Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Berdasarkan data dari negara-negara maju, trauma kepala merupakan 26% dari jumlah
jenis kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja selama lebih dari
satu hari hingga jangka yang panjang. Sekitar 33% kecelakaan yang berakhir pada
kematian disebabkan oleh trauma kapitis.1
Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala menempati urutan ke-7
dari 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR
2,99%. Sedangkan di Amerika, setiap tahun tercatat sekitar 52.000 penduduk
meninggal karena trauma kepala (20 orang per 100.000 populasi). Insidensi pasien
dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari 8) mencapai 100 per 100.000 populasi.2
Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani.
Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung menghantam kepala.
Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan
perdarahan intrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral
hematom. Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat
awal kejadian, timbulnya kecacatan di kemudian hari atau bahkan pada kasus yang
berat dapat menimbulkan kematian.1
Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambah besarnya volume
perdarahan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai
dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil. Pada
tahap lebih lanjut, jika hematom yang terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya
sindrom herniasi yang ditandai dengan penurunan kesadaran, adanya pupil yang
anisokor dan terjadinya hemiparesis kontralateral.
Manajemen anestesi pada penderita cedera kepala sangat menentukan untuk mencegah
terjaadinya cedera kepala sekunder yang disebabkan oleh berbagai hal.

1.2

Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Senior Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai
manajemen anestesi pada kasus subdural hematom.

1.3

Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai


perdarahan subdural sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus cedera
kepala yang dicurigai sebagai perdarahan subdural di klinik sesuai kompetensi dokter
umum.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Hematoma Subdural

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara
duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan (bridging veins) yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada

permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemisfer dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins.
Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan
otak dibawahnya biasanya berat.

Gambar 1. Subdural hematoma

Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah
5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20
hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah
sehingga dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk
suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Hematoma subdural
dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang
dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu
lebih setelah trauma.

2.2

Anatomi

2.2.1 Kulit Kepala


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar danpericranium.

2.2.2 Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di
regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

2.2.3 Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur
dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi girus dan masuk kedalam sulkus
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga dibungkus oleh
piamater.

Gambar 2. Meningen

2.2.4 Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang beratnya sekitar 14 kg pada orang dewasa.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum
dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang)
terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

2.2.5 Cairan Serebrospinalis


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka
rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.

Gambar 3. Cairan cerebrospinalis


2.2.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).

2.2.7 Perdarahan Otak


Otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Venavena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.

2.3

Epidemiologi

Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan trauma kepala
berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1-3
kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan dengan
perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan
faktor umur yang merupakan faktor resiko pada cedera kepala (blunt head injury).
Perdarahan subdural biasanya lebih sering ditemukan pada penderita-penderita dengan
umur antara 50-70 tahun. Pada orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh
sehingga lebih mudah pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural
lebih luas, tidak ada adhesi, sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat
pada bayi-bayi.
2.4

Klasifikasi

2.4.1 Perdarahan akut


Dikatakan sebagai perdarahan akut apabila gejala yang timbul segera kurang dari 72
jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu
kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran CT-scan, didapatkan lesi hiperdens.

2.4.2 Perdarahan sub akut


Perdarahan sub akut biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari
sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak
merespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi
sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran CT-scan didapatkan lesi
isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.

2.4.3 Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Gejala perdarahan
subdural kronik dapat muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja
bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan
vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus
berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma,
pada hematom yang baru kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan araknoid. Kapsula dapat melekat pada araknoid bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah
dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan membesarnya
hematoma.
Darah di dalam kapsul akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti
pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT-scan didapatkan lesi hipodens.
Jamieson dan Yelland mengklasifikasikan SDH berdasarkan keterlibatan jaringan otak
karena trauma. Dikatakan SDH sederhana (simple SDH) bila hematoma ekstra aksial
tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim otak, sedangkan SDH kompleks
(complicated SDH) adalah bila hematoma ekstra axial disertai dengan laserasi parenkim
otak, perdarahan intraserebral (PIS) dan apa yang disebut sebagai exploded temporal
lobe. Lebih dari 70% perdarahan intraserebral, laserasi dan kontusio parenkim otak
yang berhubungan dengan SDH akut disebabkan oleh trauma kounterkup (contrecoup),
kebanyakan dari lesi parenkim ini terletak di lobus temporal dan lobus frontal. Lebih dari
dua pertiga fraktur pada penderita SDH akut terletak di posterior dan ini konsisten
dengan lesi kounterkup.

2.5

Etiologi

Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional
yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan
subdural dapat terjadi pada:

a. Trauma

Trauma kapitis

Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran

otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila

ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada
anak-anak.
b. Non trauma

Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural.

Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural

yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

2.6

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

Patofisiologi

Perdarahan terjadi antara duramater dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoid. Karena otak
dikelilingi cairan serebrospinal yang dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam
keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat dimana mereka menembus duramater. Perdarahan
yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal.
Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium
atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan
diantara hemisfer bagian medial dan falks, juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi
traumatik dari arteri perikalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural
interhemisferik akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada
anak-anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium

sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby
syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan
menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor
serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun
hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga lebih lama
dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari.
Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang
membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di
dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran
ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari
cairan likuor ke aksis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang
cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai
berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang cukup
besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen
magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui insisura
tentorial oleh meningkatnya tekanan supratentorial. Juga pada hematoma subdural
kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari
subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam
kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang

mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial


dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di
dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah
merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada
perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap meluas ke
seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi.
Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak
dan tipis yang menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada
skar, sehingga membuat skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat
menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada
perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi
tubuh setiap individu sendiri.
Prinsipnya kalau berdarah, pasti ada suatu proses penyembuhan. Terbentuk granulation
tissue pada membrane luar. Fibroblas kemudian akan pindah ke membrane yang lebih
dalam untuk mengisi daerah yang mengalami hematom. Untuk sisanya, ada dua
kemungkinan (1) direabsorbsi ulang, tapi menyisakan hemosiderofag dengan heme di
dalamnya, dan (2) tetap demikian dan berpotensi untuk terjadi kalsifikasi.

Gambar 4. Patofisiologi SDH

2.7

Manifestasi Klinis

Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor yaitu: beratnya cedera otak yang terjadi
pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH. Penderitapenderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang
membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita
dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu
sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact).

Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan


penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan tidak akan
kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. SDH dan lesi massa intrakranial
lainnya yang dapat membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran
setelah kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita
tidak sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan beberapa lucid interval.
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa
hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling
sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak biasanya
terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit
motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator
yang mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai
bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi
kompresi pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma
langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil
lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH.
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada tingkat yang
ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran hematom
subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek
massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil
edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis
lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.

a. Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma
ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda
status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan
dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran
atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan, sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk
dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

sakit kepala yang menetap

rasa mengantuk yang hilang-timbul

linglung

perubahan ingatan

kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

2.8

Diagnosis

2.8.1 Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala
atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau
pingsan. Jika ada tanyakan pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar
seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi
kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk
tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk
mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan
nafas atas, atau karena proses intrakranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar
perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak
sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang
sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam
pengaruh alkohol.
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan
atau obstruksi, bila perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal lalu diikuti
dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk
memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan
untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan
Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit
neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai
kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat
stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adanya defisit

neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya
sistem kortikospinal di sepanjang korteks menuju medula spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS,
lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan
neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan
hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat
pemeriksaan menjadi lebih sulit.

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH.
Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan
intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH.
Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
c. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila dicurigai terdapat suatu lesi
pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan
secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
1)

Perdarahan Subdural Akut

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu
massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam
(inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah
parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang
sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya
unilateral.

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran
garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau
besar volumenya. Bila tidak adamidline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral
dan bila midline shifthebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak
bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap bridging veins yang terdapat disana.
Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran
falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.
2)

Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan
kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48
72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan
tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan
tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak.
Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada alat CT
generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa kontras.
3)

Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan
dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis
muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan
berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hiperdens) dan kronis
(hipodens).
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan
ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat
untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI
pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk
menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak
dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak
nonperdarahan, kontusio, dan cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis

bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas
pada CT-scan.

Gambar 5. MRI pada SDH

2.9

Diagnosis Banding

a. Stroke
b. Encephalitis
c. Abses otak
d. Adverse drugs reactions
e. Tumor otak
f. Perdarahan subarachnoid
g. Hydrocephalus

2.10

Penatalaksanaan

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan
tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan
medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti
pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.

2.10.1 Tindakan Tanpa Operasi


Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah
yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal
hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian
mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita
ini mendapat perbaikan fungsional.
Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan
intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 15. Hanya 6% dari penderita yang
membutuhkan operasi untuk SDH.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita
suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit
neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi.
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek
massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan
operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan
memperbaiki keadaan intraserebral.
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi pusat
pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon untuk
operasi.

2.10.2 Tindakan Operasi


Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang
progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang
tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan
operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran midline
shift > 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan pergeeran
struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara saat kejadian
sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Gambar 6. Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub
dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca.
Kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang
sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi
kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dengan
lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi
sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan kenyal
apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut
mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih
kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma dan lokasi kerusakan
parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana di dapatkan hematoma
dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma,
tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan
kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibuka lebar dan hematoma dievakuasi dari
permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah

keruang subdural, dilakukan irigasi, kemudian surgical pattiesdisedot (suction). Surgical


patties perlahan lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat pada surgical
patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan kateter
kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral direseksi. Dipasang
drain 24 jam diruang subdural, duramater dijahit rapat.
Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi
dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh hematoma,
merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema serebral
pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan
ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula
dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini. Penggunaan teknik
ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai
berkurang.
Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias
klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan
kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi
uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi
Operasi, yaitu:

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT scan


kepala tidak bisa dilakukan.

2.10.3 Perawatan Pascabedah


Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasi pun kita harus tetap berhati-hati, karena pada sebagian pasien dapat
terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural
empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension
pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya
reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi
dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan tomografi pasca kraniotomi
sebaiknya juga dilakukan.

