Anda di halaman 1dari 5

INSIDENS PENYAKIT LAYU BAKTERI DARAH DAN LAYU FUSARIUM

PISANG DI SAMBUNG MACAN SRAGEN DAN


TAWANGMANGU KARANGANYAR
Disease Incidence of Blood Bacterial Wilt of Banana and Fusarium Wilt in
Sambungmacan Sragen and Tawangmangu Karanganyar
Hadiwiyono

ABSTRACT

In

the latest years, the banana farmers in most provinces of Indonesia faces a serious problem caused
by wilt pathogen. Wilt of banana was caused by Blood Disease Bacterium (BDB) and Fusarium
oxysporum f.sp. cubense. In Sambungmacan Sragen and Tawangmangu Karanganyar is a couple
area of endemic disease of wilt banana. This paper reports the survey result of disease incidences of blood bacterial
wilt and fusarium wilt of banana in the two areas. The survey results showed that wilt banana in Sambungmacan
Sragen and Tawangmangu Karanganyar caused by blood bacterial wilt and F. oxysporum f.sp. cubense with the
disease incidence 40.30-80.70 % and 0.00-7.60 % respectively. In Sambungmacan Sragen, the disease incidence was
dominated by blood bacterial wilt especially on cv. Kepok Kuning and Raja Bandung with disease incidences 86.78
% and 78.46 % respectively. In Tawangmangu Karanganyar, the disease incidence was more dominated by Fusarium
wilt with the most high on cv. Ambon group followed by Byok, Kapok group, and Raja Bandung with disease
incidences 14.17%, 2.67%, 2.10%, and 1.60% respectively.
Key words : blood bacterial wilt, fusarium wilt, disease incidences, banana

PENDAHULUAN
Pisang (Musa spp.) merupakan tanaman penting
di Indonesia karena sebagian besar petani menanamnya.
Petani umumnya menanam pisang dengan cara
sederhana di sekitar kebun atau tempat lainnya sebagai
tanaman pengisi atau sela dalam lahan kosong. Banyak
juga pisang yang ditanam di pematang sawah. Petani
hampir tidak mengeluarkan biaya produksi pisang.
Mereka menggunakan bibit dan pupuk organik milik
sendiri atau dari tetangganya. Dengan cara budidaya
yang demikian, petani dapat mendapatkan pendapatan
tambahan. Menurut Hafif (2006), usaha tani pisang
bernilai ekonomi tinggi sehingga berpotensi untuk
meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan analisis
usaha tani pisang, dapat diperoleh nilai return of
investment (ROI) harga sebesar 51,68 %, dan benefit
cost ratio (B/C ratio) sebesar 1,52 pada Ambon Kuning
(Sunaryono, 2002). Dalam usaha tani Pisang Raja, dapat

diperoleh B/C ratio sebesar 1,58 (Sira,2007), dan dengan


Cavendish sebesar 2,150 (Anonim, 2008).
Pisang juga merupakan komoditas ekspor,
sehingga pengembangan pisang dapat menjadi sumber
devisa Negara. Sekarang buah-buahan telah menjadi
salah satu komoditas terpenting di pasar internasional.
Produksi total buah-buahan di dunia pada 2000 mencapai
466,4 juta matrik ton, sedangkan yang masuk ke pasar
internasional 40,9 juta matrik ton, dan 35 % adalah buah
pisang (Anonim, 2005a). Produksi buah pisang di
Indonesia secara perlahan meningkat, pada 1985 hanya
1,91 juta matriks ton dan pada 2004 meningkat menjadi
4,20 juta matrik ton (Anonim, 2005b).
Terlepas dari arti penting dan potensi ekonomi
pisang, akhir-akhir ini Indonesia menghadapi masalah
serius adanya penyakit layu pada pisang yang dapat
disebabkan oleh Blood Disease Bacterium (BDB) dan
Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC). Di lapangan

Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas


Maret Surakarta , Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta
Insidens Penyakit Layu Bakteri Darah Dan Layu Fusarium Pisang Di
Sambungmacan Sragen Dan Tawangmangu ....... (Hadiwiyono)

19

kedua patogen ini dapat menginfeksi secara bersama


dalam satu tanaman (Nasir et al., 2003; Hadiwiyono et

pengelompokan data insidens penyakit menurut


kelompok ketinggian tempat, BDB paling dominan

al., 2007b). BDB pertama dilaporkan terbatas di Sulawesi


Sekatan, namun sekarang patogen penyebab layu ini
telah dilaporkan di 90 % provinsi di Indonesia
(Subandiyah et al., 2006) dan pada tingkat kebun insidens
penyakit dapat mencapai lebih 80 %, misalnya di

menyerang pisang di dataran rendah dan tidak dijumpai


pisang terserang BDB di dataran dengan ketinggian di
atas 900 m di atas permukaan laut (dpl.) (Tabel 1). Hasil
ini sesui dengan laporan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa infeksi BDB dipengaruhi oleh

