a. Laporan-laporan
Laporan-laporan dapat berupa laporan yang dibuat oleh lembaga pemerintah atau lembaga non
pemerintah. Pembuatan laporan biasanya dilakukan per tahun. Jadi, kita bisa menggunakan
laporan tahunan. Pada lembaga-lembaga pemerintah, biasanya suka dibuat laporan tahunan.
Sedangkan laporan non pemerintah misalnya laporan perusahaan. Dengan adanya laporan
tahunan perusahaan kita akan mengetahui bagaimana perkembangan perusahaan dalam periode
tertentu.
b.Notulenrapat
Notulen rapat adalah catatan-catatan yang berisi tentang hal-hal yang menjadi materi penting
dalam pembicaraan rapat. Catatan dibuat biasanya oleh salah seorang yang ditunjuk atau
ditugaskan untuk menjadi pencatat atau sekretaris. Notulen rapat memberikan informasi yang
berharga dalam penelitian sejarah, apalagi bila notulen rapat yang kita temukan itu masih dalam
bentuk tulisan tangan si petugas penulis. Apabila kita menemukan bentuk notulen rapat yang
demikian, maka itu termasuk sumber primer. Dalam notulen rapat, biasanya terdapat materi
penting yang menjadi bahasan rapat.
c. Surat-surat
Surat-surat dapat menjadi sumber sejarah baik surat-surat pribadi maupun surat-surat resmi yang
dibuat oleh pemerintah. Dalam surat kita bisa melihat tanggal, ditujukan kepada siapa, dari siapa
(pembuat), dan isi dari surat itu. Isi surat ini akan memberikan suatu informasi penting apa yang
terjadi pada saat itu. Surat biasanya dapat berupa tulisan yang singkat, dapat pula surat yang
panjang dan ada lampirannya. Baik surat yang pendek maupun surat yang panjang merupakan
sesuatu yang berharga dalam penelitian sejarah. Apabila kita menemukan surat yang ada
lampirannya, maka kita kemungkinan akan menemukan banyak data atau informasi yang kita
butuhkan dalam penelitian.
d.Suratkabar
Dalam surat kabar biasanya banyak berita yang memuat tentang hal- hal yang terjadi di
masyarakat. Berita-berita tersebut merupakan sumber yang berharga bagi peneliti sejarah.
Peneliti sejarah dapat menyeleksi bagian mana dari berita itu yang dapat dijadikan sumber bagi
penelitiannya. Sumber tertulis ini yang banyak merekam atau mencatat kejadian- kejadian seharihari yang terjadi di masyarakat. Berita yang dimuat dalam surat kabar sangat beragam, ada berita
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bagi peneliti sejarah, berita-berita tersebut dapat dijadikan
sebagai sumber bahan penelitianya. Sumber yang digunakan tergantung pada tema penelitian
yang ditelitinya. Berita dari yang disajikan oleh surat kabar yang satu dengan yang lainnya,
kemungkinan akan menunjukkan suatu analisis yang beragam. Perbedaan ini disebabkan oleh
kepentingan dari masing-masing penerbit surat kabar. Setiap surat kabar memiliki kepentingan
atau misi untuk membentuk opini atau pendapat masyarakat. Surat kabar yang diterbitkan oleh
pemerintah
dan
nonpemerintah
tentu
akan
memiliki perbedaan dalam menilai suatu peristiwa.
e.Catatanpribadi
Catatan pribadi adalah catatan yang dibuat oleh seorang individu yang menceritakan
pengalamannya yang ia pandang penting untuk dicatat. Biasanya ada orang-orang tertentu yang
memiliki kebiasaan untuk menulis pengalamannya. Bahkan yang ia catat bukan sekedar apa yang
terjadi pada dirinya, tetapi mungkin mencatat pengalaman orang lain yang ia lihat. Catatan
pribadi ini dapat memberikan informasi yang mungkin saja tidak terdapat pada laporan-laporan
resmi, misalnya laporan resmi pemerintah. Ada pula dari catatan-catatan pribadi ini yang
kemudian disusun oleh si pemilik catatan tersebut menjadi sebuah autobiografi atau memoar.
b.SumberLisan
Sumber lisan merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara metode sejarah
lisan. Sejarah lisan adalah satu dari sumber sejarah yang ada pada ingtan pelaku dan atau
penyaksi suatu peristiwa sejarah, yang terjadi pada zamannya, kemudian diungkapkan secara
lisan oleh pelaku dan penyaksi sejarah itu sendiri. Si Pelisan atau sumber lisan bertanggung
jawab atas kebenaran kejadian yang dikisahkannya, sehingga informasi lisannya itu dapat
dipergunakan
sebagai
sumber
dalam
penulisan
sejarah.
