Anda di halaman 1dari 11

sejarah munculnya demokrasi

05.54 |
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu Demos berarti rakyat atau
penduduk dan Cratein atau Cratos berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata tersebut
terbentuklah suatu istilah demoscratein atau demokratia yang berarti negara dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan
negara rakyat yang berkuasa.
Secara terminologi demokrasi adalah sebagai berikut.
1) Joseph A. Schmeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan instutisional untuk
mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2) Sidney Hook berpendapat, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusankeputusan pemerintahyang penting secara bebas dari rakyat biasa.
3) Philippe C. Schmitter, demokrasi merupakan sebagai suatu sistem pemerintahan di mana
pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh
warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan
para wakil mereka yang telah terpilih.
4) Henry B. Mayo mengatakan, demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnnya kebebasan politik.
5) Menurut Harris Soche, demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan
pemerintahan itu melekat pada diri rakyat diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau
orang banyak untuk menagtur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan
pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
6) Menurut C.F Strong, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana mayoritas
anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta dalam atas dasar sistem perwakilan yang
menjamin bahwa pemerintah akhirna mempertanggung jawabkan tindakan- tindakan kepada
mayoritas itu.[1]
Dalam kehidupan bernegara istilah demokrasi mengandung pengertian bahwa rakyat yang
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah menegenali kehidupannya, termasuk menilai
kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyatnya. Dengan
demikian negara yang menganut sistem demokrasi maka pemerintahannya diselenggarakan atas
kehendak rakyatnya.
Pemerintahan demokrasi adalah suatu pemerintahan yang melaksanakan kehendak rakyat,
akan tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara terbanyak dari rakyat banyak. Jadi tidak
melaksanakan kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan kehendak golongan yang
sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak kebebasan setiap orang
dalam suatu negara.

Demokrasi dapat dipandang sebagai suatu mekanisme dan cita-cita hidup berkelompok
sesuai kodrat manusia hidup bersama dengan manusia lain yang disebut kerakyatan, yaitu
bersama dengan rakyat banyak atau masyarakat. Oleh karena itu, demokrasi adalah
mementingkan atau mengutamakan kehendak rakyat.
Demokrasi dapat dikatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yaitu
adanya tuntutan atau dukungan dari rakyat sebagai masukan, kemudian tuntutan itu
dipertimbangkan dan dimusyawarahkan oleh rakyat yang duduk di lembaga legeslatif sebagai
proses konversi, dan hasilnya berupa kebijaksanaan atau aturan untuk rakyat sebagai keluaran
atau produk untuk rakyat. Hasil keluaran dapat mempengaruhi tuntutan baru, jika tidak sesuai
dengan apa yang dituntut. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat digambarkan
dalam bentuk diagram dibawah ini.
Umpan balik
Demokrasi atau kerakyatan merupakan pola hidup berkelompok didalam organisasi negara
yang sesuai dengan keinginan dan tuntutan orang hidup berkelompok. Keinginan dan tuntutan
orang-orang yang hidup berkelompok terutama ditentukan oleh pandangan hidup
(weltanschauung), filsafat hidup (filosofiche grondslag), dan ideologi bangsa yang bersangkutan,
yang menjadi aksioma kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[2]
Demokrasi atau kerakyatan muncul sebagai akibat suatu sistem pemerintahan diktator yang
otoriter yang membawa akibat buruk bagi orang banyak sebagai rakyatnya. Akibat-akibat buruk
tersebut antara lain adalah:
Penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat, terutama eksploitasi tenaga dan pikiran rakyat
sehingga rakyat hanya kewajiban tanpa hak.
Kondisi kehidupan masyarakat seperti diatas selalu mengakibatkan timbulnya konflik dengan
korban yang lebih banyak dipihak rakyat.
Kesejahteraan bertumpu pada para penguasa dan pemimpin sedangkan rakyat dibiarkan hidup
melarat tanpa jaminan masa depan.
Faktor-faktor diatas melatarbelakangi ide pemerintah yang demokratis untuk menjamin
kesejahteraan rakyat banyak secara merata(Sumarno dkk, 2001)
Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan
memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam
penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat
mengandung pengertian: pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan
untuk rakyat. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis, bila ketiga hal di atas dapat dijalankan
dan ditegakkan dalam tata pemerintahan (Dede Rosyada dkk, 2003).[3]
B. Sejarah Munculnya Demokrasi
1. Dalam pandangan Sejarah Dunia
Demokrasi dalam sejarah peradaban muncul sejak jamam Yunani Kuno di mana rakyat
memandang kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk. Capaian praktis dari pemikiran
demokrasi Yunani adalah munculnya negara kota. Dengan Polis adalah bentuk demokrasi
pertama. Demokrasi berasal dari taka tain yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan).
Peradaban Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara
bagian yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000 warga). Setiap orang menyuarakan pendapatnya
atas persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan
pada pertengahan abad 5 M di Athena.

