Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Pemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan
1. Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan
Sebelum orang mengenal hukuman penjara pidana pembalasan yang
berbentuk hukuman badan secara langsung banyak diterapkan dalam memidana
(menghukum) orang hukuman. Hukuman tersebut antara lain berbentuk
memusnahkan, merusak alat-alat tubuh, merusak jiwa di samping hukuman mati
cara seperti itu berlangsung abad pertengahan. Kepribadian pelaku tidak menjadi
perhatian yang penting perbuatan jahat saja. Tahun 1800 sampai tahun 1870,
perkembangan kepenjaraan ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan yang
menginginkan adanya perbedaan perlakuan anatara penjahat yang berusia muda
dan berusia tua. Gerakan pembaruan yang dimaksudkan ternyata telah berhasil
menciptakan suatu lembaga baru berupa reformatory yang merupakan
pelaksanaan bagi mereka yang berusia 16-30 tahun.1
Munculnya lembaga ini merupakan usaha praktisi untuk meningkatkan
perlakuan terhadap orang hukuman, tetapi usaha tersebut terbatas pada perubahan
bentuk bangunan dan penempatannya. Hal ini disebabkan belum adanya konsep
yang jelas dan terarah tentang tujuan sebenarnya daripada perlakuan terhadap
orang hukuman. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, perkembangan sistem
kepenjaraan pada sekitar tahun 1800 dapat dikatakan merupakan perkembangan
yang masih berada dalam masa peralihan, yakni sistem kepenjaraan lama yang
mentikberatkan kepada tujuan hukuman sebagai pembalasan dendam dan
1 Romli Atmasasmita, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Bandung: Amico,
1987, hlm. 2.

23

membuat jera si pelaku ke arah sistem kepenjaraan baru, yang lebih


menitikberatkan kepada tujuan hukuman untuk memperbaiki diri orang hukuman
guna masa depannya.2
Di Indonesia sendiri sistem kepenjaraan dengan perlakuan yang tidak
mansiawi, dipandang tidak sesuai dengan martabat Indonesia yang mempunyai
falsafah Pancasila. Menyadari hal di atas, maka bangsa Indonesia mulai
memikirkan tentang perlakuan terhadap narapidana sesuai dengan martabat
bangsa

Indonesia.

Pada

tahun

1963,

Sahardjo

mencetuskan

Konsep

Pemasyarakatan sebagai konsep perlakuan terhadapterpidana di Indonesi yang


berdasarkan pandangan hidup bangsa dan negara Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk melaksanakan Konsepsi Pemasyarakatan tersebut, maka pada
tanggal 27 April sampai dengan tanggal 7 Mei 1964, diadakan Konerensi Dinas
Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung.
Dalam Konferensi tersebut diambil suatu keputusan yaitu:
Sistem Pemasyarakatan yaitu merupakan pelaksanaan perlakuan terhadap orang
terpidana di Indonesiaberdasarkan konsepsi pemasyarakatan
Menurut sistem pemasyarakatan narapidan di pandang sebagai Makhluk
Tuhan, individu, dan anggota masyarakat sekaligus. Maka dari itu selama
pembinaan

narapidana,

diusahakan

adanya

keselarasan,

keserasian

dan

keseimbangan hidup lahiriah dan batiniah. Sistem pemasyarakatan yang


dicanangkan pada tanggal 27 April 1964 tersebut masih mekai Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Peraturan Penjara Stb. 1917 No 708 dan Peraturan Paksa
Stb. 1917 No741 dengan beberapa perubahan-perubahan tentang Keputusan
2 Ibid, hlm. 4.

24

Menteri Kehakiman. Pada Konferensi tersebut dirumuskan 10 pokok prinsip dari


Pemasyarakatan, yaitu sebagai berikut:3
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh Negara, ini berarti bahwa
tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik, baik yang
berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan maupun penempatan. Satusatunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak didik hendaknya
hanyalah dihilangkan kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat
bebas;
3. Berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan
kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, dan
sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa
hidup kemasyarakatan;
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari
sebelum dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampurbaurkan narapidana dan
anak didik, yang melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan, dan
sebagainya;
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik
harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyrakat. Antara
lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan
ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas,
dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan
keluarga;
3 Djisman Samosir, Hukum Penologi dan Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa Aulia,
2012, hlm. 130.

