Anda di halaman 1dari 26

2.

1 Pengertian Asuransi Jiwa


1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
Dalam Undang Nomor 2 Tahun 1992, dirumuskan definisi asuransi yang lebih
lengkap jika dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 246
KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun
1992:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
taggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ini mencakup
2 (dua) jenis asuransi, yaitu:
a. Asuransi kerugian (loss insurance), dapat diketahul dan rumusan:
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang dmarapkan, atau tanggung jawab
hukuin kepada pihak ket/ga yang rnungkin ahan diderita oleh terlanggung.
b. Ansuransi jumlah (sum insurance), yang meliputi asuransi jiwa dan asuransi
sosial, dapat diketahui dari rumusan:
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dalam hubungannya dengan asuransi jiwa maka fokus pembahasan diarahkan
pada jenis asuransi, butir (b). Apabila Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 di persempit hanya melingkupi jenis asuransi jiwa, maka urusannya
adalah:
Asuransi jiwa adalah perjanjian, antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana
pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima
premi untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang diasuransikan.
Definisi inilah yang akan dijadikan titik tolak pembahasan asuransi jiwa
selanjutnya.
Sebelum berlakunya Undang Nomor 2 Tahun 1992, asuransi jiwa diatur dalam
Ordonantie op het Levensverzekering Bedrijf (Staatsblad Nomor 101 Tahun
1941). Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf Ordonansi tersebut:
Ovoroenkomstem van levensvorzekering de overeenkomsten tot het doon van
geldelijke uitkeringen, tegen genot van premie en in verband met het leven of
den dood van den menschs. Overeenkomsten van herverzekering daaronder
begrepen, met dien verstande, dat overeenkomsten van ongevallenverzokerinq
niet als overeenkomsten van levensverzekerinq worden berschouwd.
Terjemahnnnya.

Asuransi jiwa adalah perjanjian untuk membayar sejumlah uang karena telah
diterimanya premi yang herhubungan dengan hidup atau matinya seseorang,
rensuransi termasuk di dalamnya, sedangkan asuransi kecelakaan tidak
termasuk dalam asuransi jiwa.

Dalam Pasal 27 Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan bahwa dengan


berlakunya undang-undang ini, maka Ordonantie op het Levens Verzekering
Bedrijf dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun yang dimaksud dengan undangundang ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, tidak
perlu lagi membahas asuransi jiwa berdasarkari Ordonansi ini karena sudah tidak
berlaku lagi, dan pengertian asuransi jiwa sudah tercakup dalam Pasal 1 angka
(1) nomor 2 Undang-Undang Tahun 1992.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal 302. pasal 308
KUHD. Jadi hanya 7 (tujuh) pasa. Akan tetapi tidak 1 (satu) pasalpun yang
memuat rumusan definisi asuransi jiwa. Dengan demikian sudah tepat jlka
definisi asuransi dalam Pasat 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
dijadikan titik totak pembahasan dan ini ada hubungannya dengan ketentuan
Pasal 302 dan Pasal 303 KUHD yang membolehkan orang mengasuransikan
jiwanya.
Menurut ketentuan Pasal 302 KUHD:
Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang
berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang
ditentukan dalam perjanjian.
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUHD ditentukan:
Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa
diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa setiap orang dapat
mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau
selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan uraian pasal-pasal perundang-undangan di atas,
Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan mengemukakan
definisi:
Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil)
asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup (pengambil) asuransi
mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada
penanggung,
sedangkan
penanggung
sebagai
akibat
langsung
dan
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya
suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar
sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil)
asuransi sebagai penikmatnya.
Dalam rumusan definisinya, Purwosutjipto menggunakan istilah penutup
(pengambil) asuransi dan penangung.

Definisi Purwosutjipto berbeda dengan definisi yang terdapat dalam Pasal angka
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1 92. Perbedaan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dengan tegas di nyatakan bahwa
pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik itu disebut penanggung
dan tertanggung, sedangkan Purwosutjipto menyebutnya penutup (pengambil)
asuransi dan penanggung.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dinyatakan bahwa penanggung
dengan menerima premi memberikan pembayaran, tanpa menyebutkan kepada
orang yang ditunjuk sebagai penikmnya. Purwosutjipto menyebutkan membayar
l orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai penikmatnya.
Kesannya hanya untuk asuransi jiwa selama hidup, tidak termasuk untuk yang
berjangka waktu tertentu.
2.2 Polis Asuransi jiwa
Bentuk dan isi Polis
Sesuai dengan ketentuan Pasal 255 KUHD, asruransi jiwa harus diadakan secara
tertulis dengan bentuk akta yang disebut polis. Menurut ketentuan pasal 304
KUHD, polis asuransi jiwa memuat:
a. Hari diadakan asuransi;
b. Nama tertanggung;
c. Nama orang yang jiwanya diasuransikan;
d. Saat mulai dan berakhirnya evenemen;
e. Jumlah asuransi;
f. Premi asuransi.
Akan tetapi, mengenai rancangan jumlah dan penentuan syarat-syarat asuransi
sama sekali bergantung pada persetujuan antara kedua pihak (Pasal 305 KUHD).
a. Hari diadakan asuransi
Dalam polis harus dicantumkan hari dan tanggal diadakan asuransi. Hal ini
penting untuk mengetahui kapan asuransi itu mulai berjalan dan dapat diketahui
pula sejak hari dan tanggal itu risiko menjadi beban penanggung.
b. Nama tertanggung
Dalam polis harus dicantumkan nama tertanggung sebagai pihak yang wajib
membayar premi dan berhak menerima polis. Apabila terjadi evenemen atau
apabila jangka waktu berlakunya asuransi berakhir, tertanggung berhak
menerima sejumlah uang santunan atau pengembalian dari penanggung. Selain
tertanggung, dalam praktik asuransi jiwa dikenal pula penikmat (beneficiary).
yaitu orang yang berhak menerima sejumlah uang tertentu dan penanggung
karena ditunjuk oleh tertanggung atau karena ahli warisnya, dan tercantum
dalam polis. Penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
c. Nama orang yang jiwanya diasuransikan

Objek asuransi jiwa adalah jiwa dan badan manusia sebagai satu kesatuan. Jiwa
tanpa badan tidak ada, sebaliknya badan tanpa jiwa tidak ada arti apa-apa bagi
asuransi Jiwa. Jiwa seseorang merupakan objek asuransi yang tidak berwujud,
yang hanya dapat dlkenal melalui wujud badannya. Orang yang punya badan itu
mempunyai nama yang jiwanya diasuransikan, baik sebagai pihak tertanggung
ataupun sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Namanya itu harus
dicantumkan dalam polis. Dalam hal ini, tertanggung dan orang yang jiwanya
diasuransikan itu berlainan.
d. Saat mulai dan berakhirriya evenemen
Saat mulai dan berakhirnya evenemen merupakan jangka waktu berlaku
asuransi. artinya dalam jangka waktu itu risiko menjadi beban penanggung,
misalnya mulai tanggal 1 januari 1990 sampai tanggal 1 Januari 00, apabila
dalam jangka waktu itu terjadi evenemen, maka penanggung berkewajiban
membayar santunan kepada tertanggung atau orang yang ditunjuk sebagai
penikmat (beneficiary).
Jumlah Asuransi
Jumlah asuransi adalah sejumlah uang tertentu yang diperjanjikan pada saat
diadakan asuransi sebagai jumlah santunan yang wajib dibayar oleh penanggung
kepada penikmat dalam hal terjadi evenemen, atau pengembalian kepada
tertanggung sendiri dalam hal berakhirnya jangka waktu asuransi tanpa terjadi
evenemen. Menurut ketentuan Pasal 305 KUHD, perkiraan jumlah dan syaratsyarat asuransi sama sekali ditentukan oleh perjanjian bebas antara tertanggung
dan penanggung. Dengan adanya perjanjian bebas tersebut, asas kepentingan
dan asas keseimbangan alam.asuransi jiwa dikesampingkan.
Premi Asuransi
Premi asuransi adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh tertanggung
kepada penanggung setiap jangka waktu tertentu, biasanya setiap bulan selama
asuransi berlangsung. Besarnya jumlah premi asuransi tergantung pada jumlah
asuransi yang disetujui oleh tertanggung pada saat diadakan asuransi.
Penanggung, Tertanggung, Penikmat
Dalam hukum asuransi minimal terdapat 2 (dua) pihak, yaitu penanggung dan
tertanggung. Penanggung adalah pihak yang menanggung beban risiko sebagai
imbalan premi yang diterimanya dari tertanggung. Jika terjadi evenemen yang
menjadi beban penanggung, maka penanggung berkewajiban mengganti
kerugian. Dalam asuransi jiwa, jika terjadi evenemen matinya tertanggung, maka
penanggung wajib membayar uang santunan, atau jika berakhirnya jangka
waktu usuransi tanpu terjadi evenemen, maka penanggung wajib membayar
sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung. Penanggung adaiah
Perusahaan Asuransi Jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulanggan risiko
yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang yang diasuransikan.
Perusahaan Asuransi Jiwa merupakan badan hukum milik swasta atau badan
hukum milik negara.
Asuransi dapat juga diadakan untuk kepentingan pihak ketiga dan ini harus
dicantumkan dalam polis. Menurut teori kepentingan pihak ketiga (the third party
interest theory), dalam asuransi jiwa, pihak ketiga yang berkepentingan itu
disebut penikmat. Penikmat ini dapat berupa orang yang ditunjuk oieh
tentanggung atau ahli waris tertanggung. Munculnya penikmat ini apabila terjadi