Bondowoso Jawa Timur mencapai rata-rata 97,7 %


(Mulyadi dan Hernusa, 2002), dan di Lombok Nusa
Tenggara Barat mencapai 86,8 % (Supeno, 2002).
Sambungmacan merupakan salah satu sentra
penghasil buah pisang di Sragen. Tawangmangu

ketinggian tempat dan paling kondusif terjadi di dataran


rendah (Hadiwiyono et al., 2007a).
Berdasarkan data insidens serangan FOC yang
dikelompokkan menurut ketinggian tempat seperti
disajikan pada Tabel 1, di Kecamatan Sambungmacan,

merupakan salah satu sentra penghasil buang pisang di


Karanganyar dan terkenal dengan "Ambon
Tawangmangu"-nya yang memiliki rasa khas. Petani di
kedua sentra pengahsil buah pisang tersebut akhir-akhir
ini menghadapi kendala baru, berupa serangan endemi

Sragen dan Tawangmangu Karanganyar, menunjukkan


bahwa sebaran FOC lebih luas, yaitu sampai pada
ketinggian 1.200 m dpl masih diketemukan serangan FOC.
Insidens FOC tertinggi di dataran tinggi Tawangmangu
II dan menurun pada dataran yang lebih rendah di

patogen penyebab penyakit layu pada pisang. Kedua


daerah ini menarik untuk diobservasi, karena disamping
untuk diagnosis penyebab penyakit, kedua tersebut
memiliki perbedaan lingkungan seperti jenis tanah,
ketinggian tempat, dan jenis kultivar pisang yang ditanam.

Tawangmangu I dan Sambungmacan, serta tidak dijumpai


serangan di dataran tinggi di Tawangmangu III.
Tampaknya insidens FOC juga dipengaruhi oleh
ketersediaan kultivar rentan seperti kelompok Ambon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan dengan metode survei.
Survei dilakukan di daerah endemi penyakit layu pisang.
Survei dilakukan di dua daerah kecamatan yaitu

serangan BDB dan FOC di lapangan dipengaruhi oleh


ketinggian tempat. Insidens serangan BDB di dataran
rendah di Sambungmacan sangat berbeda dengan
Tawangmangu I dan kemudian tidak dijumpai di dataran
yang lebih tinggi lagi yaitu di Tawangmangu II dan III.

Sambungmacan Sragen dan Tawangmangu


Karanganyar. Survei dilakukan dengan porposive
sampling. Kriteria kebun yang disurvei adalah populasi
di atas seratus rumpun pisang. Daerah survei dibagi
menjadi 4 daerah strata ketinggian dengan masing-

Rendahnya populasi kultivar pisang yang rentan


(kelompok Kepok dan Raja Bandung) diikuti insidens
serangan BDB yang rendah.
Berdasarkan pengelompokkan serangan BDB dan
FOC menurut kultivar yang ditanam, sebaran serangan

masing strata diambil 30 kebun sampel. Setiap kebun


diamati 100 rumpun pisang. Data yang dikumpulkan
meliputi ketinggian tempat, kultivar pisang, dan insidens
serangan BDB dan FOC. Penentuan patogen dalam
bentuk insidens penyakit dilakukan berdasarkan gejala

kedua patogen sangat dipengaruhi oleh kultivar pisang


yang ditanam pada masing-masing daerah ketinggian
tempat (Tabel 2).

eksternal dan internal secara visual. Kemudian data


dikelompokkan berdasarkan ketinggian tempat, kultivar,
dan janis tanah. Selanjutnya data dianalisis secara
deskriptif.

Serangan BDB tertinggi pada kultivar kelompok


Kepok dan Raja Bandung dengan insidens penyakit
secara berturut-turut 86,78 % dan78,46 %. Tampaknya
kedua kultivar tersebut paling rentan terhadap serangan
BDB. Hasil penelitian dengan inokulasi buatan

Hasil servei menunjukkan bahwa penyakit layu


pisang di Sambungmacan dan Tawangamngu

menunjukkan bahwa hasil semua kultivar yang diuji,


rentan terhadap BDB (Hartati et al., 1989; Sudirman dan
Supeno, 2002). Oleh karena itu, hasil servei ini dapat
diambil kesimpulan bahwa insidens penyakit di lapangan
tidak selalu linier dengan hasil inokulasi buatan. Infeksi

disebabkan oleh BDB dan FOC. Secara umum serangan


BDB paling dominan dibandingan FOC. Berdasarkan

di lapangan ditentukan oleh sifat-sifat kultivar yang


mendukung atau menghambat infeksi patogen, seperti

HASIL DAN PEMBAHASAN

20

Agrosains 12(1): 19-23, 2010

Tabel 1. Hasil survei keadaan serangan BDB dan FOC berdasarkan ketinggian tenpat di Sambung Macan,
Sragen dan Tawangmangu, Karangayar (April 2006)

Insidens serangan (%)*

Ketinggian Tempat

BDB

FOC

Sambungmacan
85-109 m dpl.

