PKN
PKN
KETAHANAN NASIONAL
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Disusun Oleh:
Nurussalamia (RSA1C115030)
Dosen Pengampuh:
Ahmad Fauzan M.Pd
Permasalahan:
Sengketa yang terjadi antara Indonesia-Malaysia merupakan persengketaan yang timbul
akibat faktor kolonial yang tidak beres dalam mengatur tata administrasi pasca kolonial.Sehingga
hal ini menimbulkan sengketa, apalagi batas teritorial Indonesia dengan Malaysia dapat
dikatakan dekat.
1. Permulaan Kasus Sipadan-Ligitan
Pada awalnya, akar terjadinya sengketa karena kesalahan dari pihak kolonial Belanda. Pihak
kolonial yang terlibat dalam hal ini adalah Belanda dan Inggris. Kedua bangsa kolonial ini
menandatangani Traktat London yang menyetujui bahwa wilayah Singapura keatas sampai
Malaysia menjadi jajahan Inggris dan dari Bengkulu ke selatan dan ke timur menjadi jajahan
Belanda. Namun, karena sikap pemerintah Belanda yang menunda penuntasan detail administrasi
mengenai penetapan perbatasan telah terlanjur hingga sekarang.
Permasalahan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan telah terjadi dari tahun 1890, dimana
kesultanan Sulu menyewakan kedua pulau tersebut yang letaknya berdekatan dengan Sabah
kepada perusahaan Austria. Karena pada tahun 1967 Sabah bergabung dengan federasi Malaysia,
tetapi Sipadan dan Ligitan tidak diikutkan didalamnya.
Pada 20 Juni 1891, Inggris dan Belanda melakukan perundingan dan tercapainya perjanjian
yang berisi: wilayah utara yaitu wilayah Sebatik adalah milik Inggris, sedangkan bagian selatan
garis adalah milik Belanda, sementara itu Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan garis
tersebut.
Malaysia dalam pengakuan kedua wilayah tersebut juga memiliki dasar yang kuat dengan
berlandaskan Traktat Paris pada tahun 1809 yang merupakan perjanjian mengenai perbatasan
daerah Malaysia dengan daerah Filiphina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerikapada tahun
1900 dan perjanjian Inggris-Amerika pada tahun 1930. Selain dasar perjanjian diatas, wilayah
Sipadan-Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kedua
wilayah tersebut kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris, dan kemudian kepada Malaysia
setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963. Bagi Indonesia dalam posisi
persengketaan ini tidak cukup kuat, karena setelah ditinggalkan oleh Belanda, dan Indonesia
telah menelantarkan kedua pulau tersebut.
Pada tahun 1968 Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama Indonesia dengan
Japex. Reaksi tersebut merupakan tanggapan terhadap Eksplorasi Laut yang dilakukan di Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Akibat dari persengketaan antar kedua negara ini, maka untuk menghindari terjadinya
peperangan maka dilakukan perundingan. Sebagai langkah awal penyelesaian kasus ini maka
kedua pulau dinyatakan berstatus quo. Perbedaan pandangan mengenai status quo ini ditanggapi
oleh Malaysia dengan mendirikan pariwisata di Sipadan dan Ligitan, dan juga melakukan
pembaharuan guna menjadikan pulau tersebut sebagai daya tarik pariwisata.Menurutpandangan
Malaysia status quo merupakan status dimana boleh dilakukan penduduka nterhadap pulau
sengketa hingga proses sengketa berakhir.
Hal itu tidak diketahui oleh Indonesia, karena menurut pandangan Indonesia status quo
merupakan status yang dimana tidak boleh dilakukan pendudukan terhadap pulau sengketa
hingga kasusnya berakhir. Sehingga pada akhirnya Indonesia merasa tercuri start dan membuat
Indonesia semakin rugi dalam posisinya.
Penyelesaian Sengketa Kasus Sipadan-Ligitan
1. Bilateral (diplomatik)
Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan masalah persengketaan secara bilateral
yaitu dengan melakukan pertemuan pejabat tinggi kedua negara pada tahun 1992. Hasil
pertemuan pejabat tinggi menyepakati untuk membentuk Komisi Bersama dan Kelompok kerja
sama ( Joint Commission/JC dan Join Working Groups/JWG).
Terbentuknya JC dan JWG tidak membawa hasil optimal karena pertemuan antar keduanya
tidak menghasilkan keputusan mengenai penyelesaian sengketa. Selanjutnya pemerintah RI
menunjuk Mensesneg Moerdiono, sementara Malaysia menunjuk wakil PM Datok Anwar
Ibrahim sebagai wakil khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun
dari empat kali pertemuan di Jakarta dan Kuala Lumpur tidak tercapai hasil kesepakatan. Dengan
kata lain, penyelesaian sengketa dengan jalan bilateral belum mencapai titik terang.
2. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Pada tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur, presiden Soeharto dan PM.Mahathir
menyetujui rekomendasi wakil khusus, kemudian tanggal 31 Mei 1997 kedua pihak sepakat
untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional (MI) dengan
menandatangani dokumen Special Agreement for the Submission to the International Court of
Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau
Sipadan and Pulau Ligitan.
Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah ditandatangani itu kemudian
secara resmi disampaikan kepada Mahkamah Internasional, melalui suatu joint letter atau
notifikasi bersama. Dengan itu proses ligitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI mulai
berlangsung.
Kedua Negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui
Written Pleading kepada Mahkamah Memorial pada 2 November 1999, diikuti Counter
Memorial pada 2 Agustus 2000 dan Reply pada 2 Maret 2001. Kemudian proses Oral
Hearing yang merupakan tahap akhir penyelesaian dari kedua Negara bersengketa dilakukan
pada 3-12 Juni 2002. Indonesia menyiapkan beberapa materi tersebut dengan membentuk Satuan
Khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi Negara seperti Deplu, Depdagri,
Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan
dan pakar hokum laut Internasional.
Indonesia mengangkat co agent RI di MI yaitu Dirjen pol Deplu, dan Dubes RI untuk
Belanda Indonesia juga mengangkat tim penasehat hukum Internasional. Malaysia juga
melakukan hal yang sama. Proses hokum di MI/ICJ memakan waktu kurang lebih 3 tahun.
Tetapi, MI/ICJ dalam beberapa persidangannya tidak menggunakan materi hukum yang
disampaikan oleh kedua Negara seperti yang menjadi persyaratan diatas, melainkan
menggunakan kaidah pembuktian lain yaitu Continuous presence, effective occupation,
maintenance
dan
ecology
preservation.
Mahkamah
Internasional
memutuskan
bahwa Indonesias argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan cannot be
accepted. Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa Malaysias argument that it was
successor to the Sultan Sulu cannot be upheld.
3. Dasar pertimbangan putusan Mahkamah Internasional
Mahkamah menyatakan bahwa ukuran yang objektif dalam penentuan kepemilikan pulaupulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation(penguasaan efektif). Dua
aspek penting dalam penentuan effective occupation adalah keputusan adanya cut-off
datesering yang disebut critical date, dan bukti-bukti hokum yang ada. Critical date yang
ditentukan oleh MI adalah pada tahun 1969 , sehingga semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti
pembangunan Resort oleh Malaysia tidak memberikan dampak hokum. MI melihat bukti hokum
sebelum 1969. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa federasi Malaysia baru terbentuk secara
utuh dengan Sabah sebagai salah satu bagiannya pada 16 September 1963.
MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau
sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak
pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga
menolak
argumentasi
Malaysia
bahwa
kedua
pulau
termasuk
dalam
wilayah
Mahkamah menyatakan bahwa tidak satupun dokumen hokum yang diajukan Malaysia
berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara efisien ini memuat referensi yang secara tegas
menuju pada dua pulau yang disengketakan.
Argument Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah yang berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV konvensi 1891 juga ditolak oleh
MI. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4o 10 LU yang memotong pulau Sebatik sebagai
allocation line dan berlanjut terus kea rah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga
tidak diterima oleh MI.
4. Pertimbangan putusan Mahkamah Internasional
Indonesia tidak dapat memberikan bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan
Belanda pada Pulau Sipadan dan Ligitan dalam pembuktian effectivities. Tidak ada dokumen
otentik yang dapat menguatkan tentang pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau
hingga tahun 1969. UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan yang ditetapkan pada 18 Februari 1960
yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara,
juga tidak memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Beberapa hal tersebut tidak menguntungkan pihak Indonesia.
Sebaliknya, MI menyimpulakan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan Malaysia berkaitan
dengan pembuktian penguasaan efektif menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan
berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Upayaupaya Inggris terwujud dalam tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua
pulau sengketa seperti :
1. Pemungutan pajak terhadap aktifitas penangkapan penyu dan pengumpula telur penyu
sejak 1917.
2. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di pulau Sipadan pada
tahun 1930-an.
3. penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung di Pulau Sipadan
4. pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan tahun
1963 di Pulau Ligitan.
1. Hukum Turtle Preservation Ordiance 1917; perjanjian kapal nelawan kawasan Sipadan
Ligitan
2. Regulasi suaka burung tahun 1933
3. Pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963
Semua bukti yang diajukan Malaysia tersebut merupakan produk hukum pemerintah kolonial
Inggris, bukan Malaysia.
Putusan Mahkamah Internasional
Menanggapi
bukti-bukti
yang
diserahkan
Indonesia,
Mahkamah
Internasional
menegaskan bahwa dalam UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan, Indonesia tidak
mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Kemudian terhadap bukti-bukti berupa
kegiatan patroli yang dilakukan angkatan laut Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi
perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.