Anda di halaman 1dari 16

PEREKONOMIAN INDONESIA

SAP 8

KELOMPOK 7
PUTU INDRA PERDANA PUTRA

( 1406205081 )

A.A.G.A ERLANGGA K.

( 1406205116 )

I KADEK ADI PUTRA

( 1406205133 )

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2016
0

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industrialisasi adalah sistem produksi yang muncul dari pengembangan yang mantap
penelitian dan penggunaan pengetahuan ilmiah. Ia dilandasi oleh pembagian tenaga kerja dan
spesialisasi, menggunakan alat-alat bantu mekanik, kimiawi, mesin, dan organisasi serta
intelektual dalam produksi.
Industrialisasi dalam arti sempit menggambarkan penggunaan secara luas sumber-sumber
tenaga non-hayati, dalam rangka produksi barang atau jasa. Meskipun definisi ini terasa sangat
membatasi industrialisasi tidak hanya terdapat pada pabrik atau manufaktur, tapi juga bisa
meliputi pertanian karena pertanian tidak bisa lepas dari mekanisasi (pemakaian sumber tenaga
non-hayati) demikian pula halnya dengan transportasi dan komunikasi.
Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin
pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa Negara dengan penduduk sedikit & kekayaan alam
melimpah yang ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi.
Negara pertama yang melakukan industrialisasi adalah Inggris ketika terjadi revolusi
industri di abad ke 18 Pada akhir abad ke 20, Negara di Asia Timur telah menjadi bagian dunia
yang paling banyak melakukan industrialisasi.
Industrialisasi di Indonesia semakin menurun semenjak krisis ekonomi tahun 1998.
Kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki modal untuk melakukan investasi
pada industri dalam negeri, tetapi lebih kepada penyerapan barang hasil produksi industri dalam
negeri. Membuka pasar dalam negeri adalah kunci penting bagi industri Indonesia untuk bisa
bangkit lagi karena saat ini pasar Indonesia dikuasai oleh produk produk asing.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana tahap tahap Industrialisasi di Indonesia ?
1.2.2 Bagaimana strategi pembangunan sektor industri protektif dan mendorong ?
1.2.3 Bagaimana peran teknologi dan dampak industri terhadap pengangguran ?
1.2.4 Bagaimana kebijakan industrialisasi di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu :


1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana tahap tahap Industrialisasi di Indonesia
1.3.2 Untuk mengetahui strategi pembangunan sektor industri protektif dan mendorong
1.3.3 Untuk mengetahui peran teknologi dan dampak industri terhadap pengangguran
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana kebijakan industrialisasi di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Tahap Tahap Industrialisasi di Indonesia
Industrialisasi berawal dari proses revolusi industri pada pertengahan abad ke 18 di
Inggris dengan dengan ditemukannnya teknologi pemintalan dan penenunan kapas yang baru.
Kemudian, perkembangan indstri semakin pesat setelah ditemukannya mesin uap. Kemajuan
teknologi menyebabkan menurunnya biaya produksi dan komunikasi/ pemasaran. Perkembangan
tersebut telah mendorong perdagangan antar negara atau proses internasionalisasi produk barang
dan jasa serta pemasaran dan penyalurannya. Perubahan teknologi perancangan dan produksi
juga telah menyebabkan siklus produksi menjadi lebih pendek dan memungkinkan pembuatan
lebih banyak jenis produk.
Industrialisasi merupakan satu proses interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi,
spesialisasi, dan perdagangan antar negara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Dapat dikatakan bahwa
kemajuan teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang mengubah struktur ekonomi satu
negara dari sisi produksi (penawaran agregat), sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat
mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi
permintaan.
Tahap-tahap industrialisasi menurut UNIDO (Uniteed Nations Industrial Development
Organization) adalah melalui beberapa tahap seperti terlihat pada table berikut:
Tahapan