2.10.4 Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

2.11

Komplikasi

Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak biasanya
berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa hematom
yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien
mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran
CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah
dilakukan tindakan intrakranial.
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis, seperti
kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi
operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus
terjadi pada 2,3% kasus.
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari
pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilaporkan sekitar 1222%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema subdural,
abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah
operasi drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya
komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara
bersamaan.

2.12

Prognosis

Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak
berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga
hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain,
memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,
karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang

disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat
dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1 cm),
prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan
subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan
mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan subdural akut yang sederhana
(simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas sekitar 20%.
Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai
parenkim otak , misalnya kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan
volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan
biasanya berhubungan dengan volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift.
Akan tetapi, hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau
tidaknya kontusio parenkim otak.
Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan
menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil
apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila
dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan
kematian.
Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan
faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma
ekstra axial di ruang subdural.
Menurut Jamieson dan Yelland derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi
adalah satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH
akut. Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan
penderita SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40%
65%. Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang bermakna antara
derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis
berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada
penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil bilateral
negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survivalsebesar 10%.

2.13

Penanganan Anestesi

2.13.1 Pemeriksaan prabedah


Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain,
hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping kelainan serebral,
terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll. CT scan menunjukkan
adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna

basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus


hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas).
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan abnormal
dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan normal dan GCS
3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing, tekanan sistolik < 90
mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih
disukai karena selain dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk
terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan serebrospinal.
Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan
intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70
mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300, mengendalikan
kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh normal, tidak ada
obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan semua homeostasis
fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini
gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam
manuver first-tier dan second-tier terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter
intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari 10
menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara
mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat
menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase resusitasi awal bila tidak
dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak diketahui. Karena itu,
dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama terapi mannitol dan
osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi
moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan
intrakranial dengan mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan
singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan
intrakranial yang refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian
mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi barbiturat dan, 3)
craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg
mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespon
terhadap first-tier terapi. Bila digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular

venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk
menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit intrakranial
misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala yang berkembang
menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan
sebagai good recovery atau moderate disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu penurunan
kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi adanya massa
hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua
memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi
intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume darah otak yaitu
dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin
digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi
leher netral (untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat,
glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan
kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam (lakukan hipotermi
ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi secara hati-hati karena hipertensi
umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda herniasi
transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama transportasi pasien
untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi, confus sering terdapat
pada pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh
otot mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan.
Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila
pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan
transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya
pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu
dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda herniasi
transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis yang bukan
disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif
peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan
frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume.

Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi


intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum
adekuat jangan dulu diberi mannitol.

2.13.2 Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi di unit
gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum
dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi
harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia,
dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil
menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat
meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama pemberian oksigen
100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5
mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate
0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan.
Akan tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien
dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh
otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan tetapi
keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan pilihan, terutama,
untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg
merupakan alternatif yang memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan
sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat dilakukan
dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan
dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh,
dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90
detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap
laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum
laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.

Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa
nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama
berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan
adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam
rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan
intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi
otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi
intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan
tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini berhubungan dengan
penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat depresi metabolisme. Obatobat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu.
Tiopental dan pentobarbital mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada
cedera kepala, iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat
mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial
yang menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak
traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan
darah turun.

2.13.3 Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila masih tidak
sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas spontan. Harus
diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up, jalan nafas bebas
sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi, normovolemia,
isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C). Berikan fenitoin sampai 1 minggu
pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam pascabedah.

BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Tanggal masuk RS

: MR, Pria, umur 19 tahun, TB =165 BB = 70 kg


: 29/8/2013

Jam masuk RS

: 23.00

Anamnesis

Keluhan Utama

: Penurunan kesadaran

Mode of Injury

: Terseret ke bawah mobil

Injury sustain

: Cedera kepala

Primary Survey
A

: Airway: unclear; snoring: (+); gurgling: (-); crowing: (-); gerak leher : bebas;

c-spine:
B

: Nafas spontan RR: 32 x/menit; suara pernafasan (SP) : vesikuler; suara

tambahan (ST): -; Pneumotoraks (-)


C

: Akral: dingin/pucat/kering; pulsasi: (+), frekuensi: 56 x/menit reguler, t/v:

cukup;

TD: 120/60 mmHg

: Sens: sopor; GCS : 8 (E2M4V2) pupil bulat isokor: : ka 3 mm / ki 3 mm; RC

(+/+)
E

: Ekstremitas superior : fraktur (-), edema (-)

Ekstremitas inferior : exocated wound pada regio poplitea kanan

Secondary Survey
B1

: Airway : clear; snoring: (-); gurgling: (-); crowing: (-);

RR : 28 x/menit ; suara pernafasan (SP): vesikuler; suara tambahan (ST): ;


malampati (MLP): 1 ; gerak leher (GL): bebas; jarak mentum hyoid (JMH) : > 6cm ;
buka mulut (BM): 3 jari ;
SpO2: 98%; riwayat sesak: (-); asma (-); batuk (-); alergi (-); pneumotoraks (-)
B2
cukup,

: Akral: dingin/pucat/kering; pulse: (+),frekuensi: 56 x/menit; reguler, t/v:


TD: 120/60 mmHg

B3

: Sens: sopor; GCS : 8 (E2M4V2) pupil bulat isokor: : ka 3 mm / ki 3 mm; RC

(+/+); laserasi (+) regio frontal ukuran : 7 x 0,5 cm dasar subkutis, pinggir luka
rata; bloody rinorrhea (-), bloody otorrhoe (-), battle sign (-).
B4

: UOP (+), kateter terpasang, vol : 150 cc resting urin, warna : kuning pekat

B5

: Abdomen: simetris, soepel, peristaltik (+), MMT: Makan terakhir jam 19.00

(29/8/2013)
B6

: Ekstremitas superior : fraktur (-), edema (-)


Ekstremitas inferior : exocated wound pada regio poplitea kanan

Telaah : Hal ini dialami pasien 1 jam yang lalu sebelum masauk

RS. Pasien

mengendarai sepeda motor dan menabrak mobil di depannya, pasien kemudian terseret
ke bawah mobil. Riwayat pingsan dijumpai. Riwayat mual dan muntah tidak dijumpai.
Makan minum terakhir (MMT): pukul 19.00 (29/8/2013).
RPT

RPO

: Tidak Jelas

Penanganan di IGD
Prima
ry
Surve
y

Kesimpul
Gejala

an

Tindakan

Evaluasi

Snoring:
(+),
Gargling:

Head tilt, chin

(-),

lift,

Crowing:

Airway:

pemasangan

Airway :

(-)

unclear

pipa orofaring

cleat

RR: 32

O2 maskernon

Sesak

x/i

rebreathing 5

berkura

L/i

ng

SP/ST:

vesikuler
/-

RR 28
x/i

SpO2:
95%

Elevasi

kepala 30

IV line 18 G

dan three way

IVFD R-Sol

20 gtt/i

Akral:

Inj.

Ketorolac 30 mg

D/P/K

Pulse:

Inj.

Ranitidin 50 mg

(+), frek
56 x/I,

Inj.

reg, t/v

Ceftriaxon 1 gr

cukup,

TD

Cek lab DR,

elektrolit, RFT,

120/60

Tidak

HST, KGD ad

mmHg

dehidrasi

random, AGDA

Sens:

Penuruna

IVFD Manitol

Sopor

20% 300 cc

GCS: 8 ,

kesadara

pupil

isokor ki

Inj. Phenitoin
100 mg

3 mm/
ka 3 mm

CT-scan

RC: +/+

kepala

Laserasi

(+) regio

luka

Debridement

frontal
ukuran :

Foto cervical

7 x 0,5
cm dasar

subkutis,

Foto schaedel

pinggir

AP/Lateral

luka rata

Ekstremit
as
superior
: Fraktur
(-),
edema
(-)
Ekstremit
as
inferior :
exocated
wound
pada
regio
poplitea
kanan
Ekstremit
as
inferior :
exocated
wound
pada
regio
poplitea

AP

Foto pelvic

kanan

Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan Darah Lengkap
Test (30-8-2013)
Pukul: 00.03 WIB
Hemoglobin

Hasil

Nilai Normal

15 g %

13.2 17.4 g %

4.5 11.0

Leukosit

Hematokrit

20, 2 x 103/mm3

x103/mm3

42,9 %

43 49 %

150 450

Trombosit
251 x 10 /mm
3

Parameter

KGD ad random

pH

x103/mm3

Hasil

Nilai Normal

138,3 mg/dl

< 200 mg/dl

7,262

7,35 7,45

45 mmHg

38 42

92,1 mmHg

85 100

19,9 mmol/L

22 26

pCO2

pO2

HCO3

BE

-7,0 mmol/L

(-2) (+2)

PT

13,5 detik

12,9

APTT

31,6 detik

31,7

TT

15,6 detik

16,2

INR

1,05 detik

Ureum

16,5 mg/dl

< 50 mg/dl

Creatinin

1,18 mg/dl

0,7- 1,2 mg/dl

Natrium (Na)

135 mEq/L

135 155

Kalium (K)

2,8 mEq/L

3,6 5,5

Klorida (Cl)

100 mEq/L

96 106

Foto Thoraks

Jantung ukuran Normal. Tidak tampak area hiperlusen tanpa corakan bronkovaskuler di
kedua paru. Sudut kostofrenikus kanan kiri lancip. Tidak tampak fraktur kosta kanan dan
kiri. Kesan : Tidak ada kelainan pada cor dan pulmo

Foto scaedel AP dan lateral

Tidak dijumpai fraktur tulang tengkorak

Foto cervikal lateral

Tidak dijumpai fraktur tulang cervikal


Foto Pelvic AP

Tidak dijumpai fraktur pada tulang-tulang pelvis

CT Scan

Bone : Intak
Brain : Midline Shift < 1 cm

Sisterna basalis menyempit (+)

Lesi hiperdens crescent dengan tebal > 1 cm

Sistem ventrikel baik

Diagnosa : Acute Subdural Hematom


Rencana Tindakan :
Kraniektomi dekompresi
Pre-Op
-ACC untuk tindakan Anestesi pasien, persiapkan :

SIA (Surat Izin Anestesi)

Pasang IV line di kaki kanan (18 G) dan kaki kiri (16 G) + three way + Transfusi
set + IVFD RL 30 gtt/I dan pastikan lancar.