evenemen meninggalnya tertanggung. Dalam hal ini, tertanggung yang


meninggal itu tidak mungkin dapat menikmati santunan, tetapi penikmat yang
ditunjuk atau ahli waris tertanggunglah sebagai yang berhak menikmati
santunan. Akan tetapi, bagaimana halnya jika asuransi itu berakhir tanpa terjadi
evenemen meninggalnya tertanggung?. Dalam hal ini tertanggung sendiri yang
berkedudukan sebagai penikmat karena dia sendiri masih hidup dan berhak
menikmati pengembalian sejumlah uang yang dibayar oleh penanggung.
Apabila tertanggung bukan penikmat, maka hal ini dapat disamakan dengan
asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga. Penikmat selaku pihak ketiga tidak
mempunyai kewajiban membayar premi terhadap penanggung. Asuransi
diadakan untuk kepentingannya, tetapi tidak atas tanggung jawabnya. Apabila
tertanggung mengasuransikan jiwanya sendiri, maka tentanggung sendiri
berkedudukan sebagai penikmat yang berkewajiban membayar premi kepada
penanggung. Dalam hal ini tertanggung adalah pihak dalam asuransi dan
sekaligus penikmat yang berkewajiban membayar premi kepada penanggung.
Asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga (penikmat) harus dicantumkan
dalam polis.
2.3 Evenemen Dan Santunan
1. Evenemen dalam Asuransi Jiwa
Dalam Pasal 304 KUHD yang mengatur tentang isi polis, tidak ada ketentuan
keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi jiwa berbeda dengan
asuransi kerugian, Pasal 256 ayat (1) KUHD mengenai isi polis mengharuskan
Pencantuman bahaya-bahaya yang menjadi beban penanggung. Mengapa tidak
ada keharusan mencantumkan bahnya yang menjadi beban penanggung dalam
polis asuransi jiwa?. Dalam asuransi jiwa yang dimaksud dengan hahaya adalah
meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu
merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami
kematian. Akan tetapi kapan meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan.
lnilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa.
Evenemen ini hanya 1 (satu), yaitu ketidak pastian kapan meniggalnya
seseorang sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam definisi asuransi
jiwa. Karena evenemen ini hanya 1 (satu), maka tidak perlu di cantumkan dalam
polis. Ketidakpastian kapan meninggalnya seorang tertanggung atau orang yang
jiwanya diasuransikan merupakan risiko yang menjadi beban penanggung dalam
asuransi jiwa. Evenemen meninggalnya tertanggung itu bersisi 2 (dua), yaitu
meninggalnya itu benar-benar terjadi dalam jangka waktu asuransi, dan benarbenar tidak terjadi sampai jangka waktu asuransi berakhir. Kedua-duanya
menjadi beban penanggung.
2. Uang Santunan dan Pengembalian
Uang santunan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh penanggung
kepada penikmat dalam hal meninggalnya tertanggung sesuai dengan
kesepakatan yang tercantum dalam polis. Penikmat yang di maksud adalah
orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau orang yang menjadi ahli warisnya
sebagai yang berhak menerima dan menikmati santunan sejumlah uang yang
dibayar oleh penanggung. Pembayaran santunan merupakan akibat terjadinya
peristiwa, yaitu meninggalnya tertanqgung dalam jangka waktu berlaku asuransi
jiwa.

Akan tetapi, apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi jiwa tidak terjadi
peristiwa meninggalnya tertanggung, maka tertanggung sebagai pihak dalam
asuransi jiwa, berhak memperoleh pengembalian sejumlah uang dan
penanggung yang jumlahnya telah ditetapkan berdasarkan perjanjian dalam hal
ini terdapat perbedaan dengan asuraransi kerugian. Pada asuransi kerugian
apabila asuransi berakhir tanpa terjadi evenemen, premi tetap menjadi hak
penanggung, sedangkan pada asuransi jiwa, premi yang telah diterima
penanggung dianggap sebagai tabungan yang dikembalikan kepada
penabungnya, yaitu tertanggung.
2.4 Asuransi Jiwa Berakhir
1. Karena Terjadi Evenemen
Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang menjadi beban penanggung
adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan asuransi
jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang
diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka penanggung
berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh
tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak penanggung melunasi
pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa berakhir.
Apa sebabnya asuransi jiwa berakhir sejak pelunasan uang santunan, bukan
sejak meninggalnya tertanggung (terjadi evenemen)? Menurut hukum perjanjian,
suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berakhir apabila prestasi masingmasing pihak telah dipenuhi. Karena asuransi jiwa adalah perjanjian, maka
asuransi jiwa berakhir sejak penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat
dan meninggalnya tertanggung. Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak
terjadi evenemen yang diikuti dengan pelunasan klaim.
2. Karena Jangka Waktu Berakhir
Dalam asuransi jiwa tidak selalu evenemen yang menjadi beban penanggung itu
terjadi bahkan sampai berakhirnya jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu
berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi evenemen, niaka beban risiko
penanggung berakhir. Akan tetapi, dalam perjanjian ditentukan bahwa
penanggung akan mengembalikan sejumtah uang kepada tertanggung apabila
sampai jangka waktu asuransi habis tidak terjadi evenemen. Dengan kata lain,
asuransi jiwa berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti dengan
pengembalan sejumlah uang kepada tertanggung.
3. Karena Asuransi Gugur
Menurut ketentuan Pasal 306 KUHD:
Apabila orang yang diasuransikan jiwanya pada saat diadakan asuransi ternyata
sudah meninggal, maka asuransinya gugur, meskipun tertanggung tidak
mengetahui kematian tersebut, kecuali jika diperjanjikan lain,
Kata-kata bagian akhir pasal ini kecuali jika diperjanjiknn lain memberi peluang
kepada pihak-pihak untuk memperjanjikan menyimpang dari ketentuan pasal ini,
misalnya asuransi yang diadakan untuk tetap dinyalakan sah asalkan
tertanggung betul-betul tidak mengetahui telah meninggalnya itu. Apablia
asuransi jiwa itu gugur, bagaimana dengan premi yang sudah dibayar karena
penanggung tidak menjalani risiko? Hal ini pun diserahkan kepada pihak-pihak

