Semburan gunung lumpur telah menarik perhatian orang sejak dulu dan dikaitkan dengan legenda
yang berkembang di masyarakat. Di daerah Purwodadi dan sekitarnya keberadaan gunung lumpur
banyak ditemukan. Secara fisiografi daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Randublatung yang
dibatasi di bagian utara oleh Zona Rembang dan di bagian selatan oleh Zona Kendeng. Penelitian
dilakukan pada Gunung lumpur (bledug) Kesongo yang terletak di Desa Kesongo dengan koordinat 7o
9 19,93 LS 111o 15 14,82 BT dan Gunung lumpur Crewek yang terletak di Desa Crewek dengan
koordinat 7o 9 4,62 LS 111o 6 47,00 BT. Beberapa contoh lumpur, batuan dan fragmen batuan
seperti foraminiferal grainstone, batupasir karbonatan, fosil tulang invertebrata serta koral diambil
dari kedua tempat tersebut untuk dilakukan analisa paleontologi. Kedua gunung lumpur ini
mempunyai posisi dan kenampakan morfologi yang berbeda. Gunung lumpur Kesongo berada di
dataran bergelombang, berbentuk kubah berdiameter 1,3 km yang terletak di Antiklin Gabus dan
menerobos satuan batunapal yang tersingkap di permukaan sekitar gunung lumpur tersebut. Gunung
lumpur Crewek berada di dataran, berbentuk bukit kecil dengan diameter kurang dari 100 m dan
dikelilingi oleh endapan limpah banjir. Hasil analisa paleontologi pada lumpur dari Kesongo
menunjukkan kumpulan fosil foraminifera planktonik yang mempunyai dua kisaran umur yaitu N1819, N14 dan N7-N9, sedangkan analisa foraminifera besar dari fragmen batuannya menunjukkan
umur Miosen Awal Tengah. Kumpulan fosil dari batunapal menunjukkan kisaran N17-19. Lumpur
Crewek menunjukkan kisaran N18, N12 dan N7-8. Dari kumpulan fosil tertua yang terdapat pada
masing-masing gunung lumpur maka diperkirakan lumpur di Gunung lumpur Kesongo berasal dari
Formasi Tawun bagian bawah dengan fragmen batuan yang diterobos berasal dari Formasi Wonocolo
dan Ngrayong, sementara batunapal yang berada di sekitarnya termasuk ke dalam Formasi Mundu.
Lumpur pada Gunung lumpur Crewek berasal dari Formasi Tawun.
PENDAHULUAN
Gunung lumpur (mud volkano/bledug) banyak dijumpai di sekitar Purwodadi hingga
menuju ke arah Blora. Fenomena gunung lumpur ini sudah lama terjadi sehingga masyarakat
sekitar gunung lumpur sudah terbiasa dan memanfatkan kehadiran fenomena ini.
Pemanfaatannya berupa pembuatan garam, penambangan minyak bumi dan pariwisata.
518
S06
Walaupun sudah lama terjadi dan banyak muncul di sekitar Purwodadi namun penelitian
mengenai gunung lumpur di daerah ini masih terbatas berbeda dengan Gunung lumpur
Sidoarjo (LUSI) yang baru saja terjadi namun sudah banyak penelitian dilakukan disana
seperti Mazzini et al. (2007,2009), Davies et al (2008, 2011), Mori & Kano (2009), Rudolph
(2011, 2013) dan lain-lain. Sementara itu penelitian terbaru mengenai gunung lumpur di
daerah Purwodadi-Blora dilakukan oleh Satyana dan Asnidar (2008).
Sebagian besar Gunung lumpur di sekitar Purwodadi menempati daerah dataran yang
secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Randublatung. Dataran ini tertutup oleh endapan
limpah banjir Kali Lusi. Hanya sedikit gunung lumpur seperti Gunung lumpur Kesongo
berada di dataran bergelombang yang tersusun atas formasi batuan berupa napal.
