Paper Anastesi RA-SAB Pada Appendicitis
Paper Anastesi RA-SAB Pada Appendicitis
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10
cm dan berpangkal pada seikum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan
embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Banyak factor yang menyebabkan timbulnya peradangan pada appendiks, diantaranya
karena ada infeksi yang diakibatkan oleh berbagai factor, factor tersering karena
adanya fecalith yang sering menyumbat dan menimbulkan obstruksi.
Penanganan appendicitis biasanya dilakukan dengan tindakan bedah yaitu
appendiktomi, yakni dilakukan pemotongan pada appendix vesiformis. Dan untuk
melakukan tindakan bedah tersebut biasanya dilakukan anastesi terlebih dahulu. Dan
anastesi yang tersering untuk melakukan tindakan pemotongan appendiks adalah
dengan anastesi regional. Yaitu regional anastesi- subarachnoid. Di dalam pembuatan
paper ini kami akan membahas mengenai anastesi regional subarachnoid blok pada
kasus appendicitis. Karena memang appendicitis ini merupakan kasus yang cukup
banyak, dan anastesi yang sering digunakan adalah regional anastesi subarachnoid
blok, mengingat anastesi regional subarachnoid lebih menguntungkan untuk
digunakan dalam tindakan pemotongan appendiks (appendiktomi). Karena mengingat
tindakan operasi appendiktomi ini tidak membutuhkan waktu yang lama dan cukup
dengan anastesi regional subarachnoid blok.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Appendicitis 1,2
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm
dan berpangkal pada seikum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan
embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian
distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum
dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis ditentukan
oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum)
65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di
depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat
pada gambar dibawah ini.
mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti
disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerahmerahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan
serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis
akut supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah
sehingga terjadi ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial
ruptur. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding
menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
2.2 Klasifikasi appendicitis 5,6
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:
1. Appendisitis Akut.
a. Appendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis
dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5.Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
2.3 Gejala Appendicitis 7
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:
a.Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di
kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar,
ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam
biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran
bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien
bergerak.
b.Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan
kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
c.Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
d.Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri
lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa
lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
e.Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga
di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Rasa nyeri
ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di
pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.
2.4 Diagnosa Appendicitis
Cara menegakkan diagnose apendisitis antara lain melalui :
Pemeriksaan Fisik 2,8
a.Inspeksi, pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik
dan terlihat distensi perut.
b.Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga
akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk
menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang
meradang terletak di daerah pelvic.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang
meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan Penunjang 9
a.Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive
protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b.Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90100% dan 96-97%.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif 10
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
b.
Operasi 11
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang
dilakukan
10
4. Bedah obstetric-gynekologi.
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bawah.
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi
umum ringan.
Kontraindikasi spinal anastesi terbagi menjadi dua, yaitu kontraindikasi absolute dan
kontraindikasi relative;
Kontraindikasi absolute;
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan.
3. Hipovolemik berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan.
5. Tekanan intracranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minimum.
7. Kurang pengalaman atau didampingi konsultasi anestesi.
Kontraindikasi relative:
1. Infeksi Sistemik.
2. Infeksi Sekitar Tempat Suntikan.
3. Kelainan Neurologis.
4. Kelainan Psikis.
11
5. Bedah Lama.
6. Penyakit Jantung.
7. Hipovolemia Ringan.
8. Nyeri Punggung Kronis.
12
4. Retensi urin.
5. Meningitis.
2.5.2 Teknik anastesi spinal (RA-SAB) :
Posisi duduk atau lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan . biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Setelah dimonitor tidurkan pasien dalam posisi duduk. Buat pasien
membungkuk maksimal agar proc. Spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Jangan melakukan penusukan pada L12 karena berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Beri anastetik lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
mL.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Biasanya jarum yang digunakan
adalah berukuran 25 G. tusukan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum yang tajam (quinckebabcock), irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater yaitu pada
posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau kebawah untuk menghindari
kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal
anastesi. Setelah resistensi menghilang , mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar CSF, kemudian masukkan obat secara perlahan-lahan diselingi aspirasi
sedikit , hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
13
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.12
Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis.
14
15
16
Pada dasarnya persiapan untuk anastesi spinal seperti persiapan anastesi umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba
tonjolan proc. Spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini :
1. Informed consent.
Sebelum dilakukan anastesi wajib meminta izin kepada pasien dan tidak
boleh memkasanya.
2. Pemeriksaan fisik.
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lainlainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran.
Hemoglobin, hematokrit , PT (protrombin time) dan PTT (partial
tromboplastin time).
Persiapan Preoperatif
a. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.
b. Terapi Cairan.
