Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit reaksi
autoimun. Penyakit autoimun ini bersifat kronis dan multi sistem yang
disebabkan oleh pengendapan kompleks imun dengan manifestasi klinik yang
beragam pada beberapa organ tubuh. Antibodi yang seharusnya melindungi tubuh
terhadap berbagai antigen asing yang mengakibatkan gangguan pada tubuh
malah merusak organ tubuh itu sendiri. Beberapa organ tubuh yang terkena
diantaranya kulit, sistem syaraf, darah, muskuloskeletal, ginjal, jantung, paru dan
bahkan bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan.4

B. Epidemiologi
Diperkiranan penderita SLE mencapai 5 juta orang diseluruh dunia.
Prevalensi SLE di India sangat kecil ditemukan 3 kasus per 100.000 populasi
yang dilaporkan. Kejadian SLE di UK dilaporkan 49,6 kasus per 100.000
populasi.
Data tahun 2005 di Indonesia angka kejadian penderita SLE di RSU Dr.
Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit
ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low
back pain. Penderita SLE di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Januari
sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dan 1 orang meninggal dunia.

Data penderita SLE di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 meningkat


sebanyak 10.314 kasus dan angka ini terus meningkat pesat. Sebanyak 8 dari 10
kasus baru yang muncul terjadi pada wanita usia 15-60 tahun). Tingginya kasus
SLE ini merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai karena banyak faktor
merugikan yang mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem autoimun.
Penyakit SLE menyerang hampir pada 90% wanita yang terjadi pada
rentang usia reproduksi antara usia 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki
adalah 5 : 1.5
C. Etiopatogenesis
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun
diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.3
1. Autoimun
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien

menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T

menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha


mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit
sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya
sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu
disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE
yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. 3
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua

tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan
penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk
pasien SLE. 3 Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun

oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya

deposit

kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan


mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada
organ yang bersangkutan.1
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung
darah.3
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,
namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan
gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.

Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.
2. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita
SLE. 1 Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi
klinik yang berbeda) 4 sedangkan non-identik 2-9%.1 Jika seorang ibu menderita
SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang
sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan

haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR 2 dan HLA-DR3

serta

komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. 1


Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan
bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong
dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal. 3
3. Faktor Lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan. 3

Virus
Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah

virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus EpsteinBarr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya
cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan
fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3

Sinar matahari
Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE.

Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit
dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan
memberikan respon autoimun. 3

Drug-Induced Lupus
Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai

gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang
pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan
SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan
manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.

Hormon
Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan

flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan


langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon

androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level
androgen yang abnormal.3 Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin
dapat merangsang respon imun. 1

D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi.
1. Sistemik
Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti
demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
menggigil.
2. Muskulosketal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya
mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi
yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya
tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang
ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri
otot dan miositis.

Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan

metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.


3. Hematologi
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia, antikoasalan lupus.

4. Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi. Pada
bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks. 1
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1
5. Sistem saraf
Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun
dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa
gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome,
dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta
gangguan ingatan dan konsentrasi ringan.

6. Kardiopulminal
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat
menimbulkan nyeri dan arithmia.
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti
infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
7.

Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan

komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas


terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler.
Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di
daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak
IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).2
8. Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,

muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3
9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada
retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tibatiba.3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1
10. Kehamilan
Abortus berulang, preeklamsia dan kematian janin
Tabel 1.1 Persentase spektrum klinis SLE6
Sistem Organ
Sistemik
Muskuloskeletal
Hamatologi

Manifestasi Klinik
Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan
Artralgia, mialgia, poliartritis, miopati
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia,

Kulit

antikoasalan lupus.
Ras kupu-kupu, ruam kulit, fotosensivitas, ulkus mulut, 80

Neurologik

hopesia, ras kulit


Disfungsi kongenital, gangguan berpikir, sakit kepala, 60

Kardiopulmonal

kejang
Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libman- 60

Ginjal
Gastrointestinal
Mata
Kehamilan
E. Diagnosis
Tabel 1.2

Sacks
Proteinuria, sindroma nefrotik, gagal ginjal
Anoreksia, mual, nyeri, diare
Infeksi konjungtiva
Abortus berulang, preeklamsia, kematian janin

%
95
95
85

60
45
15
30

Kriteria Diagnosis SLE menurut American College of

Rheumatology, revisi tahun 1997.6

Kriteria untuk Kelainan Kulit

1.