25

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersiat
sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan jabatan atau kepentinganNegara pada waktu-waktu tertentu saja
pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat di
masyarakat, dan yang menunjang pembangunan, umpamanya menunjang usaha
meningkatkan produksi pangan;
7. Bimbingan dan pendidikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti bahwa kepada mereka
harus ditanamkan jiwa kegotong-royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan,
disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah
agar memperoleh kekutana spiritual;
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang tersesat adalah manusia, dan
mereka harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya
sebagai manusia harus dihormati;
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai
satu-satunya derita yang dapat dialaminya;
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi
rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.
Dari kesepuluh prinsip pokok pemasyarakatan dapat disimpulkan bahwa
hak asasi narapidana tersebut haruslah diperhatikan selama menjalani masa
pidananya, sehingga tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata menjatuhkan
pidana, melainkan harus dibina kearah yang lebih baik dan benar.
Dalam sistem baru pembinaan narapidana ini, banguanan pemasyarakatan
mendapat prioritas khusus. Bentuk bangunan yang semula masih menunjukan
siat-sifat asli penjara, sekaligus pandangan yang menyeramkan mengenai penjara
dicoba untuk dinetralisir. Peran Lembaga Pemasyrakatan memudahakan

26

pengintegrasian dan penyesuaian diri dengan masyarakat yang bertujuan agar


mereka dapat merasakan bahwa sebagai manusia pribadi warga negara Indonesia
yang mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara seperti pribadi
dari warga Indonesia lainnya serta mereka mampu menciptakan opini dan citra
yang baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan
semakin mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya Undang-Undang Pemasyarakatan ini
maka makin kokoh usah-usaha untuk mewujudkan tujuan Sistem Pemasyarakatan.
Upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam
penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana terus diadakan dan
ditingkatkan sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa kita,
akan tetapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan
kemerdekaanya terutama setelah perang dunia ke-2.4
2. Tujuan dan Fungsi Sistem Pemasyarakatan
a. Pengertian Sistem Pemasyarakatan
Pengertian sistem pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 butir 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 yang berbunyi:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh
4 http://polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-pemasyarakatan. Diakses
pada 24 Mei 2015, pukul 14.00 WIB.

27

lingkungan masyarakat, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan


dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggun jawab

b. Tujuan Sistem Pemasyarakatan


Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995, tujuan sistem pemasyarakatan adalah:
Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab
Yang dimaksud dengan agar menjadi manusia seutuhnya adalah upaya
untuk memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada fitrahnya
dalam hubungan manusia dengan Tuhannya manusia dengan pribadinya, manusia
dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya (Penjelasan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Salah satu hal yang merusak sistem pemasyarakatan adalah adanya
penjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis, penjahat ini biasanya
mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman.
c. Fungsi Sistem Pemasyarakatan
Berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan fungsi dari sistem pemasyarakatan adalah:
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas
dan bertanggung jawab
Yang dimaksud dengan berintegrasi secara sehat adalah pemulihan
kesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.
28

3. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan


a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Kata lembaga pemasyarakatan pertama kali muncul tahun 1963 dan kata
tersebut dimaksudkan untuk menggantikan kata penjara yang berfungsi sebagai
wadah pembinaan narapidana.
Istilah pemasyarakatan tidak bisa dipisahkan dari seorang ahli hukum
bernama Suhardjo karena istilah tersebut dikemukakan oleh beliau pada saat
beliau berpidato ketika menerima gelar Dotor Honoris Causa dari Universitas
Indonesia 5 Juli 1963. Dalam pidatonya beliau antara lain mengatakan: tujuan
pidana penjara adalah pemasyarakatan. Pada waktu itu peraturan yang dijadikan
dasar untuk pembinaan narapidana dan anak didik adalah Gestichten Reglement
(Reglemen Kepenjaraan) STB 1917 Nomor 708 dan kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.5
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
cara peradilan pidana adalah bagian interagsi dari tata peradilan terpadu
(integrated criminal justice system). Dengan demikian, pemasyarakatan baik
ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu proses penegakan hukum.
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap pelanggar
hukumdan sebagai suatu keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi
sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara warga binaan pemasyarakatan
dengan masyarakat.

