Anda di halaman 1dari 18

2.

Definisi
Radiologi intervensi adalah bagian subspesialis dari ilmu radiologi yang menggunakan

modalitas pencitraan untuk menatalaksana suatu penyakit dengan prosedur minimal invasif.
Secara garis besar radiologi intervensi dibagi menjadi 2 yaitu vaskular dan non-vaskular.
2.2

Vaskular
2.2.1

Angiography

Angiografi merupakan pencitraan menggunakan sinar X pada pembuluh darah


yang telah diinjeksikan media kontras. Angiografi dapat digunakan sebagai acuan
dalam melakukan berbagai intervensi yang akan dilakukan pada pembuluh darah,
Teknik angiografi tidak hanya digunakan dalam mengevaluasi pembuluh darah
jantung, tetapi juga otak, ginjal, dan ekstremitas. Angiografi dapat dilakukan
dengan MRI (MRA) maupun CT (CTA). Angiography terdiri dari direct
angiografi dimana hasil pencitraan didapat dengan mengambil foto daerah yang
diinginkan dan secara bersamaan memasukan kontras ke dalam pembuluh darah
pada daerah tersebut. Contoh direct angiography dapat dilihat pada gambar 2.1.
Sedangkan digital subtraction angiography (DSA) dapat menghilangkan struktur
organdi sekitar pembuluh darah sehingga hanya pembuluh darah saja yang
tervisualusasi berbeda dengan direct yang juga menampilkan organ disekitarnya.
Contoh digital subtraction angiography (DSA) dapat dilihat pada gambar 2.2.
Indikasi penggunaan angiografi adalah:
Untuk mengevaluasi penyempitan atau hambatan pada pembuluh darah
Memulai terapi pada pembuluh darah
Mencari sumber dari perdarahan dan menghentikan perdarahan
Mengembalikan peredaran darah yang tersumbat
Tatalaksana pada tumor jenis tertentu
Mengambil darah dari area yang spesifik guna pemeriksaan laboratorium
Membuat peta pembuluh darah sebelum operasi
Penggunaan medikasi sebelum pemeriksaan wajib dilaporkan sebelum
pemeriksaan dimulai. Selama prosedur, pasien akan diminta untuk berbaring. Lalu
pasien akan dipasangkan monitor untuk memantau tanda tanda vital. Anestesi
local akan disuntikkan untuk melumpuhkan saraf disekitar area yang akan
dimasukkan kateter, biasanya pada daerah inguinal. Ketika daerah tersebut sudah

terasa baal, maka kateter akan dimasukkan lalu kontras diinjeksikan ke dalam
pembuluh darah. Foto akan langsung diambil setelahnya.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi akibat prosedur ini adalah hematoma
pada tempat injeksi dan reaksi akibat media kontras. Media kontras untuk
pemeriksaan mengandung iodin. Reaksi minor yang dapat terjadi pada
penggunaan media iodin adalah flushing, mual-muntah, gatal ringan. Reaksi
anafilaksis mungkin terjadi pada pasien yang menerima media kontras tersebut.

Gambar 2.1 Direct Angiography

Gambar 2.2 Digital subtraction angiography

Tehnik melakukan angiograf dapat dilakukan dengan tehnik seldinger yaitu jarum
ditusukan ke dalam pembuluh darah. Setelah itu dimasukan atraumatic guidewire
melalui lumen jarum tadi. Jarum dikeluarkan, sedangkan guidewire
tetap diposisi semua. Agar guidewire tida ikut tertarik, dapat ditahan
dengan menekan di sekitar tempat menyuntik. Setelah itu kateter
angiograf di masukan melalui guidewire yang telah terpasang. Gambar
tehnik seldinger dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Tehnik


Seldinger
2.2.2

Percutaneus Transluminal

Angioplasty (PTA)
PTA adalah prosedur kardiovaskular untuk melebarkan lumen pembuluh darah
yang menyempit akibat dari plak atherosklerotik dengan memasukan balon kateter kecil
ke dalam pembuluh daarah yang bermasalah dan mengembungkan balon tersebut
sehingga inflasi dari balon dapat menekan plak dan membuka kembali lumen pembuluh
darah. Tidak hanya arteri koroner yang dapat dilebarkan tetapi pembuluh arteri
barchiocephalica, renalis, illiac, femoralis dan lain lain.