Oral dan personal hiegine

Anjuran : persiapan 2 kantong whole blood, untuk persiapan transfusi durante op.

Persiapan Alat dan Obat:

Teknik Anestesi:

Preoksigenasi 100% 8 liter per menit selama 5 menit

Premedikasi midazolam 5 mg, Fentanyle 100 mg iv

Induksi: propofol 80 mg (filtrasi) sleep non apnoe eye lid refleks (-) injeksi
rocuronium 50 mg iv sleep apnoe sellick manuever

Insersi ETT no 7,5 cuff (+) SP ka=ki fiksasi

Maintenance: O2 2l/mnt. sevoflurane 0,5-2%, rocuronium 10 mg tiap 20-30 menit

Durante Operasi

Lama operasi

: 3 jam 15 menit

TD

: 120-140/ 80-90 mmHg

HR

: 80100 x/mnt

RR

: 16-20 x/mnt

SpO2

: 99-100%

Perdarahan

: 900 cc

Penguapan + maintenance: (6x3x70) + 110 = 1370cc

UOP

: 300 cc/ jam

Cairan :

PO

: Ringer Solution 1000 cc

DO

: Ringer Solution 2500 cc WB 350 cc

Foto Durante Operasi

Pemeriksaan Fisik Post Op di RR COT

B1 : Airway clear , RR 12x/menit, SP vesikuler, ST -/-.

B2 : Akral: H/M/K, TD: 100/60 mmHg, HR: 60x/menit, T/V kuat/cukup, reguler,
T: 36,5 C

B3 : Sens: GCS 9 (E2M5V2), pupil isokor, 3 mm/3 mm, RC +/+.

B4 : UOP (+), vol. 300cc/ jam, warna kuning jernih

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (-), NGT (+)

B6 : Oedem (-)

warna jernih

Terapi Post op di Pasca Bedah

Bed Rest, Head up 300

Diet SV 1800 kkal + 60 gram protein

IVFD R Sol 30 gtt/i

IVFD Manitol 20% 125 cc/6 jam

Fentanyl 200 g + 15 mg Midazolam dalam 500 cc NaCl 0,9% 3 cc/jam

Ecron dalam 50 cc NaCl 0,9% 4 cc/jam

Inj. Ceftriaxon 2 gr/12 jam/ iv

Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam/iv

Inj. Phenytoin 100 mg/8 jam

Vit C 1 gr/hari

NaturE 1 x 200 IU

Foto Pasien Post Op

Follow Up
Tanggal

31

Penuru

B1:

Post craniectomy

Agustus

nan

airway

dekompresi

SV 1800

2013

kesadar

clear

evakuasi SDH

kkal + 60

an

terintub

(H1)

gr protein

Diet

asi
modus

control

Fentanyl

TV 400,

280 g +

RR: 14

15 g

x/i,

midazola

FiO2:

m + 50

50%,

ml NaCl

PEEP:

0,9% 3

5, SP:

cc/jam

vesikul
ar, ST:

-,

Ecron

SaO2:

10mg 3

100%

cc/jam

B2:

akral:

Ceftriaxon

H/M/K,

e2

TD:

gr/12jam

Inj

119/72
mmHg,

Inj

HR: 82

Ranitidin

x/i

50
mg/12ja

B3:

sens:
DPO,

Inj

pupil

Phenitoyn

isokor,

100

RC +/+

mg/8jam

B4:

uop(+)

Manitol

warna

20% 125

kuning,

cc/6 jam

vol. 50
cc/jam

Natur E

B5:

1200 IU

abdom
en

soepel,

30 gtt/i

peristal
tik (-)

R sol

B6:
oedem
(-)

B1:

Post craniectomy

Bed

September

airway

a/i acute SDH

rest +

2013

clear,

(R)

head up

RR: 16

frontotemporopar

30o

x/i, SP:

ietal (H2)

Diet

vesikul

SV 1500

ar, ST:

kkal + 50

-,

gr protein

SaO2:
100%

Morfin 10

B2:

mg +

akral:

midazola

H/M/K,

m 15 mg

TD:

dalam 50

120/80

cc NaCl

mmHg,

0,9% 2

HR: 80

cc/jam

x/i

Inj

B3:

Ceftriaxon

sens:

e 2 gr/12

somnol

jam

en,
GCS:

Inj

10

Ranitidin

E3V2M

50 mg/12

5, pupil

jam

isokor,
RC +/+

Inj

Phenytoin
B4:

100 mg/8

uop(+)

jam

warna


Manitol
20% 125
cc/6 jam
kuning,
vol. 50

cc/jam

Natur E
1x 200 IU

B5:
abdom

IVFD

en

R Sol 30

soepel,

gtt/i

peristal

tik (+)

Cek

darah
B6:

rutin,

oedem

AGDA,

(-)

elektrolit

B1:

Post

September

airway

hemicraniectomy

Bed rest

2013

clear,

decompresi d/t

+ head

RR:

SDH o/t (R) FTP

up 30o

16x/i,

(H3)

SP:

Diet SV

vesikul

1500 kkal

ar, ST:

+ 50 gr

-,

protein/

SaO2:

hari

98%

B2:

Morfin 20

akral:

mg +

H/MK,

midazola

TD:

m 15 mg

118/70

dalam 50

mmHg,

cc NaCl

HR: 72

0,9% 4

x/i

cc/jam

B3:

sens:

Inj

apatis,

Ceftriaxon

GCS:

e 2 gr/12

12

jam

E3V4M
5, pupil

isokor,

Inj

RC +/+

Ranitidin
50 mg/12

B4:

jam

uop(+)
warna

kuning

Inj

jernih,

Phenytoin

vol.