5 Djisman Samosir, Ibid, hlm. 128.

29

Menurut Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang


Pemasyarakatan, pengertian pemasyarakatan adalah:
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam
tata cara peradilan pidana.
Sedangkan pengertian Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut
LAPAS pada Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah:
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah


Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni lembaga Pemasyarakatan bisa
narapidana atau Warga Binaan Pemayrakatan, bisa juga yang statusnya masih
tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan
belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang
menangani pembinaan narapidana dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan
disebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu dikenal dengan istilah sipir
penjara.
b. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan
Pada dasarnya yang menjadi tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan adalah
untuk menciptakan narapidana yang dapat diterima oleh masyarakat nantinya
ketika mereka kembali ke lingkungan masyarakat. Selain itu juga untuk
memberikan suatu pengarahan untuk perwujudan bagian dari masyarakat yang

30

memiliki

keterampilan

untuk

bekerja.

Lebih

lanjut

adanya

Lembaga

Pemasyarakatan memiliki tujuan sebagai berikut:6


1) Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggng jawab.
2) Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di
Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara dalam
rangka memperlancr proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan.
3) Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan atau para pihak
berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita
untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan
dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan.
Tujuan utama dari Lembaga Pemasyarakatan adalah

melakukan

pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan


dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam sistem
peradilan pidana. Didalam Lembaga Pemasyarakatan dipersiapkan berbagai
program pembinaan bagi para narapidana sesuai dengan tingkat pendidikan jenis
kelamin, agama, dan jenis tindak pidana yang dilakukan narapidana tersebut.
Program pembinaan bagi para narapidana disesuaikan pula dengan lama hukuman
6 Http://lpkedungpane.wordpress.com/profil/tujuan-sasaran. Diakses pada tanggal 24
Mai 2015, pukul 16.00 WIB.

31

yang akan dijalani para narapidana dan anak didik, agar mencapai sasaran yang
ditetapkan, yaitu agar merekamenjadi warga yang baik dikemudian hari.
Program-program pembinaan narapidana dan anak didik yang ditetapkan
pemerintah sesuai dengan Undang-Undang bertujuan agar para narapidana dan
anak didik kembali ke masyarakat dan dapat berpartisipasi dalam membangun
bangsa.7
c. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan
Adapun fungsi Pemasyarakatan menurut Keputusan Menteri Nomor:
M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Pasal 2 seperti:
1) Melakukan pembinaan narapidana / anak didik
2) Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola
hasil kerja
3) Melakukan bimbingan sosial atau kerohanian narapidana atau anak
didik
4) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib LAPAS
5) Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga
B. Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
1. Pengertian dan Tujuan Pembinaan dalam Sistem Pemasyrakatan
Pengertian pembinaan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1 butir 1
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbing
Warga Binaan Pemasyarakatan adalah:
Pembinaan adalah kegitan untuk meningkatkan kulitas ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, provesional
kesehatan, jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan
Mengenai pembinaan tersebut, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa pembinaan para Warga
Binaan Pemasyarakatan harus dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
7 Djisman Samosir, Ibid. hlm.128.