Sumber lisan berfungsi sebagai pelengkap sumber tertulis belum memadai. Sumber lisan
memiliki keterbatasan-keterbatasan dibanding dengan sumber tertulis atau artefak. Keterbatasan
sumber lisan lebih disebabkan oleh faktor manusia sebagai sumber. Kemungkinan kita
kehilangan sumber lisan apabila orang yang kita cari telah meninggal. Dengan demikian, kita
akan memburu dengan faktor umur yang dimiliki oleh orang yang akan kita wawancarai. Daya
ingat yang dimiliki, oleh manusia sangat terbatas. Hal ini dapat menjadi keterbatasan dalam
sumber lisan. Semakin jauh jarak antara peristiwa yang dialami oleh seorang tokoh yang kita
wawancarai kemungkinan besar orang tersebut semakin lupa. Keterbatasan memori yang
dimiliki oleh tokoh yang kita wawancarai akan membuat sumber inforamsi yang kita butuhkan
menjadi kurang akurat. Cara yang dilakukan untuk memperoleh sumber lisan, yaitu dengan
melakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu kita harus memiliki
persiapan yang matang. Hal yang harus dipersiapkan adalah kita harus memiliki pengetahuan
tentang hal yang akan kita tanyakan.
c.Sumberbenda
Sumber benda adalah sumber sejarah yang diperoleh dari peninggalan benda- benda kebudayaan.
Sumber benda disebut juga sebagai sumber korporal, yaitu benda-benda peninggalan masa
lampau, misalnya, alat-alat atau benda budaya, seperti kapak, gerabah, perhiasan, manik-manik,
candi, dan patung.
c.SumberRekaman
Sumber rekaman dapat berupa rekaman kaset audio dan rekaman kaset video. Banyak peristiwa
sejarah yang dapat terekam, misalnya Masa Pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, Perang Kemerdekaan dan sebagainya.
Pemilihan topik
Sebelum melakukan penelitian sejarah, langkah pertama yang harus dilakukan ialah menetapkan
topik yang akan diteliti. Topik yang diteliti haruslah merupakan topik yang layak untuk dijadikan
penelitian dan bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian sebelumnya.
Pemilihan topik ini penting agar penelitian sejarah lebih terarah dan terfokus pada masalah yang
akan diteliti. Untuk mengarahkan masalah yang akan diteliti dalam topik tersebut, sebaiknya kita
ajukan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan menjadi masalah yang akan diteliti.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi sebagai berikut ini.
Advertisement
Pertama apa (what) yang akan kita teliti, apakah kita akan meneliti aspek ekonomi, politik,
sosial, budaya, keluarga, militer, dan lain-lain. Pertanyaan tentang apa, lebih melihat pada aspekaspek yang akan kita teliti.
Kedua, yaitu siapa (who) yang akan diteliti. Dalam menulis sejarah desa misalnya, kita harus
menetapkan siapa-siapa saja yang akan kita teliti, atau kelompok-kelompok sosial mana yang
akan diteliti, apakah para tokohnya, masyarakat petani, masyarakat pengrajin, aparat desanya,
kaum wanitanya, dan lain-lain.
Ketiga, pertanyaan yang diajukan yaitu di mana (where) yang akan kita teliti. Pertanyaan ini
merupakan aspek spasial atau keruangan yang menjadi ciri dari disiplin ilmu sejarah. Spasial
dapat berupa tempat atau geografis yang akan diteliti. Apakah kita akan meneliti kota atau desa,
atau wilayah yang bersifat administratif seperti desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan
negara. Kalau kita meneliti geografis desa, maka harus jelas batasan geografis desa yang kita
teliti.
Keempat, yang diajukan adalah kapan (when). Maksud dari pertanyaan ini adalah menyangkut
aspek batasan waktu atau periodisasi yang akan dijadikan objek penelitiannya. Salah satu ciri
penting dari ilmu sejarah adalah adanya konteks waktu. Misalnya perubahan sosial desa 19501955. Penetapan angka tahun ini harus memiliki pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
akademis, misalnya karena pada tahun tersebut merupakan awal dari perubahan sampai dengan
tahun menurunnya perubahan-perubahan penting.
Fungsi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk mengarahkan ketika kita mencari sumbersumber yang akan dijadikan data penelitian.
2.