Gambar 2.2 Balon Kateter

2.2.2.1 Brachiocephalic angioplasty


Melakukan prosedur angioplasty pada pembuluh brachiocephalic masih
tergolong kontroversial. Hal ini diakibatkan oleh vaskulatur braciocephalica yang
kompleks dan banyaknya pembuluh darah kolateral mengakibatkan sulitnya
memprediksi secara spesifik pembuluh darah yang mengalami stenosis. Gejala
yang mengarah kepada evaluasi dari pembuluh darah brachiocephalic adalah
stroke iskemik, transient ischemic attack, amaurosis fugax, vertigo, dan
klaudikasio lengan. Rekomendasi untuk melakukan brachiocephalic angioplasty
dibatasi pada stenosis yang menimbulkan gejala vertebrobasiler (vertigo,
gangguan gait, atau amaurosis fugax), Klaudikasi lengan berat, atau kombinasi
dari gejala tersebut. hal ini harus didukung dengan bukti kuat adanya penurunan
aliran. Angioplasti karotis dinilai sukses secara klinis apabila adanya resolusi dari
gejala neurologis atau gejala visual. Sedangkan angioplasti brachiocephalic dinilai
sukses secara klinis dari resolusi gejala klaudikasi lengan dan penurunan tekanan
arteri brakial kurang dari 10mmHg. Gambar angioplasty karotis dapat dilihat pada
gambar 2.3.

Gambar 2.3 A. Preangioplasty. B, Postangioplasty. Spasm dari distal


ECA ( panah hitam). C 35 days setelah PTA.

2.2.2.2. Renal Angioplasty (PTRA)


Renal angioplasty dapat digunakan pada pasien hipertensi renal. Secara
klinis hipertensi akibat dari kelianan renovaskular ditandai dengan onset
hipertensi sebelum usia 30 tahun atau setelah usia 50 tahun, hipertensi mucul
secara mendadak, tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga , pada auskultasi
abdomen terdengar bruit 4 -5 cm dari midline. Penyebab tersering dari stenosis
arteri renalis adalah atherosklerosis pada urutan pertama dan fibro-muscular
dysplasia (FMD) pada urutan kedua. PTRA pada pasien dengan FMD
menunjukan angka kesuksesan yang tinggi yaitu sekitar 90%.
Indikasi dari PTRA meliputi:

Hipertensi yang muncul mendadak


Tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga
Hipertensi malignant
Tidak ditemukan penyebab lain dari hipertensi
Hipertensi yang refrakter
Hipertensi dengan bruit abdomen

Gambar 2.4 PTRA (A) Stenosis arteri renalis (B) Setelah dilakukan ekspansi
dari balon (C) Fibromuscular displasia (D) Simple balloon angioplasty.
2.2.2.3 Iliac Angioplasty

PTA telah terbukti menjadi tehnik yang efektif untuk mengatasi


atherosklerotik pada arteri iliaka dengan 5 year patency rate sebesar 80-90%.
Kesuksesan dari angioplasti arteri iliaka dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
dari panjang lesi, adanya oklusi atau stenosis, adekuatnya pembuluh darah distal,
dan adanya kalsifikasi di lesi tersebut. pasien dengan lesi yang tergolong kategori
1 dan 2 memiliki tingkat keberhasilan sekitar 90%-95%. Lesi yang tergolong
kategori 1 adalah lesi dengan panjang stenosis tidak lebih dari 3cm dan tidak
adanya kalsifikasi. Lesi yang tegolong kategori 2 adalah lesi yang memiliki
panjang 3-5cm dengan kalsifikasi. Oklusi total arteri iliaka merupakan
kontraindikasi dari PTA, hal ini disebabkan adanya risiko dari pembentukan
embolus di pembuluh darah distal atau embolus kontralateral. Pada kasus dengan
oklusi total arteri iliac, terapi thrombolytic perlu dilakukan sebelum PTA.
Rekomendasi yang ada sampai hari ini adalah mempertimbangkan terapi
trombolitik pada arteri iliaca sebelum dilakukannya PTA.
Indikasi PTA pada arteri iliaca adalah pasien dengan gejala insufisiensi pembuluh
darah perifer.Gejala ini meliputi klaudikasi yang membatasi aktivitas sehari-hari,
nyeri tungkai walaupun saat beristirahat, gangrene, blue toe syndrome. Parameter
keberhasilan dari angioplasti iliaca adalah hilangnya gejala dan kembali
normalnya pulsasi dari arteri femoral.