32

e. penghormatan harkat dan maratabat manusia;


f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. terjaminan hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.
Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 199 tentang
Pemasyarakatan, dijelaskan mengenai asa-asas pembinaan pemasyarakatan
tersebut yakni:
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyrakat dari
kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasrakatan,
juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasayarakatan
agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan persamaan peerlakuan dan pelayanan adalah
pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan tanpa mebeda-bedakan orang.
Huruf c dan d
Yang dimaksud dengan pendidikan dan pembimbingan adalah bahwa
penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan
Pancasila antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan,
pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

Huruf e
Yang dimaksud dengan penghormatan harkat dan martabat manusia
adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan
harus tetap di perlakukan sebagai manusia.
Huruf f

33

Yang dimaksud dengan kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya


penderitaan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam
LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan
penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Waraga Binaan
Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya
manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak
memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur,
latihan, keterampilan, olah raga, atau rekreasi).
Huruf g
Yang dimaksud dengan terjaminnya hak untuktetap berhubungan dengan
kelurga dan orang-orang tertentu adalah bahwa walaupunWarga Binaan
Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dengan
masyarakat, dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain
berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke
dalam LAPAS dari anggota masyrakat yang bebas, dan kesempatan
berkumpul

bersama

sahabat

dan keluarga

seperti

program cuti

mengunjungi keluarga.
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.
02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Nrapidana atau Tahanan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia, dalam Bab II angka 7 menyebutkan:
pembinaan narapidana dan anak didik ialah semua usaha yang ditunjukan
untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para
narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan
atau Rutan (intramural treatment)
Dalam pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan itu
merupakan suatu proses perbaikan terhadap diri narapidana dan anak didik

34

pemasyarakatan, baik itu dari segi rohani, intelektualitas, sikap perilaku mereka
disertai dengan adanya keterampilan yang diberikan sebagai bekal yang dapat
digunakan setelah mereka bebas kelak.
Bertolak dari pandangan Sahardjo tentang hukum sebagai pengayoman,
hal ini membuka jalan bagi perlakuan terhadap narapidana dan anak pidana
dengan pemasyarakatan sebagai tujuan pidana. Konsep pemasyarakatan itu
kemudian

disempurnakan

oleh

Keputusan

Konferensi

Dinas

Direktorat

Pemasyarakatan di Lembang, Jawa Barat, tanggal 27 April 1964, yang


memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan
sistem

pemasyarakatan,

dengan

mengganti

istilah

penjara

menjadi

Pemasyarakatan tentu terkandung maksud baik, yaitu bahwa pembinaan


narapidana berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan
disesuaikan dengan kondisi narapidana itu.

2. Bentuk-Bentuk Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan


Adapun model pembinaan bagi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan
tidak terlepas dari sebuah dinamika, ang bertujuan untuk lebih banyak
memberikan bekal bagi warga binaan dalam menyonsong kehidupan setelah
selesai menjalani hukuman. Pembinaan warga binaan mempunyai beberapa
komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Disamping itu
pembinaan warga binaan yang ada dan dilaksanakan dalam suatu Lembaga
Pemasyarakatan memiliki beberapa bentuk yang

dalam pelaksanaannya

disesuaikan dengan kebutuhan, minat atau bakat dan kondisi dari setiap warga
binaan yang akan melaksanakan pembinaan tersebut.

35

Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dilaksanakan dengan


dua cara yaitu; secara intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstramural (di
luar LAPAS).8
a. Secara intramural (di dalam LAPAS)
Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan jadwal-jadwal
kegiatan yang dilakukan dari pagi hingga sore harinya setiap hari. Salah satu
kegitan yang dinilai penting dan manfaatnya besar sekali adalah program
pelatihan, baik kepada petugas pemasyarakatan maupun narapidana. Sebagai
seorang petugas mengikuti program pelatihan merupakan keharusan karena
mereka langsung berhadapan dengan narapidana. Dengan kata lain terampilnya
narapidana dalam bidang pekerjaan tertentu sangat tergantung kepada
keterampilan petugas, oleh karena itu menurut pengakuan petugas, mereka
membutuhkan pelatihan seperti pertukangan, memainkan alat musik, dan
senam untuk kesehatan.
b. Secara ekstramural (di luar LAPAS)
Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan oleh LAPAS disebut asimilasi,
yaitu proses pembinaan narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu
dengan membaurkannya ke dalam kehidupan masyarakat. Bagi narapidana
interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Sedangkan pembinaan
secara ekstramural oleh BAPAS disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan
warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk
hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan
pengawasan BAPAS.
8 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, hlm.108.