untuk memperjanjikannya. Pasal 306 KUHD ini mengatur asuransi jiwa untuk
kepentingan pihak ketiga.
Dalam Pasal 307 KUHD ditentukan:
Apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh diri, atau dijatuhi hukuman
mati, maka asuransi jiwa itu gugur.
Apakah masih dimungkinkan penyimpangan pasal ini?. Menurut Purwosutjipto,
penyimpangan dari ketentuan ini masih mungkin, sebab kebanyakan asuransi
jiwa ditutup dengan sebuah klausul yang membolehkan penanggung melakukan
prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dan badan tertanggung asalkan
peristiwa itu terjadi sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak diadakan
asuransi. Penyimpangan ini akan menjadikan asuransi jiwa lebih supel lagi.
4. Karena Asuransi Dibatalkan
Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu berakhir.
Pembatalan tersebut dapat terjadi karena tertanggung tidak melanjutkan
pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau karena permohonan
tertanggung sendiri. Pembatalan asuransi jiwa dapat terjadi sebelum premi mulai
dibayar ataupun sesudah premi dibayar menurut jangka waktunya. Apabila
pembatalan sebelum premi dibayar, tidak ada masalah. Akan tetapi, apabila
pembatalan setelah premi dibayar sekali atau beberapa kali pembayaran (secara
bulanan), bagaimana cara penyelesaiannya? Karena asuransi jiwa didasarkan
pada perjanjian, maka penyelesaiannya bergantung juga pada kesepakatan
pihak-pihak yang dicantumkan dalam polis
komentar (0)
REASURANSI
Diposkan oleh Catatan Kampus Unhalu on 01.55
<!--[if !supportLists]-->A. Pengertian Reasuransi dan Prinsip-prinsip dalam
Hubungan Antara Penanggung dan Penanggung Ulang Dalam Perjanjian
Reasuransi<!--[endif]-->
Bila dalam asuransi telah didapatkan suatu definisi sebagaimana yang
termaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan pasal 246
dan kemudian telah diperbaharui dalam Undang-undang Republik Indonesia No.
2 Tahun 1992 Tentang Usaha Pereasuransian pada Bab I Ketentuan Umum Pasal
1 ayat 1 dalam hal reasuransi hingga saat ini belum terdapat defenisi yang telah
dibakukan.
Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD Pasal 271 tersebut
tampak sejiwa dan seirama dengan dikemukakan oleh pakar reasuransi Robert I
Mehr dan E. Cammack dalam buku yang berjudul Principles of Insurance yang
menyatakan: Reinsurance is the insurance of the insurance (Ref. page no.
723), artinya reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau asuransinya
asuransi (A.J. Marianto 1997).
Selanjutnya Robert I Mehr and Emerson cammack memberikan suatu contoh
atau suatu penjelasan sebagai berikut : When a company has received from an
agent a volume of insurance on a given property or in a given area, in excess of
the amount it wishes to retain an its book, it can reinsure the contract (jika
suatu perusahaan asuransi menutup risiko atau dia menutup risiko-risiko disuatu

daerah tertentu melalui seorang agen, dia dapat mempertanggungkan ulang


/kembali kelebihan resiko yang melampaui daya tampungnya). (A. J. Marianto
1997).
Berdasarkan pengertian diatas, perusahaan asuransi berdasarkan prinsip
kepentingan yang dapat dipertanggungkan, telah menutup suatu pertanggungan
atas risiko atau risiko-risiko di suatu daerah tertentu dapat mempertanggungkan
kembali kelebihan tanggung gugat atau excess liability yang melampaui daya
tampungnya sendiri atau own retention kepada penanggung lain.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pengertian reasuransi versi lain oleh
beberapa pakar ahli :
<!--[if !supportLists]-->1. GF. Michelbacher<!--[endif]-->
Dalam bukunya yang berjudul Multiple Line Insurance , G.F. Michelbacher
membuat rumusan pengertian reasuransi sebagai berikut : The process
whereby one insurer arranges with one or more other insurers to share risk is
reinsurance (proses dengan mana satu penanggung mengatur dengan satu
atau lebih penanggung lainnya untuk membagi risiko disebut reasuransi /
pertanggungan ulang).
Dari rumusan tersebut Michelbacher mengartikan reasuransi sebagai suatu
proses yang dimana satu penanggung mengatur dengan satu atau lebih
penanggung lainnya dengan tujuan untuk membagi risiko.
<!--[if !supportLists]-->2. Mollengraaf<!--[endif]-->
Mollengraaf menyatakan reasuransi adalah persetujuan yang dilaksanakan oleh
suatu penanggung dengan penanggung lainnya yang dinamakan sebagai
penanggung ulang (reasuradur), dalam persetujuan mana pihak kedua dengan
menerima premi yang ditentukan terlebih dahulu bersedia memberikan
penggantian kepada pihak pertama, mengenai penggantian kerugian yang pihak
pertama wajib membayarnya kepada tertanggung akibat dari suatu
pertanggungan yang diadakan antara pihak pertama dan tertanggung.
<!--[if !supportLists]-->3. R. C. REINARZ<!--[endif]-->
Reasuransi adalah akseptasi oleh suatu penaggung yang dikenal sebagai
reasuradur / penaggung ulang atas semua atau sebagian risiko kerugian dari
penanggung lainnya yang disebut pemberi sesi (ceding company) .
Berdasarkan dari berbagai pendapat para pakar tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa pengertian reasuransi dalam arti yang sebenarnya dapat
ditinjau dari beberapa aspek sebagai berikut :
Ditinjau dari aspek teknis reasuransi merupakan suatu cara atau alat/sarana
untuk mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterimanya dengan
mengalihkan seluruh atau sebagian risiko itu kepada pihak penanggung lain.
Risiko yang dihadapi penanggung pertama dalam arti yang sebenarnya adalah
beban risiko yang mungkin timbul sebagai akibat kegiatan usaha yang
dilakukannnya dengan mengambil alih seluruh atau sebagian risiko yang
dihadapi tertanggung asli. Dengan demikian pertanggungan ulang (reasuransi)
mempunyai peraanan yang sangat besar dalam bidang industri asuransi.
Dari aspek hukum, reasuransi adalah suatu perjanjian antara satu penanggung
dengan satu atau lebih penanggung ulang/reasuradur. Penanggung wajib

memberi dan penaggung ulang sepakat wajib menerima seluruh atau sebagian
risiko yang diberikan kepadanya. Seperti halnya asuransi, perjanjian
pertanggungan ulang juga bersifat timbale balik. Perjanjian ini menimbulkan hakhak dan kewajiban-kewajiban antara kedua pihak. Oleh karena itu penanggung
ulang juga berhak menerima seluruh atau sebagian premi yang diterima oleh
penanggung pertama berdasarkan polis yang telah diterbitkan.
c. Pengertian reasuransi dari aspek keuangan<!--[endif]-->
Dari gejala ekonomi, maksud dan tujuan penanggung mengadakan perjanjian
reasuransi dengan mengalihkan seluruh atau sebagian risiko yang diterimanya
karena perjanjian asuransi kepada para penanggung lainnya adalah untuk
mengubah suatu ketidakpastian agar menjadi lebih pasti, demi kesinambungan
usahanya dalam menghadapi segala kemungkinan atau peluang kewajiban
membayar ganti rugi atau santunan yang besar yang dapat menimbulkan hasil
underwriting yang buruk dan memperngaruhi keadaan keuangan.
Reasuransi memiliki bebrapa fungsi yaitu diantaranya adalah sebagai berikut :
<!--[if !supportLists]-->(1) Memberi jaminan atau perlindungan kepada
penanggung dari kerugian-kerugian underwriting yang dapat sewaktu-waktu
membahayakan likuiditas, solvabilitas, dan kelestarian kegiatan usaha mereka.
<!--[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->(2) Menaikkan kapasitas akseptasi perusahaan asuransi
atas risiko-risiko yang melampaui batas kemampuannya karena kelebihan
tanggung-gugat yang tidak bisa mereka tampung sendiri akan dijamin oleh
penanggung ulang yang telah bersedia menampungnya.<!--[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->(3) Sebagai alat penyebar resiko, baik
reasuransi dalam negeri maupun dipasaran luar negeri.<!--[endif]-->

dipasaran

<!--[if !supportLists]-->(4) Bila kerjasama reasuransi atas sebagian resiko


dilakukan antar sesama perusahaan asuransi, akan terdapat dua fungsi
didalamnya, yaitu sebagai penyebaran risiko dan sebagai sarana pertukaran
bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan premi yang dapat ditahan karena
disamping adanya pengeluaran terdapat pulapemasukan premi.<!--[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->(5) Meningkatkan atau mendukung kestabilan hasil
underwriting dan keadaan keuangan perusahaan asuransi, termasuk menjaga
stabilitas pendapatannya. Dalam hal ini, reasuransi seolah-olah berfungsi
menyediakan fasilitas bank kepada perusahaan asuransi .<!--[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->(6) Meningkatkan dan memperbesar keleluasaan dalam
melakukan pemasaran berbagai macam produk asuransi, baik yang konvensional
maupun yang baru dengan segala macam tingkat besar kecilnya resiko.<!-[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->(7) Secara tidak langsung reasuransi dapat berfungsi
membantu membiayai kegiatan usaha perusahaan asuransi, khususnya
disesikan berdasarkan kontrak reasuransi.<!--[endif]-->