Kontribusi Nilai Tambah terhadap


PDB (%)
SK (%)
Nonindustrialisasi
< 10
<20
Menuju Proses Industrialisasi
10-20
20-40
Semi industrialisasi
20-30
40-60
Industrialisasi Penuh
>30
>60
SK = sektor komoditas terdiri atas pertanian, pertambangan, industri, bangunan, listrik, gas dan
air minum
Dalam literatur dikenal ada empat tahapan industrialisasi. Pertama, tahap awal meliputi
barang konsumsi sehari-hari; nilai tambah lebih rendah, teknologi sederhana. Kedua, tahap
madya merupakan manufacturing bahan bernilai tambah lebih tinggi daripada tahap awal.
Ketiga, tahap yang meliputi industri hulu, dasar, dan bernilai tambah tinggi dengan teknologi
mutakhir. Terakhir, tahap teknologi tinggi meliputi industri canggih berteknologi tinggi, seperti
3

mikro elektronik, bio genetik, laser, robot, serta telekomunikasi dan informatika.Sebagaimana
diutarakan di atas Indonesia boleh dikatakan sudah melalui semua tahapan industrialisasi dan
sekarang ini telah berada tahap industrialisasi dengan teknologi tinggi, meskipun tahapan
sebelumnya masih terlihat di lapangan.
2.2 Strategi Pembangunan Sektor Industri Protektif dan Mendorong
Industrialisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan salah satu jalur strategi yang dilalui oleh
hamper semua Negara guna mencapai pendapatan masyarakat per capital yang tinggi.
Kecendrungan utama yang terjadi di negara berkembang adalah upaya untuk mempercepat
pergeseran ke sector industry manufaktur melalui proteksi dan substitusi impor yeng disubsidi.
Strategi yan demikian ini disebut strategi industrialisasi yang protektif. Namun banyak juga
negara yang menggunakan strategi yang berbeda, yakni dengan mendorong industrinya untuk
berdiri dan berkembang. Strategi yang demikian ini disebut strategi yang mendorong.
Strategi yang protektif merupakan proses industrialisasi yang dijalankan melalui
kebijaksanaan proteksi yang berupa tarif dan non tarif untuk membatasi impor agar industri
dalam negeri yang bersaing dengan impor memperoleh perlindungan. Sebenarnya, banyak
cabang industri yang ada yakni yang masuk dan tidak masuk pada perdagangan internasional
(tradable dan non tradable goods). Yang termasuk dalam cakupan strategi yang protektif ini
hanyalah barang-barang tradable, dan ini pun tidak semuanya, melainkan dipilih satu atau dua
komoditas yang sangat penting dan banyak diperlukan di dalam negeri sehingga memerlukan
banyak devisa untuk mengimpornya. Komoditas tersebut diproduksi di dalam negeri sebagai
ganti dari pada mengimpornya dari luar negeri. Oleh karena itu strategi yang prorektif ini juga
disebut strategi substitusi impor.
Alasan untuk memilih stategi industrialisasi yang protektif ini, karena sangat diperlukan
masyarakat dan membutuhkan devisa yang besar untuk mengimpornya, adalah untuk
menciptakan kesempatan kerja. Dengan diberikan berbagai fasilitas pada perusahaan tertentu,
perusahaan tersebut berkembang keseluruh negeri, maka dalam jangka pendek akan tercipta
sekian banyak kesempatan kerja. Namun, banyak ahli ekonomi yang menganggap bahwa strategi
semacam ini mengandung banyak kelemahan, yakni:
1. Berbagai bentuk pengawasan dan proteksi tersebut menimbulkan ketidakwajaran
dalam rangsangan usaha di bidang industri dengan makin besarnya unsur
ketidakpastian, dorongan untuk mengejar keuntungan yang tidak wajar, dan

