TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit reaksi
autoimun. Penyakit autoimun ini bersifat kronis dan multi sistem yang
disebabkan oleh pengendapan kompleks imun dengan manifestasi klinik yang
beragam pada beberapa organ tubuh. Antibodi yang seharusnya melindungi tubuh
terhadap berbagai antigen asing yang mengakibatkan gangguan pada tubuh
malah merusak organ tubuh itu sendiri. Beberapa organ tubuh yang terkena
diantaranya kulit, sistem syaraf, darah, muskuloskeletal, ginjal, jantung, paru dan
bahkan bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan.4
B. Epidemiologi
Diperkiranan penderita SLE mencapai 5 juta orang diseluruh dunia.
Prevalensi SLE di India sangat kecil ditemukan 3 kasus per 100.000 populasi
yang dilaporkan. Kejadian SLE di UK dilaporkan 49,6 kasus per 100.000
populasi.
Data tahun 2005 di Indonesia angka kejadian penderita SLE di RSU Dr.
Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit
ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low
back pain. Penderita SLE di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Januari
sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dan 1 orang meninggal dunia.
tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan
penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk
pasien SLE. 3 Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun
deposit
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.
2. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita
SLE. 1 Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi
klinik yang berbeda) 4 sedangkan non-identik 2-9%.1 Jika seorang ibu menderita
SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang
sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan
serta
Virus
Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah
virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus EpsteinBarr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya
cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan
fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3
Sinar matahari
Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE.
Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit
dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan
memberikan respon autoimun. 3
Drug-Induced Lupus
Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai
gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang
pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan
SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan
manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.
Hormon
Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan
androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level
androgen yang abnormal.3 Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin
dapat merangsang respon imun. 1
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi.
1. Sistemik
Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti
demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
menggigil.
2. Muskulosketal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya
mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi
yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya
tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang
ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri
otot dan miositis.
4. Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi. Pada
bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks. 1
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1
5. Sistem saraf
Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun
dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa
gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome,
dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta
gangguan ingatan dan konsentrasi ringan.
6. Kardiopulminal
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat
menimbulkan nyeri dan arithmia.
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti
infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
7.
Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3
9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada
retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tibatiba.3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1
10. Kehamilan
Abortus berulang, preeklamsia dan kematian janin
Tabel 1.1 Persentase spektrum klinis SLE6
Sistem Organ
Sistemik
Muskuloskeletal
Hamatologi
Manifestasi Klinik
Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan
Artralgia, mialgia, poliartritis, miopati
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia,
Kulit
antikoasalan lupus.
Ras kupu-kupu, ruam kulit, fotosensivitas, ulkus mulut, 80
Neurologik
Kardiopulmonal
kejang
Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libman- 60
Ginjal
Gastrointestinal
Mata
Kehamilan
E. Diagnosis
Tabel 1.2
Sacks
Proteinuria, sindroma nefrotik, gagal ginjal
Anoreksia, mual, nyeri, diare
Infeksi konjungtiva
Abortus berulang, preeklamsia, kematian janin
%
95
95
85
60
45
15
30
1.
Ruam Malar (butterfly rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
2.
Fotosensitifitas
3.
Ulkus mulut
Serositis,
yaitu
Perikarditis
7.
Gangguan renal
8.
Gangguan neurologi
gangguan
metabolik
(misalnya
uremia,
oleh obat-obatan
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal atau
pemeriksaan
imunofluoresensi
atau
pemeriksaan
F.
kelompok
penderita
yang
bertemu
secara
berkala
untuk
kontraindikasi
untuk
kehamilan,
misalnya
antimalaria
atau
belum
dapat
dipastikan
apakah
kehamilan
dapat
Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif maka risiko
kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan
meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu
13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23%
pada masa nifas.6
2.
Preeklamsia
Membaik
Gagal Gijal
Menurun
Kadar Anti-dsDNA
Meningkat
Sedimen urin
Ringan
Aktif
Memburuk
Membaik
3.
4.
kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya menunda kehamilan hingga
penyakit SLE telah mencapai masa remisi
konsepsi untuk mencegah resiko terjadinya dampak yang buruk terhadap ibu dan
janin.5
Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelumnya
mempunyai resiko 25% terjadinya eksaserbasi pada saat hamil
dan
90%
kurang
dari
enam
bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50%.
janin
tingginya
(SLEDAI).
skor
Dampak
5.
Prenatal care
Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap
tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah
lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti
DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti
SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap
trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan
pemeriksaan ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk
mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok
jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari
selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan
sampai lahir. 5
6.
b.
Penatalaksanaan
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan
kehamilan yaitu :
a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE
Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal sehingga
dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya Lupus
Eritematosus Neonatal.5
Modalitas
utama
pengobatan
SLE
adalah
pemberian
kehamilan
inaktivasi oleh
janin.
Pada
manifestasi klinik SLE yang ringan, umumnya diberi prednisone oral dalam dosis
rendah 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi
klinis
yang
berat
Pemberian
bolus
mg/kgBB/hari.
terhambat,
ketuban
bolus
intravena 0,5 g/m2 body surface dalam 150 cc NaCl 0,9 selama 60 menit
dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi peberian
diikuti
Siklofosfamid
sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.5
Pemilihan kontarsepsi pasca persalinan
Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang
sangat penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar
estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat
mencetuskan LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai
kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi
oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan
alternatif yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan. Pemakaian
alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat
meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai
imunosupresan yang lama.5
8.
Prognosis
Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat
konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi terdapat
riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4 atau lebih
akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE yang telah
mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko
25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan dengan bila masa remisi SLE
sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada saat
hamil menjadi 50% dengan dampak kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE sangat
ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi
mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan dengan sebelum
mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau menderita flare yang
relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan akan melahirkan bayi yang
sehat.5