Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang vertebra. Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat
menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi
disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi primer pada bagian tubuh yang lain.
Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya
akan melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra.
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai
dengan gejala dan tanda neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun
1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan
melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui
hematogen. 1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh
nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta
penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih
sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB
dan 1,8% dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan
morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis
dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh

karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan
debris.(Paramarta, dkk, 2008).
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acidfastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga
sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara

yang

konvensional.

Dipergunakan

teknik

Ziehl-Nielson

untuk

memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched


dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain
di tubuh, 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah
dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa
traktus urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu.
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif
dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan
fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari
selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu
waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam
tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama
beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa
tahun.

Gambar 1 : Mycobacterium

tuberculosis

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana. Klasifi kasi Potts
paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar klinisi dan mempermudah
deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifi kasi klinikoradiologis untuk
memperkirakan durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan
radiologis pasien

Tabel 1 : Klasifikasi Potts Paraplegia (Zuandra dan Janitra, 2013)


Selain itu ditemukan pula klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis radiologis
Durasi
Stadium
I. Pre-destruktif

II. Destruktif awal

III. Kifosis ringan


IV. Kifosis moderat
V. Kifosis berat

Gambaran klinikoradiologis
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral,
hiperemia tampak pada skintigrafi , MRI
menunjukkan edema sumsum tulang.
Penyempitan
ruang
diskus,
erosi
paradiskal. MRI memperlihatkan edema
dan kerusakan korteks vertebra, CT scan
menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
23 vertebra terkena (angulasi 1030)
>3 vertebra terkena (angulasi 3060)
>3 vertebra (angulasi >60)

perjalanan
penyakit
< 3 bulan

24 bulan

39 bulan
624 bulan
>2 tahun

Tabel 2 : Klasifikasi Klinikoradiologis (Zuandra dan Janitra, 2013)


Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun
untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan.
Sistem klasifi kasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain:
formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas
vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III)

Tabel 3 : Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB (Zuandra
dan Janitra, 2013)
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan
klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal).

Tabel 4 : Klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA)

(Zuandra dan Janitra, 2013)


Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan
kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan
deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan
atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral
dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari
suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan.

Termasuk

didalamnya

adalah

tuberkulosa

spinal

dengan

keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus
dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal
atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau skipping lesion.
Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui
pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB noncontiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defi sit neurologis dan tanpa
defisit neurologis, maka defi sit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defi
sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada
vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri
Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen
torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2)
Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen
vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya
lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior
D. PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru

Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan


menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus
Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya
limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal
dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita
tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan
bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah
bening, osteoartikular, hingga endometrial. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui
nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer
di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus
venosus paravertebral Batson. Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan
inflamasi paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum
tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis
jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi
dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi
sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban
gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan
vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan
vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian
posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas
kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus (Agrawal, 2010).
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat.
Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra servikal dan
lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra
sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal
dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.
Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan
granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat
menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior.

Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan


mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada
daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan
(wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia
(Pathway terlampir)
E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
d.
e.
f.
g.

tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.


Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
Deformitas pada punggung (gibbus)
Pembengkakan setempat (abses)
Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).

Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan
spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya
gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah
ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara
lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina.
Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi,

namun manifestasinya lebih berbahaya

karena dapat

menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus.
Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga
Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri
leher yang tidak spesifik.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah
satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia
onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua
tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh
abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan
oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika

ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul. (Zuwanda dan Janitra, 2013).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah
infeksi tuberkulosa.
1. Anamnesa
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau
bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal

notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor


respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetrapares. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang
terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di
negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran
f.

klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.


Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap
mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka
abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan
tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini
berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan

menyebabkan paralisis.
g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang
i.

bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang

ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.


2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
b. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa

iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus),


tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat
bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam
cold abscess.
c. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
d. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. Pemeriksaan
3. Penunjang :
a. Laboratorium :
Laju endap darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik
menunjukkan proses infeksi granulomatosa TB. Peningkatan kadar C

reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses


Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang
negatif tampak pada 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis
milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru

saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)


Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang

aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk

menyingkirkan diagnosa banding.


Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa).

Normalnya

cairan

serebrospinal

tidak

mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik.


Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA
kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu
lama, pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan
biaya yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR
adalah memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat

terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).

PCR memiliki sensitivitas sekitar 80 98 persen dan spesifi sitas 98 persen.


Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretory ES-31
mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan antigen 31 kDa

dikatakan dapat berguna, namun efektivitasnya masih diuji lebih lanjut


b. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang

abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat

setelah 3-8 minggu onset penyakit.


Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta
erosi

corpus

vertebrae

anterior

yang

berbentuk

scalloping

karena

penyebaran infeksi dari area subligamentous.


Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus

atau prosesus spinosus.


Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya

deformita scoliosis (jarang)


Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa
yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi
lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih
besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra
atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di
bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini
banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus
vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang

melibatkan vertebra torakal.


Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan
psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular
dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan
lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi

pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural


sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan
operasi (tergantung ukuran abses).

c. Computed Tomography (CT Scan)


Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel
tampak lebih baik dengan CT Scan.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang

belakang. Bermanfaat untuk :


Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif

atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.

