Anda di halaman 1dari 15

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi polimorfisme Leu / Val dari


growth hormone (GH) gen pada persilangan sapi limousin lokal. Sampel DNA
dikumpulkan dari sapi Madura (65), sapi Limousin-Madura (81), sapi Ongole Silang
(PO,52), dan sapi Limousin-PO (56), juga Limousin semen bull (6). 211 bp DNA
fragmen growth hormone gen dimulai dari keempat intron (49 bp) untuk lima ekson
(162 bp) diamplifikasi menggunakan metode PCR dan dicerna dengan aluI enzim
restriksi untuk diidentifikasi polimorfismenya pada lokus sapi limosini. Dua genotipe
LL dan LV diamati pada PO (96.15% LL, 3,85% LV), Limousin-Madura (81,46%
LL, 18,52% LV), sapi Limousin-PO (78,57% LL, 21,43% LV), dan Limousin
(66,67% LL, 33,33% LV). Pada sapi madura ditemukan monomorfik pada lokus sapi
limosin yang memproduksi satu genotipe LL (100%). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah genotipe leu / val di persilangan pada sapi
limousin dengan sapi lokal adalah sekitar 17,58% dan 18,52% untuk sapi LimousinPO dan Limousin-Madura, masing-masing, dibandingkan pada sapi lokal (PO dan
ternak sapi madura). Frekuensi alel secara statistik sama seperti diungkapkan oleh uji
Chi-Square. Penelitian ini menyimpulkan bahwa polimorfik leu / val dari growth
hormone gen terjadi pada persilangan sapi limosin local, sedangkan leu monomorfik /
leu dari growth hormone gen ditemukan pada sapi madura. Dengan demikian,
Penelitian akan berguna sebagai kontrol untuk keseimbangan genetik pada populasi
sapi madura dan untuk melindungi tidak terkendalinya perkawinan silang.
Key Word : polimorfisme, leucine, valine, growth hormone, sapi Madura

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan suatu negara dengan keanekaragaman hayati sangat
tinggi (megabiodiversity), salah satunya adalah kekayaan sumber daya genetik sapi.
Berbagai macam bangsa sapi hidup dan tersebar di Indonesia, baik bangsa sapi lokal
maupun sapi silangan. Salah satu sapi lokal Indonesia yang cukup banyak dikenal
adalah sapi Madura yang merupakan silangan antara Bos banteng liar dan sapi Jawa
(Javanese cattle). Persilangan antara keturunan memungkinkan pembentukan
keturunan baru, karena sifat-sifat yang menguntungkan termasuk adaptasi terhadap
lingkungan. Saat ini, pemerintah Indonesia telah meningkatkan sapi lokal seperti
persilangan sapi Ongole (PO) dan ternak sapi madura yang umumnya disilangkan
dengan Limousin bull dengan inseminasi buatan. Tujuan dari program persilangan
adalah untuk meningkatkan kinerja sapi lokal. Oleh karena itu, kinerja yang baik dari
ternak dipengaruhi oleh gen dan lingkungan. Pertumbuhan pada sapi dikendalikan
oleh sistem yang kompleks, dimana somatotropic axis mempunyai peranan penting.
Gen-gen

yang

menjalankan

somatotropic

axis

bertanggungjawab

terhadap

pertumbuhan postnatal, terutama GH yang beraksi terhadap pertumbuhan tulang dan


otot yang dimediasi oleh IGF-1 (Sellier, 2000). Protein GH adalah rantai tunggal
polipeptida yang terdiri dari 191 deretan asam amino dan disintesis serta disekresi
oleh kelenjar anterior pituitari di bawah kontrol hypothalamic pada dua hormon
(GHRH dan SRIF). GH-releasing hormone (GHRH), meningkatkan sekresi GH dan
somatotropin release inhibiting factor (SRIF atau juga dikenal sebagai somatostatin)
yang menghambat sekresi GH (Nicoll et al., 1986 cit. Silveira et al., 2008). Growth
Hormone berperan dalam regulasi pertumbuhan postnatal, stimulasi proses
anabolisme seperti pertumbuhan tulang dan sintesis protein (Goodman, 1993 cit.
Silveira et al., 2008). Gen GH terletak pada posisi 19q26qter pada kromosom sapi
(Hediger et al., 1990) dengan 5 exon dan 4 intron. Titik mutasi terletak pada posisi