kecendrungan kea rah investasi yang berlebihan dan kelebihan kapasitas dalam
sektor yang diproduksi.
2. Sector yang dilindungi sering mendapatkan perlindungan yang berlebihan,
sedangkan sector lainnya meskipun termasuk pada produksi barang tradable apalagi
yang non traded tidak mendapatkan perlindungan yang sama atau sama sekali tidak
mendapatkannya. Dengan demikian tingkat proteksi akan sangat timpang antar
berbagai sector.
3. Dalam jangka panjang kebijaksanaan yang protektif menambah ketimpangan
pembagian pendapatan. Sector-sektor yang tidak mendapat proteksi seperti industriindistri ekspor dan industri-industri yang menghasilkan barang-barang yang tidak
masuk dalam perdagangan luar negeri (non traded goods) menanggung beban berupa
biaya produksi yang dipekerjakan di sector-sektor yang dilindungi mendapatkan
keutungan atas beban warga masyarakat lainnya, khususnya sector pertanian.
4. Meskipun dalam jangka pendek pengaruh kebijaksanaan proteksi tersebut terhadap
kesempatan kerja nampaknya positif, dalam jangka panjang kebijaksanaan tersebut
justru membuat masalah penciptaan kesempatan kerja yang lebih parah. Daya serap
tenaga kerja di sector-sektor yang tidak dilindungi berkurang dan kemampuan dari
sector yang dilindungi untuk menyerap tenaga kerja baru akan menjadi terbatas
terutama setelah tahap substitusi impor sudah berakhir.
5. Karena industri-industri yang dilindungi tidak menghadapi persaingan internasional
maka tingkat efisiensinya menjadi lebih rendah dari tingkat efisiensi yang seharusnya
dapat dicapai.
Pengaruh negatif dari strategi ini adalah adanya ketidakpastian usaha, pengejaran
keuntungan yang tidak wajar dan korupsi, adanya investasi yang berlebihan di beberapa sehingga
banyak kapasitas yang menganggur, dan tingkat proteksi yang tinggi dan timpang.
Sedangkan strategi yang mendorong menghendaki agar pemerintah memusatkan
perhatiannya pada tercipta dan terpeliharanya suatu sistem perekonomian yang stabil, bebas dari
hambatan-hambatan dan campur birokrasi, dan mendorong pertumbuhan industri. Strategi
industrialisasi yang bersifat mendorong ini menghendaki bahwa program-program pemerintah
diarahkan pada prasarana industri dalam bentuk keterampilan dan kelembagaan yang diperlukan
bagi pertumbuhan industri secara lebih merata agar seluruh sektor industri tumbuh dan
berkembang secara wajar.

2.3 Peran Teknologi dan Dampak Industri Terhadap Pengangguran


2.3.1 Konsep Dasar
Konsep dasar pemilihan teknologi yang sangat biasa dalam litelatur ekonomi memakai
model insentif harga, biasanya untuk harga modal dan harga tenaga kerja untuk mencapai biaya
minimum bagi satu perusahaan untuk memproduksi sejumlah barang dan jasa tertentu. Menurut
prinsip ekonomi, para pengusaha (produsen) diasumsikan menghadapai seperangkat harga
relative faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dan menggunakan kombinasi modal dan tenaga
kerja yang meminimumkan biaya dalam memproduksi jumlah output yang dikehendaki.
Produsen juga diilustrasikan mampu berproduksi dengan menggunakan berbagai macam
teknologi dalam proses produksinya, dari teknologi yang sangat padat karya hingga metodemetode yang sangat padat modal. Misalnya pada awal 1970an semua produsen beras di
Indonesia diilustrasikan mampu menghasilkan beras (yang diumpamakan homogen) dengan
teknologi menumbuk (hand pounding), menggunakan teknologi mesin penyosokan beras
sederhana, menggunakan mesin penyosokan beras yang lebih canggih sampai yang paling
canggih yang bersifat padat modal. Oleh karena itu apabila harga modal sangat mahal
dibandingkan harga tenaga kerja, maka proses produksi yang padat karya akan dipilih.
Sebaliknya, jika harga tenaga kerja lebih mahal, maka perusahaan memilih untuk menggunakan
metode produksi yang lebih bersifat pada modal. Perusahaan akan menghemat penggunanaan
faktor produksi yang lebih mahal, yang dalam hal terakhir ini adalah tenaga kerja.
Kajian akademis mengenai pemilihan teknik produksi seperti yang telah diutarakan di
atas disajikan pada Peraga 1. Diumpamakan bahwa perusahaan atau perekonomian tersebut
hanya mempunyai dua teknik produksi yang dapat dipilih: yakni teknik 0A, yang mensyaratkan
penggunaan input modal (yang homogen) yang relative lebih banyak dibandingkan dengan
tenaga kerja (yang diumpakan homogen); dan teknik 0B, yang lebih bersifat padat tenaga kerja.
Titik F dan G mencerminkan tingkat output per unit pada masing-masing proses dank arena itu
Q1FGQ1 yang menghubungkan Titik F dan G adalah isoquant input-output. Perhatikan bahwa
model yang digambarkan pada Peraga 1 adalah model insentif harga atau model neo klasik, yang
mengumpamakan adanya teknik produksi semacam itu dalam jumlah yang tidak terbatas
sehingga garis isokuan yang menghubungkan titik-titik dengan jumlah produksi yang sama
berbentuk kurva yang cembung biasa.

