DISUSUN OLEH :
ELIANA BENEDICUS ( M3115051 )
ENDANG SETYANINGSIH ( M3115052 )
HELMI PRASETYA ( M31150 )
JATI
KHOIRUL NUR YAHYA ( M3115077 )
LEGIAN WAHYU PRATAMA ( M3115078 )
LISYA AGUSTINA ( M3115079 )
MUHAMMAD RIZQI E ( M31150 )
Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama
Pulau Jawa, Madura dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan
oleh Indonesia.
Tindak lanjut dari Perjanjian Renville ini, maka pihak PBB merencanakan pengadaan
Konferensi antara Negara Republik Indonesia dan Belanda guna membahas mengenai
Republik Indonesia Serikat. Konferensi ini dinamakan Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang mana diadakan mulai tanggal 23 Agustus 1949 di SGravenhage (Den Haag).
Terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konferensi ini, yaitu: Negara Republik Indonesia,
BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg) dan Belanda, serta sebuah komisi PBB untuk
Indonesia.
Pada tanggal 2 Nopember 1949, KMB menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu
meliputi:
a. Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat
b. Penyerahan (baca: pengakuan) kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda
kepada Pemerintah Negara RIS yang terdiri dari tiga persetujuan induk, yaitu:
Piagam Pengakuan Kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada
Pemerintah Negara RIS
Statut UNI
Persetujuan Perpindahan
c.
Dalam Piagam Pengakuan Kedaulatan ditentukan bahwa hal itu akan dilakukan pada
tanggal 27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 44-54).
Sementara Konferensi Meja Bundar berlangsung, delegasi dari Negara Republik
Indonesia dan Delegasi dari negara-negara BFO telah mebuat Rancangan Undang-Undang
Dasar (RUUD) untuk Negara Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk nanti. RUUD
tersebut kenudian disahkan oleh Pemerintah Negara Indonesia dan Komite Nasional
Indonesia Pusat, dan disahkan pula oleh Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat dari
negara-negara BFO. Pengesahan itu tertera dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku pada hari
pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah negara
Republik Indonesia Serikat, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 54).
Jadi, pada tanggal 27 Desember 1949 berdirilah negara Republik Indonesia Serikat yang
meliputi seluruh wilayah Indonesia, yaitu bekas wilayah Hindia Belanda dahulu dan
Negara Republik Indonesia (berstatus sebagai negara bagian) (Soehino, 1992: 54).
Negara Madura;
Negara Sumatera Timur, dengan pengertian bahwa status quo Asahan Selatan
dan Labuhanbatu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku;
b.
Jawa Tengah;
Bangka;
Belitung;
Riau;
Dayak Besar;
Daerah Banjar;
Kalimantan Timur.
a dan b ialah daerah-daerah bagian yang dengan kemerdekaan menetukan nasib sendiri
bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan dalam
konstitusi ini, dan lagi,
c.
Presiden
ii.
Menteri-menteri
iii.
Senat
iv.
v.
vi.
Asas dasar atas kekuasaan penguasa diatur dalam ketentuan pasal 34 Konstitusi RIS
yang berbunyi, Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan
dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin
bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun
menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Menurut pasal-pasal Konstitusi RIS 1949 sistem pemerintahan negara yang dianut
adalah sistem pemerintahan Kabinet Parlementer. Dalam sistem ini, Kabinet bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan apabila pertanggungjawaban itu tidak dapat
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dapat membubarkan
Kabinet, atau Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak dapat diterima oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. Sebaliknya, apabila Pemerintah tidak dapat menerima
kebijaksanaan Dewan Perwakilan Rakyat dan menganggap Dewan Perwakilan Rakyat tidak
representative, Pemerintah dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat; dan pembubaran
ini diikuti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru (Soehino, 1992: 66).
