 128,
156, 161, 165, 179, 203
Mataram 14, 15, 16
Mataraman 12, 13, 14, 15, 21
N
Nabi Muhammad 90
Nangru Aceh Darussalam 211
Nasakom 29, 32
Nasionalis 4, 11, 18, 20, 21, 29, 30,
31, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42,
64, 67, 68, 69, 70, 72, 74, 75, 76,
77, 83, 89, 111, 112, 120, 122, 123, 125,
126, 154, 159, 160, 161, 162, 173, 176,
181, 183, 192, 193, 194, 199, 215, 216,
218, 219
Nasionalis-Religius 23, 155
Nasionalisme radikal 29, 30
Neo-patrimonial 18
Ngajum 45, 46
Nganjuk 15, 158
Ngantang 45, 46
Ngawi 15
239
O
Oligarki 200
Open list system 62
Ortodok 179
P
Pacitan 15
Pagak 45, 47, 48
Pagelaran 45
Pakis 45
Pakisaji 45, 46, 48
PAN 21, 22, 26, 28, 33, 34, 35, 38,
39, 47, 49, 50, 58, 59, 61, 64, 65, 66,
67, 75, 77, 78, 79, 83, 84, 91, 105,
106, 109, 116, 117, 118, 119, 123, 125,
126, 127, 128, 129, 131, 147, 156, 158, 161,
165, 172, 175, 176, 177, 178, 181, 182,
187, 201, 202, 203, 217, 218, 219, 220,
222
Pancasila 30, 33, 38, 40, 47, 66, 70,
91, 92, 94, 117, 183, 201
Pandalungan 12, 13, 14, 21
Pare 16
Parkindo 36, 37
Parliamentary threshod 216, 223
Parmusi 32, 37
Partially constructed 175
Partindo 30
Pasuruan 14
patrimonial 19
Patron 19
Patron-clien 19
PBB 22, 28, 30, 34, 35, 39, 49, 72,
75, 77, 84, 117, 125, 126, 128, 156,
165, 178, 182, 203, 217
PBN 123
PBR 35, 75
PDI 28, 36, 43, 44, 58, 143, 211
PDIP 4, 11, 20,, 21, 22, 24, 25, 30,
38, 39, 45, 46, 49, 59, 60, 61, 65, 66,
68, 69, 70, 72, 74, 75, 77, 79, 80, 82,
83, 84, 92, 96, 97, 98, 99, 101, 102,
105, 106, 108, 109, 111, 113, 116, 121, 122,
124, 125, 127, 128, 129, 130, 138, 147,
153, 154, 155, 156, 158, 161, 163, 164,
165, 167, 168, 172, 173, 176, 177, 178,
184, 195, 196, 198, 199, 201, 205, 218,
219, 220, 222
PDS 49, 66, 70
Pendem 80, 125
Persis 164
PERTI 32
Perti 37
Pesantren 17, 19, 20, 104, 105, 108
Piagam Jakarta 40, 91, 92
PIB 80
PK 34, 125, 126
PK Sejahtera 21
PKB 21, 22, 27, 28, 33, 34, 35, 38,
39, 45, 46, 47, 49, 58, 59, 60, 61,
65, 67, 70, 71, 75, 77, 83, 84, 87, 88,
94, 95, 96, 105, 108, 109, 116, 117, 118,
119, 120, 125, 126, 127, 130, 138, 147,
151, 152, 156, 157, 158, 160, 162, 164,
165, 167, 172, 173, 174, 175, 176, 177,
178, 181, 182, 184, 187, 188, 189, 196,
205, 217, 218, 219, 222
PKI 29, 30, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 157
PKNU 35, 66, 158, 159
PKP 23, 37
PKPB 23
PKS 22, 25, 26, 28, 33, 34, 35, 47,
50, 61, 62, 66, 72, 75, 77, 79, 82, 84,
91, 116, 119, 126, 128, 141, 147, 151,
152, 163, 166, 167, 175, 177, 178, 182,
184, 187, 188, 196, 197, 201, 202, 203,