36

Penjelasan Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang


Lembaga Pemasyarakatan menjelaskan bahwa kerja sama yang dilakukan dalam
rangka meningkatkan kemampuan warga binaan pemasyarakatan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bakat dan keterampilan;


Kesadaran beragama;
Kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bermasyarakat;
Kesadaran hukum;
Kemampuan meningkatkan ilmu dan pengetahuan;
Keinteraksi diri dengan masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M. 02.PK.04.10

Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana / Tahanan, ruang lingkup


pembinaan dapat dibagi dalam dua bidang, yakni:

1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi


a. Pembinaan kesadaran beragama
Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama memberi
pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibatakibat dari perbuatan-perbuatan yan benar dan perbuatan-perbuatan yang
salah.
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
Usaha ini dilaksanakan melalui P.4, termasuk menyadarkan mereka agar
dapat menjadi warga negara yang baik yang dapat berbakti bagi bangsa dan
negaranya. Perlu disadarkan bahwa berbakti untuk bangsa dan negara adalah
sebagian dari iman (taqwa).
c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berfikir warga
binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang
kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan.

37

Pembinaan

intelektual

(kecerdasan)

dapat

dilakukan

baik

melalui

pendidikan formal maupun melalui pendidikan non-formal.


Pendidikan formal, diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan
semua warga binaan pemasyarakatan.
Pendidikan non-formal, diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan melalui kursus-kursus, latihan keterampilan dan sebagainya.
Betuk pendidikan non-formal yang paling mudah dan yang paling murah
ialah kegitan-kegitan ceramah umum dan membuka kesempatan seluasluasnya untuk memperoleh informasi dari luar, misalnya membaca
koran/majalah, menonton TV, mendengar radio dan sebagainya. Untuk
mengejar ketinggalan dibidang pendidikan baik formal maupun non-formal
agar diupayakan cara belajar melalui program Kejar Paket A dan Kejar
Usaha
d. Pembinaan Kesadaran Hukum
Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan
dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai
kadar kesadaran huum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat,
mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan
hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap
warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum
bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga Sadar Hukum
(KADARKUM) yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan
maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat. Penyuluhan

38

hukum diselenggarakan secara langsung yakni penyuluh berhadapan


langsung dengan sasaran yang disuluh dalam TEMU SADAR HUKUM dan
SAMBUNG RASA, sehingga dapat bertatap muka langsung, misalnya
melalui ceramah, diskusi, sarasehan, temuwicara, peragaan dan simulasi
hukum. Metoda pendekatan yang diutamakan ialah metoda persuasif,
edukatif, komunikatif, dan akomodatif (PEKA).
e. Pembinaan mengintegerasikan diri dengan masyarakat.
Pembinaan di bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial
kemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah
diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Untuk mencapai ini,
kepada mereka selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina terus untuk
batuh beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong
royong, sehingga pada waktu mereka kembali ke masyarakat mereka telah
memiliki siat-siat positif untuk dapat berpartispasi dalam pembangunan
masyarakat lingkungannya.
2. Pembinaan Kemandirian
Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program :
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan
tangan, industri, rumah tangga, reparasi mesin, dan alat-alat elektronika dan
sebagainya.
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya
pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi
bahan setengah jadi dan jadi (contoh mengolah rotan menjadi perabotan
rumah tangga, pengolahan makanan ringan berikut bengawetannya dan
pembutan batu bara, genteng, batako).
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Dalam hal ini bagi mereka ang memiliki bakat tertentu diusahakan