2141 (transverse: sitosin ke guanin), dideteksi oleh restriksi endonuklease AluI dan
memberi perubahan dari leusin (L) ke valin (V) pada urutan asam amino di posisi 127
rantai protein GH sapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi polimorfisme
Leu / Val dari growth hormone (GH) gen persilangan sapi limosin lokal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut ;
1. Apakah polimorfisme Leu / Val dari growth hormone (GH) gen pada
persilangan sapi limousin lokal dapat terjadi ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui polimorfisme Leu / Val dari growth
hormone (GH) gen pada persilangan sapi limousin lokal dapat terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan bagian dari rentetan kegiatan dalam proses
reproduksi. Perkawinan adalah suatu usaha untuk memasukkan sperma ke dalam alat

kelamin betina. Secara umum yang dimaksud dengan pemuliaan ternak adalah
aktivitas perbaikan mutu genetik ternak dalam suatu usaha peternakan melalui seleksi
dan atau sistem perkawinan yang kemudian diikuti dengan pengafkiran
(culling), sedangkan tujuannya adalah untuk mendapatkan ternak yang baik dan
unggul mutu genetiknya yang akan dijadikan sebagai bibit atau tetua bagi generasi
selanjutnya, Metoda pemuliaan ternak melalui sistem perkawinan dapat dilakukan
dengan cara inbreeding, crossbreeding, grading up, out breeding.
Perkawinan yang lazim digunakan pada ternak ada dua, yaitu :
1. Perkawinan Alam
Perkawinan

alami

merupakan

perkawinan

dimana

pejantan

memancarkan sperma langsung ke dalam alat reproduksi betina secara


langsung, tanpa perantara alat buatan. Perkawinan terjadi secara alami
dimana pejantan lebih agresif sedangkan betina bersifat responsif
(menunggu).Terkadang perkawinan alami memiliki banyak kendala, seperti
terbatasnya kemampuan pejantan dalam membuahi sejumlah betina,
motilitas sperma yang dikeluarkan pejantan saat perkawinan, respon betina
yang terkadang mengeluarkan kembali sperma yang telah masuk dan lain
sebagainya. Namun diluar permasalahan yang ada, sebenarnya cara ini
lebih efektif dan paling banyak dilakukan para peternak terutama
masyarakat tradisional. Perkawinan hanya mungkin terjadi antara ternak
jantan dengan ternak betina yang berahi, dimana ternak betina mau
menerima

ternak

jantan.

Perkawinan

alam

ini

tidak

diragukan

keberhasilannya, karena semen yang diejakulasikan tanpa pengenceran dan


didesposisikan pada portiovaginalis services atau mulut servic.
2.

Perkawinan buatan (kawin suntik/IB)


Perkawinan buatan merupakan perkawinan antara pejantan dan betina
melalui perantara suatu alat dengan cara tertentu. Proses pemasukan semen
ke dalam saluran reproduksi betina tidak secara langsung melainkan
melalui bantuan manusia dengan menggunakan alat. Semen dimasukkan

kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan alat buatan


manusia. Perkawinan memungkinkan pertemuan spermatozoa dengan sel
telur, sehingga perlu diperhatikan saat-saat ovulasi pada hewan betina agar
perkawinan tepat pada waktunya.
2.1.1 Macam Perkawinan
Ada tiga macam perkawinan yang dapat terjadi pada ternak, yaitu:
1.

Pure breeding (kawin alami)


Perkawinan alami merupakan perkawinan dimana pejantan
memancarkan sperma langsung ke dalam alat reproduksi betina
secara langsung, tanpa perantara alat buatan. Perkawinan terjadi
secara alami dimana pejantan lebih agresif sedangkan betina
bersifat responsif (menunggu). Terkadang perkawinan alami
memiliki banyak kendala, seperti terbatasnya kemampuan
pejantan dalam membuahi sejumlah betina, motilitas sperma yang
dikeluarkan pejantan saat perkawinan, respon betina yang
terkadang mengeluarkan kembali sperma yang telah masuk dan
lain

sebagainya.

