Anda di halaman 1dari 3

Penerapan Kebijakan Tax Amnesty di Indonesia

Pro:

Pajak merupakan elemen yang sangat penting dan dominan dalam menyokong
pendanaan penyelenggaraan pemerintah. Sesuai dengan amanat dalam Pasal 23A
UUD 1945, pajak merupakan bagian penting dari keperluan negara.
Sejalan dengan Teori Pembangunan dalam ilmu Pajak, Pajak digunakan untuk
membiayai kepentingan umum yang pada akhirnya akan mencakup kepentingan
pribadi individu. Seperti kesehatan masyarakat, pendidikan, dan pembangunan. Kita
dapat menikmati aliran listrik, aliran air, dan efek pembangunan negeri ini karena
pajak.
Hal tersebut didasari bahwa target APBN-P 2015 sebesar Rp1.489,3 Triliun atau
84,5% dari total pendapatan negara. Dibandingkan sumbangan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp 269,1 triliun. Sehingga dapat ditarik sebuah
kesimpulan, penerimaan negara yang berasal dari pajak sangat memiliki peran penting
dalam neraca keuangan pemerintah.
Tetapi berdasarkan data yang tercatat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Per 29
Oktober 2015 penerimaan pajak baru mencapai 58,59% yaitu Rp 758,2 triliun.
Data terakhir yang dilansir Bank Indonesia menyatakan dari total Rp 4025 triliun,
jumlah valas yang mendominasi transaksi orang Indonesia adalah dollar singapura,
dollar AS, dan ringgit malaysia, yang secara keseluruhan mencapai 3109,4 triliun.
Ranking pertama Singapura yang mencapai 3000 triliun. Amerika Serikat 65 triliun,
dan Malaysia 44,4 triliun. Data-data fakta ini menunjukkan kekayaan uang Indonesia
yang masih senantiasa mengalir di luar negeri.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, dengan dana kekayaan yang begitu besar, kenapa
penyerapan anggaran 2015 kita, baru mencapai 84,5%?
Hal ini dapat berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk
menghindarkan pembayaran pajak secara jujur, dan dikenal dengan istilah Ekonomi
Bawah Tanah (underground economy). Kegiatan underground economy tersebut tidak
pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir surat pemberitahuan tahunan
(SPT) Pajak Penghasilan atau memperkecil pajak terutang dengan tidak melaporkan
sebagian penjualan dengan cara fiktif sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan
pajak (tax evasion). Sehingga timbul pertanyaan, mekanisme seperti apa yang dapat
dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk dapat memancing para pengemplang pajak
ini? Tentunya mekanisme tersebut adalah mekanisme yang bersifat push and pull,
sebuah mekanisme yang dapat menekan para pengemplang pajak untuk mau
mengakui perbuatannya melalui kebijakan yang dapat menarik pengemplang pajak
tersebut.
Diterapkannya kebijakan tax amnesty di Indonesia merupakan jawaban dari
mekanisme push and pull tersebut.
Penerapan mekanisme yang dapat menarik (pull mechanism) para pengemplang pajak
adalah kebijakan Tax amnesty, yang memberikan pengampunan atas pokok pajak

yang terutang di masa lalu, termasuk sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidana
pajaknya.
Penerapan mekanisme yang dapat mendorong (Push mechanism) rekan-rekan, adalah
dengan penegakan hukum yang semakin ketat, setelah periode pemberian tax amnesty
itu diberikan. Yang perlu diperhatikan juga adalah terkait dengan Kebijakan
Keterbukaan Bank pada September 2017, yang disepakati negara-negara OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) dan G20 (Group of
Twenty) terkait automatic exchange of information (pertukaran informasi secara
otomatis) yang tidak akan lagi menyeret urusan bilateral. Sehingga tidak ada lagi
orang yang bisa sembunyi atau menghindar dari kewajiban pajak. Sehingga layaknya
buah simalakama terhadap para pengemplang pajak, jika mereka tidak sesegera
mungkin mengajukan surat permohonan, kelak mereka juga akan terancam untuk
ditangkap oleh Dirjen Pajak.
The Life of the Law has not been logic, it has been experience Oliver Holmers,Jr.
Indonesia memilki pengalaman melakukan tax amnesty pada tahun 1964 (Penetapan
Presiden No.5/1964) dan Pada tahun 1984 (Keputusan Presiden No.72 Tahun 1984
perubahan keputusan presiden No.26 tahun 1984 tntng Pengampunan Pajak).
Sehingga Indonesia memiliki banyak pengalaman, sebagai dasar membangun
mekanisme tax amnesty yang baik dan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Tax Amnesty sejalan dengan Kebijakan Non Penal (Non penal policy) yang
merupakan bagian dari kebijakan sosial yang pada hakikatnya merupakan upaya
perlindungan masyarakat (social defence).
Melalui kebijakan tax amnesty, kita dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat
untuk semakin peka menjadi seorang wajib pajak. Sejalan dengan Teori Kesadaran
hukum, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang dapat menyadarkan masyarakat.
Adam Smith mengemukakan salah satu asas pemungutan pajak dari The Four
Cannons Maxims Taxation adalah Asas Economic of Collection, yang mengharuskan
biaya dalam melakukan pemungutan pajak harus relatif kecil dibandingkan dengan
pajak yang masuk. Tax amnesty menawarkan konsep yang ekonomis, dengan
memancing para masyarakat yang tidak taat pajak, untuk datang dengan sendirinya
menjadi wajib pajak yang taat.