Menurut teori neo klasik ini, kombinasi modal tenaga kerja yang optimum (paling
murah) dengan teknik yang paling efisien (teknik produksi yang tepat) ditentukan oleh harga
relative faktor produksi. Kalau diumpamakan bahwa harga pasar dari modal dan dari tenaga
kerja mencerminkan kelangkaannya atau disebut juga sebagai harga bayangannya, dan bahwa
tingkat output yang dinginkan adalah Q1 pada Peraga 1 di atas. Jika harga modal relative lebih
murah dari pada harga tenaga kerja (garis harga KL) produksi akan berlangsung pada titik F dan
menggunakan teknik produksi 0A yang bersifat padat modal. Sebaliknya, jika harga pasar dari
tenaga kerja relative lebih murah dari pada harga modal (karena jumlahnya relative melimpah)
yang ditunjukan oleh KL, maka produksi optimal akan berlangsung pada titik G dengan teknik
produksi yang padat tenaga kerja, 0B. sehingga, teknik prokdusi mana pun yang sedang
digunakan sekarang, jika harga relative tenaga kerja turun, sementara hal yang lain tetap, maka
tenaga kerja langsung menggantikan modal dalam satu strategi produksi yang optimal.
2.3.2 Distorsi Harga Faktor dan Pengangguran
Secara teoritis semua pengusaha di setiap kegiatan ekonomi (demikian juga di Indonesia)
akan berusaha meminimalkan biaya perusahaannya dengan cara memberikan tanggapan rasional
terhadap struktur sinyal harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi dan hasil
produksinya. Kalau saja harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi menunjukkan
kelangkaan relative antar faktor, maka biaya produksi barang dan jasa yang dihasilkan pengusaha
akan menunjukkan nilai sesungguhnya dari pengorbanan faktor produksi yang digunakan untuk
menghasilkannya. Pengusaha akan meminimalkan biaya produksinya dengan cara memilik
teknik produksi yang paling efisien (teknik produksi yang tepat), yang ditentukan oleh harga
relative faktor produksi. Teknik produksi yang tepat ini adalah teknik produksi yang
menggunakan lebih banyak faktor produksi yang harganya relative lebih murah dengan
mengombinasikan lebih sedikit faktor produksi yang jarang (dan oleh karenanya harganya
mahal). Kalau semua harga-harga menunjukkan harga relative kelangkaannya, maka semua
faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang ada akan terserap seluruhnya dengan penggunaan
penuh (full employment) dan pendapatan dari pemilik faktor produksi mampu untuk menyerap
semua produksi barang dan jasa di pasar tanpa adanya tekanan inflasi.
Namun keadaan seperti yang digambarkan di atas tidak pernah terjadi dalam kenyataan.
Pemerintah setiap Negara mengenakan pajak baik terhadap barang akhir (konsumsi) maupun