Namun

diluar

permasalahan

yang

ada,

sebenarnya cara ini lebih efektif dan paling banyak dilakukan para
peternak terutama masyarakat tradisional.
2.

Grading up
Grading up adalah

sistem

perkawinan

silang

yang

keturunanya selalu disilangkanbalikan (back crossing) dengan


bangsa pejantannya dengan maksud mengubah bangsa induk
menjadi bangsa pejantan nya. perkawinan pejantan murni dari satu
bangsa dengan betina yang belum didiskripsikan atau belum
diperbaiki dan dengan keturunannya betina dari generasi ke
generasi. perkawinan antara pejantan unggul dengan sapi lokal
yang diarahkan pada keturunan pejantan.

3.

Crossbreeding (perkawinan silang)


Perkawinan silang adalah perkawinan ternak-ternak dari
bangsa yang berbeda. Tekhnisnya Crossbreeding ini hanya berlaku
untuk persilangan pertama pada bredasli, tetapi secara umum
berlaku juga untuk sistem crisscrossing dari dua jenis atau rotasi
persilangan dari tiga atau lebih bibit dan untuk menyilangkan
pejantan murni dari satu ras untuk menaikan tingkatan betina dari
ras yang yang lain. yakni perkawinan antara 2 bangsa atau lebih
dan bertujuan untuk mendapatkan sifat yang tidak terdapat pada
tetuanya, misalnya pada bangsa ternak tipe perah yang memiliki
kandungan karkas sedikit, dan ingin dihasilkan tipe dwiguna,
maka harus dikawinkan dengan bangsa tipe pedaging.

2.2 Gen Pertumbuhan


Gen Pertumbuhan Pertumbuhan adalah peningkatan ukuran tubuh dan
perubahan komposisi tubuh seiring dengan semakin bertambahnya umur. Sifat
pertumbuhan pada domba dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu pakan, genotip, jenis
kelamin, kesehatan dan manajemen pemeliharaan (Gatenby, 1991). Pada tingkat sel, 6
pertumbuhan hewan ternak dapat didefenisikan sebagai hyperplasia yaitu
pertambahan jumlah sel melalui proses mitosis dan hypertropi yaitu bertambahnya
ukuran atau volume sel-sel otot (Hossner, 2005). Sifat pertumbuhan ternak
dikendalikan oleh gen-gen pengontrol pertumbuhan, salah satunya adalah gen
hormon pertumbuhan. Gen hormon pertumbuhan merupakan penyandi hormon
pertumbuhan yang dihasilkan oleh somatotropes, dalam kelenjar hipofisa bagian
depan dan memiliki beberapa aktivitas fisiologis. Gen GH berperan penting dalam
mengatur

sifat-sifat

pertumbuhan,

reproduksi,

metabolisme,

laktasi

dan

perkembangan kelenjar susu (Burton et al., 1994). Menurut Sumantran et al. (1992)
gen GH merupakan pengatur utama pada pertumbuhan pasca kelahiran, metabolisme
pada mamalia, kecepatan pertumbuhan, susunan tubuh dan kesehatan. Pertumbuhan
juga diatur oleh gen POU1F1 (juga dinamakan pit-1 atau GHF-1) yang merupakan

anggota dari POU-transcription factors family yang diekspresikan terutama pada


pituitary (pan et al. 2008). Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada
ternak adalah gen Insulin-like growth fator I (IGF-I) yang merupakan faktor utama
peningkatan polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur
pertumbuhan somatik dari ransangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe
sel apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Wu et al. 2008). Gen
Growth Hormone Receptore (GHR) adalah sel permukaan reseptor untuk Growth
Hormone (GH) dan dibutuhkan oleh GH untuk membawa pengaruhnya ketarget
jaringan (djojosoebagio, 1995). 7 Gen GH pada semua mamalia memanjang sampai
2-3 kb dan terdiri dari lima ekson yang dipisahkan oleh empat intron (Golos et al.,
1993). Ekson pada suatu gen diketahui mengkode suatu bagian tertentu (yang disebut
domain) pada suatu protein, sedangkan intron merupakan bagian yang tidak
mengkode urutan asam amino. Sekuens gen GH pada domba terletak pada kromosom
ke-11 dan memiliki panjang 2162 pb (Genebank X12546) (Lampiran 1). Pada sapi
Japanese Black panjang sekuen gen GH adalah 2800 bp terletak pada kromosom ke
19 (Ardiyanti et al., 2009).
2.3. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode yang
dapat digunakan untuk memperbanyak segmen DNA secara in vitro untuk
menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul
DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim
polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer (primer forward dan primer
revers) dalam mesin termocycler (Ausubel, 1995). Primer merupakan oligonukleotida
spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak. Enzim
polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru (Williams,
2005). Proses dari PCR ini menghasilkan produk amplifikasi (amplikon) dengan
jumlahyang meningkat dari jumlah DNA awal. Proses yang terjadi dalam mesin PCR
meliputi tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing
(penempelan primer), dan ekstensi (pemanjangan primer) (Madigan et al., 1997;
Muladno, 2002). Tahap denaturasi adalah pembentukan DNA utas tunggal dari DNA