Penelitian formasi batuan sumber gunung lumpur dilakukan pada empat lokasi yaitu
Gunung lumpur Kesongo, Crewek, Kuwu dan Medang Kamulan. Gunung lumpur Kesongo
terletak paling timur pada koordinat 7o 9 19,93 LS 111o 15 14,82 BT. Gunung lumpur
Crewek berada paling selatan dengan koordinat 7o 9 4,62 LS 111o 6 47,00 BT. Gunung
lumpur Kuwu berada di sebelah barat dengan koordinat 7o 7 3,68 LS 111o 7 18,03 BT
dan Gunung lumpur Medang Kamulan terletak di utara dengan koordinat 7o 5 54,33 LS
111o 8 49,73 BT. (Gambar 1)
METODE
Dari keempat gunung lumpur diambil beberapa contoh lumpur untuk dianalisa
kandungan fosil foraminifera terutama foraminifera planktonik. Kumpulan foraminifera
planktonik akan dipakai untuk menunjukkan seberapa tua batuan yang terterobos oleh
lumpur. Fragmen batuan yang ikut keluar bersamaan dengan lumpur juga diidentifikasi dan
diambil contohnya untuk dilakukan proses preparasi. Fragmen batuan ini akan disayat tipis
terutama batuan yang mengandung fosil foraminifera besar. Dengan mengetahui umur batuan
yang terbawa bersama lumpur maka formasi batuan yang tertembus oleh lumpur berdasar
fragmen batuan juga dapat diidentifikasi.
Formasi batuan yang tertembus lumpur ini juga dapat ditentukan dengan melihat
singkapan lapisan batuan yang terpotong oleh gunung lumpur dan melakukan preparasi ayak
untuk mengetahui umur batuannya berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktoniknya.
Selain pengambilan contoh batuan dan lumpur, dilakukan juga pengamatan kondisi morfologi
gunung lumpur dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena masing-masing gunung lumpur
mempunyai morfologi yang berbeda.
519
S06
GEOLOGI REGIONAL
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa gunung lumpur yang menjadi obyek
penelitian ini secara fisiografi terletak pada Zona Randublatung yang dibatasi oleh Zona
Rembang di sebelah utaranya dan Zona Kendeng di sebelah selatannya (van Bemmelen,
1949). Zona Randublatung merupakan dataran yang terisi olehh endapan berukuran lempung,
lanau, pasir hingga kerikil yang berasal endapan limpah banjir Kali Lusi, Kali Wulung dan
Kali Bengawan Solo. Di bawah endapan ini pada bagian selatan terdapat Formasi Pucangan
dan Klitik sementara di bagian utara dijumpai Formasi Tambakromo dan Selorejo. Secara
stratigrafis Zona Randublatung memiliki urutan batuan seperti yang berkembang pada Zona
Rembang maupun Zona Kendeng. Adapun urutan stratigrafi Zona Randublatung menurut
Datun dkk (1996) ini adalah :
Formasi Tawun
Formasi Tawun berisi batulempung dan batugamping dengan sisipan batupasir, batulanau dan
kalkarenit. Kandungan fosil foraminifera planktonik berupa Globigerinoides sicanus, G.
diminutus, G. subuqadratus, Globorotalia mayeri, Gl. siakensis, Gl. peripheroronda, Gl.
birnagea, Praeorbulina, Hastigerina praesiphonifera, dan Cassigerinella chipolensis yang
menunjukkan umur Miosen Awal N7-N8. Kandungan fosil foraminifera bentonik berupa
Bulimina, Saracenaria, Nodosaria, Uvigerina, Laticarinina dan Cassidulina yang
menunjukkan lingkungan laut dalam. Di atas formasi ini diendapkan secara selaras Formasi
Ngrayong.
Formasi Ngrayong
Bagian bawah formasi ini tersusun oleh berupa perselingan batulempung pasiran dengan
napal pasiran, bagian tengah oleh batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung pasiran dan
bagian atas oleh batugamping dengan sisipan napal. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa
Globorotalia fohsi, Gl. praemenardii, Gl. mayeri, Cycloclypeus indopacificus, C. Inornatus,
dan Lepidocylina angulosa yang menunjukkan umur Miosen Awal Miosen Tengah N8-N12
dengan lingkungan neritik dangkal. Ketebalan formasi ini 100 300 m.