Gambar 2.4 Iliac angioplasty


2.2.2.4 Femoropopliteal Angioplasty

Inidkasi untuk menatalaksana stenosis arteri femoropopliteal sama dengan


indikasi penggunaan PTA arteri iliaca. Klaudikasi yang menggangu aktivitas
sehari- hari, nyeri saat berisitirahat, ulkus, blue toe syndrome merupakan indikasi
untuk dilakukannya PTA. Pembuluh darah dengan acute ischemic symptoms dan
adanya bukti angiografi bahwa baru terbentuknya thrombus harus dilakukan
terapi thrombolytic terlebih dahulu. Kriteria sukses angioplasty ini adalah
hilangnya gejala dan peningkatan ankle-brachial index minimal 0.15 dan /atau
normalisasi dari pulsasi arteri popliteal.

Gambar 2.5 Femoropoplieteal angioplasty

2.2.3

PTA Dengan Pemasangan Stent


Prinsip dari PTA dengan stent sama dengan PTA yaitu membuka aliran darah yang

tadinya tersumbat. Namun Pada ujung kateter terdapat balon yang dilapisi oleh stent.
Stent atau yang lebih dikenal dengan ring adalah sebuah tabung kawat berbentuk jala.
Balon kemudian dikembangkan (inflate) dimana stent akan ikut terbuka, balon
dikempiskan

dan

ditarik

keluar

bersama

kateter,

meninggalkan

stent

yang

mempertahankan aliran darah yang sebelumnya mengalami sumbatan.


Stent biasanya terbuat dari bahan metal (bare metal stents), tapi beberapa terbuat
dari bahan kain dan disebut fabric stent. Fabric stent biasa juga disebut stent grafts dan

biasanya digunakan pada arteri ukuran besar, stent ini biasanya memiliki kaitan pada
kedua ujungya, diletakan sebagai pelapis baru dari dinding arteri. Endovascular stent
graft dapat digunakan untuk mengatasi aneurysm aorta.

Gambar 2.6 Pemasangan Endovaskular Stent Pada Aneurysm


Jenis stent yang lain adalah Drug Eluting Stent (DES), yaitu sebuah stent yang
melepaskan obat antiproliferasi (sirolimus, Everolimus, Zotarolimus) yang dapat
berelusi di dinding pembuluh darah sampai dengan 4 minggu. Pada penelitian metaanalisis dari 42 penelitian melibatkan 22.844 pasien yang membandingkan DES dan
bare metal stents, DES menunjukan efektivitas yang lebih dari bare metal stent.
Indikasi pemasangan stent adalah sebagai berikut:

2.2.4

Kegagalan angioplasty (>30% sisa stenosis, gradien tekanan yang persisten)


Stenosis yang panjang
Rekanalisasi oklusi kronik
Stenosis Berulang
Lesi yang dicurigai berasal dari emboli distal