Hubungan antara penanggung (ceding company) dan para penanggung ulang


yang sangat mendasar berpijak pada lima prinsip asuransi dan ditambah dengan

satu prinsip lainnya yang disebut prinsip / asas Follow the fortunes of the ceding
company. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dibawah ini :
<!--[if !supportLists]-->1. Prinsip itikad baik<!--[endif]-->
Semua perjanjian dilakukan berdasarkan itikad baik, termasuk perjanjian
asuransi dan reasuransi. Berdasarkan prinsip ini, kedua pihak baik penanggung
pertama (ceding company) maupun penanggung ulang (reinsurer), wajib
melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undangundang.
Yang dimaksud dengan melakukan sesatu dalam pelaksanaan perjanjian
reasuransi adalah bahwa pihak penaggung wajib pula melakukan pengungkapan
dan atau memberitahukan segala data dan keterangan tentang objek dan atau
kepentingan yang ditanggung olehnya. Tidak diperkenankan menyembunyikan
segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung ulang
berhubungan dengan keikutsertaan mereka dalam menanggung seluruh atau
sebagian resiko.
Apabila ceding company telah melakukan kesengajaan menyembunyikan fakta,
berarti mereka telah melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan
undang-undang atau melanggar itikad baik yang dapat menyebabkan
dibatalkannya perjanjian reasuransi yang telah terbentuk. Lebih-lebih bila terjadi
unsur penipuan, perjanjian reasuransi yang telah dibentuk akan menjadi batal
dengan sendirinya menurut hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1321.
<!--[if !supportLists]-->2. Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan<!-[endif]-->
Selain berlaku pada perjanjian asuransi, asas ini juga berlaku pada perjanjian
reasuransi. Dengan melakukan atau menerima penutupan pertanggungan, pihak
penanggung telah memilki kepentingan yang timbul karena adanya perikatan,
yaitu tanggungjawab / gugat atas klaim yang terjadi akibat peristiwa yang
diperjanjikan. Dengan perkataan lain, penanggung akan selalu menghadapi
kemungkinan terjadinya tuntutan ganti rugi yang dapat timbul setiap saat atas
pertanggungan yang ditutupnya. Oleh karena itu, berdasarkan KUHD Pasal 271,
penanggung berhak sekali lagi mempertanggungkan ulang / kembali
pertanggungan yang ditutupnya.
<!--[if !supportLists]-->3. Prinsip ganti rugi<!--[endif]-->
Sebagian yang berlaku pada perjanjian pertanggungan, penggantian dan atau
pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung ulang hanya terbatas
pada kerugian sebenarnya yang dibayarakan oleh penanggung pertama kepada
tertanggung asli sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku
serta sah menurut hukum. Jumlah penggantian yang dibayar oleh para
penanggung ulang kepada penanggung pertama haruslah sebanding dengan
saham atau penyertaannya dalam reasuransi.
<!--[if !supportLists]-->4. Prinsib subrogasi <!--[endif]-->
Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti
kerugian yang sah pada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak
tertanggung untuk memperoleh pemulihan dan atau menuntut ganti rugi kepada

pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggungjawab atas segala


kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.
<!--[if !supportLists]-->5. Prinsip kontribusi / saling menanggung<!--[endif]-->
Prinsip kontribusi atau saling menanggung ini pada hakikatnya bukan hanya
berlaku dalam hal asuransi, melainkan juga berlaku dalam hal reasuransi.
Hubungan mendasar antara penanggung pertama dan penanggung ulang
tentang prinsip ganti kerugian yang juga menganut ketentuan tolak ukur ganti
kerugian dan ketentuan lainnya yang telah dijelaskan, kontribusi juga dipakai
sebagai dasar mentukan pembagian resiko dan atau sesi kepada para pihak
yang bersangkutan termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung
bersama sesusai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, koasuransi dan reasuransi. Dalam hal asuransi dibawah harga kontribusi
dilaksanakan antara penanggung dan tertanggung karena dalam hal ini
tertanggung dianggap ikut serta menanggung sebagian resiko atas kepentingan
yang dipertanggungkan sedangkan dalam hal reasuransi kontribusi dilaksanakan
antara penanggung pertama dan pihak penanggung ulang.
<!--[if !supportLists]-->6. Prinsip follow the fortune of theceding company<!-[endif]-->
Prinsip mengikuti keberuntungan penanggungung pertama tidak boleh diartikan
secara luas dan tampa batas tanggung jawab penaggung ulang dalam hal
reasuransi hanyalah ter batas pada klaim yang sah dan wajib dibayar oleh
penanggung pertama sesuai dengan jumlah kerugian sebenarnya sekalipun
berdasarkan teori maupun praktek penanggung ulang dapat diminta
persetujuannya untuk menyetujui penyelesaian klaim atas dasar kompromi atau
ex-gratia, penanggung pertama harus mempunyai argumentasi dan
pertimbangan komersial bahwa kebijaksanaan itu berlandaskan pada
perhitungan untung rugi demi kepentingan bersama
<!--[if !supportLists]-->B. Keamanan Atas Jaminan Reasuransi<!--[endif]-->
Jaminan atau perlindungan reasuransi atas kelebihan tanggung gugat / jawab
dari beban risiko yang ditanggung oleh perusahaan-perusahaan asuransi
berdasarkan polis yang diterbitkan memang sangat diperlukan karena berbagai
macam alasan baik teknis maupun non teknis. Meskipun demikian masalah
keamanan adalah suatu hal yang sangat penting atau serius dan wajib
ditempatkan sebagai pertimbangan utama dalam menempatkan bisnis
reasuransi. Proteksi reasuransi memang sangat diperlukan, tetapi setiap
penanggung pertama ataupun pialang reasuransi sebagai wakil mereka akan
selalu lebih mengutamakan proteksi yang aman, disamping mengharapkan
persyaratan, kondisi dan harga yang kompetitif serta pelayanan yang baik.
Keamanan jaminan reasuransi harus diamati secara terus menerus karena bisa
mengalami perubahan-perubahan. Bisa saja terjadi suatu kemungkinan bahwa
dalam beberapa tahun sebelumnya mereka termasuk kelompok security yang
baik, tetapi karena sesuatu dan lain hal ternyata diantara mereka telah
mengalami kemunduran sehingga dinilai tidak akan dapat memberikan proteksi
reasuransi yang aman.
Apabila mengadakan perjanjian reasuransi dengan penanggung pertama secara
langsung ataupun melalui pialang reasuransi, para penanggung ulang selalu
melakukan penilaian, baik terhadap program reasuransi yang ditawarkan

ataupun terhadap keadaan, reputasi, kedudukan pihak penanggung pertama di


dalam pasar, ditinjau dari segi teknis maupun non teknis.
<!--[if !supportLists]-->C. Metode Dalam Perjanjian Reasuransi<!--[endif]-->
Berbicara mengenai metode dan tipe-tipe reasuransi, harus kita bedakan arti
antara istilah metode reasuransi dan tipe reasuransi untuk menghindari
kerancuan dan kesalahpahaman. Metode reasuransi hendaknya diartikan
sebagai cara bagaimana para pelaku pasar reasuransi itu melakukan kerjasama
reasuransi, sedang tipe reasuransi hendaknya kita artikan sebagai bentuk
pelaksanaan dari cara melakukan transaksi reasuransi. Menurut berbagai
literatur reasuransi / asuransi terdapat tiga cara dalam melakukan kerjasama
asuransi antara pihak penanggung pertama (direct insurers) dan pihak
penaggung ulang (reinsurers), yaitu :
<!--[if !supportLists]-->1. Metode reasuransi secara fakultatif<!--[endif]-Metode reasuransi secara fakultatif adalah transaksi pertanggungan ulang antara
pihak penaggung pertama dan para penanggung ulang secara bebas, yaitu para
pihak penanggung ulang tidak terikat harus menerima penawaran
pertanggungan ulang. Dengan perkataan lain, para penaggung ulang dapat
menolak atau mmenerima penawaran pertanggungan ulang berdasarkan
kebijakan akseptasi yang telah mereka tetapkan.
Berdasarkan metode pertanggungan ulang secara fakultatif ini, para penaggung
ulang dapat melakukan seleksi resiko sesuai denga kebijakan underwriting yang
telah digariskan. Hal ini dapat dipahami bersama mengingat tingkat risiko dari
objek atau kepentingan yang dipertanggungkan itu berbeda-beda. Dalam
praktek telah dikenal adanya tiga tingkatan resiko, yaitu yang digolongkan
sebagai objek beresiko rendah / sederhana (simple risk), objek beresiko
berbahaya (hazardous risks), dan objek beresiko sangat berbahaya (extra
hazardous risks).
<!--[if !supportLists]-->2. Metode reasuransi secara kontrak (treaty)<!--[endif]-->
Yang dimaksud dengan metode reasuransi secara kontrak adalah perjanjian
antara pihak penangung pertama dan para penanggung lain atau para
pengnggung ulang profesional yang dalam perjanjian tersebut pihak penaggung
pertama, yang selanjutnya disebut pemberi sesi atau ceding company, setuju
memberikan bagian (share) dan para penaggung ulang, yang selanjutnya
disebut pihak kedua, setuju dan wajib menerima bagian atau sesi dari
tanggungjawab atas asuransi yang telah ditutup oleh penggung pertama sesuai
dengan pembagian yang telah disepakati oleh masing-masing penanggung ulang
(peserta treaty) sampai dengan batas-batas tanggung gugat/jawab tertinggi dari
setiap kelas resiko berdasarkan pernyataan dan ketentuan-ketentuan yang
disebutkan dalam kontrak reasuransi.
<!--[if !supportLists]-->3. Metode reasuransi pool dan facultative obligatory<!-[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->a. Metode reasuransi pool<!--[endif]-->
Maksud dan tujuan membentuk kerjasama secara pool pada lazimnya didasarkan
atas berbagai sasaran yang dituju. Sasaran dan tujuan pembentukan kerjasama
sistem pool yang paling penting adalah untuk mengatasi berbagai macam
persoalan melalaui kerjasama yang saling menguntungkan dan saling membantu