terhadap bahan baku dan barang modal. Untuk Indonesia, hal yang demikian ini ditambah lagi
dengan pungutan-pungutan tidak sehingga dikatakan sebagai ekonomi biaya tinggi. Akibat dari
semuanya ini adalah bahwa harga-harga barang dan jasa di pasar tidak menunjukkan biaya
pengorbanan pemakaian faktor produksi untuk menghasilkan. Keadaan yang demikian ini
dikenal dengan adanya distorsi harga barang dan jasa. Distorsi harga juga terjadi pada pasar
faktor produksi. Dari dulu sampai sekarang kita sering mendengar bahwa pemerintah Indonesia
sangat membutuhkan pengusaha dan oleh karenanya memberikan berbagai fasilitas. Salah satu
fasilitas adalah adanya bunga modal yang lebih murah untuk investasi dibandingkan untuk tujuan
lain (konsumsi). Malah, kalau diperhitungkan tingkat inflasi yang terjadi, maka tingkat bunga
yang efektif mungkin negative (tingkat bunga modal lebih rendah dari tingkat inflasi).
Pemerintah juga memberikan kemudahan untuk memasukkan barang modal, seperti bebas bea
masuk ( atau bea memasukkan barang modal, seperti bebas bea masuk (atau bea masuk yang
rendah) untuk barang modal. Untuk menarik investor pemerintah juga sering memberikan bebas
pajak (tax holiday). Pada masa pemerintahan Orde Lama, pemerintah menentukan nilai rupiah
terlalu mahal dengan melaksanakan pengawasan terhadap harga devisa. Akibat dari semua
kebijaksanaan ini adalah bahwa harga modal tertekan turun, menjadi lebih murah dari
semestinya. Di lain pihak, pemerintah selalu menentukan upah minimum (regional/nasional),
yang mengakibatkan upah buruh lebih mahal dari seharusnya. Jadi harga untuk modal terlalu
murah dan harga tenaga kerja terlalu mahal di pasar, sehingga tanggapan rasional dari pengusaha
akan struktur harga pasar y ang berlaku adalah memilih teknik produksi yang padat modal
(teknik produksi 0A pada Peraga 1 di atas).
Jika dari kenyataan yang ada kita simpulkan bahwa Indonesia memiliki tenaga kerja yang
melimpah dan hanya memiliki modal financial atau modal fisik yang sangat terbatas, maka wajar
saja kalau kita berpikir bahwa teknik produksi yang akan digunakan bersifat padat karya. Hasil
neto dari distorsi harga faktor adalah adanya dorongan penggunaan teknik produksi padat modal
yang sangat mekanis yang tidak layak di sektor pertanian maupun sektor manufaktur. Traktortraktor besar dan mesin-mesin permanen mewarnai pemandangan pedesaan di Sumatera, Jawa,
Sulawesi dan pulau lainnya, sementara banyak orang tidak mempunyai kerja dan hanya
menonton produksi yang mekanis berlangsung. Pabrik-pabrik baru yang dihiasi dengan mesinmesin dan perlengkapan yang laing modern dan canggih merupakan ciri-ciri yang umum ditemui
pada industry-industri di perkotaan, dan semestara itu penganggur berkerumum di luar gedung

pabrik. Pemandangan banyaknya para pencari kerja(penganggur) di Indonesia bnukalah


disebabkan oleh kurangnya rasionalitas ekonomi dari para pengusaha. Kebijaksanaan pemerintah
yang dirancang untuk memberikan harga yang benar (menghilangkan distorsi harga faktor) akan
menghasilkan kesempatan kerja yang lebih luas dan juga penggunaan yang lebih baik atas modal
yang langka melalui pemilihan teknik produksi yang lebih tepat.
2.4 Kebijakan Industrialisasi di Indonesia
2.4.1 Kebijaksanaan Industrialisasi
Sumitro Djojohadikusumo mengatakan ada tiga konsep pemikiran tentang industrialisasi
yang dilaksanakan di Indonesia. Pertama, industrialisasi yang didasarkan pada keunggulan
komparatif. Kedua, industrialisasi yang didasarkan pada keterikatan antar sektor hulu hilir.
Ketiga, industrialisasi yang didasarkan pada wahana transformasis berteknologi tinggi, seperti
mikro elektronik, teknologi computer, laser, robot, telekomunikasi dan informatika. Dewasa ini
Indonesia telah memasuki industrialisasi dengan teknologi tinggi, meskipun banyak cabang
industri yang berkembang atas dasar keunggulan komparatif terhadap luar negeri atau terhadap
daerah lainnya di Indonesia (industrialisasi tahap pertama), dan cabang industri yang
berkembang berdasarkan atas hasil-hasil pertanian (industrialisasi tahap kedua). Ketiga konsep
pemikiran ini dapat dipadukan untuk meningkatkan daya saing ekspor komoditas manufaktur di
luar negeri.
2.4.2 Perkembangan Kebijakan Industrialisasi
Pada seksi ini pembicaraan difokuskan pada strategi industrialisasi yang pernah
dijalankan di Indoensia, apakah yang bersifat protektif atau yang bersifat mendorong. Untuk
kepentingan analisis kebijaksanaan industrialisasi dibedakan ke dalam dua periode, yakni
periode sebelum Pelita I dan periode sesudahnya sampai sekarang.
Kebijaksanaan industrialisasi sebelum Pelita I. Periode ini meliputi zaman penjajahan
Belanda,