Gambar 1. MRI Spondilitis TB


e. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin
diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan
histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50%
f.

kasus).
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,
lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

Diagnosis Banding :

1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya


sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya
infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang
berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial
lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat

menyebabkan

destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis


tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan
karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak
suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena
tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior
bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
G. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau
defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
1.
Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
a.
Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu
b.

selama 4 bulan (54 kali).


Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita yang kambuh.

Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB
ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan
4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan,
atau 2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen
bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori
II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial
dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk
memudahkam pemberian obat dan

menjamin kelangsungan ( kontinuitas )

pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)
masa pengobatan.
a) Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ).
Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan
Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :

Penderita baru TBC Paru BTA Positif


Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat dan
Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel 5 : Tabel Dosis OAT Kategori I


b) Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid
( H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga
kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan
setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :

Penderita kambuh ( relaps )


Penderita Gagal ( failure )
Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

Tabel 6 : Tabel Dosis OAT Kategori II

c) Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 )

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ )
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :

Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan


Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis
eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan
kelenjar aderenal.

Tabel 7 : Tabel Dosis OAT Kategori III


Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defi sit
neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang
menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB.
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT telah
dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan
tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan
berikutnya selama 2 tahun telah diujicobakan dengan hasil yang memuaskan.
Nerindronat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan
menstimulasi aktivitas osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien
dan perlu dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34 minggu, nyeri dan atau
defi sit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT
yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring.

2.

Terapi operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi

kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.


Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa,
mengambil

sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan

segmen tulang belakang yang terlibat.


Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, namun
pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus
harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan
dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi OAT
harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis
kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing. Tindakan bedah
yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses; debridemen
radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang; dengan
atau tanpa instrumentasi/ fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan
osteotomi.
a. Indikasi dan Kontraindikasi Pembedahan
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB secara umum sebagai berikut:
- Defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.
- Deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini
kifosis progresif (30 untuk dewasa, 15 untuk anakanak).
- Tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu.
- Abses luas.
- Biopsi perkutan gagal untuk memberikan diagnosis.
- Nyeri berat karena kompresi abses.
Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis
TB adalaha kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung
dan paru harus ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien.
b. Pemilihan Pendekatan Pembedahan Tulang Belakang
Pemilihan pendekatan pembedaan spondilitis TB bergantung pada banyak hal.
Hal-hal tersebut antara lain: kemampuan dan pengalaman ahli bedah,
ketersediaan instrumen, personel anestesi, dan komorbid pasien.
Pembedahan Drainase Abses
Abses dapat terbentuk di tingkat manapun sesuai fokus infeksi TB pada
vertebra.

Pada

tingkat

servikal,

abses

dapat

terjadi

pada

rongga

retrofaringeal dan segitiga posterior leher. Untuk abses retrofaringeal dapat


dilakukan pendekatan transoral, sedangkan pada segitiga posterior insisi
dilakukan pada margo posterior m. sternokleidomastoideus. Pada tingkat
torakal, abses dapat dievakuasi secara kostotransversektomi. Drainase
abses lumbar/ paravertebral dilakukan lewat insisi longitudinal dorsolateral.
Drainase abses psoas/ pelvis dapat dilakukan melalui segitiga Petit atau
insisi Ludloff .
Pembedahan Debridemen dan Koreksi Kifosis
Karena lesi TB spinal biasanya di bagian anterior badan vertebra,
dekompresi anterior sangat direkomendasikan banyak ahli. Instrumentasi
kemudian dilakukan untuk stabilisasi tulang belakang, untuk melindungi
tandur anterior yang disisipkan, dan sekaligus untuk menjaga koreksi kifosis.
- Debridemen anterior dan fusi tanpa instrumentasi : Pembedahan ini relatif
mudah dan memerlukan waktu yang singkat. Tindakan ini meliputi
debridemen radikal pendekatan anterior, diikuti penyisipan tandur tulang
iga otogenik untuk koreksi deformitas kifosis. Namun, teknik ini tidak
dapat digunakan untuk kasus yang memerlukan rekonstruksi luas/
setidaknya dua tingkat diskus. Tingkat kegagalan fusi dan migrasi tandur
-

sangat tinggi, sehingga sering pasien memerlukan operasi kedua


Debridemen anterior diikuti dengan instrumentasi anterior atau posterior :
Banyak laporan penelitian yang mengatakan bahwa metode ini
menjanjikan hasil yang baik. Meskipun begitu, variasi metode ini sangat
banyak dan sangat bergantung pada kebiasaan dan keahlian ahli bedah
yang bersangkutan. Instrumentasi sangat direkomendasikan pada kasus
yang memerlukan debridemen radikal setidaknya dua diskus dan satu
badan vertebra. Teknik ini adalah metode yang paling sering dilakukan

dan dikaji dalam penelitian


Dekompresi transpedikular : Pendekatan transpedikular memungkinkan
akses anterior dan posterior melalui insisi tunggal. Teknik ini dikatakan
tidak cukup baik untuk kasus dengan destruksi vertebra yang luas,
dimana diperlukan debridemen anterior luas dan rekonstruksi dengan

tandur tulang
Pembedahan dengan pendekatan posterior saja : Pada kasus tertentu,
pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi posterior
operasi tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak bergantung

pada pemberian OAT untuk mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan defi sit neurologis, abses di
-

bagian anterior, atau lesi di banyak tingkat


Osteotomi dan reseksi kolumna vertebra : Jika telah terjadi deformitas
kifotik yang sangat kaku dan tajam, harus dilakukan osteotomi untuk
meningkatkan

fl

eksibilitas

vertebra.