Ruam Malar (butterfly rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah

2.

Ruam/ lesi discoid

malar dan cenderung tidak melibatkan lipatNasolabial


Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan

Fotosensitifitas

folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukanparut atrofik


Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap

3.

sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atauyang


4.

dilihat oleh dokter pemeriksa


Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan

Ulkus mulut

dilihat oleh dokter pemeriksa


Kriteria Sistemik
5. Artritis
6.

Serositis,

yaitu

Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi


perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi
PleuritisRiwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang

Perikarditis

didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi


pleura.Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial

7.

Gangguan renal

friction rub atau terdapat bukti efusiperikardium.


a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatifatau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,

8.

Gangguan neurologi

hemoglobin, granular, tubular atau campuran.


a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidak-seimbangan elektrolit).atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau

gangguan

metabolik

(misalnya

uremia,

ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).


Kriteria Laboratorium
9. Kelainan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulosisatau


b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan

10. Kelainan imunologik

oleh obat-obatan
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen


nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan
positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes
serologi positif palsu terhadap sifilis paling tidak selama
6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklearpositifTiter abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
(ANA)

pemeriksaan

imunofluoresensi

atau

pemeriksaan

setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit


tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. 6
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan
adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs

test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin


terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin
pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada
urin. 7
b. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan
berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan
tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan
sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam
upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan
penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian
yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya.
Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang
terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan
sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi
autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T,
cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi
poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya
gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher.
Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin
bertambahnya usia seseorang.

Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.


Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau
turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi
terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik
autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya. 7
c. Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi.
ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan
yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. 7

F.

Penatalaksanaan LES secara umum.

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam


penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk

kelompok

penderita

yang

bertemu

secara

berkala

untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami


fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok. 1
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama


penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan

kontraindikasi

untuk

kehamilan,

misalnya

antimalaria

atau

siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan 23


memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. 1
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya. 1
G. SLE Pada Kehamilan
1. Pengaruh Kehamilan terhadap SLE
Masih

belum

dapat

dipastikan

apakah

kehamilan

dapat

mencetuskan SLE, eksaserbasi SLE pada kehamilan tergantung dari


lamanya masa remisi SLE Keterlibatan organ organ vital seperti ginjal.
Penderita LES yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum
hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran
kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil
kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi
50% dengan luaran kehamilan yang buruk.

Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif maka risiko
kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan
meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu
13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23%
pada masa nifas.6
2.

Pengaruh LES terhadap Kehamilan


Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas
penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran
kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang biasa terjadi pada
kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil
normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin
menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan
dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark
plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko terjadinya
Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjkadinya
preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita LES yang
disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat. Membedakan
preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi,
protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Kriteria dibawah ini dapat
dipakai untuk membedakan kedua keadaan diatas.6

Tabel 1.3. Perbedaan preeklamsia dengan eksaserbasi lupus renal. 6


Kadar C3/C4

Preeklamsia
Membaik

Gagal Gijal
Menurun

Kadar Anti-dsDNA

Tidak ada perubahan

Meningkat

Sedimen urin

Ringan

Aktif

Respon terhadap steroid

Memburuk

Membaik

3.

Sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN)


LEN merupakan komplikasi kehamilan dengan SLE yang mengenai
janin dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi
kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik
lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada
saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for
Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
a. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada
serum ibu.
b. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus.1
Kelainan konduksi jantung/blok jantung congenital ditemukan 1
diantara 20.000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti
SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada
penderita SLE maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital
berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak
ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan
wanita.

Patogenesis blok jantung congenital neonatus pada penderita SLE


dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui.
Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibody melalui
plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma
imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi
transfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan
manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini
ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau
plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital
neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk
seorang ibu yang menderita LES dan ingin hamil. 5

4.

Kapan Seorang SLE bisa hamil


Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknya merencanakan

kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya menunda kehamilan hingga
penyakit SLE telah mencapai masa remisi

selama minimal 6 bulan sebelum

konsepsi untuk mencegah resiko terjadinya dampak yang buruk terhadap ibu dan
janin.5
Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelumnya
mempunyai resiko 25% terjadinya eksaserbasi pada saat hamil

dan

90%

kehamilannnya baik. Tetapi bila masa remisi SLE sebelum hamil

kurang

dari

enam

bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50%.

