TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI HIPOGLIKEMIA:
Suatu keadaan abnormal dimana kadar glukosa dalam darah < 50/60 mg/dl
(Standards of Medical Care in Diabetes, 2009; Cryer, 2005; Smeltzer & Bare, 2003)
ETIOLOGI HIPOGLIKEMIA:
Menurut Sabatine (2004), hipoglikemia dapat terjadi pada penderita Diabetes
dan Non Diabetes dengan etiologi sebagai berikut
1.Pada Diabetes:
-Overdose insulin
-Asupan makanan << (tertunda atau lupa, terlalu sedikit, output yang ber>>an (muntah,diare),
diit ber>>an)
-Aktivitas berlebihan
-Gagal ginjal
-Hipotiroid
2.Pada Non Diabetes
-Peningkatan produksi insulin
-Paska aktivitas
-Konsumsi makanan yang sedikit kalori
-Konsumsi alkohol
-Paska melahirkan
-Post gastrectomy
-Penggunaan obat-obatan dalam jumlah besar (co.: salisilat, sulfonamide)
KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK HIPOGLIKEMIA:
Menurut Soemadji (2006) dan Cryer (2005), karakteristik diagnostik hipoglikemia ditentukan
berdasarkan pada TRIAS WIPPLE sebagai berikut
1.Terdapat tanda-tanda hipoglikemi
2.Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3.Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah (paska koreksi)
Akan tetapi pasien Diabetes dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau
mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien
diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan,
sedang dan berat.
KLASIFIKASI & MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMIA:
Menurut Soemadji (2006) dan Rush & Louies (2004) klasifikasi dan manifestasi klinis dari
hipoglikemia sebagai berikut :
JENIS HIPOGLIKEMIA
RINGAN
aktivitas sehari-hari
Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf
simpatis
turun
SEDANG
sehari-hari
Otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai
sumber energi
EPIDEMIOLOGI
Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian hipoglikemia dari
berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati. Sangat bermanfaat untuk mencatat
kekerapan kejadian hipogliekmia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap timbulnya
hipoglikemia dan ciri-ciri klinik yang menyebabkan pasien beresiko dapat dibandingkan.
Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan pada pasien
diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok
yang mendapat terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang
mendapat terapi konvensional. Sebaliknya, dengan kriteria yang berbeda kelompok the
Dusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin
intensif dan 17 dengan terapi konvensional.
Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap sebagai
konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat dihindari. Walaupun demikian,
hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan, karena potensial dapat diikuti kejadian
hipoglikemia yang berat.
Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respons fisiologi utama terhadap
hipoglikemia terletak di neuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH
responsif terhadap glukosa, sebagian menjadi aktif bila kadar glukosa meningkat, sebagian
responsif terhadap hipoglikemia. Neuron-neuron tersebut diproyeksikan ke area yang
bekaitan dengan aktivasi pituitari-adrenal dan sistim simpatis. Tampaknya respon fisiologi
utama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitif terhadap
giukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan sistim saraf otonomik dan melepaskan
hormon-hormon kontra regulator Gambar 3.1.
Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan
(interruption) asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan
fungsi sistim saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi, bingung (confusion), dan
koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energi altematif,
yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang disebabkan insulin, konsentrasi keton di
plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat
dipakai sebagai sumber energi alternatif.
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan glukosa
darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi juga
manghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan
keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan
dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau
bentuk karbohrdrat'refned' yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat penting bagi
pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan
kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman keluhan yang
menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda.
Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertenfu, sesuai
dengan komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda (Tabel 3).
Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemik akut pada pasien DM yang sering dijumpai
Otonomik
Neuroglikopenik
Malaise
Berkeringat
Bingung (confusion)
Mual
-
Jantung berdebar
Mengantuk
Tremor
Sulit berbicara
Lapar
lnkoordinasi
Gangguan visual
Parestesi
Sakit kepala
Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan
gangguan sistim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol dan
biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh
neroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin
bukan merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas
keluhan otonomik cenderung berkurang atau menghilag. Ha1 tersebut menunjukkan
kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik.
Pengenalan Hipoglikemia. Respons pertama pada saat kadar glukosa darah turun di bawah
normal adalah peningkatan akut sekresi hormon caunter-regulatory (glukagon dan epinefrin);
batas kadar glukosa tersebut adalah 65-68 mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin
menunjukkan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2
mmo/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi, yang diukur dengan
kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar
glukosa 3 mmol/l. Pada individu yang masih memiliki kesiagaan (awareness) hipoglikemia,
aktivasi sistem simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral yang bermakna timbul.
Pasien-pasien tersebut tetap sadar dan mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk
melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.
HIPOGLIKEMIA YANG TTDAK DISADARI (UNAWARENESS)
Kegagalan Respons Proteksi Fisiologis dan Timbulnya Hipoglikemia yang Tidak
Disadari.
Walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang mendapat
terapi insulin mengalami gangguan pada mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia yang
berat. Pada pasien DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan. Pada saat diagnosis DM
dibuat, respons glukagon terhadap hipoglikemia umumnya norrnal. Pada pasien DMT 1
mulai turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun, dan sesudah 5 tahun hampir semua pasien
mengalami gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti, tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali
glukosa darah yang ketat. Sel a secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan
tidak dapat menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon,
walaupun sekresi yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti alanin.