100 mg/8

100

jam

cc/jam

B5:

Vitami C

abdom

2 gr/ 24

en

jam

soepel,
peristal

tik (+)

Natur E
1x 200 IU

B6:
oedem

(-)

IVFD R
Sol 30
gtt/i

Cek darah
rutin,
AGDA,
elektrolit,

RFT

BAB 4
DISKUSI

TEORI

KASUS

Subdural hematoma akut


dilaporkan terjadi pada 5-25%
pasien dengan trauma kepala

Pada kasus ini pasien pria

berat, berdasarkan suatu

berumur 19 tahun mengalami

penelitian. Laki-laki lebih

cedera kepala karena terseret ke

sering terkena daripada

bawah mobil saat mengendarai

perempuan dengan

sepeda motor dan menabrak

perbandingan 3:1

mobil di depannya

Gejala klinis pada perdarahan


akut timbul kurang dari 72 jam
setelah trauma berupa

Penurunan kesadaran timbul

penurunan kesadaran,

sejak 1 jam yang lalu. Pasien

gangguan hemodinamik, pupil

didiagnosa dengan subdural

anisokor dan defisit motorik

hematom akut dengan GCS 8

Primary Survey meliputi

Permeriksaan menilai jalan

pemeriksaan primer (primary

napas telah dilakukan di IGD

survey) yang mencakup jalan

pada Primary Survey

nafas (airway), pernafasan


(breathing) dan tekanan darah

Airway didapati unclear; snoring

atau nadi (circulation).

Pasien dilakukan head tilt, chin

Jalan nafas harus dibersihkan


apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang
pipa orofaring atau pipa

lift and dipasang pipa orofaring

endotrakeal lalu diikuti dengan


pemberian oksigen.

Breathing didapati nafas spontan


RR: 32 x/menit dengan

Diperiksa nadi dan tekanan

SpO2 95%

darah unntuk memantau

Pasien dipasang O2 masker non

apakah terjadi hipotensi, syok

rebreathing dengan O2 5

atau terjadinya peningkatan

liter/menit

tekanan intrakranial. Jika

Circulation Akral:dijumpai

terjadi hipotensi atau syok

dingin/pucat/kering; pulsasi:

harus segera dilakukan

(+), frekuensi: 56 x/menit

pemberian cairan untuk

reguler, t/v: cukup,;

mengganti cairan tubuh yang

120/60 mmHg

hilang.

Pasien dipasang IV line 18 G di

TD:

tangan kiri dengan cairan R Sol


Pemeriksaan neurologik yang

20 gtt/i

meliputkan kesadaran
penderita dengan

Disability dijumpai sensorium

menggunakan Skala Koma

sopor; GCS : 8 (E2M4V2) pupil

Glasgow, pemeriksaan

bulat isokor: : ka 3 mm / ki 3

diameter kedua pupil , dan

mm; RC (+/+) kejang dan

tanda-tanda defisit neurologis

muntah tidak dijumpai.

fokal

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah

minimal meliputi, pemeriksaan

dijumpai leukosit meninggi

darah rutin, elektrolit, profil

sebesar 20,2 x 103/mm3

hemostasis/koagulasi.

Pada pemeriksaan Analisa Gas


Darah dijumpai asidosis

Pemeriksaan foto tengkorak

respiratorik dan metabolik

tidak dapat dipakai

dengan pH 7,262, pCO2 45

memperkirakan SDH tetapi

mmHg, HCO3 19,9 mmol/L dan

hanya untuk melihat ada

BE -7,0 mmol/L.

tidaknya fraktur.

Pada foto toraks tidak dijumpai

adanya kelainan.
Pada foto scaedel AP dan lateral
tidak dijumpai adanya kelainan
Pada foto servikal lateral dan
Pemeriksaan CT lesi tampak

pelvis AP tidak dijumpai adanya

sebagai suatu massa hiperdens

kelainan

(putih) ekstra-aksial berbentuk


bulan sabit sepanjang bagian

Pada foto CT-scan bone

dalam (inner table) tengkorak

windowtampak tulang intak

dan paling banyak terdapat

pada brain window

pada konveksitas otak di

tampak midline shift<1

daerah parietal. Terdapat

cm, sisterna basalis menyempit,

dalam jumlah yang lebih

terdapat lesi

sedikit di daerah bagian atas

hiperdens crescent dengan tebal

tentorium serebeli. Subdural

> 1 cm dan sistem ventrikel

hematom berbentuk cekung

baik. Pasien didiagnosa dengan

dan terbatasi oleh garis sutura.

subdural hematom.