Kontra:

Pasal 1 butir 1 UU No.28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyatakan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi/ badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
Klausa Kontribusi wajib kepada negara memberikan sebuah makna jelas, bahwa
Hukum harus ditegakkan dalam proses pemungutan Pajak.
Fiat jutitia pereat mundus, King Ferdinand I. Hendaklah keadilan ditegakkan,
walaupun dunia harus binasa.

Keadilan adalah tujuan hukum. Pelaksanaan Pengampunan Pajak terhadap para


pengemplang pajak, jelas menciderai tujuan hukum itu sendiri.
Tax amnesty juga memberikan rasa ketidak adilan bagi para wajib pajak yang telah
taat membayar pajaknya selama ini. Salah satu Teori Pemungutan Pajak adalah Teori
Kepentingan, teori ini menekankan bahwa pembagian beban pajak pada penduduk
seluruhnya harus didasarkan pada kepentingan negara/ pemerintahan untuk memberi
manfaat bagi masyarakatnya. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk
menunaikan kewajibannya selayaknya dibebankan kepada seluruh penduduk.
Bukankah para wajib pajak yang tidak taat, artinya mereka tidak memberikan
kontribusi untuk meringankan beban negara? Apakah kita sudah lupa adagium No
taxation with without participation? Ini menekankan betapa pentingnya pemenuhan
hak bagi para wajib pajak! Dengan memberikan pengampunan bagi para pelanggar
pajak, sama saja dengan tidak memberikan keadilan yang merupakan esensi dari
hukum itu sendiri.
Tax Amnesty juga sama saja memberikan sinyal bahwa otoritas pajak kita tidak
mampu dalam melakukan penegakan hukum. Tentunya ini bertentangan dengan
Kedaulatan yang dianut oleh Indonesia.
Tax Amnesty juga tidak memberikan jaminan bahwa dana yang didapat juga akan
lebih besar. Kita memiliki mekanisme sanksi atas pelanggaran pajak. Dari sanksi
denda sampai sanksi pidana. Pasal 39 ayat 1 UU No.27/2008 menegaskan denda
yang harus dibayar paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang, dan denda yang paling
banyak 4 kali dari jumlah pajak terutang atau tidak dibayar. Mekanisme sanksi dan
hukuman, juga lebih menegaskan Kepastian Hukum yang merupakan tujuan hukum
itu sendiri.
Tax Amnesty juga sama sekali tidak memberikan manfaat, potensi disalahgunakannya
tax amnesty juga lebih besar. Pengisian surat permohonan pengampunan yang juga
didasari Self Assessment System, sama saja memberikan peluang bagi para
pengemplang pajak untuk kembali berbohong untuk menghindari pembayaran uang
tebusan yang lebih besar. Sehingga tax amnesty terbukti tidak efektif.
Solusi yang paling baik adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan
memberikan pelayanan yang baik kepada wajib pajak. Peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan pajak. Perbaikan sistem perpajakan yang selalu diperbaharui
seiiring perkembang jaman.
Sistem auditing perpajakan oleh akuntan publik yang kredibel juga menjadi dasar
perbaikan sistem pengawasan pajak.

Anda mungkin juga menyukai