Formasi Wonocolo
Formasi ini terendapkan secara tidak selaras Formasi Ngrayong dan tersusun oleh
batugamping tipis (Kompleks Platenkalk) pada bagian bawah, sementara pada bagian atas
oleh napal dengan sisipan batugamping. Kandungan foraminifera Globorotalia acostaensis,
Hastigerina aequilateralis, Globigerina praebulloides, Cycloclypeus indopacificus, dan C.
inornatus. Umur formasi ini Miosen Tengah bagian akhir Miosen Akhir N14-N16 dan
terendapkan pada lingkungan neritik dangkal dengan tebal 100 300 m. Formasi ini ditutpi
secara selaras oleh Formasi Ledok.
Formasi Ledok
Pada bagian bawah formasi ini tersusun oleh perselingan batugamping keras dengan lunak
kemudian ke arah atas berubah menjadi batugamping glaukonit dengan struktur sedimen
berupa silangsiur mangkuk. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globigerinoides
520
S06
Formasi Kerek
Formasi Kerek bagian bawah tersusun oleh napal, batulempung, batupasir gampingan,
batulempung gampingan dan batupasir tufan. Bagian atas tersusun oleh batugamping yang di
beberapa tempat tufan dengan sisipan napal dan batulempung gampingan. Kandungan
foraminifera berupa Globorotalia acostaensis, Gl. pseudomiocenica, Globigerina
praebulloides yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian tengah N16-N17 dan Bulimina,
Gyroidina, Nonion dan Uvigerina yang menunjukkan lingkungan neritik dalam. Tebal
formasi 825m dan ditindih secara selaras oleh Formasi Kalibeng.
Formasi Kalibeng
Formasi ini tersusun oleh napal pejal dan setempat sisipan batupasir tufan-batugamping. Di
beberapa tempat pada bagian bawah dan tengah formasi ini diendapkan breksi Anggota
Banyak sementara bagian atas diendapkan batugamping Anggota Klitik. Formasi ini selaras
menindih Formasi Kerek. Kandungan foraminifera Globorotalia crassaformis, Gl.
521
S06
Anggota Klitik
Anggota Klitik tersusun atas batugamping dan sisipan napal. Batugamping di beberapa
tempat mengandung koral. Kandungan foraminifera terdiri atas Goborotalia. Tosaensis dan
Pulleniatina obliqueloculata yang mencerminkan umur Pliosen Awal, sedangkan kandungan
Amphistegina, Cibicides, Discorbis, Eggrella, Elphidium dan Triloculina mencerminkan
lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 40 150 m.
Formasi Pucangan
Formasi Pucangan diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kalibeng Bagian bawah
formasi ini tersusun oleh breksi dan batupasir volkanik dan bagian atas tersusun oleh
batulempung yang kaya akan fosil moluska. Pada formasi ini juga dijumpai fosil hominid.
Umur formasi ini diperkirakan Plistosen Awal dengan lingkungan darat-transisi.
Formasi Kabuh
Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Pucangan dan terdiri dari batupasir silangsiur
konglomeratan dan lensa-lensa konglomerat. Kandungan fosil moluska dan fragmen
vertebrata banyak dijumpai pada formasi ini. Umur batuan Plistosen Tengah dengan
lingkungan pengendapan berupa transisi-darat. Tebal formasi 45 200 m.
Formasi Notopuro
Formasi Notopuro tersusun atas breksi lahar, breksi volkanik, konglomerat dan batulanau
volkanik yang diendapkan secara selaras di atas Formasi Kabuh pada Plistosen Akhir.
Lingkungan pengendapan darat dengan tebal 30 40 m.
Struktur geologi yang berkembang di Zona Kendeng umumnya berupa lipatan
asimetris dengan sumbu berarah barat timur dan struktur sesar baik berupa sesar geser sesar
naik maupun sesar turun. Sesar geser mempunyai arah timur laut-barat daya dan barat lauttenggara. Sesar naik dan turun berarah timur barat-timur searah dengan sumbu lipatan. Sesar
naik di beberapa tempat berupa sesar sungkup.