antar sesama anggota pool dalam mewujudkan penyebaran resiko, diantaranya


dengan melakukan pertukaran bisnis.
Pengertian kerjasama pool pada saat ini lebih terkenal dengan istilah konsorsium
meskipun penerapan kedua istilah itu sangat tergantung pada tujuannya.
Pembentukan konsorsium mempunyai tujuan dan sasaran yang khusus, hanya
untuk mengatasi kesulitan penanganan atau pengelolaan objek yang beresiko
tinggi dengan jumlah pertanggungan yang tidak mungkin ditangani oleh satu
penanggung atau untuk mengatasi risiko dalam satu komplek besar (khususnya
pasar).
Metode kerjasama pool dalam kontrak reasuransi dikenal denga istilah asing
reciprocal pool. Metode kerjasama seperti ini tidak hanya dilakukan antar sesama
perusahaan asuransi didalam negeri, tetapi juga dapat diperluas antar wilayah
negara tetangga. Cara yang demikian sangat bermanfaat unutk mengatasi daya
tampung nasional yang terbatas dari tiap-tiap negara yang bersangkutan
sehingga tidak banyak tergantung pada satu pasar tertentu yang juga memiliki
keterbatasan kapasitas atau daya tampung.
<!--[if !supportLists]-->b. Facultative obligatory<!--[endif]-->
Jenis penutupan pertanggungan ulang seperti ini sebenarnya merupakan suatu
cara penempatan pertanggungan ulang secara kontrak meskipun masih terdapat
kata facultative. Dengan adanya kata wajib (obligatory) pihak penanggung
wajib menerima semua kelebihan tangtgung gugat yang sudah tidak tertampung
dalam kontrak pertanggungan ulang sampai dengan limit yang telah ditentukan.
Melalui cara ini pihak penanggung pertama tidak perlu lagi melakukan
penawaran reasuransi satu persatu karena secara otomatis telah memperoleh
fasilitas jaminan yang cukup memadai serta tidak perlu merasa cemas, seperti
mengahadapi risiko penolakan apabila mereka melakukan penaaran penempatan
pertanggungan ulang secara fakultatif biasa. Dengan cara ini penaggung
pertama juga dapat bekerja lebih efisien dan efektif karena dapat menghemat
banyak biaya, waktu, dan tenaga dibandingkan harus melakukan penawaran
satu persatu.
Dalam pelaksanaannya, pihak penanggung ulang akan membatasi pada risikorisiko tertentu dengan persyaratan premi segera atau secepat mungkin dalam
waktu yang telah ditetapkan, akan memberikan komisi reasuransi yang lebih
rendah atau sataraf dengan komisi fakultatif biasa, serta tanpa pemberian komisi
keuntungan.
<!--[if !supportLists]-->D. Persyaratan dan Ketentuan Kontrak Reasuransi<!-[endif]-->
Sebagaimana lazimnya setiap kontrak perjanjian, kontrak perjanjian reasuransi
juga akan menyebutkan segala persyaratan dan ketentuan yang telah disepakati
bersama antara pihak pemberi sesi dan penanggung ulang yang disebut juga
sebagai penerima sesi.
Beberapa persyaratan dan ketentuan yang sangat penting, yang kiranya perlu
untuk kita ketahui bersama, antara lain yang berkenaan dengan :
<!--[if !supportLists]-->1)
[endif]-->

Komisi

reasuransi

(reinsurance

commission)<!--

Komisi reasuransi ( reinsurance commission, yang lazim disingkat R/I comm)


yang diberikan oleh penanggung ulang kepada pemberi sesi adalah sebagai
imbalan jasa atas bisnis reasuransi yang disesikan kepadanya oleh pemberi sesi.
Besarnya komisi reasuransi yang dapat diberikan kepada pemberi sesi sangat
tergantung pada kelas bisnis yang yang disesikan dan biasanya lebih besar dari
komisi reasuransi yang diberikan kepada agen atau pialang reasuransi.
Besarnya komisi reasuransi yang diberikan oleh penanggung ulang kepada
pemberi sesi lazimnya 3% sampai dengan 7,5% lebih besar dari komisi
reasuransi yang diberikan kepada agen / pialang karena pemberian komisi
reasuransi tersebut mempunyai tujuan untuk pengganti biaya operasional yang
dikeluarkan oleh pemberi sesi dalam rangka memperoleh bisnis.
Kembali kepada masalah komisi reasuransi, dalam hal penetapan besar kecilnya
komisi reasuransi, para pihak pemberi sesi biasanya lebih menyukai bila
didasarkan pada flat rate karena selain memudahkan perhitungan sesi bersuh
yang harus disesikan juga lebih menguntungkan baginya meskipun loss ratio dari
sesi tahun yang berjalan lebih besar dari, katakanlah 35%.
Khususnya untuk sesi yang didasarkan pada akseptasi reasuransi fakultatif
biasanya penaggung ulang hanya memberikan komisi reasuransi yang lebih kecil
dari komisi reasuransi atas sesi yang didasarkan pada kontrak quota share dan
berkisar antara 2,5% sampai dengan 5% lebih kecil dari sesi atas dasar kontrak
reasuransi pada jenis pertanggungan yang sama.
<!--[if !supportLists]-->2) Komisi keuntungan (profit commission)<!--[endif]-->
Komisi keuntungan adalah suatu komisi yang diberikan oleh penerima sesi/
penanggung ulang kepada pemberi sesi yang lazimnya disebut juga reinsured.
Komisi keuntungan hanya diberikan bila hasil bersih yang disesikan kepada
penanggung ulang menunjukkan keuntungan bagi penerima sesi. Dalam praktek
profit commission jarang diberikan kepada pemberi sesi yang didasarkan atas
non-proportional traties, tetapi seandainya dapat dfisepakati bersama lazimnya
diperhitungkan atas dasar tahun penutupannya.
Tujuan pemberian komisi keuntungan kepada pemberi sesi adalah merupakan
suatu perangsang agar pemberi sesi selalu mengusahakan agar hasil/saldo
bersih yang disesikan akan memberikan keuntungan bagi penerima sesi. Bila
pemberi sesi dapat memperoleh komisi keuntungan, pendapatan ini juga
digunakan untuk menutup biaya operasi untuk memperoleh bisnis.
<!--[if !supportLists]-->3) Klausul MPL (maximum possible loss)<!--[endif]-->
Yang dimaksud dengan klausul MPL adalah suatu kalusul yang mencantumkan
ketentuan bahwa pihak penanggung atau pemberi sesi dapat menetapkan
retensi sendiri dan memberi sesi reasuransi sampai pada batas tertinggi sesuai
dengan tingkat MPL dan setiap resiko yang diterima atau ditutup oleh pihak
penanggung pertama (pemberi sesi).
Klausul ini dicantumkan dalam naskah perjanjian apabila telah disepakati
bersama oleh pihak pemberi sesi wajib mencantumkan MPL yang benar-benar
tepat karena apabila terjadi kesalahan dalam penilaian MPL atas sesi yang
diberikan, mereka harus menanggung sendiri akibat kesalahan yang mereka
lakukan.