Tatalaksana non
medikamentosa untuk
menurunkan TIK adalah
dengan elevasi 15-30
Tatalaksana dengan
medikamentosa untuk

Pada pasien ini dilakukan elevasi

menurunkan peningkatan

kepala 30

tekanan intrakrania seperti


pemberian manitol 1 gr/kgBB,

Diberikan cairan manitol 20%

hiperventilasikan

sebanyak 70 gram 350 cc

Kriteria penderita SDH

Pada pasien ini, GCS-nya kurang

dilakukan operasi adalah:

dari 9, lesi perdarahan > 1


cm, midline shift < 1 cm

a. Pasien SDH tanpa melihat

Tindakan operasi yang dilakukan

GCS, dengan ketebalan > 10

adalah kraniektomi dekompresi

mm atau pergeseran midline

shift > 5 mm pada CT-scan


b. Semua pasien SDH dengan
GCS < 9 harus dilakukan
monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <
9, dengan ketebalan
perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline
shift. Jika mengalami
penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai
saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS <
9, dan/atau didapatkan pupil
dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS <
9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah burr hole
craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain.
Dan yang paling banyak
diterima untuk perdarahan sub
dural kronik adalah burr hole
craniotomy. Karena dengan
tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal.
Pada pasien dengan subdural

Tidak dijumpai komplikasi pada

hematom kronik yang

pasien ini.

menjalani operasi drainase,


sebanyak 5,4-19% mengalami
komplikasi medis atau operasi.
Komplikasi medis, seperti

kejang, pneumonia, empiema,


dan infeksi lain, terjadi pada
16,9% kasus. Komplikasi
operasi, seperti massa
subdural, hematom
intraparenkim, atau tension
pneumocephalus terjadi pada
2,3% kasus.

BAB 5
KESIMPULAN

Subdural hematoma adalah perdarah yang terjadi di ruang subdural yang disebabkan
karena robeknya bridging veins. Perdarahan disebabkan trauma langsung pada kepala

yang kemudian memicu timbulnya akselsari dan deakselerasi jaringan otak sehingga
merobek pembuluh darah terutamabridging veins. Perdarahan subdural paling sering
terjadi pada permukaan lateral hemisferi dan sebagian di daerah temporal.
Subdural hematom dibagi menjadi akut, subakut, dan kronis. Gejala yang ditimbulkan
akibat terkumpulnya hematom yang mendesak otak dapat berupa nyeri kepala, mual
muntah, kejang, serta dilatasi pupil dan hemiparesis apabila terjadi herniasi.
Penanganan yang cepat dan adekuat menentukan besarnya hematom dibantu dengan
pemeriksaan penunjang, dan kemudian dilakukan tindakan berupa evakuasi hematom.
Tindakan yang bisa dilakukan dapat berupa konservatif (medikamentosa) atau berupa
tindakan operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

2.

Ayu, IM. 2010. Chapter II. USU Respiratory: Universitas Sumatera


Utararepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21258//Chapter%20II.pdf.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN


DENGAN SUBDURAL HEMATOMA
A. PENGKAJIAN
1. Hal
penting
yang
harus

Saat

Bagaimana
posisi

Faktor

Adanya
fraktur
dan
2.
Status

Perubahan

Pusing

Menurunnya

Kegelisahan
atau

Pupil;
ukuran,
refleks

3.
Status

Mual4.
Status

Kesukaran
bernafas

Depresi

Nafas

5.
Glascow
Coma
Menggunakan
3
area
pengkajian,

diperhatikan

:
kejadian
Tempat
saat
kejadian
Serangannya
Lamanya
pencetus
status
kesadaran
neurologi
kesadaran
kepala
Vertigo
refleks
Malaise
Kejang
Iritabel
agitasi
terhadap
cahaya.
Hemiparesis
Letargi
Koma
gastrointestinal
muntah
kardiopulmonal
atau
sesak
nafas
lambat
Hipotensi
Bradikardi
Scale
yaitu
:

Eyes
Verbal
Motor

(E)
(V)
(M)

response
response

Normal = 15 dan 8 indikasi koma


ANALISA DATA
NO

DATA

DS
:pasien mengatakan
sussah
1
bernapas
DO : pasien terlihat terengah-engah,
terlhat
pernapasan
cuping
hidung,

DS : pasien mengatakan pusing


DO
2 : pasien terlihat pucat, pasien
terlihat lemas
DS
3

: pasien mengatakan susah


bergerak
DO : aktifitas pasien dibantu
keluarga

DS : pasien mengatakan kepalanya


4
sakit
DO:
pasien
terlihat
meringis
kesakitan, skala nyeri 4

ETIOLOGI
gagal nafas, adanya
sekresi,
gangguan
fungsi pergerakan,
meningkatnya
tekanan intrakranial,
penurunan
kesadaran.