Dari Wikipedia :
The term democracy first appeared in ancient Greek political and philosophical thought. The
philosopher Plato contrasted democracy, the system of "rule by the governed", with the
alternative systems of monarchy (rule by one individual), oligarchy (rule by a small lite class)
and timocracy. (Political Analysis in Plato's Republic at the Stanford Encyclopedia of
Philosophy)
Although Athenian democracy is today considered by many to have been a form of direct
democracy, originally it had two distinguishing features: firstly the allotment (selection by lot) of
ordinary citizens to government offices and courts, and secondarily the assembly of all the
citizens. All the male Athenian citizens were eligible to speak and vote in the Assembly, which set
the laws of the city-state; citizenship was not granted to women, or slaves. Of the 250,000
inhabitants only some 30,000 on average were citizens. Of those 30,000 perhaps 5,000 might
regularly attend one or more meetings of the popular Assembly. Most of the officers and
magistrates of Athenian government were allotted; only the generals (strategoi) and a few other
officers were elected.
Uraian di atas memberi gambaran terhadap kita bahwa dari semua manusia yang ada
dikerajaan itu hanya 2% yang berperan dalam menentukan pergerakan pemerintahan. Dan
diantara 2% itu hanya segelintir orang yang dapat mengakses kekuasaan.[4]
Konsep demokrasi memang sedikit sulit untuk dipahami karena banyak memiliki kesamaan
makna yaitu variatif, evolotif dan dinamis. Untuk itu tidak begitu mudah membuat definisi yang
baku tentang demokrasi. Banyak Negara yang mengklaim bahwa negaranya merupakan negara
demokrasi, walaupun nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahannya banyak yang dilanggar.
Demokrasi diakui banyak orang dan negara sebagai system nilai kemanusiaan yang paling
menjanjikan masa depan umat manusia di dunia. Abraham Lincoln adalah presiden Amerika
Serikat pertama yang pernah mengatakan, bahwa demokrasi adalah memerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hilang dan munculnya kembali paham demokrasi
Baron de La Brde et de Montesquieu (18 Januari 1689 10 Februari 1755)
Demokrasi di Yunani sendiri akhirnya menghilang. Baru setelah ratusan bahkan ribuan
tahun kemudian paham demokrasi muncul kembali. Tapatnya di Perancis saat terjadi revolosi
Perancis. Ia adalah Baron de La Brde et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 meninggal 10
Februari 1755) yang lebih dikenal dengan Montesquieu. Momtesquieu terkenal dengan teorinya
mengenai pemisahan kekuasaan yaitu Trias Politika dimana kekuasaan dibagi menjadi
Legeslatif, Eksekutif dan Yudikatif. Ia juga yang mempopulerkan istilah feodalisme dan
kekaisaran Bizantium.[5]
Peristiwa diserangnya Penjara Bastille memulai runtuhnya kerajaan dan masyarakat
meruntuhkan kerajaan tersebut, melakukan rapat besar untuk membuat suatu bentuk dari
pemerintahan yang berbeda dari Kerajaan mereka mengatakan bahwa setiap orang berhak
menjadi pemimpin tidak hanya para keluarga Raja. Ide yang sangat bagus dan enak ditelinga
membuat masyarakat mendapatkan angan-angan bahwa suatu saat mereka dapat mempunyai
kesempatan menjadi penguasa layaknya raja. Akhirnya semua lapisan masyarakat menyutujuinya
dan Memilih orang-orang yang dapat berperan dalam tiga unsur demokrasi tersebut.
Perjuangan demokrasi di Perancis sendiri juga tidak mudah karena raja tidak ingin
menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Walau demikian perubahan di Perancis ini telah
mempengaruhi banyak Negara tetangganya. Hingga muncullah sistem Monarki Parlementari di
Inggris, German, Italia, dan Eropa barat.