Osteotomi

dekanselasi

transpedikular dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga 2030 persen


pada satu tingkat. Namun tindakan ini memiliki angka komplikasi yang
tinggi termasuk perdarahan dan gangguan neurologis. Teknik ini dapat
dilakukan dari anterior dan posterior
Pembedahan pada kasus noncontiguous (skipping lesion)
Penelitian oleh Zhang dkk menyimpulkan bahwa spondilitis TB noncontiguous multilevel dapat ditatalaksana dengan adekuat dengan metode
operasi tunggal pendekatan posterior transforaminal, debridemen thorasik,
dekompresi minimal, fusi vertebra, dan instrumentasi posterior (modifikasi
TTIF Transforaminal Thoracic Interbody Fusion). Metode ini meliputi reseksi
sebagian korpus vertebra, sendi faset, prosesus transversus dan iga,
kemudian tandur tulang disisipkan pada defek reseksi, dan terakhir dipasang
implan posterior
Pembedahan invasif minimal
Tindakan bedah invasif minimal mulai menjadi trend dalam segala bidang
pembedahan, termasuk pembedahan tulang belakang. Pembedahan ini
menjanjikan morbiditas yang lebih rendah, waktu rawat yang lebih singkat,
dan nyeri pasca-operasi yang lebih ringan. Tidak semua operator menguasai
teknik ini karena memerlukan keahlian tersendiri.
Pilihan tandur tulang
Tandur tulang yang dapat digunakan pada penatalaksanaan bedah spondilitis
TB adalah tandur krista iliaka, tandur iga, tandur tibia, tandur fi bula, hingga
tandur humerus, baik otogenik ataupun alogenik. Tandur krista iliaka
trikortikal adalah pilihan utama untuk seluruh tingkat vertebra karena
tingginya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Pembedahan pada Pasien Lansia
Pada pasien lansia perlu dipertimbangkan status nutrisi, komorbiditas yang
ada sebelum naik ke meja operasi. Kondisi vertebra yang relatif osteoporotik
umumnya tidak mampu menahan instrumen yang dipasang di bagian
anterior. Untuk didapatkan koreksi kifosis dan stabilisasi spinal yang baik,
diperlukan stabilisasi posterior dengan instrumentasi segmental panjang.

Pemberian antiosteoporosis pre-operatif diperlukan untuk meningkatkan


angka fusi dan stabilisasi vertebra oleh instrumen
Pembedahan pada Pasien Anak
Pada anak-anak, meskipun lesi akibat spondilitis TB dapat sembuh dengan
terapi non-operatif, namun kifosis cenderung terus bertambah seiring dengan
berjalannya pertumbuhan, oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kifosis
secara

cepat

dan

stabilisasi

vertebra

pada

fase

aktif

penyakit.

Penatalaksanaan spondilitis TB anak harus secara agresif. Koreksi


deformitas tulang belakang pada pasien anak adalah imperatif. Angulasi 15o
saja cukup untuk menyebabkan gangguan pertumbuhan tinggi
c. Imobilisasi Pasca-operasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas pasien.

Dengan

instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat


cepat mencapai status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada
tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada
daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat diimobilisasi
menggunakan body cast jacket. Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral,
dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang
disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul
d. Tirah baring, Imobilisasi, dan Fisioterapi
Terapi pada penderita spondilitis TB dapat pula berupa tirah baring disertai
dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa imobilisasi. Tindakan ini
biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak tersedia
keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi tulang belakang,
atau bila terdapat permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu berbahaya.
Jenis imobilisasi yang dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-operasi yang
telah dijelaskan sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya selama enam
bulan.
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan fungsional.
Dalam hal ini gangguan fungsional dikaitkan dengan cedera medula spinalis
yang menimbulkan kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom. Intervensi fi
sioterapi yang diberikan disesuaikan dengan modalitas yang terganggu.
Paraplegia yang mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur berpotensi
menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu, posisi baring harus sering diganti.
Selain itu, pemeriksaan kulit secara menyeluruh harus rutin dilakukan. Pasien

dengan gangguan defekasi dan berkemih dapat dibantu dengan kateterisasi


intermiten dan evakuasi feses setiap hari. Mobilisasi dengan kursi roda
(wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari setelah dimulai pengobatan. Jika
pasien sudah stabil, dapat rencanakan untuk pelatihan kemandirian, kemampuan
sosial dan melakukan aktivitas sehari-hari dan berikutnya dapat diberikan
pelatihan vokasional.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Potts paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik
(berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN THALASEMIA
A. Pengkajian:
Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga
maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara
,inspeksi,palpasi,perkusi dan auskultasi.
1. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2. Riwayat penyakit sekarang : Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa
terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat

kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama
pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien
bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.
3. Riwayat penyakit dahulu : Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa
biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa
salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga
ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5. Riwayat psikososial : Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit,
pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan
bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai
penderita.
6. Pola - pola fungsi kesehatan :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Adanya tindakan medis serta
perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan
merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga

menimbulkan

salah

persepsi

dalam

pemeliharaan

kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan


perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan
-

kesehatan klien.
Pola nutrisi dan metabolism : Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan
tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme
tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada

status nutrisinya.
Pola eliminasi : Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta
dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau
BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses

aliminasi.
Pola aktivitas : Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan

klien
-

membatasi

aktivitas

fisik

dan

berkurangnya

kemampuan

dalam

melaksanakan aktivitas fisik tersebut.


Pola tidur dan istirahat : Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan
atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan

kebutuhan tidur dan istirahat.