Endovascular Embolization

Endovascular

Embolization

adalah

prosedur

untuk

menutup

aliran

pembuluhdarah tententu pada pasien dengan malformasi pembuluh darah pada


intrakranial maupun ekstrakranial seperti aneurysm, malformasi arteri vena, dan lain lain.
Prosedur Embolisasi ini menggunakan katetermicro dengan coil sebagai embolinya.
Aneursima intrakranial terbilang cukup sering terjadi dengan angka prevalensi
berkisar antara 0.5% - 6% pada dewasa, menurut studi angiografi dan autopsi.1Pada
umumnya aneurisma intrakranial asimptomatik dan tidak terdeteksi. Sebagian terdeteksi
secara tidak sengaja saat medical check up atau saat dilakukan pencitraan kepala dengan
tujuan yang berbeda. Namun sebagian dari aneurisma memberiman gejala akibat
kompresi ke bagian otak lain. Lainnya terdeketeksi akibat ruptur dari aneurisma tersebut.
Tujuan utama dari tatalaksana aneurisma adalah menurunkan risiko ruptur. Pilihan
terapi yang dapat dilakukan adalah surgical clipping dan Endovascular Embolization,
pemilihan terapi didasarkan oleh karakteristik dari aneurisma, lokasi dari aneurisma,
ukuran danada tidaknya alergi dengan kontras.
Aneurisma yang terletak di Middle cerebral artery (MCA) seringkali sulit untuk
di terapi dengan embolisasi, namun studi menunjukan aneurisma pada posterior cerebral
circulation memiliki hasil akhir yang memuaskan dari terapi embolisasi dibandingkan
dengan terapi bedah.
Ukuran aneurisma berpengaruh pada risiko terjadinya komplikasi dan
menurunkan kemungkinan untuk terjadinya oklusi total. Giant aneurisma dengan ukuran
>25mm sulit diterapi dengan embolisasi dan meningkatkan risiko mortalitas akibat tidak
terjadinya oklusi total. Aneurisma yang sangat kecil (<3mm) juga sangat sulit untuk
dilakukan embolisasi dan meningkatkan risiko ruptur saat dilakukannya embolisasi.

Gambar
Embolisasi
2.2.5

Anuerisma

2.7

Cerebral

Arterial Embolisation Techniques.


Tatalaksana kanker secara minimal invasif sebagai terapi tambahan ataupun terapi

alternatif dari terapi bedah semakin marak digunakan. Pencarian suplai arteri dari tumor
dengan menggunakan CT atau MRI dengan kontras memfasilitasi devaskularisasi dari
jaringan neoplasma dengan embolisasi transkateter. Oklusi bisa didapat dari bland
embolization yang akan menutup pembuluh darah yang meperdarahi tumor tersebut
dipandu dengan fluoroscopic arterial kateterisasi. Saat ada peredaran darah di tumor
tersebut di hentikan maka akan terjadi hipoksia jaringan neoplasma dan menganggu
pertumbuhan tumor sehingga tumor dapat mengecil dan selanjutnya dilakukan terapi
ablasi atau terapi bedah konvensional.
Arterial embolisasi juga memiliki peran dalam reseksi tumor yang hipervaskular
sehingga dapat mengurangi pendarahan intraoperative. Dalam dunia paliatif, embolisasi
dapat digunakan untuk mengurangi ukuran dan membantu mengurangi gejala yang
ditimbulkan. Embolisasi juga dapat digunakan dalam pendarahan akut akibat komplikasi
dari malignansi seperti haemoptysis masif, haematemesis, pendarahan peritoneal atau
pleura.
Modifikasi pada arterial embolisasi ini dapat dilakukan, contohnya ialah
Transarterial chemoembolisation (TACE) yang merupakan modifikasi untuk mengatasi
tumor hepar. Kemoterapi tunggal atau kombinasi ditambah dengan agen emboli
dimasukan ke dalam arteri hepatik melalui katerterisasi. Tumor hepar bergantung pada
arteri hepatic untuk suplai darah. Kelebihan dari TACE dibandingkan dengan kemoterapi

sistemik yaitu agen kemoterapi dapat difokuskan pada lesi dan memungkinkan untuk
menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi. Embolisasi dari arteri meningkatkan durasi
kerja agen kemoterap. Chemoembolisation dapat diulang sampai terjadi devaskularisasi
dari seluruh bagian tumor. Selain Chemoembolisation, radioembolisation juga dapat
digunakan. Beta-radiasi dapat difokuskan langsung pada lesi dibantu dengan kateterisasi.
Beta radiasi memiliki daya penetrasi yang rendah yaitu sekitar 2.5mm menembus
jaringan, namun memiliki efek nekrosis yang terlokalisir. Radioembolisasi memiliki
potensi untuk mengatasi lesi metastatik hati dan sangat berguna untuk pasien dengan
kanker kolon yang refrakter terhadap kemoterapi.