utas ganda (putusnya hidrogen dari kedua utas tunggal DNA yang komplementer)
yang umumnya terjadi pada suhu 950C. Tahap annealing yaitu pelekatan primer yang
terjadi pada suhu 35-65oC. Suhu annealing ditentukan oleh panjang pendeknya 9
oligonukleotida primer yang digunakan sedangkan tahap ekstensi yaitu pemanjangan
primer terjadi sebagai hasil aktivitas polimerisasi oleh enzim Taq polimerase, yang
pada umumnya dilakukan pada suhu 70C (Madigan et al., 1997).

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Bahan dan Metode
3.1.1 Sampel dan ekstraksi DNA
Sampel dan ekstraksi DNA Materi yang digunakan dalam penelitian
adalah Sampel darah dikumpulkan dari 262 ekor sapi yang terdiri dari Madura
(65), Limousin-Madura (81), persilangan sapi ongole (PO) (52), dan sapi
Limousin-PO (56). Sampel darah diambil pada setiap sampel ternak dari vena
jugularis dan ditampung dalam tabung yang mengandung K3EDTA, dan
kemudian disimpan dalam freezer sampai proses selanjutnya. Enam hasil
reproduksi dari sapi jantan Limousin yang digunakan sebagai kontrol. Metode
ekstraksi DNA menggunakan metode Sambrook et al. (1989) yang telah
dimodifikasi.
3.1.2 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Amplifikasi fragmen DNA spesifik dari gen GH berukuran 211 bp


(merentang dari intron 4 sepanjang 49 bp sampai exon 5 sepanjang 162 bp) oleh
polymerase chain reaction (PCR) dilakukan menggunakan sepasang primer,
GHforward: (5GCTGCTCCTGA GGGCCCTTC3) dan GHreverse: (5
CATGACCCTCAGGTACGTCTCCG3) (Reis et al., 2001). Total volume
untuk amplifikasi adalah 20 l yang terdiri dari 10 l FastStart PCR Master
(ROCHE),1 l (10pmol/l) primer Forward dan Reverse, 7 l ddH2O dan 1 l
DNA genom. Campuran tersebut diproses dalam mesin Thermal Cycler
(Infinigen T/H 25, USA), yang sebelumnya kondisi mesin diprogram sebagai
berikut: denaturasi awal 95C selama 5 menit, dilanjutkan amplifikasi sebanyak
35 siklus, setiap siklus diprogram yaitu denaturasi 95C selama 30 detik,
annealing 65C selama 30 detik, ekstensi 72C selama 30 detik. Proses
amplifikasi diakhiri dengan final ekstensi pada 72C selama 5 menit (Muin,
2008). Siklus PCR diulang untuk 35 siklus menggunakan GeneAmp PCR
Produk Sys PCR dianalisis dengan menggunakan elektroforesis horizontal
(Mupid) dalam 1% gel agarosa, penyangga 1XTBE, dengan 50 voltage dan
berjalan selama 30 menit. Produk PCR adalah divisualisasikan menggunakan
UV dan ukuran produk PCR dibandingkan dengan penanda DNA.
3.1.3 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Hasil amplifikasi (produk PCR) yang diperoleh kemudian didigesti
dengan enzim restriksi AluI dengan situs pemotongan 5-AGCT-3
(Fermentas). Total volume untuk digesti sebanyak 20 l yang diinkubasikan
pada temperatur 37C selama 3 jam. Produk digesti dielektroforesis pada gel
poliakrilamid 12% dengan tegangan 50 volt selama 3 jam 30 menit. Gel hasil
elektroforesis dilakukan pewarnaan dengan menggunakan Ethidium bromide
(EtBr). Gel diperiksa di bawah sinar ultraviolet untuk didokumentasikan
menggunakan kamera digital.
3.1.4 Genotipe dan Frekuensi alel
Frekuensi polimorfisme leu / val growth hormon gen dihitung dengan
alel sederhana dengan menghitung sesuai keseimbangan Hardy-Weinberg,