Pola hubungan dan peran : Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami
perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya,
baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak

terganggunya hubungan interpersonal.


Pola persepsi dan konsep diri : Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali

merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
Pola sensori dan kognitif : Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan

terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi.


Pola reproduksi seksual : Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan
hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit.
Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya

melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
Pola penaggulangan stress : Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum
mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas
yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya

untuk mengurangi stress.


Pola tata nilai dan kepercayaan : Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari
selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan
ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di

jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.


7. Pemeriksaan fisik.
- Inspeksi : Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
-

pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.


Palpasi : Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang

terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.


Perkusi : Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
Auskultasi : Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan

kelainan.
8. Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium :
Radiologi :
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang

menyerang area posterior.


- Terdapat penyempitan diskus.
- Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).
Laboratorium : Laju endap darah meningkat

Tes tuberculin : Reaksi tuberkulin biasanya positif.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan Mobilitas

Fisik

berhubungan

dengan

deformitas,

kerusakan

muskuloskeletal
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya peradangan sendi
3. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
C. Intervensi Keperawatan
No
1

Diagnosa Keperawatan
Hambatan Mobilitas Fisik
berhubungan dengan
deformitas, kerusakan
muskuloskeletal

Rencana Keperawatan
Tujuan
Klien dapat melakukan
mobilisasi secara optimal
Kriteria Hasil:
Klien dapat ikut serta dalam
program latihan
Mencari
bantuan
sesuai
kebutuhan
Mempertahankan koordinasi
dan mobilitas sesuai tingkat
optimal.

Intervensi
Kaji mobilitas yang ada dan
observasi
terhadap
peningkatan kerusakan.
Bantu
klien
melakukan
latihan ROM, perawatan
diri sesuai toleransi.
Memelihara bentuk spinal
yaitu dengan cara :
mattress
Bed Board ( tempat tidur
dengan alas kayu, atau
kasur busa yang keras
yang tidak menimbulkan
lekukan saat klien tidur.
mempertahankan
postur
tubuh yang baik dan
latihan pernapasan ;
Latihan ekstensi batang
tubuh baik posisi berdiri
(
bersandar
pada
tembok ) maupun posisi
menelungkup
dengan
cara
mengangkat
ekstremitas atas dan
kepala serta ekstremitas
bawah
secara
bersamaan.
Menelungkup sebanyak 3
4 kali sehari selama 15
30 menit.

Gangguan rasa nyaman


berhubungan dengan
adanya peradangan sendi

a. Rasa nyaman terpenuhi


b. Nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil
Klien Melaporkan Penurunan
Nyeri
Menunjukkan Perilaku Yang
Lebih Relaks
Memperagakan Keterampilan
Reduksi Nyeri Yang
Dipelajari Dengan
Peningkatan Keberhasilan.

Gangguan citra tubuh


berhubungan dengan
perubahan struktur tubuh

Klien dapat mengekspresikan


perasaannya dan dapat
menggunakan koping yang
adaptif.
Kriteria Hasil

Latihan pernapasan yang


akan dapat meningkatkan
kapasitas pernapasan.
monitor tanda tanda vital
setiap 4 jam.
Pantau kulit dan membran
mukosa terhadap iritasi,
kemerahan atau lecet
lecet.
Perbanyak masukan cairan
sampai 2500 ml/hari bila
tidak ada kontra indikasi.
Berikan
anti
inflamasi
sesuai program dokter.
Observasi terhadap efek
samping : bisa tak
nyaman pada lambung
atau diare.
Kaji lokasi, intensitas dan
tipe nyeri; observasi
terhadap kemajuan nyeri
ke daerah yang baru.
Berikan analgesik sesuai
terapi dokter dan kaji
efektivitasnya terhadap
nyeri.
Gunakan brace punggung
atau korset bila di
rencanakan demikian.
Berikan dorongan untuk
mengubah posisi ringan
dan sering untuk
meningkatkan rasa
nyaman.
Ajarkan dan bantu dalam
teknik alternatif
penatalaksanaan nyeri.
Berikan kesempatan pada
klien untuk
mengungkapkan
perasaan. Perawat harus
mendengarkan dengan

Klien dapat mengungkapkan


perasaan / perhatian dan
menggunakan keterampilan
koping yang positif dalam
mengatasi perubahan citra.

penuh perhatian.
Bersama sama klien
mencari alternatif koping
yang positif.
Kembangkan komunikasi
dan bina hubungan
antara klien keluarga dan
teman serta berikan
aktivitas rekreasi dan
permainan guna
mengatasi perubahan
body image.

DAFTAR PUSTAKA
Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor.
Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : SpringerVerlag, 2007: 378-87.
Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.:
London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 : 228-31

of The

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5
Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/
RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.
WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing. WHO Report 2005.
WHO/HTM/TB/2005.411
Li YW, Fung YW. A case of cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain.
Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2) Apr 2007.
Zuwanda dan Raka Janitra. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis.
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013

PATHWAY

LAPORAN PENDAHULUAN
I.

DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang vertebra. Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat
menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi
disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi primer pada bagian tubuh yang lain.
Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya
akan melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra.
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai
dengan gejala dan tanda neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun
1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan
melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui
hematogen. 1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh
nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta
penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih

sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB


dan 1,8% dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan
morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis
dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh
karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan
debris.(Paramarta, dkk, 2008).
J. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acidfastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga
sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara

yang

konvensional.