Akibatnya terjadi komplikasi selama kehamilan baik pada ibu maupun


dengan prognosis yang jelek.

janin

Dampak terhadap ibu yaitu meningkatnya

resiko preeklamsi dan

eklamsi dengan prediktor diantaranya nefritis dan

tingginya

Systemic Lupus Erythmatosus Disease Activity Index

(SLEDAI).

skor
Dampak

buruk pada janin berakibat resiko kelahiran prematur, kelainan pertumbuhan


janin dan kematian janin dan syndrom neonatal lupus.

5.

Prenatal care
Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap
tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah
lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti
DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti
SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap
trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan
pemeriksaan ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk
mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok
jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari
selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan
sampai lahir. 5

6.

b.

Penatalaksanaan
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan
kehamilan yaitu :
a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE
Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal sehingga
dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya Lupus
Eritematosus Neonatal.5

Pada umumnya penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga


disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan
untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi
atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah
terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami
demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika
profilaksis.

Modalitas

utama

pengobatan

SLE

adalah

pemberian

kortikosteroid,antiinflamasi nonsteroid, aspirin, antimalaria, dan Imunosupresan.6


Pemberian kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada
kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita SLE
yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka
panjang seperti prednisone dan prednisolon, hidrokortison pada

kehamilan

umunya aman, karena glukokortikoid itu segera akan mengalami

inaktivasi oleh

enzim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolic 11-keto yang inaktif,


sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki

janin.

Pada

manifestasi klinik SLE yang ringan, umumnya diberi prednisone oral dalam dosis
rendah 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi

klinis

yang

berat

Pemberian

bolus

diberikan prednisolon dosis 1 mg 1,5

mg/kgBB/hari.

metilprednisolon intravena 1 gram atau15

mg/kgBB selama 3-5 hari dapat

dipertimbangkan untuk mengganti

glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada

penderita yang tidak memberikan

respon pada terapi oral. Setelah pemberian

glukokortikoid selama 6 minggu, harus mulai dilakukan penurunan dosis obat


secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila
timbul eksaserbasi dosis dikembalikan seperti dosis sebelumnya.

Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam


dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin yang

terhambat,

ketuban

pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi, dan


osteoporosis. 5
Imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak responsive terhadap
terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofostamid diberikan

bolus

intravena 0,5 g/m2 body surface dalam 150 cc NaCl 0,9 selama 60 menit
dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi peberian

diikuti

Siklofosfamid

adalah sebagai berikut :


a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi
b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
c. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka
panjang/berulang
d. Glomerulonefritis difus awal
e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
f. Penurunan laju fitrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa
disertai denganfaktor ekstra renal lainnya.
g. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat
Pemberian siklofosfamid pada perempuan hamil tersebut tidak dianjurkan
secara rutin kecuali benar-benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan
dimana keselamatan ibu merupakan hala yang utama.
Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan kegagalan ovarium premature dan kelainan bawaan pada
janin.5
Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada
perempuan hamil adalah azatioprin dan siklosporin. Untuk mengantisispasi
kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat persalinan atau pembedahan,
sebaiknya penderita dipayungi dengan metal prednisolon dosis tinggi sampai
48 jam pascapersalinan, setelah itu dosis obat diturunkan.
Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama air
susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali

Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian


aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan
kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi
salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan
prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus.
Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum
persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan
7.

sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.5
Pemilihan kontarsepsi pasca persalinan
Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang
sangat penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar
estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat
mencetuskan LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai
kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi
oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan
alternatif yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan. Pemakaian
alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat
meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai
imunosupresan yang lama.5

8.

Prognosis
Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat
konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi terdapat
riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4 atau lebih
akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE yang telah

mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko
25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan dengan bila masa remisi SLE
sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada saat
hamil menjadi 50% dengan dampak kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE sangat
ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi
mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan dengan sebelum
mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau menderita flare yang
relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan akan melahirkan bayi yang
sehat.5

Anda mungkin juga menyukai