Setelah revolosi Perancis, krisis akibat perebutan kekuasaan masih terus berlangsung.
Pada akhirnya perancis kembali dengan system monarki dengan Napoleon Bonaparte sebagai
kaisarnya.
Kegagalan demokrasi di Perncis ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian besar
masyarakat di Eropa untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang berkeadilan. Setidaknya
mereka ingin terbebas dari tirani gereja dan pemerintah negaranya. Dengan ditemukannya benua
Amerika, di mana di benua tersebut tidak ada kekuasaan kaisar dan penduduk aslinyapun
peradabannya dianggap masih primitive, maka masyarakat Eropa yang ingin mendapatkan
kebebasan berbondong-bondong ke Amerika untuk membangun negara baru dengan dasar
kebebasan. Perancis kemudian menghadiahkan patung Liberty (kebebasan) yang dibangun di
New York sebagai simbol penyambutan kepada para pencari kebebasan.
C. Pemikiran dan Teori-Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase
Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska
Perang Dingin).[6]
1. Fase Klasik
Fase Klasik ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan
ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city
states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi
(democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants
atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan
terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato
(427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai
ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants. Dari buah pikiran merekalah prinsipprinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty)
individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang
yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda
terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan
sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan
mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan
individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis
diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan
fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama the philosopher Kings. Sebaliknya,
Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis
berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung
dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang
harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah
demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga
(citizens) yang egaliter dan bebas pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah
kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran).
Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang
kecil (60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis
kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak,

2.

a)
b)
c)

3.

serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam
proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh
para budak, kaum perempuan, dan imigran.
Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan
oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah
Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan
Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme
(Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari
kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan
(Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis. Pemikiran awal dalam
sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang
mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan
mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi
modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika
melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk
negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa
kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada
orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan
hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul Lesprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara
menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja
penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut.
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara
kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam
negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat
padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi,
haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan
terhadap kekuasaan lainnya.[7]
Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Menyaksikan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teoriteori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara
negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan
bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian
ideologi
khusunya
antara
kapitalisme
dan
komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (17121778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883),
Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946).

Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana
legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia
dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil
disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi
landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary
system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi
negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran
Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan
kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu
sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang
menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai
panitia eksekutif kaum burjuis dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum
proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah
dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan
langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori
perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi
perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas
burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu
mengartikulasikan kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir
yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi
perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi
kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang
semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi
membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi
kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh
mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah
kompetisi kaum elit.
4. Era Kontemporer
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin
kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis
yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi
menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad
keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di
seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi
semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance).
Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan
memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan
demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses
pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi
tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan. Praktik demokrasi pada fase-fase tersebut tidak
berarti selalu berjalan berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping dan bahkan ruptures,

sehingga perkembangan tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian pula, harus diingat bahwa
selalu ada diskrepansi atau gap antara pemikiran,gagasan (ideas) dengan praksis dan realitas
yang sedang berkembang. Dengan demikian tidak berarti bahwa dalam fase klasik realitas politik
di Athena merupakan pengejawantahan total gagasan demokrasi yang ada. Bisa jadi bahwa
gagasan yang muncul pada suatu era ternyata masih merupakan gagasan yang belum terealisasi
sebelumnya, atau kalaupun terealisasi ternyata mengalami berbagai penyimpangan atau
perbedaan.
D. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945memberikan
penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya
Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih
dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara
melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa
demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas
di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai
pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi
semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk
kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang.
Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang
menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
1. Periodesasi dan Macam-macam Demokrasi di Indonesia
a. Periode 1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Demokrasi dimasa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem
parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demikian
model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi
untuk mempraktikkan demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada
partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan social politik.[8]
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan system demokrasi parlementer ini
akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama. Akibatnya,
pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang dapat bertahan lama.
Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik
nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat
antara faksi-faksi politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam
berjalanya demokrasi itu sendiri.
Factor-faktor dissintegrasi diatas, ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam majelis
konstituante untuk mencapai consensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar
baru, mendorong presiden Soekarno untuk mengeluarakan dekrit presiden pada 5 juli 1959 yang
menegaskan berlakunya kembali undang-undang dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi
berdasarkan system parlementer berakhir, diganti oleh demokrasi terpimpin yang memosisikan
presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan Negara.
2. Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Periode ini di kenal dengan sebutan demokrasi terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah
dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara ABRI