39

pengembangan bakat itu. Misalnya memiliki kemampuan di bidang seni,


maka diusahakan untuk disalurkan ke perkumpulan-perkumpulan seniman
untuk dapat mengembangkan bakatnya sekaligus mendapatkan nafkah.
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegitan pertanian
(perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau teknologi tinggi,
misalnya industri kulit, industri pembutan sepatu kualitas ekspor, pabrik
tekstil, industri minyak atsiri dan usaha tambak udang.
Selain dari pada Pola Pembinaan Narapidana berdasarkan Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02.PK.04.10 Tahun 1990
tentang Pola Pembinaan Narapidana / Tahanan, maka menurut Aji Sujatno ada
unsur-unsur

pokok dalam

menunjang

tujuan

pembinaan

dalam

sistem

pemasyarakatan, antara lain:9


a. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri,
b. Keluarga, adalah anggota keluarga itu, atau keluarga dekat,
c. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada saat
masih di Lembaga Pemasyarakatan, bisa masyarakat biasa, pemuka masyarakat
atau pejabat setempat,
d. Petugas, dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan,
petugas sosial, petugas lembaga pemasyarakatan, RUTAN, BAPAS, Hakim dan
lain-lain.

3. Eektivitas Pidana Penjara


Menurut Barda Nawawi Arief, ektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua
aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek
9 Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri,
Jakarta: 2004, hlm. 15.

40

perbaikan si pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat


meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan
memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konlik,
mendatangkan

konflik,

mndatangkan

rasa

aman,

memperbaiki

kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai


yang hidup di dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek
perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan rehabilitasi
dan memasyrakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan
sewenang-wenang di luar hukum.10
a. Efektivitas Pidana Penjara
Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidana
dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapt mencegah atau
mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria eektivitas dilihat dari seberapa jauh
frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada
seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pada penjara
dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan
kejahatan.11
b. Efektivitas Pidana Penjara
Dilihat dariAspek Perbaikan si Pelaku
Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektifitas terletak pada
aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. Jadi, ukurannya
terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh
10 Dwidja Priyatno, Op.Cit. hlm. 82.
11 Dwidja Priyatno, Ibid. hlm 83.

41

terhadap si pelaku/terpidana. Ada dua aspek pengaruh pidana terhadap


terpidana, yaitu aspek pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan
(reformative aspect).
Aspek pertama (deterent aspect), biasanya diukur dengan menggunakan
indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah RM. Jackson menyatakan,
bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi
dalam suatu periode tertentu.12 Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas
adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara jumlah pelanggar yang
dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali.
Aspek kedua yaitu aspek perbaikan (reformative aspeck), berhubungan
dengan masalah perubahan sikap dari terpidana. Seberapa jauh pidana penjara
dapat mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang belum dapat
dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan adanya beberapa problem
metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan, kekhususan
mengenai:
a. Apakah ukuran untuk menentukan telah adanya tanda-tanda perbaikan atau
adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism rate, atau
reconviction rate masih banyak yang meragukan;
b. Berapa lama periode tertentu untuk melakukan evaluasi terhadap ada tidaknya
perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara.
Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan di atas dapatlah
dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan
secara pasti apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah
efektivitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor.
12 RM Jackson dalam Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di
Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm 83.

42

C. Hak-Hak Narapidana atau Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan


Secara harfiah yang dimaksud dengan HAM adalah hak pokok atau hak
dasar. Jadi hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga
keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non), tidak dapat
diganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dari
segala macam ancaman, hambatan, dan gangguan dari sesamanya.13
Kemudian terdapat teori hak-hak asasi manusia diantaranya, yaitu:14
a. Berdasarkan kebebasan berkeyakinan, manusia berhak meyakini ideologi atau
agama apapun, juga mengingkari agama atau ide apapun, sekali apapun salah.
Sehingga wajar apabila ide ini menihilkan peran agama dan menyuburkan
pemurtadan, bahkan untuk tidak beragama seperti munculnya berbagai aliran
sesat di Indonesia.
b. Berdasarkan kebebasan berpendapat, setiap orang berhak menyatakan pendapat
apapun dalam hal apapun tanpa terkait apapun.
c. Berdasarkan kebebasan berperilaku, setiap orang berhak menjalani kehidupan
sesuai dengan kehendaknya sehingga tidak melanggar kehidupan pribadi orang
lain.
d. Berdasarkan kebebasan berkepemilikan, manusia berhak memiliki segala
sesuatu sesuka hatinya dan menggunakan segala sesuatu miliknya itu
sekehendaknya selama tidak melanggar hak-hak orang lain.