217, 218, 220
PKU 34, 174
Pluralisme 58, 61, 75
Plurality-majority 63
240
INDEX
PMI 179
PMII 188
PNBK 37, 68, 80, 121
PNI 24, 29, 30, 35, 36, 37, 39, 40,
41, 42, 97, 161, 218
PNU 34, 35, 174
Poncokusumo 45
Ponoragan 12
Ponorogo 158
Populis 72
Potehi 16
PPNU 182, 187, 189
PPNUI 35
PPP 21, 22, 24, 28, 32, 34, 35, 36, 37,
39, 43, 44, 47, 49, 58, 59, 65, 66, 70,
71, 72, 75, 77, 84, 94, 95, 108, 109, 117,
119, 125, 126, 143, 149, 156, 158, 160,
162, 165, 173, 178, 182, 187, 189, 196,
211, 217, 219
PPTI 32
Prabowo 28, 29
Prabowo Subianto 38
Pratikno 176
Prawiroatmojo 13
PRD 30, 123
Primordialisme 211
Primus 158
Priyayi 4, 6, 7, 20, 39, 59, 64, 66,
84, 89, 126, 143, 162, 179, 182, 219
Probolinggo 14, 16
Prof, Kaprawi, SH 78
Prof. Dr. Gayus Lumbuun 82
Proportional list 62
Proportional open list 78, 81
Propotional closed list 78
PSI 30
PSII 31, 34, 37
PSII 1905 34
PUI 34
Pujon 45, 46
R
R. William Liddle 120
Religio-sosial 30
S
Saefullah Yusuf 27
Saiful Mujani 4
Saleh Djasit 62, 79
Samin 12, 14
Sandur 17
Santri 4, 6, 7, 8, 10, 11, 17, 18, 20,
39, 66, 67, 68, 69, 74, 83, 84, 88,
90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 103,
105, 111, 120, 122, 123, 126, 127, 129,
140, 145, 146, 152, 159, 160, 163, 164,
165, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185,
187, 189, 190, 197, 201, 203, 215, 216,
219, 220
Sartono 36
Sartono Kartodidjo 104
SBY 22, 23, 25, 29, 155, 157, 166, 167
Sekuler 67, 68, 70, 76, 120, 121
Shock therapy 198
Sidoarjo 16
Simple majority 62
Singosari 45, 47, 154
Siti Nurjanah 80
Situbondo 14
Social cleavages 89
Soeharto 23, 24, 26, 28, 29, 117
Soekarno 24, 29, 30, 36, 97, 156,
160, 161, 194
Soekarnois 72
Soeryadi 100
Soetrisno Bachir 26
Soleh 83
Sosial Demokrat 67
Sosialisme 30
Sosialisme 30, 75
Sosialisme demokratis 29
Sosio-religi 184
Sri Rahayu 82, 155
241
Srimulat 16
Stambus accord 62
Strong Abangan 184
Subur Triono 79, 157
Suhadi 144
Sukun 49, 50, 51
Sulawesi 156
Sumbermanjing Wetan 45, 47
Sumberpucung 45, 46
Sunaryo 36
Sunda 11
Suni 126
Sunni 90
Supeni 156
Surabaya 16, 42
Surakarta 12, 15
Suryadarma Ali 28
Suryadinata 30
Swing votes 60, 177, 218, 213
Syaodah 80
Syiah 90
U
UGM 26
V
Vote getter 97
T
Tajinan 45
Talk show 197
Tantowi Yahya 158
Tengger 12, 14
Tirtoyudo 45, 47
Tjipto Mangunkusumo 36
Tradisiona 152
Tradisional 10, 18, 20, 21, 28, 39, 44,
52, 67, 71, 83, 88, 93, 94, 95, 96,
105, 107, 111, 119, 123, 126, 127, 149,
152, 160, 164, 165, 173, 181, 182, 183,
185, 188, 189, 201, 216, 219
Y
Yogyakarta 12, 15
Yusril Ihza Mahendra 28
Z
Zafin 17
242