Pada Zona Rembang bagian selatan terjadi orogenesa yang relatif lemah pada saat
N12. Selanjutnya setelah pengendapan Formasi Mundu terjadi perlipatan dan pensesaran
pada saat awal - tengah Plistosen Awal.
GUNUNG LUMPUR
Istilah gunung lumpur merujuk pada suatu kenampakan topografi berbentuk kerucut
menyerupai bentuk gunung api yang terbentuk secara alami oleh proses geologi berupa
proses pengeluaran sedimen terliquifaksi, fragmen berukuran butir lempung, gas, dan cairan
522
S06
(Istadi et al, 2012). Gunung lumpur dapat terbentuk melalu proses penekanan pada diapir
lumpur yang menerobos permukaan bumi atau dasar laut (Istadi et al, 2012). Karakteristik
pembentuk gunung lumpur adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, lapisan sedimen penutup
yang tebal, kehadiran perlapisan yang plastis di bawah permukaan, suplai gas yang cukup dan
potensi hidrokarbon yang tinggi, tekanan formasi abnormal tinggi, pada setting kompresi,
seismiksitas tinggi dan kehadiran sesar-sesar.
Karakteristik umum gunung lumpur menurut Gansser (1960 dalam Ridd, 1970)
adalah sebagai berikut :
1. Umumnya berasosiasi dengan lapisan sedimen Tersier (dan Kapur Atas)
2. Sedimen umumnya berasal dari sedimen laut
3. Didominasi oleh lapisan plastis dan pelitik
4. Gas dan air formasi kadang hadir
5. Lapisan plastis tertutup oleh lapisan yang lebih kompeten
6. Sinklin yang luas dibatasi secara tajam oleh antiklin akibatnya lapisan sedimen plastis yang
lebih dalam menekan ke atas.
7. Kenaikan tegangan menggerakkan lempung yang plastis pada bagian inti beserta air garam,
gas dan minyak pada banyak tempat. Akibatnya lumpur akan tertekan ke atas seperti
bentukan magma, jika keseimbangan permukaan terganggu maka akan terjadi erupsi dan
membentuk gunung lumpur.
8. Kebanyakan pusat erupsi terdiri dari beberapa kerucut volkanik.
9. Kerucut yang landai dan terjal dapat hadir bersamaan.
10. Erupsi sebagian periodik, tetapi umumnya tidak teratur. Banyak erupsi besar terjadi
setelah periode tenang yang panjang.
11. Fragmen batuan besar atau kecil yang berasal dari lapisan batuan yang lebih tua
umumnya keluar bersamaan dengan lumpur.
12. Keberlangsungan pusat erupsi tunggal umumnya pendek.
13. Zona diapirik dengan gunung lumpur umumnya beradapada daerah anomali gravitasi
negatif.
S06
hidrokarbon secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar (Gambar 3). Selain itu
dijumpai lapisan batuan berupa napal yang diduga berasal dari lapisan insitu yang terterobos
oleh Gunung lumpur Kesongo (Gambar 4).
Gunung lumpur Crewek berada di sebelah selatan pada dataran yang dikelilingi oleh
endapan Kali Lusi, berada di tepian ruas jalan Kuwu-Crewek dan di tepian pemukiman
penduduk. Bentuk gunung lumpur ini kubah bulat dengan panjang utara-selatan 37 m, lebar
barat-timur 36 m dengan tinggi kurang dari 10 m dan luasan 1.537 m2. Pada bagian kubah
terdapat beberapa kolam lumpur dimana air bersama sedikit lumpur keluar bagai mata air.
Kolam lumpur dan bagian tepi dari gunung lumpur diselimuti oleh travertin (Gambar 5).
Fragmen batuan yang dijumpai berupa batupasir yang telah mengalami oksidasi,
batugamping dan batupasir karbonatan dengan ukuran 1 10 mm. Banyak dari fragmen
tersebut telah tersemen kembali oleh kalsit.