dalam panggung politik nasional. Hal ini di sebabkan oleh lahirnya dekrit presiden 5 juli 1959
sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukan
kepemimpinan nasioanal personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang presiden
untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun ketetapan MPRS No.III/1963 mengangkat Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis
telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melakukan tindakan dan kebijakan yang
menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Misalnya pada tahun 1960 presiden Soekarno
membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum, padahaldalampenjelasan UUD
1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuuat
demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan dekrit presiden 1959 telah terjadi penyimpangan
konstitusi oleh presiden.
Dalam pandangan sejarawan Ahmad Syafii Maarif, demokrasi terpimpin sebenarnya
ingin menempatkan presiden Soekarno ibarat seorang ayah ibarat dalam sebuah keluarga besar
yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada ditanganya. Dengan demikian,
kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi terpimpin dalam model Soekarno adalah
pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya
kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada saat yang sama hilangnya kontrol social dan check and
balance dan legislative terhadap eksekutif.
Dalam kehidupan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sangatlah menonjol. Bersandar
pada dekrit presiden 5 juli sebagai sumber hukum didirikan banyak badan ekstrakonstitusional
seperti front nasional yang digunakan oleh PKI sebagai kegiatan wadah politik. Front nasional
telah dimanipulasi oleh PKI untuk menjadi bagian strategi taktik komunisme internasional yang
menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi
rakyat. Strategi politik PKI untuk mendulang keuntungan dari charisma kepemimpinan presiden
Soekarno dengan cara mendukung pemberedelan pers dan partai politik misalnya Masyumi yang
dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan.
Perilaku politik PKI yang berhaluan sosialis marxis tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh
partai politik islam dan kalangan militer (TNI) yang pada waktu itu merupakan salah satu
komponen politik penting presiden Soekarno. Akhir dari demokrasi terpimpin presiden Soekarno
yang berakibat dari perseteruan politik ideologi santara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah
yang dikenal dengan gerakan 30 september 1965.
3. Periode 1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
Periode ini merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto dengan orde barunya.
Sebutan orde baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, orde lama. Orde lama,
sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk meluruskan kembali
penyelewengan terhadap undang-undang dasar 1945 yang terjadi dalam masa demokrasi
terpimpin. Seiring pergantian kepemimpinan nasional, demokrasi terpimpin ala Soekarno telah
diganti oleh elite ordebaru dengan demokrasi pancasila.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan presiden
seumur hidup untuk presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti dengan pembatasan jabatan
presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui proses pemilu.
Demokrasi
pancasila secara
garis
besar menawarkan tiga komponen
demokrasi.Pertama,demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan

kembali asas-asas Negara hokum dan kepastian hokum. Kedua, demokrasi dalam bidang
ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga
Negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hokum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan
perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Hal yang sangat disayangkan adalah, alih-alih pelaksanaan ajaran pancasila secara murni
dan konsekuen, demokrasi pancasila yang dikampanyekan oleh orde baru, baru sebatas retorika
politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan kepemerintahanya, penguasa orde baru bertindak
jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Seperti dikatakan oleh M. RusliKarim, ketidak demokratisan
penguasa orde baru ditandai oleh:
(1) dominannya peranan militer (ABRI);
(2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik;
(3) pengembirian peran dan fungsi partai politik;
(4) campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik;
(5) politik masa mengambang;
(6) monolitisasi ideologi;
(7) inkorporasi lembaga non pemerintah.
4. Periode pasca orde baru
Periode pasca orde baru sering disebut era reformasi. Periode ini erat hubunganya dengan
gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksannaan demokrasi dan HAM secara konsekuen.
Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya presiden Soeharto dari tumpuk kekuasaan orde baru pada
mei 1998. Setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya.
Penyelewengan atas dasar Negara pancasila oleh penguasa orde baru berdampak pada sikap
antipasti sebagian masyarakat terhadap dasar Negara tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif
dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk
menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin pada pengalaman manipulasi atas
pancasila oleh penguasa orde baru, demokrasi yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan oleh
rezim orde baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-embel dimana hak
rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang
demokratis. Wacana demokrasi pasca orde baru erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat
madanai dan penegakan HAM secara sungguh-sungguh.

KESIMPULAN
1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu Demos berarti rakyat atau
penduduk dan Cratein atau Cratos berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata tersebut
terbentuklah suatu istilah demoscratein atau demokratia yang berarti negara dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan
negara rakyat yang berkuasa. Pemerintahan demokrasi adalah suatu pemerintahan yang
melaksanakan kehendak rakyat, akan tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara terbanyak dari
rakyat banyak. Jadi tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan
kehendak golongan yang sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak
kebebasan setiap orang dalam suatu negara.
2. Sejarah Munculnya Demokrasi
Demokarsi muncul pertama kali di Yunani. Peradaban Yunani menunjukkan bahwa
masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000
warga). Setiap orang menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah
demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada pertengahan abad 5 M di Athena. Muncul
kembali abad pertengahan di Perancis. Hingga lahirnya piagam Magna Charta serta pembuatan
Patung Liberty sebagai simbol Kebebasan( Demokrasi
3. Pemikiran dan Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase
Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska
Perang Dingin).
4. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Periode 1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Periode 1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
Periode pasca orde baru

Daftar Rujukan
Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Noor Ms Bakry. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/

Budiardjo, Mirriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Hidayat, Komaruddin dan Aryumardi Azra. 2008. Pendidikandan Kewarganegaraan.
Jakarta:ICC UIN Syarif Hidayatulloh

Anda mungkin juga menyukai