Hipotesis yang paling meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul akibat terputusnya
pdracrine-insulin cross-tolk di dalam islet cell, akibat produksi insuLin endogen yang turun.
Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang
walaupun dengan tingkat gangguan yang bervariasi. Respons epinefrin terhadap rangsang
yang 1ain, seperti latihan jasmani tarnpaknya nonnal. Seperti pada gangguan respons
glukagon, kelainan tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang selekif.
Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan terhadap
hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari karena hilangnya
glucose counter regulation dan gangguan respons simpatoadrenal.
Hipoglikemia yang Tidak Disadari. Hipoglikemia yang tidak disadari merupakan masalah
yang sering terjadi pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Segi epidemiologis
melaporkan sekitar sekitar 25 persen pasien DMT I mengalami kesulitan mengenal
hipoglikemia yang menetap atau beselang-seling (intermittent). Kemampuan mengenal
hipoglikemia mungkin tidak absolttte, dan keadaan hipoglikemia unawareness yang parsial
juga dijumpai. Dari sekitar 25 persen pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya tidak
mengalami hipoglkemia unawareness ternyata waktu menjalani tes gagal mengenal
hipoglikemia. Bila didapatkan hipoglikemia yang tidak disadari kemungkinan pasien
mengalami episode hipoglikemia yang berat 6-7 kali lipat; peningkatan tersebut juga terjadi
pada terapi standar. Pada pasien-pasien tersebut selayaknya tidak diberi terapi intensif, tidak
diijinkan untuk memiliki ijin mengemudi, dan mungkin juga tidak diperkenankan untuk
menjalankan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Keluarga pasien selayaknya juga diberitahu
tentang kemungkinan terjadinya hipoglikemia berat dan cara penanggulangannya. Berbagai
keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari dapat dilihat dalam
tabel 4.
Tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemik yang tidak disadari
Keadaan klinis
Diabetes yang lama
Kemungkinan
Tidak diketahui
Hipoglikemia yang berulang merusak neuron yang
glukosensitif
Regulasi transport glukosa neuronal yang meningkat
Peningkatan kartisol dengan akibat gangguan utama
Alkohol
Episode noktural
Gangguan kognisi
Tidur menyebabkan gejala hipoglikemik yang tidak
disadari
Posisi berbaring mengurangi respon simpatoadrenal
Usia muda
Usia lanjut
Gangguan kognisi
Respon anatomik berkurang
Sensitifitas adrenergik berkurang
Alkohol. Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahaya alkohol.
Alkohol meningkatkan kerentanan terhadap hipoglikemia dengan cara menghambat
glukoneogenesis dan mengurangi hipoglikemia awareness. Episode hipoglikemia sesudah
minum alkohol mungkin lebih lama dan berat, dan mungkin karena dianggap mabuk
hipoglikemia tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya.
Usia Muda dan Usia Lanjut. Pasien diabetes anak remaja dan usia lanjut rentan terhadap
hipoglikemia. Anak umumnya tidak dapat mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia
dan kebiasaan makan yang kurang teratur serta aktivitas jasmani yang sulit diramalkan
menyebabkan hipoglikemia menjadi masalah yang'besar bagi anak. Otak yang sedang
tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia yang berulang, terutama
yang disertai kejang dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di kemudian hari.
Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap sebagai
keluhan-keluhan pusing (dizzy spelt) atau serangan iskemia yang sementara (transient
ischemic attact).Hipoglikemia akibat sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang
bekerja lama seperti glibenklamid. Pada usia lanjut respons otonomik cenderung turun dan
sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang. Pada otak yang menua gangguan kognitif
mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan. Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali
glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan.
Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja lama tidak digunakan pada pasien
DMT 2 yang berusia lanjut. Obat penghambat beta (beta-blocking agents) yang tidak selektif
sebaiknya tidak digunakan karena menghambat lepasnya glukosa hati yang dimediasi oleh
reseptor B2, penghambat B yang selektif dapat digunakan dengan aman
Glukosa Oral.
o Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa
darah kapiler, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idialnya dalam
bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa
seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat manis tidak
diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorbsi giukosa.
Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20
g karbohidrat kompleks. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan
keadaan tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel giukosa lewat mukosa
rongga mulut (buccal) mungkin dapat dicoba.
Glukagon Intramuskular.
o Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga nonprofesionai
yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja
glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa infavena. Bila pasien
sudah sadar pemberian giukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral
20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung
untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau
hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak
efektif. Efektifitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang
terjadi.
Glukosa Intravena.
Memenuhi kadar gula darah dalam otak agar tidak terjadi kerusakan irreversibel.
Tidak mengganggu regulasi DM.
Terapi hipoglikemi:
GLUKOSA ORAL
ASPIRASI !!!
GLUKOSA INTRAVENA
GLUKAGON 1 mg (SC/IM)
THIAMINE 100 mg (IV/IM)
MONITORING
KADAR GLUKOSA
TERAPI HIPOGLIKEMI
(mg/dl)
< 30 mg/dl
30-60 mg/dl
60-100 mg/dl
FOLLOW UP:
KESIMPULAN
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
PERKENI 2006