Gunung lumpur Kuwu berada di utara Gunung lumpur Crewek pada tepi ruas jalan
Wirosari-Kuwu dan sudah menjadi salah satu obyek wisata daerah Purwodadi. Gunung
lumpur Kuwu mempunyai semburan lumpur yang terbesar diantara gunung lumpur yang ada
di Purwodadi-Blora. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur sebesar 610 m dan
utara-selatan 362 m. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami
oksidasi dengan ukuran 1-2 cm.
Gunung lumpur Medang Kamulan terletak paling utara di daerah penelitian. Gunung
lumpur ini berada pada daerah pesawahan dan terdiri dari beberapa pusat erupsi. Satu pusat
erupsi membentuk kenampakan seperti gunungapi tipe strato dengan diameter 20-30 m dan
tinggi sekitar 8 m. Pusat erupsi lainnya membentuk kubah kecil dan beberapa kolam yang
didominasi oleh air. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami
oksidasi dan batulempung merah kehitaman. Pada tepian kolam dijumpai genangan-genangan
kecil minyak bumi.
Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur
Kesongo menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa
DOrbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss,
Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana
DeStefani, Globorotalia humerosa humerosa DOrbigny, Glt. pseudomiocenica Bolli &
Bermudez, Gds. ruber (DOrbigny), Gds.diminutus Bolli, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Glt.
peripheroronda Blow & Banner, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Globigerina
praebulloides Blow, Glt. tumida (Brady), Glt acostaensis Blow, Glt. miocenicaPalmer, Glt.
multicamerata Cushman & Bermudez, Glt. pseudoopima Blow, Gna venezuelana (Hedberg)
dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini
mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18-N19
(Miosen-Pliosen), berikutnya N14 (akhir Miosen Tengah) dan N7-N9 (Miosen AwalTengah).(Gambar 6)
Kandungan foraminifera bentonik contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo
terdiri dari Cassidulina subglobosa Brady, Uvigerina peregrina peregrina DOrbigny,
524
S06
S06
adanya lapisan kaya lumpur mengalami tekanan overburden dari lapisan penutup yang tebal
yang kemudian keluar memotong beberapa lapisan batuan di atasnya. Umur fosil yang lebih
muda diperkirakan berasal dari batuan-batuan lebih muda yang diterobos oleh lumpur.
Struktur pada daerah ini tidak seperti yang berkembang di Zona Kendeng dimana lipatan dan
sesar anjak banyak djumpai. Struktur yang berkembang di daerah ini dianggap lebih
cenderung menyerupai struktur yang berkembang di Zona Rembang. Akibatnya tidak ada
batuan tua di atas batuan yang lebih muda akibat adanya sesar-sesar naik. Sehingga batuan
yang menjadi sumber lumpur diperkirakan berasal dari batuan yang tertua yang bisa teramati
dari kumpulan fosilnya.
Kumpulan fosil foraminifera planktonik tertua dari Gunung lumpur Kesongo
menunjukkan umur N7-N9. Umur ini sebanding dengan umur batuan yang membentuk
Formasi Tawun Ngrayong. Pada Gunung lumpur Crewek kumpulan fosil tertua
menunjukkan umur N7-N8 yang sebanding dengan umur batuan pada Formasi Tawun.
Formasi Tawun mempunyai kandungan batuan halus seperti batulempung dan batulanau yang
cukup dominan. Kandungan batulempung dan batulanau ini yang diinterpretasikan sebagai
sumber lumpur pada beberapa gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora.
Fosil-fosil berumur muda dari contoh lumpur(N12, N14 dan N18-N19) menunjukkan
batuan-batuan yang termuda yang terterobos oleh lumpur. Berdasarkan kandungan fosil
tersebut maka batuan-batuan yang terterobos merupakan batuan penyusun Formasi
Ngrayong, Wonocolo, Ledok hingga Mundu. Sementara dari fragmen batuanpada Gunung
lumpur Kesongo yang mengandung foraminifera besar berumur Miosen Awal Akhir
menunjukkan kesamaan dengan batuan-batuan penyusun Formasi Ngrayong dan Wonocolo.
Kedua formasi ini banyak memiliki batugamping dengan kandungan foraminifera besar yang
melimpah. Batuan-batuan ini diduga diterobos oleh lumpur yang berasal dari Formasi Tawun
yang terletak di bawah Formasi Wonocolo dan Ngrayong.