Dipergunakan

teknik

Ziehl-Nielson

untuk

memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched


dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain
di tubuh, 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah
dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa
traktus urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu.
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif
dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan
fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari
selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu
waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam
tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama
beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa
tahun.

Gambar 1 : Mycobacterium

K. KLASIFIKASI
Klasifikasi
pihak

tuberculosis

spondilitis

dengan

tujuan

TB telah dilakukan beberapa


untuk

menentukan

deskripsi

keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana. Klasifi kasi Potts paraplegia disusun
untuk mempermudah komunikasi antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan
gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifi kasi klinikoradiologis untuk memperkirakan
durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien

Tabel 1 : Klasifikasi Potts Paraplegia (Zuandra dan Janitra, 2013)


Selain itu ditemukan pula klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis radiologis
Durasi
Stadium
I. Pre-destruktif

II. Destruktif awal

III. Kifosis ringan


IV. Kifosis moderat
V. Kifosis berat

Gambaran klinikoradiologis
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral,
hiperemia tampak pada skintigrafi , MRI
menunjukkan edema sumsum tulang.
Penyempitan
ruang
diskus,
erosi
paradiskal. MRI memperlihatkan edema
dan kerusakan korteks vertebra, CT scan
menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
23 vertebra terkena (angulasi 1030)
>3 vertebra terkena (angulasi 3060)
>3 vertebra (angulasi >60)

perjalanan
penyakit
< 3 bulan

24 bulan

39 bulan
624 bulan
>2 tahun

Tabel 2 : Klasifikasi Klinikoradiologis (Zuandra dan Janitra, 2013)

Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun
untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan.
Sistem klasifi kasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain:
formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas
vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III)

Tabel 3 : Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB (Zuandra
dan Janitra, 2013)
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan
klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal).

Tabel 4 : Klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA)

(Zuandra dan Janitra, 2013)


Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
5. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
6. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan
kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan
deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan
atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
7. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral
dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari
suplai darah vertebral.
8. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan.

Termasuk

didalamnya

adalah

tuberkulosa

spinal

dengan

keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus
dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal
atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau skipping lesion.
Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui
pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB noncontiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defi sit neurologis dan tanpa
defisit neurologis, maka defi sit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defi
sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada
vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri
Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen
torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2)
Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen
vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya
lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior
L. PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru

Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan


menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus
Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya
limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal
dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita
tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan
bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah
bening, osteoartikular, hingga endometrial. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui
nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer
di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus
venosus paravertebral Batson. Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan
inflamasi paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum
tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis
jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi
dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi
sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban
gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan
vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan
vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian
posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas
kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus (Agrawal, 2010).
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat.
Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra servikal dan
lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra
sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal
dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.
Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan
granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat
menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior.

Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan


mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
5. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada
daerah sentral vertebra.
6. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
7. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan
(wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
8. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia
(Pathway terlampir)
M. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
d.
e.
f.
g.

tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.


Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
Deformitas pada punggung (gibbus)
Pembengkakan setempat (abses)
Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).

Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
c. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
d. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan
spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya
gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah
ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara
lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina.
Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi,

namun manifestasinya lebih berbahaya

karena dapat

menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus.
Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga
Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri
leher yang tidak spesifik.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah
satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia
onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua
tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh
abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan
oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika

ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul. (Zuwanda dan Janitra, 2013).
N. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah
infeksi tuberkulosa.
4. Anamnesa
j. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
k. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
l.

limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.


Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien

akan menahan punggungnya menjadi kaku.


m. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
n. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau
bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal

notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor


respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetrapares. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang
terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di
negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran
klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
o. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap
mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka
abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan
tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini
berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis.
p. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
q. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang
r.

bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang

ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.


5. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
e. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa

iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus),


tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat
bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam
cold abscess.
f. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
g. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. Pemeriksaan
6. Penunjang :
g. Laboratorium :
Laju endap darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik
menunjukkan proses infeksi granulomatosa TB. Peningkatan kadar C

reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses


Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang
negatif tampak pada 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis
milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru

saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)


Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang

aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk

menyingkirkan diagnosa banding.


Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa).

Normalnya

cairan

serebrospinal

tidak

mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik.


Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA
kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu
lama, pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan
biaya yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR
adalah memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat

terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).

PCR memiliki sensitivitas sekitar 80 98 persen dan spesifi sitas 98 persen.


Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretory ES-31
mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan antigen 31 kDa

dikatakan dapat berguna, namun efektivitasnya masih diuji lebih lanjut


h. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang

abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat

setelah 3-8 minggu onset penyakit.


Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta
erosi

corpus

vertebrae

anterior

yang

berbentuk

scalloping

karena

penyebaran infeksi dari area subligamentous.


Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus

atau prosesus spinosus.


Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya

deformita scoliosis (jarang)


Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa
yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi
lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih
besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra
atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di
bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini
banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus
vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang

melibatkan vertebra torakal.


Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan
psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular
dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan
lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi

pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural


sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan
operasi (tergantung ukuran abses).

i.

Computed Tomography (CT Scan)


Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel
tampak lebih baik dengan CT Scan.

j.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang

belakang. Bermanfaat untuk :


Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif

atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.

