BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit rabies biasanya dikenal dengan istilah awam penyakit anjing gila.
Penyakit ini dapat menyerang beberapa mamalia seperti anjing, kucing, termasuk
manusia. Virus rabies berbentuk peluru dengan komposisi RNA, lipid, karbohidrat
dan protein. Virus rabies tergolong unik karena dapat berkembang pada berbagai
macam spesies mamalia dan bersifat neurofilik (saraf).Rabies dapat menular dari
hewan ke hewan, dari manusia ke manusia dan dari hewan ke manusia. Penularan
dapat melalui gigitan dan non-gigitan (transplantasi, kontak dengan bahan
mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Binatang dan manusia
yang terinfeksi rabies akan memberikan gejala yang cukup khas walaupun tetap
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang dan dengan teliti menggali
riwayat gigitan atau kontak binatang.
Di Indonesia rabies pada hewan sudah ditemukan sejak tahun 1884, dan
kasus rabies pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa Barat.
Angka kematian yang tinggi ini disebabkan karena tidak adanya obat untuk rabies,
terlambatnya intervensi medis menyebabkan angka kematian yang tinggi, dan
jarang dilaksanakannya penanganan pertama luka gigitan anjing dengan mencuci
luka dengan sabun dan air mengalir. Selain itu rabies pada dua sampai dua belas
minggu pertama, bahkan bisa sampai bertahun-tahun, hanya menunjukkan gejala
tidak khas seperti influenza biasa sehingga pasien yang dibawa ke rumah sakit
sudah jatuh ke tahap penyakit yang lebih parah.. Pasien bia sanya meninggal dua
sampai sepuluh hari setelah menunjukkan gejala pertama.Sampai saat ini tidak ada
obat yang dapat menyembuhkan penyakit rabies.
1.2 Tujuan
Refarat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian
akhir serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Kepaniteraan Bedah.
1.3 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Rabies
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh
virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas
dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular
dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR
(Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang
terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.
2.2 Epidemiologi
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup
banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal
karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan
terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras. Di
Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan
kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar
penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting
siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan
Afrika masalah utamanya adalah anjing gila. Beberapa daerah di Indonesia yang
saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera
(Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan
Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir
yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram). Provinsi
DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui
SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi
Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini,
maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Kriterianya :
a. Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan
epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
b. Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah
tertular.
2.5 Etiologi
Virus
rabies
merupakan
virus
RNA,
termasuk
dalam
familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah
satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elip (lonjong).
Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran
selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan
(spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop)
terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter
75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Universitas
Sumatera Utara Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol
70 %, yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun
dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600 C virus mati dalam waktu 1 jam dan
dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan
selama bebarapa tahun.
2.6 Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 15 hari, dan pada hewan lain 3-6
minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi
pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama
beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anakanak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang
panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi
bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik, status immun, strain
virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu masuknya
ke susunan saraf pusat.5 Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus
dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira kira 60 hari, pada
gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi
kira-kira 30 hari.
2.7 Gejala Klinis
2.7.1. Pada Hewan
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
1. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung
antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen
yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap,
menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh
terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat
berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai
diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan
dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan
lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak
ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti
ketakutan. Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila
ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
3. Stadium Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk
dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian.
Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya
lumpuh dan mati
2.7.2. Pada Manusia
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
1. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah
perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti
terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan
selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka
kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap
ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap
rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih
sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak
nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan
berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh
gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan
paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum
tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
2.8 Type Rabies Pada Anjing
1. Rabies Ganas
a. Tidak menuruti lagi perintah pemilik.
b. Air liur keluar berlebihan
c. Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui
dan ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
d. Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak
timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.
2. Rabies Tenang
a. Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.
b. Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
c. Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar
berlebihan.
d. Kematian terjadi dalam waktu singkat.13
2.9 Patogenesis
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi,
kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa).
Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang
menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti
konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies
cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang
terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies
melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak
didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering.
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang
terdokumentasi dan jarang terjadi.
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus
tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka
gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior
tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang
adalah medulla oblongata dan annons hoorn. Sesampainya di otak virus
kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron,
terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap
organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan
seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol
dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat
dalam sitoplasma sel ganglion besar.
10
2.10 Diagnosa
2.10.1 Diagnosa Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat
adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
a. Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.
b. Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.
c. Jumlah penderita gigitan.
Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap
anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang
(sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh
dan diperiksa otaknya). Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit
lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut
mati dalam masa observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa
dilaboratorium hasilnya adalah positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan
rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai
berikut :
a. Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25
%.
b. Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50
%.
c. Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75
%.
d. Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 100
%.22
2.10.2 Diagnosa Laboratorium
Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas :
a. Penemuan badan negri (negri body)
b. Penemuan antigen
c. Penemuan virus (isolasi)
11
Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron)
sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri
tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi
pada specimen dapat mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk isolasi
virus pengiriman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup
virus dalam specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan
dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum,
preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri body tidak ditemukan,
supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan
intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya hamster, tikus (mice)
atau kelinci (rabbits).
Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat dilakukan dengan :
a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni pewarnaan
cepat Sellers, FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan histopatologik.
b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar presipitasi atau
reaksi peningkatan komplemen dan FAT Isolasi virus secara biologis pada
mencit atau in vitro pada biakan jaringan diikuti identifikasi isolat dengan
cara pewarnaan FAT atau uji virus netralisasi.
2.11 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies
Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera :
a. Cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10 15
menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah dll)
b. Segera ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit untuk mencari
pertolongan selanjutnya.
Penanganan luka gigitan :
a. Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama
10 15 menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah dll)
b. Amamnesis apakah didahului tindakan provokatif, hewan yang menggigit
menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan pernah divaksinasi dan
kapan, hewan penggigit pernah divaksinasi dan kapan.
c. Identifikasi luka gigitan
12
13
lini sel fibroblast normal manusia WI-38. Preparasi virus rabies dipekatkan
oleh ultrafiltrasi dan diinaktivasi dengan -propiolakton. Tidak ada reaksi
ensefalitik ataupun anafilaktik serius yang pernah dilaporkan.
2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA)
Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal dari sel-sel
paru janin kera rhesus diijinkan di AS tahun 1988. Virus vaksin ini
diinaktivasi oleh -propiolakton dan dipekatkan oleh adsorbsi dengan
aluminium fosfat.
3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC)
Vaksin ini dipreparasi dari strain virus rabies fixed flury LEP yang tumbuh
dalam fibroblast ayam. Diinaktivasi oleh -propiolakton dan dimurnikan
lebih lanjut oleh sentrifugasi zonal.
4. Vaksin jaringan saraf Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang
terinfeksi dan digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika
dan Amerika Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf dan
menghasilkan ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi) dengan
frekuensi subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya pada orang yang
digigit oleh hewan buas/gila bervariasi dari 5 sampai 50%.
5. Vaksin embrio bebek
Vaksin ini dikembangkan untuk meminimalkan masalah ensefalitis pasca
vaksinasi. Virus rabies ditanam dalam telur bebek berembrio. Jarang
terdapat reaksi anafilaktik, tetapi antigenisitas vaksinnya rendah, sehingga
beberapa dosis harus diuji untuk mendapatkan respon antibodi yang
memuaskan.
6. Virus hidup yang dilemahkan
Virus hidup yang dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh pada embrio
ayam (misalnya, strai flury) digunakan untuk hewan tetapi tidak untuk
manusia. Kadang-kadang vaksin demikian bisa menyebabkan kematian
oleh rabies pada kucing atau anjing yang disuntik. Virus rabies yang
tumbuh pada biakan sel hewan yang berlainan telah dipakai sebagai vaksin
untuk hewan piaraan.
14
15
70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter
yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil
dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap
rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka
rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini mungkin
mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa
tidak benar adanya infeksi rabies.7
3. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi
perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak
berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang
mencakup
pembatasan
terhadap
ketidakmampuan
dengan
menyediakan
Menteri
Pertanian,
279A/MenKes/SK/VIII/1978;
dan
No:
Menteri
Dalam
522/Kpts/Um/8/78;
Negeri
No:
dan
No:
16
b. Surveilans
Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program
dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus
dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera
didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar
perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.
c. Vaksinasi Rabies
Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera
dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk
memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa
persyaratan yang harus dipenui, baik vaksin yang digunakan bagi hewan
maupun bagi manusia, yakni :
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh
virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas
dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular
dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR
(Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang
terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.11
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Bresler, M.J., Sternbach, G.L. 2012. Kedokteran Darurat. Edisi 6.
Jakarta:EGC
2. Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T.O.H., Ridiman, R.
2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
3. Rab, T., 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.
4. Pneumothorax. Available from:
http://dokterkrishnaufal.blogspot.co.id/2014/06/pneumotoraks.html.
[Accesed 4 Sept 2016]
5. Yunita, M. Pneumothorax. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Available
from:
https://www.scribd.com/doc/81240620/Pneumotoraks
19