Batunapal yang berada di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai umur N17N19 dan paleobatimetri batial atas-tengah. Umur dan paleobetimetri ini sesuai dengan umur
dan paleobatimetri batuan-batuan penyusun Formasi Mundu. Sehingga selain sebagai formasi
yang diterobos oleh gunung lumpur, di beberapa tempat Formasi Mundu diperkirakan
bertindak sebagai lapisan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar Gunung lumpur
Kesongo.
526
S06
KESIMPULAN
Berdasarkan kandungan foraminifera yang dijumpai dalam lumpur maupun fragmen
batuan maka dapat disimpulkan :
1. Batuan sumber gunung lumpur di daerah Purwwodadi-Blora berasal dari Formasi
Tawun.
2. Batuan yang terterobos meliputi batuan-batuan dari Formasi Ngrayong, Wonocolo,
Ledok dan Mundu.
3. Selain sebagai batuan yang diterobos oleh lumpur, batunapal Formasi Mundu juga
bertindak sebagai batuan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar gunung
lumpur Kesongo.
PUSTAKA
Davies, R., Manga, M., Tingay, M., and Swarbrick, R., 2011, Fluid transport properties and
estimation of overpressure at the Lusi mud volcano, East Java Basin, Engineering
Geology 121 (2011) 97-99, Elsevier.
Davies, R.J., Brumm, M., Manga, M., Rubiandini, R., Swarbrick, R., and Tingay, M., 2008,
The East Java mud volkano (2006 to present): An Earthquake or drilling trigger?,
Earth and Planetary Science Letters 272 (2008), 627-638, Elsevier.
Istiadi, B.P., Wibowo, H.T., Sunardi, E., Hadi, S., and Sawolo, N., 2012, Mud Volcano and
Its Evolution, Earth Sciences, Dr. Imran Ahmad Dar (Ed.), ISBN: 978-853-307-8618, InTech
Mazzini, A., Svensen, H., Akhmanov, G.G., Aloisi, G., Planke, S., Malthe-Sorenssen, A.,
and Istadi, B., 2007, Triggering and dynamic evolution of the Lusi mud volcano,
Indonesia, Earth and Planetary Science Letters 261 (2007), 375 - 388, Elsevier.
Mazzini, A., Nermoen, A., Krotkiewski, M., Podladchikov, Y., Planke, S., Svensen. H.,2009,
Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release through
piercement structures. Implications for the Lusi mud volcano, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology 26 (2009), 1751 - 1765, Elsevier.
Mori, J., Kano, Y., 2009, Is the 2006 Yogyakarta Earthquake Related to the Triggering of the
Sidoarjo, Indonesia Mud Volcano?, Journal of Geography 118 (3) 492 498 2009.
Ridd, M.F., 1970, Mud Volcanoes in New Zealand, The American Association of Petroleum
Geologists Bulletin v. 54, No. 4 (April, 1970), P. 601 616, 13 Figs.
Rudolph, M.L., Shirzaei, M., Manga, M., and Fukushima, Y., 2013, Evolution and Future of
the Lusi Mud Eruption Inferred from Ground Deformation, Geophysical Research
Letters, vol 40,1-4, doi:10.1002/grl.50189.
527
S06
Rudolph, M.L., Karlstrom, L., and Manga, M., 2011, A prediction of the longevity of the Lusi
mud eruption, Indonesia, Earth and Planetary Science Letter308 (2011), 124-130,
Elsevier, doi:10.1016/j.epsl.2011.05.037.
Satyana, A.H., and Asnidar, 2008, Mud Diapirs and Mud Volkanoes in Depressions of Java
to Madura : Origins, Natures, and Implications to Petroleum System, Proceedings,
Indonesian Petroleum Association, 32nd annual Convention & Exhibition, May 2008,
p. 139-158, Jakarta.
Van Bemmelen, R. W., 1970, The Geology of Indonesia, Vol IA, General Geology of
Indonesia and Adjencent Archipelago, 2nd Edition, Goverment Printing Office, The
Haque.
528
S06
LAMPIRAN
S06
S06
S06
S06