Oleh karena itu, pihak pemberi sesi wajib memiliki kemampuan yang tinggi
dalam menilai atau mengkaji suatu resiko, yaitu sampai seberapa jauh MPL yang
sebenarnya dari resiko yang mereka jamin.

HUKUM KEPAILITAN
UU NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
Maksud & tujuan UUK-PKPU:
1.Untuk melindungi kepentingan Kreditur yakni pelunasan kewajiban oleh
Debitur (Termohon Pailit).
2. Untuk menghindari perebutan harta Debitur (Termohon Pailit) apabila dalam
waktu yang sama ada beberapa Kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur;

3.Untuk menghindari adanya Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang


menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitur tanpa
memperhtikan kepentingan Debitur atau para Kreditur lainnya;
4.Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
satu kreditur atau oleh Debitur itu sendiri.
Prinsip dasar penyelesaian utang dalam UUK-PKPU
Guna menghindari ketidakadilan, timbul lembaga kepailitan yang mengatur tata
cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur melalui UUKPKPU yang merupakan penjabaran dari Pasal 1131 jo. 1132 KUHPerdata:
Pasal 1131 KUHPerdata: Semua harta menjadi jaminan pembayaran utang.
Prinsip Paritas Creditorium: Mengandung makna semua kekayaan debitur baik
yang bergerak maupun tidak bergerak baik yang ada sekarang maupun yang
akan ada dikemudian hari terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.
Pasal 1132 KUHPerdata: Pada dasarnya pembagian kekayaan debitur harus
dilakukan secara pari passu pro rata parte, kecuali ada hak yang didahulukan.
Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte: bahwa harta kekayaan tersebut merupakan
jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara
proporsional diantara mereka kecuali ada hak untuk didahulukan.
Prinsip
Structured
Creditors:
Prinsip
yang
mengklasifikasikan
dan
mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masingmasing, yaitu:
1. Kreditur Preferen: kreditur yang oleh undang-undang diberikan Hak Istimewa
sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditur lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya.
2. Kreditur Separatis: Hak yang diberikan hukum kepada kreditur pemegang hak
jaminan.
3. Kreditur Konkuren: Kreditur yang tidak termasuk golongan khusus atau
istimewa.
Syarat- syarat pailit
Pengadilan Niaga berwenang menyatakan debitur pailit pasal 2 ayat 1 UUKPKPU
terpenuhi yaitu:
1. Debitur mempunyai 2 kreditur atau lebih
2. Debitur tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.
Namun, pada prakteknya yang dapat ditemukan pada beberapa contoh kasus,
majelis hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Permohonan Pailit turut
mempertimbangkan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU sebagai syarat lain agar dapat
dinyatakan Pailit, yaitu: " harus dapat dibuktikan secara sederhana syarat-syarat
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU"
Kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu:

1. Karena telah diperjanjikan


2. Percepatan waktu penagihan
3. Pengenaan sanksi atau denda
4. Karena putusan pengadilan, arbitrase
PEMOHON PAILIT
Dalam kepailitan, Pemohon Pailit dapat diajukan
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUKPKPU yakni:

oleh

beberapa

pihak

1.Debitur sendiri (Volunteer Bankruptcy);


2.Kreditur (Pasal 2 ayat 1);
3.Kejaksaan, untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat 3);
4.Bank Indonesia, jika debitur adalah Bank (Pasal 2 ayat 3);
5.Badan Pengawas Pasar Modal, jika debitur perusahaan efek, bursa efek,
lembaga kliring & penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (Pasal 2
ayat 4);
6.Menteri Keuangan, jika debitur perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi,
dana pensiun, atau BUMN bergerak untuk kepentigan umum (Pasal 2 ayat 5)
Penjelasan mengenai Pemohon pailit:
1. Debitur (voluntary Petition): Seorang debitur mengajukan permohonan pailit
atas dirinya sendiri. Jika debitur masih terikat dalam pernikahan yang sah,
permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang
menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat 1 UUK-PKPU).
2. Seorang Kreditur atau lebih (Involuntary Petition): Kreditur yang dapat
mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya adalah kreditur separatis,
kreditur preferen, kreditur konkuren.
3. Kejaksaan: Dapat diajukan oleh kejaksaan terhadap debitur demi kepentingan
umum. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara
dan/atau kepentingan masyarakat luar, misalnya:
a. Debitur melarikan diri;
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat;
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP No. 17 tahun 2000 menyatakan bahwa


kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan
kepentingan umum, apabila:
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan
b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.
4. Bank Indonesia: Menurut Pasal 2 ayat (3) UUK-PKPU, dalam hal menyangkut
debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Tujuan Bank Indonesia
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dengan cara
melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan,
dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam): Dalam hal debitur merupakan
perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam sesuai
dengan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU.
6. Menteri Kuangan: Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU, dalam hal debitur
adalah perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, atau Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Menurut
penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan public adalah badan usaha milik
Negara yang seluruh modalnya dimiliki dan tidak terbagi atas saham. BUMN
yang dimaksud yaitu BUMN yang berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) yang
seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, misalnya
Perum Percetakan Negara Indonesia, Perum Bulog.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU, Panitera wajib menolak pendaftaran
pemohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan dengan ketentuan
dalam ayat-ayat tersebut.

Tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit


Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit dapat
diajukan oleh pemohon-pemohon sebagai berikut: (a) Debitur Sendiri, (b)
seorang atau lebih deditur, (c) kejaksaan, (d) Bank Indonesia, (e) Bapepeam, (f)
menteri keuangan.
Dalam Kepailitan permohonan pernyataan pailit tidak dapat diajukan sendiri oleh
debitur atau kreditur yang bersangkutan kecuali dalam hal permohonan diajukan
oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam dan Menteri Kuangan. Berdasarkan
Pasal 7 UUK-PKPU ayat (1) Permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 6, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161,
Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat.

Permohonan tersebut diatas harus diajukan oleh seorang advokat dalam hal:
Pasal 6 :mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan.
Pasal 10 :mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor;
atau
b. menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:
1) pengelolaan usaha Debitor; dan
2) pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor
yang dalam kepailitan merupakan wewenang Kurator.
Pasal 11 :Mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
Pasal 12 :Menyampaikan memori kasasi
Pasal 43 :Memintakan pembatalan kepada Pengadilan perihal hibah yang
dilakukan Debitur.
Pasal 56 :Mengajukan penangguhan terhadap Hak eksekusi kreditur dan hak
pihak ketiga.
Pasal 57 & 58 :Mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat
penangguhan atau mengubah syarat penangguhan, dan apabila kurator menolak
dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas.
Pasal 68 :Mengajukan permohonan banding ke pengadilan terhadap penetapan
Hakim Pengawas.
Pasal 161 :Mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan.
Pasal 171 :Mengajukan tuntutan pembatalan perdamaian.
Pasal 207 :Mengajukan pemohonan kepailitan harta peninggalan.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitur Perseroan Terbatas
Direksi dari suatu Perseroan Terbatas diberikan kewenangan oleh Undangundang untuk melakukan pengurusan terhadap perseroan baik di dalam maupun
diluar pengadilan. Namun Direksi tidak berwenang untuk mengajukan
permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum
memperoleh persetujuan dari RUPS sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal
104 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Permohonan Sita Jaminan
Pasal 10 ayat (1) UUK-PKPU memberikan ketentuan yang memungkinkan kreditur
atau Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, Menteri Keuangan pemohon
pernyataan pailit untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan debitur;
atau
b. Menunjuk Kurator sementara untuk:

(1) Mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan


(2) Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan
Kurator.
Berdasarkan penjelasan Pasal 10 UUK-PKPU, upaya pengamanan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini bersifat preventif dan sementara, dan
dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan bagi debitur melakukan tindakan
terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan kreditur dalam
rangka pelunasan utangnya. Permohonan ini baru dapat dilaksanakan jika
dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya
Dengan diundangkannya UU No. 37 Tahun 2004 yang mulai berlaku pada tanggal
18 Oktober 2004, peraturan-peraturan mengenai kepailitan yang terdahulu dan
sudah dirubah oleh UU ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pengadilan
Niaga berada di lingkungan peradilan umum oleh karena itu tidak ada jabatan
ketua pengadilan niaga, karena ketua pengadilan negeri yang bersangkutan juga
membawahkan pengadilan niaga.
Perkara-perkara kepailitan menurut UUK-PKPU ditentukan jangka waktu
pemeriksaannya di tingkat pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat
peninjauan kembali. Tidak ada upaya banding terhadap putusan pengadilan
niaga hal ini bertujuan agar perkara kepailitan akan berjalan lebih cepat
dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri. Putusan
perkara permohonan pernyataan pailit akan efektif oleh karena menurut
ketentuan UUK-PKPU putusan perkara permohonan pernyataan pailit tersebut
bersifat serta-merta. Artinya, kurator dapat menjual harta pailit meskipun
putusan pernyataan pailit tersebut masih diajukan upaya hukum.
Kewenangan Badan Arbitrase memeriksan Perkara Kepailitan
Berdasarkan Pasal 280 ayat (1) UUK-PKPU dengan tegas mengemukakan
Permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana
dimaksud di dalam Bab Pertama dan Bab Kedua Undang-undang ini diperiksa
dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan
Umum dan dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) itu dikemukakan Dengan
ketentuan ini, semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-undang tentang
kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang ini, hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. Maka tidak ada
kemungkinan untuk mengajukan pernohonan pernyataan pailit selain kepada
Pengadilan Niaga. Dengan demikian, badan arbitrase tidak berwenang
memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit.
Putusan Pailit Pengadilan Niaga
Undang-Undang Kepailitan bertujuan agar putusan pernyataan pailit dapat
diputuskan secepat mungkin dan dalam eksekusi juga dapat dilakukan
secpatnya. Sejalan dengan itu berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU bahwa
permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU ini telah terpenuhi.

Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh
waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang
didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi
dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU bahwa putusan pengadilan niaga
(putusan pengadilan tingkat pertama) diberi daya serta-merta atau uivoerbaar
bij voorraad. Sekalipin putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
tetap tetapi putusan itu telah seketika dapat dilaksanakan oleh curator meskipun
terhadap putusan terebut diajukan suatu upaya hukum.
Tugas, wewenang dan
pemberesan kepailitan

tanggung

jawab

Kurator

dalam

pengurusan

dan

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa pengangkatan


kurator adalah wewenang hakim Pengadilan Niaga. Pihak debitur, kreditur atau
pihak yang berwenang sebagai pemohon pernyataan pailit (Kejaksaan, Bank
Indonesia, Bapepam, Menteri Keuangan) hanya mempunyai hak untuk
mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan Niaga. Kurator yang
diangkat sebagaimana dimaksud diatas harus independen, tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang
menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
lebih dari 3 (tiga) perkara. Apabila pihak debitur, kreditur, atau pihak yang
berwenang tersebut tidak mengajukan usulan mengenai pengangkatan Kurator,
maka secara otomatis Balai Harta Peninggalan (BHP) diangkat sebagai kurator.
Tugas pokok kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU. Dalam
melaksanakan tugasnya kurator: (a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan
dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau
salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan
atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; (b) dapat melakukan pinjaman
dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Dalam
melaksanakan tugasnya Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dan
atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah
satu organ debitur, ketentuan ini didasarkan pada Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU.
Kurator dapat diberhentikan setiap waktu oleh pengadilan yang mengabulkan
usul penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator, dan
mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat curator tambahan atas: (1)
permohonan kurator sendiri; (2) permohonan kurator lainnya, jika ada; (3) usul
hakim pengawas; atau (4) permintaan debitur pailit. Demikian pula, pengadilan
harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas permohonan dan usul
kreditur konkuren berdasarkan putusan rapat kreditur yang diselenggarakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUK-PKPU.
Kurator dalam menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip fiduciarie duty yang
artinya tugas yang diembankan didasarkan oleh kepercayaan yang mengangkat
Kurator tersebut yaitu pengadilan. Oleh karena itu, Pasal 72 UUK-PKPU mengatur
bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit. Hal ini merupakan pemicu supaya kurator
mengerjakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan penuh kehati-hatian.

Dalam kaitannya dengan tanggung jawab kurator dalam melaksanakan


tugasnya, Pasal 74 UUK-PKPU mengharuskan kurator menyampaikan laporan
kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan
tugasnya setiap 3 bulan. Laporan dimaksud bersifat terbuka untuk umum,
sehingga secara cuma-cuma dapat dilihat oleh setiap orang.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Upaya yang dapat dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan
adalah dengan melakukan upaya yang disebut PKPU. Upaya tersebut hanya
dapat diajukan oleh debitur sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh
pengadilan, karena berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU permohonan PKPU
harus diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan
permohonan PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersamaan. Dalam PKPU
debitur masih dapat melakukan pengurusan dan kepemilikan atas harta
kekayaannya asalkan hal tersebut disetujui oleh pengurus sesuai dengan Pasal
240 ayat (1) UUK-PKPU.
Syarat bagi kreditur untuk dapat mengajukan PKPU, menurut Pasal 222 ayat (3)
apabila kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan
membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Berdasarkan isi
Pasal 222 ayat (2) dan (3) terdapat perbedaan mengenai syarat dapat
diajukannya PKPU oleh debitur dan oleh kreditur. Bagi debitur untuk dapat
mengajukan PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran
utang-utangnya, tetapi juga apabila debitur memperkirakan tidak dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika nantinya utang-utangn itu
jatuh waktu dan dapat ditagih. Sementara bagi kreditur menurut Pasal 222 ayat
(3) hanya dapat mengajukan permohonan PKPU apabila secara nyata debitur
tidak lagi membayar piutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat bagi debitur untuk dapat mengajukan PKPU ditentukan baik dalam Pasal
222 ayat (1) maupun dalam ayat (2). Sementara itu Pasal 222 ayat (3) mengatur
mengenai syarat bagi kreditur untuk dapat mengajukan PKPU.
PKPU Sementara
Sebelum pengadilan niaga memutuskan untuk mengadakan pemberian PKPU
tetap, baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan untuk diberikan putusan
PKPU sementara sesuai dengan Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UUK-PKPU.
Merupakan kepentingan semua pihak agar pengadilan niaga secepatnya
memberikan PKPU sementara agar segera terjadi keadaan diam (stay atau
standstill) sehingga kesepakatan yang dicapai antara debitur dan para
krediturnya tentang rencana perdamaian betul-betul efektif. Adapun batas waktu
bagi pengadilan niaga untuk mengabulkan PKPU Sementara yaitu tiga hari sejak
tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut. Dengan ketentuan Pasal 225
ayat (2) dan ayat (3) UUK-PKPU itu, berarti sepanjang debitur telah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 222 dan Pasal 224, pengadilan dengan
sendirinya harus memberikan PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan
memberikan keputusan mengenai PKPU tetap, yaitu setelah dilakukan
pemeriksaan sebagaimana mestinya.
Putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang (PKPU Sementara)
yang dimaksud, menurut Pasal 227 UUK-PKPU berlaku sejak tanggal putusan

penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut diucapkan dan berlangsung