kemungkinan penyimpangan dari frekuensi genotip didapatkan dengan uji chisquare. frekuensi genotip merupakan rasio dari genotip total populasi. frekuensi
alel adalah rasio alel untuk alel keseluruhan pada populasi lokus. Frekuensi alel
(1) dan frekuensi genotip dapat (2) dihitung sebagai berikut:
p = (2LL + LV)/ 2N ; q = (2VV + LV)/ 2N (1)
LL = n p2 ; VV = n q2 ; LV = 2n p q (2)
Keterangan :
p dan q adalah frekuensi L dan V alel dalam populasi yang diamati; LL, LV dan
VV adalah jumlah genotip hewan; N adalah jumlah hewan yang diamati
3.2 Hasil

Hasil dari analisis GH-AluI yang terdeteksi oleh Polyacrylamid gel (PAGE) 12% dan penanda
DNA (X174 DNA / BsuRI (HaeIII), lajur no.1 DNA Genom, jalur no.2 produk PCR, jalur
no.3-11 LL / LV genotipe.

Amplifikasi PCR menghasilkan 211 bp segmen dari growth hormone


gen. Pencernaan dengan AluI enzim restriksi menunjukkan dua jenis pola
pembatasan. Pola pertama ditugaskan sebagai genotip LL yang menghasilkan
52 bp dan 159 fragmen bp (Gambar 1, jalur 3-5 dan 7-10), dan pola kedua
adalah ditugaskan sebagai genotip LV yang menghasilkan 52 bp, 159 bp, dan
211 bp fragmen (Gambar 1, jalur 6 dan 11). Kedua jenis alel berbeda hanya
dalam pembatasan situs enzim restriksi AluI. Alel L mengindikasikan adanya

situs pembatasan sementara yang tidak ditugaskan sebagai alel V. Dalam alel
L situs pembatasan mengandung nukleotida C sementara yang ditransisi
dengan G di situs yang sama dengan ditunjukkan tidak adanya dari AluI situs
pembatasan. Ditunjukkan adanya nukleotida C dalam panjang total growth
hormone gen (191) yang terjadi di posisi 127 dari polipeptida. Dengan
ditunjukkan Adanya nukleotida (C) pada triplet kodon encoded asam amino
leucine sementara dan pada nukleotida G mengkodekan asam amino valine.
substitusi leucine / valine menunjukkan polimorfik. Polimorfik dalam
penelitian ini telah diidentifikasi pada satu sapi lokal dan semua persilangan
sapi Limousine lokal. Perkawinan silang pada hewan adalah persilangan dari
sapi lokal dan eksotis, polimorfik pada lokus limosin didapatkan. Dalam
penelitian ini (lihat Tabel 1) polimorfik leu / val growth hormone gen telah
diidentifikasi pada bull limousin, sapi PO dan persilangan sapi lokal. Sapi
Madura yang monomorfik untuk lokus ini memproduksi hanya satu genotipe
LL (100%). Dua genotipe LL dan LV diamati pada PO (96.15% LL, 3,85%
LV), Limousin-Madura (81,46% LL, 18,52% LV), sapi Limousin-PO (78,57%
LL, 21,43% LV), dan Limousin (66,67% LL, 33,33% LV). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah genotipe LV pada persilangan
limousin dengan sapi lokal sekitar 17,58% dan 18,52% pada sapi LimousinPO dan Limousin-Madura, Namun, genotipe LV pada Limousin-PO (21,43%)
yang lebih tinggi dari pada Limousin-Madura (18,52%). Frekuensi alel yang
mirip statistik seperti ini diungkapkan dengan uji Chi-Square.
Tabel 1 . frekuensi alel dan hasil uji X 2 untuk perbandingan proporsi
antara sapi
Sapi
Limosin