di

mana

perekonomiannya

mengikuti

sistem

di

Negara

induknya,

Belanda;perekonomiannya bergerak dengan campur tangan pemerintah yang sangat minimum.


Demikian juga sektor industrinya, tanpa ada campur tangan pemerintah yang berarti, sehingga
strategi pengembangan sektor industrinya, kalau dapat dikatakan sebagai strategi, lebih
cenderung kearah mendorong bukan yang bersifat protektif.

Periode berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah zaman pemerintahan Sukarno
sampai sekitar tahun 1960, pada waktu mana perekonomian masih mewarisi sistem sbeleumnya
dengan campur tangan pemerintah yang minimum. Strategi pengembangan industrinya pun tidak
jelas. Sisa waktu dalam pemerintahan Sukarno, yakni setelah 1960, diwarnai oleh situasi politik
yang sangat tidak mendukung kemajuan perekonomian. Walaupun secara resmi perekonomian
Indonesia pada periode tersebut mengikuti sistem sosialis, namum situasi politik pada waktu itu
memaksa perekonomian tidak berkembang secara sehat dan, sudah tentu juga sektor industrinya.
Ada beberapa kebijaksanaan pemerintah yang memberikan indikasi bahwa kebijaksanaan
tersebut untuk tujuan memajukan industri. Kebijaksanaan dimaksud antara lain:
1. Kebijaksanaan mendorong ekspor hasil pertanian untuk meningkatkan penerimaan devisa.
Jumlah devisa yang lebih banyak memungkinkan perkembangan industri melalui impor
bahan baku dan mesin dari luar negeri.
2. Kebijaksanaan pengawasan devisa oleh pemerintah (exchange control) dengan kurs yang
rendah. Harga devisa yang rendah ini bisa mendorong investor luar negeri untuk
mengembangkan industry di Indonesia.
3. Kebijaksanaan Alokasi Devisa Otomatis (ADO) untuk eksportir dan untuk pemerintah daerah
bisa diartikan agar para importer dan daerah menggunakannya untuk membeli bahan baku
dan mesin untuk memajukan industri dalam negeri.
Namun kesemua kebijaksanaan ini lebih bersifat untuk kepentingan perekonomian secara
keseluruhan dibandingkan untuk pengemangan industri. Jadi dalam periode sebelum Pelita I,
pemerintah boleh dikatakan tidak mempunyai kebijaksanaan khusus untuk pengembangan
industri.
Kebijaksanaan industrialisasi setelah Pelita I. Periode ini meliputi zaman pemerintahan
Suharto, Habibie, sampai sekarang. Pemerintahan Suharto mementingkan perkembangan
ekonomi dan memulainya dengan liberalisasi ekonomi, mengizinkan penanaman modal saing
dan mengundangkan peraturan penanaman modal dalam negeri. Pada buku Repelita I tercantum
bahwa pembangunan industri mengutamakan hal-hal berikut:
1. Industri-industri yang menunjang sektor pertanian dengan memproduksi sarana-sarana
pertanian atau mengolah hasil-hasil pertanian;
2. Industri-industri yang menghasilkan devisa atau menghemat devisa dengan jalan
menghasilkan barang-barang pengganti impor;