Pengumpulan sumber
Setelah menetapkan topik penelitian, langkah berikutnya adalah pengumpulan sumber atau
istilah lainnya disebut dengan heuristik. Sumber yang kita cari adalah sumber yang berkaitan
dengan topik yang telah kita tetapkan. Ke manakah kita harus mencari sumber? Banyak sekali
tempat yang dapat kita jadikan sebagai tempat sumber sejarah. Tempat yang kita jadikan sebagai
pencarian sumber sejarah tergantung pada jenis sumber yang kita butuhkan. Kalau kita
membutuhkan sumber tertulis, dapat kita peroleh di perpustakaan-perpustakaan, kantor arsip,
kantor-kantor pemerintah, dan tempat-tempat lainnya. Lokasi yang kita jadikan penelitian pun
dapat dijadikan tempat pencarian sumber. Di tempat ini kita dapat menemukan sumber-sumber
yang berbentuk benda atau artefak, seperti bentuk geografis daerah, atau mungkin saja kita
menemukan benda-benda peninggalan sejarah. Selain sumber-sumber benda, di lokasi penelitian
kita dapat pula menemukan orang-orang yang masih hidup dan menjadi saksi dari peristiwa
sejarah yang kita teliti.
3.
Kritik sumber
Penelitian sejarah sebagaimana telah dikatakan merupakan upaya yang dilakukan oleh seorang
peneliti untuk mencari kebenaran. Dalam penelitian sejarah, seorang peneliti berusaha menduga
dan membuktikan kebenaran tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Untuk membuktikan
kebenaran tersebut, maka harus berdasar pada sumber sejarah. Akan tetapi, sumber sejarah yang
digunakan pun harus sumber yang memang benar-benar bukti yang sesuai dengan apa yang
terjadi pada masa lalu. Dengan demikian, sumber sejarah pun harus memiliki kebenarannya.
Untuk menguji kebenaran sumber sejarah tersebut, maka dilakukanlah kritik sumber.
4.
Interpretasi
5.
Historiografi
Historiografi secara harfiah berarti penulisan sejarah. Langkah ini merupakan langkah terakhir
dalam penelitian sejarah. Dalam langkah ini dapat dilihat bagaimana peneliti sejarah
mengkomunikasikan hasil penelitiannya kepada orang lain atau dalam bentuk apa tulisannya
dibaca untuk umum. Menulis sejarah dalam bentuk historiografi pada dasarnya merupakan
bentuk rekonstruksi sejarawan atau peneliti sejarah terhadap sumber-sumber yang telah ia
temukan dan telah diseleksi dalam bentuk kritik. Historiografi ibarat membuat suatu bangunan.
Dalam membuat suatu bangunan, seorang ahli bangunan mencoba memasang bahan-bahan yang
telah disediakan. Dia memasang kayu untuk kusen, pintu, jendela; semen, pasir, dan batu bata
untuk dinding; cat untuk mencat dinding. Apabila kita perhatikan bahan-bahan tersebut dalam
keadaan masih tersimpan secara terpisah-pisah atau belum digunakan, maka kesan yang akan
timbul dalam diri kita ialah menjadi tidak menarik. Akan tetapi, apabila bahan-bahan itu kita
coba susun akan menjadi suatu bangunan yang indah. Hal tersebut sama pula halnya dalam
merekonstruksi sumber-sumber sejarah. Ketika sumber-sumber sejarah masih dalam bentuk yang
terpisah-pisah belum dikonstruksi, maka itu akan menjadi barang yang mati. Akan tetapi, ketika
sumber-sumber sejarah itu kita rekonstruksi, akan menjadi suatu bangunan tulisan atau karya
tulis yang hidup. Karya ini menjadi suatu cerita yang menarik dan enak dibaca. Sebagai contoh
kita menemukan catatan rapat desa, laporan jumlah penduduk desa beserta pendapatannya,
jumlah luas tanah, jumlah orang-orang desa yang bersekolah, catatan transaksi jual beli hasil
pertanian antara petani dengan pedagang dari kota, laporan program pengembangan pertanian di
desa, dan sumber-sumber lainnya. Kalau sumber-sumber itu masih terserak-serak, belum
direkonstruksi, belum bisa bercerita apa-apa akan barang-barang yang mati.
Apabila kita perhatikan, langkah-langkah penelitian sejarah sepertinya harus melakukan tahapantahapan yang sifatnya berjenjang. Artinya, kita harus mendahulukan nomor yang awal, baru
kemudian nomor langkah berikutnya. Misalnya kita harus melakukan dulu kritik, baru
memberikan interpretasi. Dalam prakteknya, sesungguhnya tahapan-tahapan penelitian sejarah
tidaklah kaku. Artinya, kita tidak seharusnya mengikuti tahapan-tahapan awal baru berikutnya.