Gambar 2.8 Arteriogram Hepar Menunjukan Suplai Darah Tumor

Gambar 2.9 Chemoembolisasi

2.2.6

Endovascular Thrombolysis
Endovascular thrombolysis menghancurkan thrombus dengan menginfusi

thrombolitik ke dalam pembuluh darah yang teroklusi. Tehnik ini biasa dikombinasikan
dengan tehnik mekanik seperti thrombosuction dan pengeluaran thrombus dengan balon
kateter. Endovascular thrombolysis dapat digunakan pada pasien dengan stroke ischemic,
acute limb ischemic maupun DVT. Agen Thrombolisis yang biasa digunakan ada dalam
gambar 2.10.

Gambar 2.10 Pilihan Agen Thrombolitic


Tidak semua iskemik pada tungkai dapat dilakukan thrombolisis endovaskular.
Menimbang risiko dan keuntungan tindakan ini terhadap pasien, hanya pasien dengan
kategori 1 dan kategori 2 yang diindikasikan untuk dilakukan thrombolisis endovaskular.
Kategori pasien pada iskemik tungkai dapat dilihat pada gambar 2.11

Penggunaan

endovascular

mechanical

untuk

mengatasi

thrombus pada stroke iskemik dilakukan pada 8 jam pertama setelah


onset. Pada sebuah studi Mechanical Embolus Removal in Cerebral
Embolism (MERCI) yang dilakukan pada 177 pasien, thrombectomy berhasil pada
164 pasien Recanalisasi berhasil pada 55% pasien dengan thromboektomi saja dan angka
recanalisasi meningkat apabila dikombinasikan dengan terapi thrombolisis.

Gambar 2.12 MERCI


2.2.7

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)


TIPS membuat koneksi di dalam hati antara sismtem portal dan sirkulasi sistemik.

TIPS digunakan untuk mengurangi tekanan portal pada pasien dengan hipertensi portal.
Prosedur ini menjadi terapi alternatif bedah yang tidak invasif pada pasien dengan endstage liver disease.
Tujuan dari pemasangan TIPS untuk mengalihkan peredaran darah portal ke vena
hepatik, sehingga terjadi pengurangan gradien tekanan antara sistem portal dan sirkulasi
sistemik.Untuk menjaga agar TIPS tetap berada ditempatnya, perlu dipasang stent
sepanjang traktur intrahepatic. Menurut satu studi, pemasangan Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt merupakan terapi yang efektif dan aman untuk mngatasi hipertensi
portal pada pasien dengan hepatocellular carcinoma (HCC). Hipertensi portal dan HCC
merupakan komplikasi utama dari sirosis hepar. 40 pasien HCC dengan hipertensi portal
yang di terapi dengan TIPS antara tahun 1995-2012 dimasukan ke dalam analysis. Tidak
ditemukan adanya komplikasi dan penurunan fungsi hati selama terapi.

United States National Digestive Diseases Advisory Board mengeluarkan


indikasi klinis untuk pemasangan TIPS:

Pendarahan varises akut yang tidak dapat di kontrol dengan sclerotherapy

Pendarahan varises yang berulang dan refrakter pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi terapi medis konvensional (sclerotherapy dan farmakoterapi)

Gambar 2.13 Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt


2.3

Non Vaskular
2.3.1

Percutaneus Bile Drainage.


Intervensi pecutaneus pada traktus biliary meliputi percutaneous transhepatic

cholangiography (PTC) dan drainase traktus biliar untuk mengatasi obstruksi ringan
maupun berat. Terapi lain yang dapat digunakan ialah cholangioplasty untuk striktur
bilier dan biopsi dari traktus billiar.
Pada banyak kasus percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) dilanjutkan
dengan pengasangan kateter untuk drainase, prosedur ini disebut sebagai percutaneous
biliary drainage (PBD). PBD dapat membantu mengurangi gejala obstrusksi terutama
mereka dengan tumor malignant, dan juga dapat menatalaksana pasien dengan striktur
yang ringan. Indikasi lain untuk PBD adalah diversi kebocoran bile pada pasien yang

menunggu

dioperasi

dan

transhepatic

brachytherapy

pada

pasien

dengan

choriocarcinoma.