10

3. Industri-industri yang mengolah lebih banyak bahan-bahan dalam negeri;


4. Industri-industri yang menggunakan relative lebih banyak tenaga kerja deari pada modal; dan
5. Industri-industri yang membangkitkan kegiatan pembangunan daerah.
Dari ke lima butir ini kiranya dapat dikatakan tidak ada satu cabang industri pun yang
tidak termasuk di dalamnya. Dengan kata lain, pemerintah saat itu mementingkan perkembangan
seluruh sektor industri, yang berarti strategi yang ditempuhnya adalah strategi mendorong, bukan
strategi protektif.
Namun kenyataan menunjukan bahwa industri otomotif dan industri tekstil mendapat
perlindungan yang lebih besar dari sektor industri pada umumnya. Demikian juga halnya dengan
industri penyosokan beras (harap dibedakan antara produksi padi yang termasuk pada sekotr
pertanian dan penyosokan beras termasuk pada sektor industri). Misalnya saja bea masuk yang
tinggi untuk tekstil dan otomotif, dilarang mengimpor mobil dalam bentuk BU (built up),
melainkan harus daam bentuk CKD (completely knocked down). Dari kebijaksanaan pemerintah
dalam ketiga komoditas ini tampaknya pemerintah menjalankan strategi industrialisasi yang
protektif. Jadi tidak jelas apakah pemerintah menjalankan strategi protektif atau yang mendorong
pada zaman pemerintahan Suharto, yang kemudian diakhiri dengan adanya krisis ekonomi pada
tahun 1998.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia ini agak berkepanjangan, barangkali karena
bersamaan dengan pergantian pemerintahan yang menghendaku reformasi di segala bidang
(politik,ekonomi dan budaya). Di antara reformasi tersebut adalah reformasi menuju
pemerintahan yang bersih (bebas dari korupsi,kolusi dan nepotisme), dan kemudian diikuti oleh
pendelegasian banyak wewenang pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah (otonomi
daerah). Pada otonomi daerah, kekuasaan mengurus ekonomi daerah, termasuk mengatur
perkembangan industri berada di pemerintah daerah, bukan lagi pada pemerintah pusat seperti
pada pemerintahan sebelumnya. Sementara masa reformasi itu perhatian pemerintah terhadap
perkembangan industri juga agak terbengkalai, kecuali perhatiannya terhadap pendidikan dan
pelatihan yang pada akhirnya membantu perkembangan industri. Pendidikan diarahkan
sedemikian rupa sehingga terkait dengan kebutuhan perkembangan industri, yang dikenal dengan
program Link and Match. Perguruan tinggi ditambah lagi dengan politeknik yang baru didirikan
di banyak tempat harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri. Juga didirikan sekolah
11

tinggi untuk kepetingan industri seperti misalnya pusat pelatihan perhotelan dan perjalanan.
Balai latihan untuk berbagai keterampilan ditempatkan di semua kantor tenaga kerja. Kesemua
balai pendidikan dan pelatihan yang dijalankan pemerintah ini sangat diperlukan untuk
mendorong industri tumbuh dan berkembang.
Akhirnya pada pemerintahan SBY, pemerintah memberikan lebih banyak perhatian
terhadap sektor industri dengan menetapkan pedoman dalam pengembangan industri nasional
dan sebagai dasar pemberian fasilitas pemerintah dengan Peraturan Presiden nomor 28 tahun
2008. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa akan disusun peta panduan (Road Map)
pengembangan klaster industri prioritas yang mencakup basis industri manufaktur, industri
berbasis agro, industri alat angkut, industri elektronika dan telematika, industri penunjang,
industri kreatif dan industri kreatif tertentu, serta industri industri kecil dan menengah tertentu
untuk dalam jangka panjang (tahun 2025) dicapai sektor industri yang tangguh, kelas dunia dan
sebagai motor penggerak perekonomian. Pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa insentif
fiscal, insentif non-fiskal, dan kemudahan lainnya yang akan ditinjau tiap dua tahun sekali.
Fasilitas akan diberikan atas permintaan dari:
a) Industri prioritas tinggi, baik industri prioritas nasional maupun industri prioritas berdasarkan
kompetensi inti industri daerah;
b) Industri pionir;
c) Industri yang dibangun di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau daerah lain yang
d)
e)
f)
g)
h)
i)