Ketentuan pasal 118 Konstitusi RIS berbunyi, (1) Presiden tidak bisa diganggu gugat; (2)
Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersamasama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal
itu. Dari ketentuan tersebut, Republik Indonesia Serikat dikatakan memiliki sistem
pemerintahan parlementer karena yuridis formal yang ada mengatur bahwa Kabinet
bertanggungjawab atas DPR. Hal tersebut sesuai dengan ciri sistem pemerintahan
parlementer.
Namun, ketika pasal 122 Konstitusi RIS ditelaah, maka akan ditemukan
penyimpangan dari sistem pemerintahan parlementer. Ketentuan pasal 122 Konstitusi RIS
berbunyi, Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat
memaksa Kabinet dan masing-masing Menteri meletakkan jabatannya. Muatan dari
ketentuan tersebut berbeda dengan cirri-ciri sistem pemerintahan parlementer. Sudah
disebutkan di atas bahwa cirri sistem parlementer adalah apabila pertanggungjawaban
Menteri tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
dapat membubarkan Kabinet, atau Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak
dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, di dalam penyelenggaraan
ketatanegaraan RIS, ketika Kabinet tidak mampu mempertanggungjawabkan segala
kebijakan yang telah dilakukannya maka pihak DPR tidak dapat berbuat apa-apa.
ii.
Hak merdeka meliputi hak politik (pasal 22), hak hukum (pasal 7 ayat 2-3),
hak sipil (pasal 19, pasal 20)
iii.
Hak memiliki pasal 25, meliputi hak tentang pekerjaan (pasal 27 ayat 1) dan
hak mendapatkan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
Sedangkan rakyat Indonesia memiliki kewajiban yang tertera dalam pasal 31 yaitu
setiap orang yang berada di daerah negara harus patuh kepada UU termasuk aturan-aturan
hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah.
Kewajiban dari pemerintah tertera pada ketentuan pasal 117 (2) dinyatakan bahwa
Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa mengurus supaya
konstitusi, UU Federal, dan peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia
Serikat.
Dari muatan Konstitusi RIS tersebut maka dapat dilihat bagaimana hubungan antara
pemerintah dengan rakyat secara yuridis formal selam RIS berlangsung.
3. Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Negara Republik Indonesia Serikat
Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi
RIS 1949 pada tanggal 27 Desember 1949, perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan
negara yang federalistik semakin kuat, rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang
unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan tersebut dilakukan rakyat Indonesia dengan
menyampaikan tuntutan-tuntutan dan hal tersebut terjadi di berbagai daerah. Karena faktor
kesamaan pemikiran ini, beberapa daerah bagian menggabungkan diri dengan negara
Republik Indonesia. Hal ini dibenarkan dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata
Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat; LN
No. 16 Tahun 1950 mulai berlaku 9 Maret 1950. UU Darurat tersebut sebagi pelaksanaan dari
ketentuan pasal 44 konstitusi RIS. Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula
masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya
boleh dilakukan oleh sesuatu daerah-sungguhpun sendiri bukan daerah bagian- menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU federal, dengan menjunjung asas-asas seperti
tersebut dalam pasal 43, dan sekedar hal itu mengenai masuk atau menggabungkan diri,
dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan (Soehino, 1992: 73).
Akibat dari adanya penggabungan ini, maka negara Republik Indonesia Serikat terdiri
dari tiga negara bagian yaitu meliputi negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur
dan negara Sumatera Timur. Atas kejadian ini maka kewibawaan pemerintahan negara federal
menjadi berkurang dan sebagai solusinya maka diadakan permusyawaratan antara pemerintah
negara Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia
(meawakili negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera Timur).
Dari permusyawaratn tersebut dihasilkan keputusan bersama yaitu persetujuan 19 Mei 1950
yang pada pokoknya disetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama
melaksanakan negara kesatuan dan untuk itu diperlukan sebuah undang-undang dasar
Sementara dari kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah konstitusi RIS sedemikian rupa
sehingga essentialia UUD 1945 yaitu antara lain pasal 27, pasal 29, pasal 33 ditambah
bagian-bagian yang baik dari konstitusi Republik Indonesia Serikat termasuk didalamnya
(Joeniarto, 1990: 71-72).