A. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang vertebra. Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat
menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi
disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi primer pada bagian tubuh yang lain.
Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya
akan melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra.
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai
dengan gejala dan tanda neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun
1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan
melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui
hematogen. 1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh
nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta
penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih
sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB
dan 1,8% dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan
morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis
dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh
karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan
debris.(Paramarta, dkk, 2008).
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acidfastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga
sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara
yang
konvensional.
Dipergunakan
teknik
Ziehl-Nielson
untuk
Gambar 1 : Mycobacterium
tuberculosis
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana. Klasifi kasi Potts
paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar klinisi dan mempermudah
deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifi kasi klinikoradiologis untuk
memperkirakan durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan
radiologis pasien
Gambaran klinikoradiologis
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral,
hiperemia tampak pada skintigrafi , MRI
menunjukkan edema sumsum tulang.
Penyempitan
ruang
diskus,
erosi
paradiskal. MRI memperlihatkan edema
dan kerusakan korteks vertebra, CT scan
menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
23 vertebra terkena (angulasi 1030)
>3 vertebra terkena (angulasi 3060)
>3 vertebra (angulasi >60)
perjalanan
penyakit
< 3 bulan
24 bulan
39 bulan
624 bulan
>2 tahun
Tabel 3 : Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB (Zuandra
dan Janitra, 2013)
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan
klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal).
Termasuk
didalamnya
adalah
tuberkulosa
spinal
dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus
dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal
atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau skipping lesion.
Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui
pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB noncontiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defi sit neurologis dan tanpa
defisit neurologis, maka defi sit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defi
sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada
vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri
Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen
torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2)
Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen
vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya
lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior
D. PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan
spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya
gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah
ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara
lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina.
Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi,
karena dapat
menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus.
Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga
Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri
leher yang tidak spesifik.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah
satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia
onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua
tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh
abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan
oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika
ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul. (Zuwanda dan Janitra, 2013).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah
infeksi tuberkulosa.
1. Anamnesa
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau
bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal
menyebabkan paralisis.
g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang
i.
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
Normalnya
cairan
serebrospinal
tidak
mengeksklusikan
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat
corpus
vertebrae
anterior
yang
berbentuk
scalloping
karena
atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
kasus).
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,
lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
Diagnosis Banding :
menyebabkan
Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB
ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan
4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan,
atau 2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen
bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori
II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial
dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk
memudahkam pemberian obat dan
pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)
masa pengobatan.
a) Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ).
Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan
Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ )
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :
2.
Terapi operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
Pada
tingkat
servikal,
abses
dapat
terjadi
pada
rongga
tandur tulang
Pembedahan dengan pendekatan posterior saja : Pada kasus tertentu,
pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi posterior
operasi tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak bergantung
pada pemberian OAT untuk mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan defi sit neurologis, abses di
-
fl
eksibilitas
vertebra.
Osteotomi
dekanselasi
cepat
dan
stabilisasi
vertebra
pada
fase
aktif
penyakit.
Dengan
kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama
pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien
bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.
3. Riwayat penyakit dahulu : Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa
biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa
salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga
ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5. Riwayat psikososial : Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit,
pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan
bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai
penderita.
6. Pola - pola fungsi kesehatan :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Adanya tindakan medis serta
perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan
merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga
menimbulkan
salah
persepsi
dalam
pemeliharaan
kesehatan klien.
Pola nutrisi dan metabolism : Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan
tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme
tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada
status nutrisinya.
Pola eliminasi : Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta
dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau
BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
aliminasi.
Pola aktivitas : Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan
klien
-
membatasi
aktivitas
fisik
dan
berkurangnya
kemampuan
dalam
merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
Pola sensori dan kognitif : Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan
melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
Pola penaggulangan stress : Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum
mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas
yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya
kelainan.
8. Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium :
Radiologi :
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan Mobilitas
Fisik
berhubungan
dengan
deformitas,
kerusakan
muskuloskeletal
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya peradangan sendi
3. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
C. Intervensi Keperawatan
No
1
Diagnosa Keperawatan
Hambatan Mobilitas Fisik
berhubungan dengan
deformitas, kerusakan
muskuloskeletal
Rencana Keperawatan
Tujuan
Klien dapat melakukan
mobilisasi secara optimal
Kriteria Hasil:
Klien dapat ikut serta dalam
program latihan
Mencari
bantuan
sesuai
kebutuhan
Mempertahankan koordinasi
dan mobilitas sesuai tingkat
optimal.
Intervensi
Kaji mobilitas yang ada dan
observasi
terhadap
peningkatan kerusakan.
Bantu
klien
melakukan
latihan ROM, perawatan
diri sesuai toleransi.
Memelihara bentuk spinal
yaitu dengan cara :
mattress
Bed Board ( tempat tidur
dengan alas kayu, atau
kasur busa yang keras
yang tidak menimbulkan
lekukan saat klien tidur.
mempertahankan
postur
tubuh yang baik dan
latihan pernapasan ;
Latihan ekstensi batang
tubuh baik posisi berdiri
(
bersandar
pada
tembok ) maupun posisi
menelungkup
dengan
cara
mengangkat
ekstremitas atas dan
kepala serta ekstremitas
bawah
secara
bersamaan.
Menelungkup sebanyak 3
4 kali sehari selama 15
30 menit.
penuh perhatian.
Bersama sama klien
mencari alternatif koping
yang positif.
Kembangkan komunikasi
dan bina hubungan
antara klien keluarga dan
teman serta berikan
aktivitas rekreasi dan
permainan guna
mengatasi perubahan
body image.
DAFTAR PUSTAKA
Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor.
Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : SpringerVerlag, 2007: 378-87.
Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.:
London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 : 228-31
of The
PATHWAY
LAPORAN PENDAHULUAN
I.
DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang vertebra. Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat
menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi
disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi primer pada bagian tubuh yang lain.
Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya
akan melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra.
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai
dengan gejala dan tanda neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun
1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan
melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui
hematogen. 1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh
nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta
penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih
yang
konvensional.
Dipergunakan
teknik
Ziehl-Nielson
untuk
Gambar 1 : Mycobacterium
K. KLASIFIKASI
Klasifikasi
pihak
tuberculosis
spondilitis
dengan
tujuan
menentukan
deskripsi
keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana. Klasifi kasi Potts paraplegia disusun
untuk mempermudah komunikasi antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan
gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifi kasi klinikoradiologis untuk memperkirakan
durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien
Gambaran klinikoradiologis
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral,
hiperemia tampak pada skintigrafi , MRI
menunjukkan edema sumsum tulang.
Penyempitan
ruang
diskus,
erosi
paradiskal. MRI memperlihatkan edema
dan kerusakan korteks vertebra, CT scan
menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
23 vertebra terkena (angulasi 1030)
>3 vertebra terkena (angulasi 3060)
>3 vertebra (angulasi >60)
perjalanan
penyakit
< 3 bulan
24 bulan
39 bulan
624 bulan
>2 tahun
Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun
untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan.
Sistem klasifi kasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain:
formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas
vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III)
Tabel 3 : Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB (Zuandra
dan Janitra, 2013)
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan
klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal).
Termasuk
didalamnya
adalah
tuberkulosa
spinal
dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus
dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal
atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau skipping lesion.
Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui
pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB noncontiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defi sit neurologis dan tanpa
defisit neurologis, maka defi sit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defi
sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada
vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri
Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen
torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2)
Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen
vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya
lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior
L. PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
c. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
d. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan
spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya
gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah
ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara
lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina.
Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi,
karena dapat
menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus.
Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga
Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri
leher yang tidak spesifik.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah
satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia
onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua
tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh
abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan
oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika
ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul. (Zuwanda dan Janitra, 2013).
N. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah
infeksi tuberkulosa.
4. Anamnesa
j. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
k. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
l.
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
Normalnya
cairan
serebrospinal
tidak
mengeksklusikan
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat
corpus
vertebrae
anterior
yang
berbentuk
scalloping
karena
i.
j.
atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
kasus).
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,
lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
Diagnosis Banding :
menyebabkan
Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB
ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan
4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan,
atau 2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen
bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori
II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial
dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk
memudahkam pemberian obat dan
pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)
masa pengobatan.
a) Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ).
Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan
Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ )
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :
4.
Terapi operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
Pada
tingkat
servikal,
abses
dapat
terjadi
pada
rongga
tandur tulang
Pembedahan dengan pendekatan posterior saja : Pada kasus tertentu,
pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi posterior
operasi tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak bergantung
pada pemberian OAT untuk mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan defi sit neurologis, abses di
-
fl
eksibilitas
vertebra.
Osteotomi
dekanselasi
cepat
dan
stabilisasi
vertebra
pada
fase
aktif
penyakit.
Dengan
kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama
pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien
bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.
11. Riwayat penyakit dahulu : Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa
biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru.
12. Riwayat kesehatan keluarga : Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa
salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga
ada yang menderita penyakit menular tersebut.
13. Riwayat psikososial : Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit,
pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan
bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai
penderita.
14. Pola - pola fungsi kesehatan :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Adanya tindakan medis serta
perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan
merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga
menimbulkan
salah
persepsi
dalam
pemeliharaan
kesehatan klien.
Pola nutrisi dan metabolism : Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan
tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme
tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada
status nutrisinya.
Pola eliminasi : Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta
dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau
BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
aliminasi.
Pola aktivitas : Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan
klien
-
membatasi
aktivitas
fisik
dan
berkurangnya
kemampuan
dalam
merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
Pola sensori dan kognitif : Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan
melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
Pola penaggulangan stress : Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum
mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas
yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya
kelainan.
16. Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium :
Radiologi :
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang
E. Diagnosa Keperawatan
4. Hambatan Mobilitas
Fisik
berhubungan
dengan
deformitas,
kerusakan
muskuloskeletal
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya peradangan sendi
6. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
F. Intervensi Keperawatan
No
1
Diagnosa Keperawatan
Hambatan Mobilitas Fisik
berhubungan dengan
deformitas, kerusakan
muskuloskeletal
Rencana Keperawatan
Tujuan
Klien dapat melakukan
mobilisasi secara optimal
Kriteria Hasil:
Klien dapat ikut serta dalam
program latihan
Mencari
bantuan
sesuai
kebutuhan
Mempertahankan koordinasi
dan mobilitas sesuai tingkat
optimal.
Intervensi
Kaji mobilitas yang ada dan
observasi
terhadap
peningkatan kerusakan.
Bantu
klien
melakukan
latihan ROM, perawatan
diri sesuai toleransi.
Memelihara bentuk spinal
yaitu dengan cara :
mattress
Bed Board ( tempat tidur
dengan alas kayu, atau
kasur busa yang keras
yang tidak menimbulkan
lekukan saat klien tidur.
mempertahankan
postur
tubuh yang baik dan
latihan pernapasan ;
Latihan ekstensi batang
tubuh baik posisi berdiri
(
bersandar
pada
tembok ) maupun posisi
menelungkup
dengan
cara
mengangkat
ekstremitas atas dan
kepala serta ekstremitas
bawah
secara
bersamaan.
Menelungkup sebanyak 3
4 kali sehari selama 15
30 menit.
penuh perhatian.
Bersama sama klien
mencari alternatif koping
yang positif.
Kembangkan komunikasi
dan bina hubungan
antara klien keluarga dan
teman serta berikan
aktivitas rekreasi dan
permainan guna
mengatasi perubahan
body image.
DAFTAR PUSTAKA
Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor.
Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : SpringerVerlag, 2007: 378-87.
Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.:
London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 : 228-31
of The
PATHWAY