Gambar 2. 14 PBD pada obstruksi Common Bile duct


2.3.2

Radiofrequency ablation (RFA )


Percutaneous radiofrequency (RF) ablation (RFA) digunakan untuk terapi tumor

primer hati atau metastase yang tidak dapat dioperasi. RFA sering digunakan untuk tumor
metastasis ataupun tumor primer yang berukuran kecil. RFA adalah terapi invasif minimal
dan dapat diulang dengan komplikasi yang minim. Terapi ini menggunakan panduan
radiologi. Studi RCT menunjukan bahwa RFA superior dibandingkan dengan injeksi
ethanol pada pengobatan HCC yang berukuran kecil. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa RFA menghasilkan nekrosis jaringan yang lebih tinggi dan
membutuhkan terapi yang lebih sedikit dibandingkan dengan injeksi ethanol secara
percutaneus.[6,

7,

8]

.Kombinasi RFA dengan transcatheter arterial chemoembolization

(TACE) juga terbukti efektif untuk mengatasi tumor hati yang tidak dapat dioperasi.
Pada RFA, jarum dimasukan ke dalam hati dengan panduan ultrasonography

(USG) atau computed tomography (CT). Saat jarum telah berada didalam tumor, energi
radiofrequency dialirkan. Selanjutya energi panas dari friksi akan dihasilkan pada lesi
melalui gesekan sel-sel yang bersebelahan. Dengan cara tersebut tumor dihancurkan
melalui nekrosis likuefaktif.
Indikasi dilakukankya RFA adalah sebagai berikut:

HCC pada tahap awal

Terapi primer pada tumor kecil

Tumor hati yang tidak dapat dioperasi

Metastase hati, paling sering kolorektal, terutama pasien yang tidak dapat dioperasi

Dapat digunakan pada metastase payudara, tyroid, dan neuroendokrin

Hepatoma multiple

Lesi yang progresif dan refrakter pada terapi konvensional

Gambar 2.15 RFA pada Tumor Hati

2.2.3

Image guided Fine Needle Aspiration


Fine needle aspiration yang dipandu dengan ultrasound (US) digunakan untuk

staging lesi pada kepala-leher, lesi payudara yang tidak dapat dipalpasi dan lesi tiroid.
Ultrasound memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan panduan berdasarkan palpasi .
Ultrasound dapat memvisualisasi secara langsung jarum didalam lesi, dan hal itu
membuat FNA menjadi lebih akurat terutama untuk lesi yang kecil. Walaupun lesi dapat
dipalpasi, FNA dipandu dengan US lebih superior dalam mendapatkan material untuk
hasil analisa sitologi yang lebih akurat. Indikasi utama dilakukannya FNA adalah adanya
nodul soliter. Menurut The Society of Radiologists in Ultrasound, FNA dengan panduan US
disarankan dilakukan pada nodul >1 cm atau lebih apabila terdapat mikrokalsifikasi dan pada
nodul dengan ukuran >1.5cm yang solid dan adanya kalsifikasi pada pusat nodul. Kelebihan dari
panduan dengan US adalah dapat diindentifikasi lesi malignan yang ditandai dengan
mikrokalsifikasi, peningkatan hipoechogenisitas, dan margin nodul yang irreguler dan berlobus,
peningkatan vaskularisasi dan adanya invasi tumor ke daerah sekitar serta kelenjar getah bening
sekitar. Apabila hanya nodul terbesar saja yang di aspirasi maka diagnosa kanker tiroid dapat
terlewatkan.

Gambar 2.16 a . Insersi dari jarum dengan potongan tegak lurus. B. Gambar US,
saat jarum menembus kulit, subkutis dan otot menuju lesi terlihat ujung jarum
(tanda panah).
FNA yang dipandu dengan CT dapat digunakan untuk diagnosa nodul pada paru,
dengan komplikasi yang minimal dan tingakat keberhasilan yang tinggi. Pemeriksaan
sitopatologi dari spesimen yang diambil dari nodul paru dengan panduan CT memiliki

akurasi dan sensitivitas yang tinggi untuk mendiagnosa malignansi. Selama prosedur,
jarum masuk secara percutaneus menembus dinding dada dengan panduan CT untuk
mendapatkan spesimen yang nanti akan dianalisis.

Anda mungkin juga menyukai