Kita dapat melakukan tahapan tersebut secara bersamaan, misalnya ketika kita sedang
melakukan kritik sesungguhnya kita pun sudah melakukan interpretasi. Karena pada saat itu, kita
sudah bisa menentukan mana sumber sejarah yang cocok dengan topik penelitian. Begitu pula
ketika kita sedang melakukan interpretasi, kita sendiri sudah melakukan penulisan. Sebab, ketika
kita melakukan penulisan, pada dasarnya kita pun sedang memberikan penafsiran terhadap
sumber-sumber sejarah yang digunakan.
6.
7.
daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.
Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.
Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan asal-usulnya
8.
yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianut.
Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan
9.
redaksionalnya.
Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan waktu dengan
fakta sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll. Pada masa kerajaankerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana.
Sedangkan pada masakerajaan-kerajaan Islam sudah dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan
sistem kronologi dalam penjelasan peristiwa sejarahnya.
3.
Mesolitikum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mesolitikum atau Zaman Batu Madya[1] (Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu) adalah
suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua
dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.[2]
Istilah ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah" (bahasa
Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu
sering digunakan sampai V. Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of
Europe (1947).[2]
Zaman mesolitikum di Indonesia
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman
paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga
mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[3] Tempat
tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa
(abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas
kebudayaan manusia pada zaman itu.[3]
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang
pantai timur Pulau Sumatera.[4] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925
dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari
hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7
meter.[4] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan
cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.[4] Di antara tumpukan sampah tersebut
juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk
menghaluskan cat merah.[4] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau
ilmu sihir.[4] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak
genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai dengan
tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya
masih kasar.[4] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek)
yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[4] Berdasaran pecahan
tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang
hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan
Melanesoid)[4]
Abris Sous Roche
Mesolitikum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mesolitikum atau Zaman Batu Madya[1] (Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu) adalah
suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua
dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.[2]
Istilah ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah" (bahasa
Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu
sering digunakan sampai V. Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of
Europe (1947).[2]
Daftar isi
1.1 Kjokkenmoddinger
2 Galeri
3 Referensi
4 Bacaan lanjutan
5 Pranala luar
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman
paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga
mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[3] Tempat
tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa
(abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas
kebudayaan manusia pada zaman itu.[3]
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang
pantai timur Pulau Sumatera.[4] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925
dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari
hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7
meter.[4] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan
cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.[4] Di antara tumpukan sampah tersebut
juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk
menghaluskan cat merah.[4] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau
ilmu sihir.[4] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak
genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai dengan
tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya
masih kasar.[4] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek)
yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[4] Berdasaran pecahan
tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang
hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan
Melanesoid)[4]
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai
tempat tinggal.[4] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van
Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[5]
Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung
Bone Culture.[5] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera
dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred
Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan
peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[6]. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di
Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala[4]. Kebudayaan Toala
ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang Pattae dan inti dari kebudayaan ini adalah
flakes dan pebble[4]. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan
Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah
Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang
yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[4]. Sementara
itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang,
Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang
ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda
perunggu[4].
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai
tempat tinggal.[4] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van
Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[5]
Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung
Bone Culture.[5] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera
dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred
Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan
peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[6]. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di
Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala[4]. Kebudayaan Toala
ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang Pattae dan inti dari kebudayaan ini adalah
flakes dan pebble[4]. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan
Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah
Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang
yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[4]. Sementara
itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang,
Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang
ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda
perunggu[4].
Mesolitikum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mesolitikum atau Zaman Batu Madya[1] (Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu) adalah
suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua
dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.[2]
Istilah ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah" (bahasa
Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu
sering digunakan sampai V. Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of
Europe (1947).[2]
Daftar isi
1.1 Kjokkenmoddinger
2 Galeri
3 Referensi
4 Bacaan lanjutan
5 Pranala luar
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman
paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga
mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[3] Tempat
tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa
(abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas
kebudayaan manusia pada zaman itu.[3]
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang
pantai timur Pulau Sumatera.[4] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925
dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari
hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7
meter.[4] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan
cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.[4] Di antara tumpukan sampah tersebut
juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk
menghaluskan cat merah.[4] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau
ilmu sihir.[4] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak
genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai dengan
tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya
masih kasar.[4] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek)
yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[4] Berdasaran pecahan
tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang
hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan
Melanesoid)[4]
Abris Sous Roche
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai
tempat tinggal.[4] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van
Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[5]
Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung
Bone Culture.[5] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera
dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred
Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan
peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[6]. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di
Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala[4]. Kebudayaan Toala
ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang Pattae dan inti dari kebudayaan ini adalah
flakes dan pebble[4]. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan
Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah
Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang
yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[4]. Sementara
itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang,
Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang
ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda
perunggu[4].