17
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit
cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan
elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit
dan paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
18
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga
disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit,
penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan
adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100
mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L,
Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan
ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume
besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah
adalah
pengukuran
darah
dalam
wadah
hisap/suction
dan
secara
visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran
4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc
darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika kassa atau lap tersebut
ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
2.5.5 Postoperatif RA-SAB
Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan diobservasi
dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011). Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah, perbuhan vaskular, dan
pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca
operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan
setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu,
19
pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.
Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan fungsi
tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar hilang.
Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi
efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis
operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obatobatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi
pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.
20
BAB III
STATUS PASIEN
: Hotris Simbolon.
Usia
: 21 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
Berat Badan
: 56 kg
Register
: 235959
Dirawat di
: Ruang An-nisa
: 28-Juli-2015
Lama anestesi
: Appendicitis akut
Jenis pembedahan
: Appendektomi
Jenis anesthesia
1.2 Preoperatif
1.2.1 Anamnesis
Alergi
Medication
Past Medical
21
History
Last Meal
Event
.
B2 (Blood)
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
edema -/-.
Hb
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
: 14,2 gr/dL
: 14.800/l
: 256.000/l
: 90,0 fL
: 32,0 pg
:35,6%
(N : 11 16,5 gr/dl)
(N : 3.500 10.000 /l)
(N : 150.000 390.000 /l)
: 79 mg/dl
Kimia Darah
GDAd
22
2) Foto Thorax PA
Kesimpulan : cord an pulmo dalam batas normal.
Assessment: ASA I
Diagnosa prabedah appendicitis akut.
Keadaan prabedah (27 juli 2015, pukul 20.00 WIB) :
BB 56 kg, golongan darah O
TD 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,6C
Hb 14,2 gr/dL
Dipuasakan 6 jam preoperasi
Jenis pembedahan: appendektomi
Inj. Ranitidin 50 mg
Inj. Metoclopramide 10 mg
Scope
Tubes
Airway
Tape
Introducer
Connector
Suction
stetoskop, laringoskop
ETT (cuffed) size 7,0 kink fix
orotracheal airway
plester untuk fiksasi
untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
penyambung antara pipa dan alat anestesi
memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
23
Jenis anestesia
: Regional anestesia-Sub Arachnoid Blok
Teknik anestesia
:
1. memposisikan pasien dengan kondisi duduk, meluruskan punggung
dan kaki, tapi tetap dalam keadaan tidak tegang, dan menundukkan
2.
3.
4.
5.
kepala.
Lokasi injeksi diberi antiseptik, dengan povidon iodine
Identifikasi ruang interspinosus diantara L4-L5.
Kemudian di infiltrasi lokal dengan lidokain 2% di area L4-L5
Dilanjutkan anestesi dengan insersi spino catheter ukuran 25 gauge,
Teknik anestesi
12,5 mg.
1.3.3 Monitoring
Pernafasan
Medikasi durante operasi
Ondansetron 4 mg i.v
Ketorolac 30 mg i.v
Fentanyl 25 mcg i.v
24
Cairan masuk:
Preoperatif
: Kristaloid RL 1000 cc
:-
efedrin 5 mg iv
Makan dan minum: diberikan secara bertahap bila pasien tidak mual
dan muntah
25
BAB IV
KESIMPULAN
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Bila diagnosa sudah
tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
operasi
membuang
appendiks
(appendektomi).
dilakukan
adalah
Anastesi
spinal
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz, I.S., 2000. Principles of Surgery 7th. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
2. Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Kumar, V., 2007. Robins Basic Pathology. Edisi 8. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
4. Collin, B, et al, 1990. Acute Appendicitis Risks of Complications. Official
Journal of The American Academy, Vol 106 No 1. http://www.aafp.org
5. Way, L., Doherty, G., 1994. Current Diagnosis & Treatment. Edisi 11
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
6. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
7. Schrock, T., 1995. Ilmu Bedah. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
8. Sabiston, D., 1994. Buku Ajar Bedah: Essentials Of Surgery. Bagian 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
27
9. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
10. Dudley, H., 1992. Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
11. Oswari, E., 2000. Bedah dan Perawatannya. Balai penerbit FKUI. Jakarta.
12. Wiryana I M, Sinarja I K, Sujana I B G, Budiarta I G. 2010. Buku Ajar
Anastesia dan Reanimasi, dr. Gede Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gede
Agung Senapati, Sp.An. Indeks, Jakarta. Halaman 87-91, Halaman 136-148.
13. Nuckton TJ, Glidden DV, Browner WS, Claman DM. 2006. Physical
Examination: Malampati score as an independent predictor of obstructive
sleep apnea. Sleep 29(7): 903-8.
28