Gambar 1. MRI Spondilitis TB


k. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin
diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan
histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50%
l.

kasus).
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,
lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

Diagnosis Banding :

5. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya


sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya
infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang
berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial
lain.
6. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
7. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat

menyebabkan

destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis


tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan
karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak
suatu lesi yang berbatas jelas.
8. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena
tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior
bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
O. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau
defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu:
5. Pemberian obat antituberkulosis.
6. Dekompresi medula spinalis.
7. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
8. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
3.
Terapi konservatif
e. Tirah baring (bed rest).
f. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
g. Memperbaiki keadaan umum penderita.
h. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
b.
Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu
c.

selama 4 bulan (54 kali).


Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita yang kambuh.

Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB
ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan
4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan,
atau 2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen
bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori
II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial
dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk
memudahkam pemberian obat dan

menjamin kelangsungan ( kontinuitas )

pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)
masa pengobatan.
a) Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ).
Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan
Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :

Penderita baru TBC Paru BTA Positif


Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat dan
Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel 5 : Tabel Dosis OAT Kategori I


b) Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid
( H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga
kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan
setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :

Penderita kambuh ( relaps )


Penderita Gagal ( failure )
Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

Tabel 6 : Tabel Dosis OAT Kategori II

c) Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 )

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ )
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :

Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan


Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis
eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan
kelenjar aderenal.

Tabel 7 : Tabel Dosis OAT Kategori III


Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defi sit
neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang
menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB.
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT telah
dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan
tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan
berikutnya selama 2 tahun telah diujicobakan dengan hasil yang memuaskan.
Nerindronat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan
menstimulasi aktivitas osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien
dan perlu dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34 minggu, nyeri dan atau
defi sit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT
yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring.

4.

Terapi operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi

kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.


Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa,
mengambil

sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan

segmen tulang belakang yang terlibat.


Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, namun
pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus
harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan
dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi OAT
harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis
kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing. Tindakan bedah
yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses; debridemen
radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang; dengan
atau tanpa instrumentasi/ fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan
osteotomi.
a. Indikasi dan Kontraindikasi Pembedahan
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB secara umum sebagai berikut:
- Defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.
- Deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini
kifosis progresif (30 untuk dewasa, 15 untuk anakanak).
- Tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu.
- Abses luas.
- Biopsi perkutan gagal untuk memberikan diagnosis.
- Nyeri berat karena kompresi abses.
Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis
TB adalaha kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung
dan paru harus ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien.
b. Pemilihan Pendekatan Pembedahan Tulang Belakang
Pemilihan pendekatan pembedaan spondilitis TB bergantung pada banyak hal.
Hal-hal tersebut antara lain: kemampuan dan pengalaman ahli bedah,
ketersediaan instrumen, personel anestesi, dan komorbid pasien.
Pembedahan Drainase Abses
Abses dapat terbentuk di tingkat manapun sesuai fokus infeksi TB pada
vertebra.

Pada

tingkat

servikal,

abses

dapat

terjadi

pada

rongga

retrofaringeal dan segitiga posterior leher. Untuk abses retrofaringeal dapat


dilakukan pendekatan transoral, sedangkan pada segitiga posterior insisi
dilakukan pada margo posterior m. sternokleidomastoideus. Pada tingkat
torakal, abses dapat dievakuasi secara kostotransversektomi. Drainase
abses lumbar/ paravertebral dilakukan lewat insisi longitudinal dorsolateral.
Drainase abses psoas/ pelvis dapat dilakukan melalui segitiga Petit atau
insisi Ludloff .
Pembedahan Debridemen dan Koreksi Kifosis
Karena lesi TB spinal biasanya di bagian anterior badan vertebra,
dekompresi anterior sangat direkomendasikan banyak ahli. Instrumentasi
kemudian dilakukan untuk stabilisasi tulang belakang, untuk melindungi
tandur anterior yang disisipkan, dan sekaligus untuk menjaga koreksi kifosis.
- Debridemen anterior dan fusi tanpa instrumentasi : Pembedahan ini relatif
mudah dan memerlukan waktu yang singkat. Tindakan ini meliputi
debridemen radikal pendekatan anterior, diikuti penyisipan tandur tulang
iga otogenik untuk koreksi deformitas kifosis. Namun, teknik ini tidak
dapat digunakan untuk kasus yang memerlukan rekonstruksi luas/
setidaknya dua tingkat diskus. Tingkat kegagalan fusi dan migrasi tandur
-

sangat tinggi, sehingga sering pasien memerlukan operasi kedua


Debridemen anterior diikuti dengan instrumentasi anterior atau posterior :
Banyak laporan penelitian yang mengatakan bahwa metode ini
menjanjikan hasil yang baik. Meskipun begitu, variasi metode ini sangat
banyak dan sangat bergantung pada kebiasaan dan keahlian ahli bedah
yang bersangkutan. Instrumentasi sangat direkomendasikan pada kasus
yang memerlukan debridemen radikal setidaknya dua diskus dan satu
badan vertebra. Teknik ini adalah metode yang paling sering dilakukan

dan dikaji dalam penelitian


Dekompresi transpedikular : Pendekatan transpedikular memungkinkan
akses anterior dan posterior melalui insisi tunggal. Teknik ini dikatakan
tidak cukup baik untuk kasus dengan destruksi vertebra yang luas,
dimana diperlukan debridemen anterior luas dan rekonstruksi dengan

tandur tulang
Pembedahan dengan pendekatan posterior saja : Pada kasus tertentu,
pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi posterior
operasi tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak bergantung

pada pemberian OAT untuk mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan defi sit neurologis, abses di
-

bagian anterior, atau lesi di banyak tingkat


Osteotomi dan reseksi kolumna vertebra : Jika telah terjadi deformitas
kifotik yang sangat kaku dan tajam, harus dilakukan osteotomi untuk
meningkatkan

fl

eksibilitas

vertebra.