13 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum, Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung: Alumni, 2013, hlm. 60.
14 Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1993, hlm. 197.

43

Kemerdekaan dan kebebasan seseorang mengandung aspek yang luas. Salah satu
aspeknya adalah hak seseorang untuk diperlakukan secara adil, tidak diskriminatif
dan berdasarkan hukum, terutama bila seseorang diduga atau disangka melakukan
seseuatu tindakan pelanggaran atau tindakan kejahatan. Artinya, perampasan atau
pembatasan kemerekaan dan kebebasan bergerak seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana, dipandang dari sudut Hukum Pidana dapat berupa
penangkapan, penahanan, dan pemidanaan, dapat dibenarkan apabila berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah ada sebelum tindakan
hukum dikenakan kepadanya.15
Bila dikaitkan dengan hak narapidana berdasarkan Pasal 14 Undang-Undnag
Nomor 12 Tahun 1995, hak-hak narapidana yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya;


Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani, maupun jasmani;
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
Menyampaikan keluhan;
Mendapatkan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu
lainnya;
Mendapatakan pengurangan masa pidana (remisi);
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
Mendapatkan pembebasan bersyarat;
Mendapatkan cuti menjelang bebas;
Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

D. Tinjauan Umum Tentang Pengulangan Tindak Pidana


1. Residive

15 O.C. Kaligis Op. Cit. hlm. 113.

44

Pengulangan atau residive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan


beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri
sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh
pengadilan.16 Suatu hal yang juga sangat berhubungan dengan perbuatan ini
adalah gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana
mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan
hukuman.
Perbuatan yang berhubungan dengan hal di atas diatur oleh undang-undang kita
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal yang berkenaan
dengan hal perbuatan di atas adalah: Pasal 486, 487, dan 488. Kita semua
mengetahui akan tujuan dari penghukuman adalah:

a. Prevensi hukum (pencegahan untuk terjadinya sesuatu)


b. Prevensi khusus yang ditujukan terhadap mereka yang telah melakukan
perbuatan kejahatan dengan pengharapan agar mereka takut mengulang
kembali melakukan kejahatan setelah menjalani hukuman.
Menurut sifatnya perbuatan yang merupakan sebuah pengulangan dapat
dibagi menjadi dua jenis:17
1) Residive umum
a. Seorang telah melakukan kejahatan.
b. Terhadap kejahatan mana telah dijatuhi hukuman yang telah
dijalani.
16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pres, 2010, hal 191.
17 Ibid. hlm.192.

45

c. Kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap jenis kejahatan.


d. Maka pengulangan ini dapat dipegunakan sebagai dasar
pemberatan hukuman.
2) Residive khusus
a. Seorang melakukan kejahatan.
b. Yang telah dijatuhi hukuman.
c. Setelah menjalani hukuman ia mengulang lagi melakukan kejahatan.
d. Kejahatan mana merupakan kejahatan sejenisnya.
Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan hukuman.
2. Residivis
Sistem yang dipergunakan KUHP adalah sistem antara, berhubung
penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki sifat yang
sama dengan kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa pasal
yang disebutkan dalam KUHP yaitu mengatur tentang terjadinya sebuah tindakan
pengulangan (residive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan
pengulangan yaitu:18
a. Menyebutkan dengan mengelompokan tindak-tindak pidana tertentu
dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya.
Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan
dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486 sampai 488, KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) Pasal 489 ayat (2), Pasal 495
ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).
3. Faktor Penyebab Timbulnya Residivis