Risiko tidak efektif


bersihan jalan nafas
dan tidak efektif
pola nafas

PROBLEM

edema
serebral,
peningkatan tekanan
intracranial

Perubahan perfusi
jaringan serebral

penurunan kesadaran
(soporos-coma)

Keterbatasan
aktifitas

trauma kepala

Nyeri

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan, gagal nafas, adanya
sekresi, gangguan fungsi pergerakan, meningkatnya tekanan intrakranial, penurunan kesadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral, peningkatan tekanan intracranial
3.Keterbatasan
aktifitas
sehubungan
dengan
penurunan
kesadaran
(soporos
coma
4. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala

C. INTERVENSI
1.
Tidak
efektif
pola
nafas
berhubungan
dengan
penurunan
kesadaran.
Tujuan
:
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
pola
nafas
kembali
efektif.
Kritera hasil :
- Pola nafas normal 12-22 x/menit.
-Kesadaran meningkat
- Klien tampak nyaman.
Mandiri Kaji A,B,C.
-Kaji apakah ada fraktur servikal dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati
dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. jika ditemukan ada fraktur servikal 8 posisi kepala sedikit
ekstensi
dan
tinggikan
15
30
derajat
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan.
-Kaji status pernafasan; kedalamannya, usaha dalam bernafas

- Kaji tanda-tanda vital setiap 2 - 4 jam


-Kolaborasi Pemberian oksigen sesuai program
2. Perubahan perfusi jaringan serebral dan resiko peningkatan TIK b.d perdarahan dan edema cerebral
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perubahan perfusi jarinagn serebral dan resiko peningkatan
TIK tidak terjadi.
Kriteria hasil :
- Perfusi jaringan jaringa baik.
- Tidak terjadi penurunan kesadaran
- GCS meningkat (13-15)
- Perdarahan teratasi.
- Edema berkurang/tidak ada.
Mandiri:
- monitor/obs tanda vital tiap 4 jam dan memonitor/obs kesadaran / GCS setiap 4 jam
Rasional:mengetahui perkrmbangan pasien
-berikan posisi Elevasi kepala 30 derajat setiap 4 jam
Rasional : menurunkan tekanan vena jugularis
-tentukan
faktor2
penyebab
penurunan
perfusi
jaringan
otak/resiko
TIK
meningkat.
-catat
status
neurologis
secara
teratur
dan
membandingkan
dg
nilai
normal
-pertahankan
tirah
baring
miring
kiri/kanan
dengan
posisi
kepala
netral
-kaji
kondisi
vaskular
(suhu,
warna,
pulsasi
dan
capillary
refill)
tiap
8
jam
-mencatat intake dan output.
Rasional : mengetahui balance cairan
Kolaborasi:
-berikan O2 kanul 4 l/mnt
-beri
pertimbangan
pemeriksaan
AGD,
LED,
Leukosit
setelah
3
hari
perawatan
-Pemasangan cairan IV NaCl 0,9% /12 jam
berikan obat-obatan injeksi :
Citicolin
2
x
500
mg
Ranitidin
2
x
1
ampl
Vit
C
1
x
400
mg
Kaltropen
3
x
1
ampl
- Dexametason 4 x 1 ampl - Cefriaxon 2 x 2 gr
3. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )
Tujuan:Kebutuhan
dasar
pasien
dapat
terpenuhi
secara
adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
-Berikan
penjelasan
tiap
kali
melakukan
tindakan
pada
pasien.
Rasional :Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien
dengan
kesadaran
penuh
atau
menurun.
-Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
-Berikan
bantuan
untuk
memenuhi
kebutuhan
nutrisi
dan
cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan
perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
-Ajarkan teknik gerak aktif.
Rasional :melatih gerak pasien
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga
dapat
memahami
peraturan
yang
ada
di
ruangan.

-Berikan
bantuan
untuk
memenuhi
kebersihan
dan
keamanan
Lingkungan
yang
bersih
dapat
mencegah
infeksi
dan
4.Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan nyeri berkurang.
Criteria hasil :
-klien tenang,nyeri kepala dan pusing hilang
-skala nyeri 2-3
-tanda vital normal
Intervensi :
-kaji skala nyeri,lokasi dan intensitas nyeri.
Rasional :mengetahui derajat nyeri untuk menentukan intervensi.
-pertahankan posisi semi fowler.
Rasional :memberikan posisi nyaman dan mengurangi nyeri.
-ajarkan teknik relaksasi
Rasional : supaya nyeri berkurang.
-kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgetik.

lingkungan.
kecelakaan.

D. EVALUASI
DX I :
- Pola nafas normal 12-22 x/menit.
-Kesadaran meningkat
- Klien tampak nyaman.
DX II :
- Perfusi jaringan jaringa baik.
- Tidak terjadi penurunan kesadaran
- GCS meningkat (13-15)
- Perdarahan teratasi.
- Edema berkurang/tidak ada.
DX III :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.

DX IV :
-klien tenang,nyeri kepala dan pusing hilang
-skala nyeri 2-3
-tanda vital normal

G. PENGKAJIAN PRIMER a. Airway Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah
karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis b. Breathing Inspeksi frekuensi nafas,
apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji
adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing. c. Sirkulasi Kaji adanya tanda-tanda syok
seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan

produksi urin. d. Disability Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum. e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka. H. PENGKAJIAN SKUNDER - Kepala Kelainan
atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan
lunak periorbital - Leher Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang - Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS - Dada Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas
dan jantung, pemantauan EKG - Abdomen Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan
trauma tumpul abdomen - Pelvis dan ekstremitas Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah
trauma, memar dan cedera yang lain I. DIAGNOASA KEPERAWATAN YANG MUNCUL 1. Gangguan
perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral 2. Pola nafas tidak
efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi
/kognitif) 3. Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan 4.
Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas 5. Gangguan pola nafas b.d
adanya depresi pada pusat pernafasan 6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran 7. Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran 8.
Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Anda mungkin juga menyukai