Osteotomi

dekanselasi

transpedikular dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga 2030 persen


pada satu tingkat. Namun tindakan ini memiliki angka komplikasi yang
tinggi termasuk perdarahan dan gangguan neurologis. Teknik ini dapat
dilakukan dari anterior dan posterior
Pembedahan pada kasus noncontiguous (skipping lesion)
Penelitian oleh Zhang dkk menyimpulkan bahwa spondilitis TB noncontiguous multilevel dapat ditatalaksana dengan adekuat dengan metode
operasi tunggal pendekatan posterior transforaminal, debridemen thorasik,
dekompresi minimal, fusi vertebra, dan instrumentasi posterior (modifikasi
TTIF Transforaminal Thoracic Interbody Fusion). Metode ini meliputi reseksi
sebagian korpus vertebra, sendi faset, prosesus transversus dan iga,
kemudian tandur tulang disisipkan pada defek reseksi, dan terakhir dipasang
implan posterior
Pembedahan invasif minimal
Tindakan bedah invasif minimal mulai menjadi trend dalam segala bidang
pembedahan, termasuk pembedahan tulang belakang. Pembedahan ini
menjanjikan morbiditas yang lebih rendah, waktu rawat yang lebih singkat,
dan nyeri pasca-operasi yang lebih ringan. Tidak semua operator menguasai
teknik ini karena memerlukan keahlian tersendiri.
Pilihan tandur tulang
Tandur tulang yang dapat digunakan pada penatalaksanaan bedah spondilitis
TB adalah tandur krista iliaka, tandur iga, tandur tibia, tandur fi bula, hingga
tandur humerus, baik otogenik ataupun alogenik. Tandur krista iliaka
trikortikal adalah pilihan utama untuk seluruh tingkat vertebra karena
tingginya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Pembedahan pada Pasien Lansia
Pada pasien lansia perlu dipertimbangkan status nutrisi, komorbiditas yang
ada sebelum naik ke meja operasi. Kondisi vertebra yang relatif osteoporotik
umumnya tidak mampu menahan instrumen yang dipasang di bagian
anterior. Untuk didapatkan koreksi kifosis dan stabilisasi spinal yang baik,
diperlukan stabilisasi posterior dengan instrumentasi segmental panjang.

Pemberian antiosteoporosis pre-operatif diperlukan untuk meningkatkan


angka fusi dan stabilisasi vertebra oleh instrumen
Pembedahan pada Pasien Anak
Pada anak-anak, meskipun lesi akibat spondilitis TB dapat sembuh dengan
terapi non-operatif, namun kifosis cenderung terus bertambah seiring dengan
berjalannya pertumbuhan, oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kifosis
secara

cepat

dan

stabilisasi

vertebra

pada

fase

aktif

penyakit.

Penatalaksanaan spondilitis TB anak harus secara agresif. Koreksi


deformitas tulang belakang pada pasien anak adalah imperatif. Angulasi 15o
saja cukup untuk menyebabkan gangguan pertumbuhan tinggi
c. Imobilisasi Pasca-operasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas pasien.

Dengan

instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat


cepat mencapai status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada
tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada
daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat diimobilisasi
menggunakan body cast jacket. Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral,
dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang
disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul
d. Tirah baring, Imobilisasi, dan Fisioterapi
Terapi pada penderita spondilitis TB dapat pula berupa tirah baring disertai
dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa imobilisasi. Tindakan ini
biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak tersedia
keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi tulang belakang,
atau bila terdapat permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu berbahaya.
Jenis imobilisasi yang dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-operasi yang
telah dijelaskan sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya selama enam
bulan.
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan fungsional.
Dalam hal ini gangguan fungsional dikaitkan dengan cedera medula spinalis
yang menimbulkan kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom. Intervensi fi
sioterapi yang diberikan disesuaikan dengan modalitas yang terganggu.
Paraplegia yang mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur berpotensi
menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu, posisi baring harus sering diganti.
Selain itu, pemeriksaan kulit secara menyeluruh harus rutin dilakukan. Pasien

dengan gangguan defekasi dan berkemih dapat dibantu dengan kateterisasi


intermiten dan evakuasi feses setiap hari. Mobilisasi dengan kursi roda
(wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari setelah dimulai pengobatan. Jika
pasien sudah stabil, dapat rencanakan untuk pelatihan kemandirian, kemampuan
sosial dan melakukan aktivitas sehari-hari dan berikutnya dapat diberikan
pelatihan vokasional.
P. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
4. Potts paraplegia
c. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
d. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
5. Ruptur abses paravertebra
c. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
d. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
6. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik
(berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN THALASEMIA
D. Pengkajian:
Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga
maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara
,inspeksi,palpasi,perkusi dan auskultasi.
9. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
10. Riwayat penyakit sekarang : Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa
terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat

kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama
pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien
bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.
11. Riwayat penyakit dahulu : Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa
biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru.
12. Riwayat kesehatan keluarga : Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa
salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga
ada yang menderita penyakit menular tersebut.
13. Riwayat psikososial : Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit,
pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan
bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai
penderita.
14. Pola - pola fungsi kesehatan :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Adanya tindakan medis serta
perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan
merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga

menimbulkan

salah

persepsi

dalam

pemeliharaan

kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan


perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan
-

kesehatan klien.
Pola nutrisi dan metabolism : Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan
tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme
tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada

status nutrisinya.
Pola eliminasi : Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta
dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau
BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses

aliminasi.
Pola aktivitas : Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan

klien
-

membatasi

aktivitas

fisik

dan

berkurangnya

kemampuan

dalam

melaksanakan aktivitas fisik tersebut.