dianggap perlu;
Industri yang melakukan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
Industri yang melakukan pembangunan infrastruktur;
Industri yang melakukan alih teknologi;
Industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup;
Industri yang melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi;
Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di

dalam negeri; atau


j) Industri yang menyerap banyak tenaga kerja.
Dari rumusan bahwa pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa fiscal, non fiscal dan
fasilitas lainnya kepada berbagai jenis industri yang disebutkan di atas, dan telah tersedianya
berbagai fasilitas pendidikan dan pelatihan industri, maka dapat disimpulkan bahwa strategi yang

12

dipakai pemerintah pada periode setelah Pelita I ini adalah strategi mendorong, bukan strategi
protektif.

BAB III
KESIMPULAN
Industrialisasi merupakan satu proses interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi,
spesialisasi, dan perdagangan antar negara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Dapat dikatakan bahwa
kemajuan teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang mengubah struktur ekonomi satu
negara dari sisi produksi (penawaran agregat), sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat
mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi
permintaan. Dalam literatur dikenal ada empat tahapan industrialisasi. Pertama, tahap awal
meliputi barang konsumsi sehari-hari; nilai tambah lebih rendah, teknologi sederhana. Kedua,
tahap madya merupakan manufacturing bahan bernilai tambah lebih tinggi daripada tahap awal.
Ketiga, tahap yang meliputi industri hulu, dasar, dan bernilai tambah tinggi dengan teknologi
mutakhir. Terakhir, tahap teknologi tinggi meliputi industri canggih berteknologi tinggi.
Strategi yang protektif merupakan proses industrialisasi yang dijalankan melalui
kebijaksanaan proteksi yang berupa tarif dan non tarif untuk membatasi impor agar industri
dalam negeri yang bersaing dengan impor memperoleh perlindungan. Sedangkan strategi yang
mendorong menghendaki agar pemerintah memusatkan perhatiannya pada tercipta dan

13

terpeliharanya suatu sistem perekonomian yang stabil, bebas dari hambatan-hambatan dan
campur birokrasi, dan mendorong pertumbuhan industri.
Indonesia memiliki tenaga kerja yang melimpah dan hanya memiliki modal financial atau
modal fisik yang sangat terbatas, maka wajar saja kalau kita berpikir bahwa teknik produksi yang
akan digunakan bersifat padat karya. Hasil neto dari distorsi harga faktor adalah adanya
dorongan penggunaan teknik produksi padat modal yang sangat mekanis yang tidak layak di
sektor pertanian maupun sektor manufaktur.
Sumitro Djojohadikusumo mengatakan ada tiga konsep pemikiran tentang industrialisasi
yang dilaksanakan di Indonesia. Pertama, industrialisasi yang didasarkan pada keunggulan
komparatif. Kedua, industrialisasi yang didasarkan pada keterikatan antar sektor hulu hilir.
Ketiga, industrialisasi yang didasarkan pada wahana transformasis berteknologi tinggi, seperti
mikro elektronik, teknologi computer, laser, robot, telekomunikasi dan informatika. Dewasa ini
Indonesia telah memasuki industrialisasi dengan teknologi tinggi, meskipun banyak cabang
industri yang berkembang atas dasar keunggulan komparatif terhadap luar negeri atau terhadap
daerah lainnya di Indonesia (industrialisasi tahap pertama), dan cabang industri yang
berkembang berdasarkan atas hasil-hasil pertanian (industrialisasi tahap kedua). Ketiga konsep
pemikiran ini dapat dipadukan untuk meningkatkan daya saing ekspor komoditas manufaktur di
luar negeri.

14

DAFTAR PUSTAKA
Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press

15

Anda mungkin juga menyukai