18 Adami Chazawi , Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 81.

46

Residivis merupakan seseorang hasil dari suatu gejala sosial yang dapat
timbul dari pelaku jahat nya dan menjadi kebiasaan dari pelaku suatu tindak
pidana itu, dalam pembinaan narapidana salah satu tujuannya adalah untuk
menekan tingkat angka residivis setelah mereka kembali ketengah-tengah
masyarakat. Selain dari kesalahan penerapan pembinaan narapidana ada banyak
faktor yang menjadi pendukung terjadinya pengulangan perbuatan pidana
diantarannya dari lingkungan masyarakat tempat kembalinya.
a. Lingkungan Masyarakat
Di dalam masyarakat orang yang kelakuannya menyimpang atau
menyalahi norma yang telah disepakati maka akan menimbulkan akibat yang
beragam, ada yang berakibat positif ada juga yang berakibat negatif. Diantara
akibat itu kalau ang berbentuk positif maka akan menimbulkan suatu perubahan
dan gejala sosial ini dapat memancing timbulnya kreatifitas manusia untuk
menanggulanginya dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan norma yang
dilanggar itu, sedangkan dampak negatif yang yang ditimbulkan dari perilaku
yang menyimpang itu akan menyebabkan terancamnya ketenangan dan
ketentraman serta akan menimbulkan tidak terciptanya ketertiban dalam
masyarakat dan ini jelas akan menimbulkan respon dari masyarakat yang beragam
karena mereka merasa terancam akan penyimpangan itu.
Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan
lingkungan dan ketertiban masyarakat kemudian menimbulkan stigmatisasi
terhadap individu yang melakukan perilaku yang menyimpang tersebut.
Stigmatisasi sebagainama yang telah dijelasnkan sebelumnya merupakan proses

47

pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam


proses peradilan bahwa ia adalah orang yang jahat. Lebih lanjut dan lebih dalam
lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih
besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum
yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat
terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat
dipercaya.19
Pada dasarnya jika kita lihat stigmatisasi ini muncul disebabkan karena rasa
ketakutan dari masyarakat terhadap mantan narapidana karena ada kekhawatiran
ia akan mempengaruhi orang lain dan membawa orang itu untuk juga melakukan
perbuatan melanggar hukum.
b. Dampak dari Prisonisasi
Prisonisasi bukanlah hal yang baru dalam sistem pemasyarakatan yang
diartikan sebagai sesuatu hal yang buruk menjadi pengaruh negatif terhadap
narapidana dimana pengaruh itu berasal dari nilai dan budaya penjara atau dapat
juga dikatakan sebagai pengambil-alihan atau peniruan tentang tata cara, adat
istiadat dan budaya para narapidana dan anak didik pada saat melakukan tindak
pidana.
Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan pada tahun 1963 oleh
Sahardjo salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak
membuat orang lebih buruk atau jahat sebelum dan di penjara, asumsi ini secara
19 Didin Sudirman, Masalah-Masalah Actual tentang Pemasyarakatan, Pusat
pengembangan kebijakan Departemen Hukum dan HAM, Gandul Cinere Depok, 2006,
hlm. 52.

48

langsung menunjukkan pengakuan terhadap pemenjaraan secara potensial dapat


menimbulkan dampak negatif, sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53,
Implementasi The Standar Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners
(Implementasi SMR) yang berbunyi: tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka
pemasyarakatan

cenderung

berbelok

kearah

yang

menyimpang,

karena

terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak dan terdapat di dalam hubungan


para penghuni.20
Dengan terjadinya prisonisasi, sudah barang tentu pengetahuan para narapidana
dan anak didik dibidang kejahatan akan semakin bertambah. Pemahaman
masyarakat mengenai kondisi yang dikemukakan itu akan membuat masyarakat
semakin curiga dan menjaga jarak bahkan mungkin menutup diri bagi para
narapidana atau anak didik tersebut.21

20 Didin Sudirman, Ibid. hlm. 60.


21 Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Bandung: Nuasa Aulia, 2012, hlm.
129.

49

Anda mungkin juga menyukai