Pola tidur dan istirahat : Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan
atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan

kebutuhan tidur dan istirahat.


Pola hubungan dan peran : Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami
perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya,
baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak

terganggunya hubungan interpersonal.


Pola persepsi dan konsep diri : Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali

merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
Pola sensori dan kognitif : Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan

terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi.


Pola reproduksi seksual : Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan
hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit.
Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya

melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
Pola penaggulangan stress : Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum
mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas
yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya

untuk mengurangi stress.


Pola tata nilai dan kepercayaan : Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari
selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan
ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di

jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.


15. Pemeriksaan fisik.
- Inspeksi : Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
-

pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.


Palpasi : Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang

terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.


Perkusi : Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
Auskultasi : Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan

kelainan.
16. Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium :
Radiologi :
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang

menyerang area posterior.


- Terdapat penyempitan diskus.
- Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).
Laboratorium : Laju endap darah meningkat

Tes tuberculin : Reaksi tuberkulin biasanya positif.

E. Diagnosa Keperawatan
4. Hambatan Mobilitas

Fisik

berhubungan

dengan

deformitas,

kerusakan

muskuloskeletal
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya peradangan sendi
6. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
F. Intervensi Keperawatan
No
1

Diagnosa Keperawatan
Hambatan Mobilitas Fisik
berhubungan dengan
deformitas, kerusakan
muskuloskeletal

Rencana Keperawatan
Tujuan
Klien dapat melakukan
mobilisasi secara optimal
Kriteria Hasil:
Klien dapat ikut serta dalam
program latihan
Mencari
bantuan
sesuai
kebutuhan
Mempertahankan koordinasi
dan mobilitas sesuai tingkat
optimal.

Intervensi
Kaji mobilitas yang ada dan
observasi
terhadap
peningkatan kerusakan.
Bantu
klien
melakukan
latihan ROM, perawatan
diri sesuai toleransi.
Memelihara bentuk spinal
yaitu dengan cara :
mattress
Bed Board ( tempat tidur
dengan alas kayu, atau
kasur busa yang keras
yang tidak menimbulkan
lekukan saat klien tidur.
mempertahankan
postur
tubuh yang baik dan
latihan pernapasan ;
Latihan ekstensi batang
tubuh baik posisi berdiri
(
bersandar
pada
tembok ) maupun posisi
menelungkup
dengan
cara
mengangkat
ekstremitas atas dan
kepala serta ekstremitas
bawah
secara
bersamaan.
Menelungkup sebanyak 3
4 kali sehari selama 15
30 menit.

Gangguan rasa nyaman


berhubungan dengan
adanya peradangan sendi

a. Rasa nyaman terpenuhi


b. Nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil
Klien Melaporkan Penurunan
Nyeri
Menunjukkan Perilaku Yang
Lebih Relaks
Memperagakan Keterampilan
Reduksi Nyeri Yang
Dipelajari Dengan
Peningkatan Keberhasilan.

Gangguan citra tubuh


berhubungan dengan
perubahan struktur tubuh

Klien dapat mengekspresikan


perasaannya dan dapat
menggunakan koping yang
adaptif.
Kriteria Hasil

Latihan pernapasan yang


akan dapat meningkatkan
kapasitas pernapasan.
monitor tanda tanda vital
setiap 4 jam.
Pantau kulit dan membran
mukosa terhadap iritasi,
kemerahan atau lecet
lecet.
Perbanyak masukan cairan
sampai 2500 ml/hari bila
tidak ada kontra indikasi.
Berikan
anti
inflamasi
sesuai program dokter.
Observasi terhadap efek
samping : bisa tak
nyaman pada lambung
atau diare.
Kaji lokasi, intensitas dan
tipe nyeri; observasi
terhadap kemajuan nyeri
ke daerah yang baru.
Berikan analgesik sesuai
terapi dokter dan kaji
efektivitasnya terhadap
nyeri.
Gunakan brace punggung
atau korset bila di
rencanakan demikian.
Berikan dorongan untuk
mengubah posisi ringan
dan sering untuk
meningkatkan rasa
nyaman.
Ajarkan dan bantu dalam
teknik alternatif
penatalaksanaan nyeri.
Berikan kesempatan pada
klien untuk
mengungkapkan
perasaan. Perawat harus
mendengarkan dengan

Klien dapat mengungkapkan


perasaan / perhatian dan
menggunakan keterampilan
koping yang positif dalam
mengatasi perubahan citra.

penuh perhatian.
Bersama sama klien
mencari alternatif koping
yang positif.
Kembangkan komunikasi
dan bina hubungan
antara klien keluarga dan
teman serta berikan
aktivitas rekreasi dan
permainan guna
mengatasi perubahan
body image.

DAFTAR PUSTAKA
Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor.
Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : SpringerVerlag, 2007: 378-87.
Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.:
London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 : 228-31

of The

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5
Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/
RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.
WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing. WHO Report 2005.
WHO/HTM/TB/2005.411
Li YW, Fung YW. A case of cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain.
Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2) Apr 2007.
Zuwanda dan Raka Janitra. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis.
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013

PATHWAY

Anda mungkin juga menyukai