sampai dengan tanggal sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1)
diselenggarakan. Dari ketentuan Pasal 230 UUK-PKPU dapat disimpulkan bahwa
jangka waktu PKPU Sementara berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1. Kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau
2. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah sampai, ternyata antara
debitur dan kreditur belum tercapai persetujuan rencana perdamaian.
Persetujuan Permohonan PKPU Tetap
Apabila PKPU tetap disetujui oleh para kreditur, maka penundaan yang
diputuskan oleh pengadilan niaga tidak boleh melebihi 270 hari terhitung sejak
putusan PKPU Sementara diucapkan. Menurut penjelasan Pasal 228 ayat (6) UUKPKPU, yang berhak untuk menentukan apakah kepada debitur akan diberikan
PKPU tetap adalah kreditur konkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang
menetapkannya berdasarkan persetujuan kreditur konkuren. Berdasarkan Pasal
229 ayat (2) UUK-PKPU menentukan apabila timbul perselisihan antara pengurus
dan para kreditur konkuren tentang hak suara kreditur, maka penyelesaian atas
perselisihan itu harus diputus oleh hakim pengawas. Sejalan dengan ini, Pasal
229 ayat (1) UUK-PKPU menegaskan bahwa pada hakikatnya PKPU tetap
diberikan oleh para kreditur dan bukan oleh pengadilan niaga. Dengan kata lain,
PKPU tetap diberikan berdasarkan kesepakatan antara debitur dan para
krediturnya mengenai rencana perdamaian yang diajukan oleh kreditur.
Pengadilan niaga hanya memberikan putusan pengesahan atau konfirmasi saja
atas kesepakatan antara debitur dan para kreditur konkuren tersebut. Menurut
tujuan Pasal 229 tersebut, tidak dibenarkan bagi pengadilan niaga untuk
mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan kehendak atau kesepakatan
debitur dan para krediturnya.
Kedudukan Kreditur Preferen dan Kreditur yang Diistimewakan
PKPU hanya berlaku bagi kreditur konkuren. Sebagaimana berdasarkan Pasal 244
mengatur mengenai kedudukan dari tagihan-tagihan kreditur yang dijamin
dengan hak jaminan (gadai,fidusia, hak tanggungan,hipotek) dan tagihantagihan yang diistimewakan. Menurut Pasal 244 ayat (1), dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 246 UUK-PKPU, PKPU tidak berlaku terhadap:
a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak
agunan atas kebendaan lainnya;
b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus
dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada
dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang
bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan; dan
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitur maupun
terhadap seluruh harta debitur yang tidak tercakup pada ayat (1) hurf b.
Alasan-alasan untuk Pengajuan Permohonan Pengakhiran PKPU
Berdasarkan Pasal 255 ayat (1) UUK-PKPU, permintaan hakim pengawas atau
kreditur untuk mengakhiri PKPU atau apabila pengadilan niaga yang
memprakarsai sendiri penghentian PKPU tersebut, hanya dapat dilakukan dalam
hal:

a. Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, bertindak


dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. Debitur telah merugikan atau telah mencoba merugikan krediturnya;
c. Debitur melakukan pelanggaran yaitu Selama penundaan kewajiban
pembayaran utang, Debitor tanpa persetujuan pengurus melakukan tindakan
kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya (Pasal 240
ayat (1))
d. Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya
oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran
utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan
oleh pengurus demi kepentingan harta debitur.
e. Selama waktu PKPU keadaan harta debitur ternyata tidak lagi memungkinkan
dilanjutkannya PKPU atau
f. Keadaan debitur tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya
terhadap kreditur pada waktunya.
Putusan PKPU Bersifat Final
Berdasarkan Pasal 235 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa terhadap putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum
apapun. Menurut Pasal 235 ayat (2) putusan sebagaimana dimaksud ayat (1)
tersebut harus diumumkan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
226.
Perdamaian
UUK-PKPU mengenal dua macam perdamaian. Pertama, ialah perdamaian yang
ditawarkan oleh debitor dalam rangka PKPU sebelum debitur dinyatakan pailit
oleh pengadilan niaga. Kedua, adalah perdamaian yang ditawarkan oleh debitur
kepada para krediturnya setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
Berdasarkan Pasal 265 UUK-PKPU debitur berhak pada waktu mengajukan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran uang atau setelah itu
menawarkan suatu perdamaian kepada kreditor, dengan mengajukan rencana
perdamaian sesuai Pasal 266 ayat (1).
Dari ketentuan Pasal 224 ayat (4), Pasal 265 dan Pasal 266 UUK-PKPU dapat
diketahui bahwa rencana perdamaian dalam rangla PKPU dapat diajukan pada
saat-saat sebagai berikut:
1. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU (Pasal 265)
2. Sesudah permohonan PKPU diajukan (Pasal 265), namun rencana itu harus
diajukan sebelum tanggal hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226
UUK-PKPU
3. Setelah tanggal hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dengan
tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat
(4) UUK-PKPU, yaitu selama berlangsungnya PKPU sementara itu, yang tidak
boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak PKPU sementara
ditetapkan termasuk masa perpanjangannya.

Berdasarkan Pasal 265, bersamaan dengan debitur mengajukan PKPU kepada


pengadilan niaga, debitur dapat menawarkan perdamaian kepada para
krediturnya. Perdamaian itu tidak mutlak harus ditawarkan bersamaan dengan
pengajuan permohonan PKPU, tetapi dapat diajukan sesudah permohonan PKPU
diajukan. Selain itu, menurut Pasal 266 ayat (1) apabila tidak diajukan oleh
debitur bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU sebagaimana
dimaksud Pasal 224 ayat (1) rencana perdamaian itu harus diajukan sebelum
tanggal hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) atau pada
tanggal setelah itu namun dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 228
ayat (6). Dengan kata lain, apabila rencana perdamaian tidak diajukan
bersamaan dengan pengajuan permohonan PKPU, maka rencana perdamaian itu
dapat diajukan dalam masa selama berlangsungnya PKPU sementara
sebagaimana ditetapkan oleh pengadilan niaga. Pengadilan niaga sebagaimana
ditetapkan oleh Pasal 228 ayat (6) tidak boleh memberikan PKPU sementara
lebih dari 270 hari setelah PKPU sementara diucapkan. Apabila jangka waktu
yang ditentukan oleh hakim kurang dari 270 hari, maka hakim dapat
memberikan perpanjangan namun perpanjangan tersebut tidak boleh melebihi
270 hari terhitung sejak PKPU sementara diucapkan.
Berdasarkan Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU, rencana dapat diterima apabila
disetujui oleh:
a. Persetujuan lebih dari (satu perdua) jumlah kreditur konkuren yang haknya
diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 268 termasuk kreditur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian
dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren
atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, dan
b. Persetujuan lebih dari (satu perdua) jumlah kreditur yang piutangnya
dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut atau kuasanya yang
hadir dalam rapat tersebut.
Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU, menentukan bahwa kreditur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian
diberikan kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai
actual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas
kebendaan. Penjelasan Pasal 281 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan nilai jaminan adalah nilai jaminan yang dapat dipilih diantara nilai
jaminan yang telah ditentukan dalam dokumen jaminan atau nilai objek jaminan
yang ditentukan oleh penilai yang ditunjuk oleh hakim pengawas.
Berlakunya Perdamaian yang Telah Disahkan
Perdamaian yang telah disahkan, menurut Pasal 162 UUK-PKPU berlaku bagi
semua kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, dengan tidak ada
pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak.
Bila perdamaian atau pengesahan perdamaian tersebut ditolak, menurut Pasal
163 UUK-PKPU debitur pailit tidak dapat lagi menawarkan perdamaian dalam
kepailitan tersebut. Dengan kata lain, perdamaian yang ditawarkan bersifat final.
Pasal 164 UUK-PKPU mentukan, putusan pengesahan perdamaian yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan alas hak yang dapat dijalankan
terhadap debitur dan semua orang yang menanggung pelaksanaan perdamaian

sehubungan dengan piutang yang telah diakui (guarantor), sejauh tidak dibantah
oleh debitur pailit sesuai dengan Pasal 132 sebagaimana ternuat dalam berita
acara rapat pencocokan piutang.
Restrukrurisasi Utang
Kesepakatan antara debitur dan para kreditur mengenai isi rencana perdamaian
dapat mengambil berbagai bentuk restrukturisasi utang yaitu sebagai berikut:
1. Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling); termasuk pemberian
masa tenggang (grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada
debitur.
2. Persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning).
3. Pengurangan jumlah utang pokok (haircut).
4. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan
biaya-biaya lain.
5. Penurunan tingkat suku bunga.
6. Pemberian utang baru.
7. Konvensi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau
disebut juga debt equity swap).
8. Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk
kegiatan usaha perusahaan debitur untuk melunasi utang.
9. Bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalil Umum yang digunakan untuk membuktikan tidak terbuktinya Permohonan
Paillit
Tidak ada utang
Utang belum jatuh tempo
Tidak ada kreditur lain
Mengajukan PKPU
Exceptio non adimpleti contractus; Karena pihak yang satu tidak melakukan
kewajiban, pihak lain mempunyai hak menghentikan kewajiban yang belun
dilaksanakan.
Berakhirnya Kepailitan
Pembatalan oleh Putusan Kasasi atau PK
Likuidasi
Penutupan/ Pencabutan: Hanya terdapat sedikit atau sama sekali tidak ada
asset.
Perdamaian

Anda mungkin juga menyukai