Madura

N
6

65

X2

Observed
Expected
Observed
Expected

LL
4
(66,67%)
4,13
(68,95%)
100
(100%)

LV
2
(33,33%)
1,69
(28,21%)
-

VV
-

L
0,83

V
0,17

0,23

0,17
(2,84%)
-

1,00

Ongole
PO

52

Limura

81

Limosin
PO

56

Observed
Expected
Observed
Expected
Observed
Expected

50
(96,15%)
49,94
(96,04%)
66
(81,48%)
67,08
(82,81%)
44
(78,57%)
44,4
(79,21%)

2
(3,85%)
2,04
(3,92%)
15
(18,52%)
13,27
(16,38%)
12
(21,43%)
10,96
(19,58%)

0,98

0,02

0,02

0,02
(0,04%)
-

0,91

0,09

0,90

0,66
(0,81%)
-

0,89

0,11

0,78

BAB IV PENUTUP

0,68
(1,21%)

4.1 Kesimpulan
Kesimpulannya, diketahui bahwa growth hormon gen adalah polimorfik pada
sapi persilangan limosin lokal dan ternak PO dan monomorfik pada sapi Madura.
Hasil penelitian ini akan berguna sebagai kontrol untuk keseimbangan genetik pada
populasi sapi Madura dan untuk melindungi persilangan yang tidak terkontrol.

DAFTAR PUSTAKA
Aruna Pal, A.K. Chakravarty, T.K. Bhattacharya, B.K. Joshi and A. Sharma. 2004.
Detection of polymorphism of growth hormone gene for the analysis of
relationship between allele type and growth traits in Karan Fries cattle.
AsianAust J. Anim. Sci. 17 (10): 1334-1337.
Biswas T.K., T.K. Bhartacharya, A.D. Narayan, S. Badola, P. Kumar and A. Sharma.
2003. Growth hormone gene polymorphism and its effect on birth weight in
cattle and buffalo. Asian-Aust J. Anim. Sci. 16 (4): 494-497.

Hartatik, T., Sumadi, H. Mulyadi, dan R. D. M. Sari. 2010. Pemanfaatan teknologi


DNA untuk analisis genetik sapi lokal. Laporan Hibah Laboratorium,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Muin, M.A., M. Astuti, Muladno, T.M. Murti, dan W.T. Artama. 2007. Polimorfisme
Gen Growth Hormone dan Hubungannya dengan Sifat Pertumbuhan Sapi
Silangan Peranakan Ongole dan Simmental. Anim. Prod. 9(2): 53- 58.
Pereira, A.P., M.M. de Alencar, H.N. de Oliveira, and L.C. de Almeida Regitano.
2005. Association of GH and IGF-1 polymorphisms with growth traits in a
synthetic beef cattle breed.
Sambrook J., E. F. Fritsch., and Maniatis T. 1989. Molecular Cloning, A Laboratoty
Manual. Cold Spring Harbour Laboratory Press: Cold Spring Harbour, USA.
Sellier, P. 2000. Genetically caused retarded growth in animals. Domest. Anim.
Endocrinol., 19: 105-119.
Silveira, L. G. G., L. R. Furlan, R. A. Curi, A. L. J. Ferraz, M. M. de Alencar, L. C. A.
Regitano, C. L. Martins, M. de Beni, Arrigoni, L. Suguisawa, A. C. Silveira
and H. N. de Oliveira. 2008. Growth hormone 1 gene (GH1) polymorphisms
as possible markers of the production potential of beef cattle using the
Brazilian Canchim breed as a model. Genet. Mol. Biol. 31: 874-879.

POLYMORPHISM LEU/VAL OF GROWTH HORMON GENE FROM


LIMOUSIN CROOS LOCAL CATTLE IN INDONESIA

TUGAS REKAYASA GENETIKA

Oleh:
FAHMI ARIEF
061614353007

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


MAGISTER AGRIBISNIS VETERINER
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

Anda mungkin juga menyukai