66,4614,17
(40,30-80,70)

1,263,10
(0,80-10,10)

Tawangmangu I
650-870 m dpl.

4,173,01
(0,00-7,60)

8,672,44
(4,80-10,30)

Tawangamngu II
990-1.200 m dpl.

0,000,00
-

10,204,80
(6,50-15,55)

Tawangmangu III
1.300-1.600 m dpl.

0.000.00
-

0.000.00
-

Keterangan: *: rata-ratasimpangan baku (rentang).

preferensi serangga penyebar terhadap bunga pisang,


luka dan lobang alami pada bunga. Telah terbukti bahwa
BDB dapat menginfeksi pisang melalui lubang alami

Tabel 2. Hasil survei keadaan serangan BDB dan FOC


berdasarkan kultivar pisang di Sambungmacan,
Sragen dan Tawangmangu, Karangayar

pada bunga jantan maupun betina (Hadiwiyono, 2010)


dan BDB telah melaporkan dapat mengisolasi BDB yang
terbawa oleh 10 famili serangga pengunjung bunga
pisang (Leiwakabessy, 1999).
Pengelompokan serangan BDB dan FOC

Kultivar pisang

Insidens serangan (%)


BDB
FOC

Kelompok Kepok

86,78

2,10

Raja Bandung

78,46

1,60

berdasarkan jenis tanah (Tabel 3) menunjukkan bahwa


pada tanah Vertisol di Sragen sangat berbeda dengan
pada tanah Andosol di Tawangmangu. Pada tanah
Vertisol insidens serangan BDB mencapai rata-rata
66,46%, sedangkan pada tanah Andosol hanya mencapai

Kelompok Ambon

0,00

4,17

Byok

0,00

2,67

Jambe

0,00

0,60

Lilin

0,00

0,30

1,39%. Hasil ini sesui dengan hasil uji pengaruh jenis


tanah terhadap sintasan BDB di rumah kaca yang
menunjukkan bahwa BDB paling baik bertahan hidup
pada tanah Vertisol (Hadiwiyono et al., 2007c). Beberapa
peneliti menjelaskan bahwa partikel lempung menjerap

Bawen

0,00

0,90

Mas

0,00

0,30

Comot

0,00

0,00

Raja Nangka

0,00

0,00

dan membungkus permukaan bakteri. Lempung


pembungkus merubah hubungan kontak sel bakteri
dengan lingkungan luar. Dengan demikian, sel bakteri
terlindungi dari pengaruh yang merugikan seperti
penguapan, suhu tinggi, perubahan pH, fag, dan

Morosebo

0,00

0,80

kultivar Kepok Kuning (84,5%) diikuti Raja Bandung


(10%), sisanya kelompok Ambon, Jambe, Lilin, dan

pemangsa (Stotzky & Rem, 1966; Marshall, 1975; Leben,


1981). Insidens serangan FOC di tanah Verisol dan
Andosol berbeda, tetapi tidak terlalu kelihatan karena
rata-rata keduanya kecil.
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebaran pisang

Morosebo (5,5%). Di Tawangmangu I (650-870 m dpl.)


didominasi kelompok Kepok (24%), Ambon (30,4%), dan
Bawen (7,5%). Di Tawangmangu II (990-1.200 m dpl.)
didominasi kultivar kelompok Ambon (42,3%), Byok
(31,5%), dan Bawen (26,2%). Di Tawangmangu III (1.300-

berhubungan dengan ketinggian dan kultivar. Di dataran


rendah Sambungmacan (85-109 m dpl.) didominasi

1.600 m dpl.) didominasi kultivar Morosebo (35,5%),


Bawen (35,2%), dan Ambon (22,8%).

Insidens Penyakit Layu Bakteri Darah Dan Layu Fusarium Pisang Di


Sambungmacan Sragen Dan Tawangmangu ....... (Hadiwiyono)

21

Tabel 3. Keadaan serangan BDB dan FOC dikelompokkan berdasarkan Kultivar Pisang di Sambung Macan, Sragen
dan Tawangmangu, Karangayar

Insidens serangan (%)*


BDB
FOC

Jenis Tanah
Vertisol
(Sambung Macan Sragen)

66,4614,17
(40,30-80,70)

1,263,10
(0,80-3,10)

1.391.5
(0,00-7,60)

6,262,41
(0,00-10,30)

Andosol
(Tawangmangu Karanganyar)
Keterangan: *: rata-ratasimpangan baku (rentang).

Table 4. Sebaran kultivar pisang berdasarkan ketinggian tempat

Kultivar pisang
Ketinggian Tempat

Rb

By

Bw

Ms

Rn

Mr

Sambungmacan
85-109 m dpl.

84,5

8,5

2,3

0,0

1,8

1,6

0,0

0,0

0,0

0,0

1,3

Tawangmangu I
650 -870 m dpl.

24,0

0,0

30,4

9,0

2,0

0,0

27,5

1,7

1,2

4,2

0,0

Tawangamngu II
990 -1.200 m dpl.

0,0

0,0

42,3

31,5

0,0

0,0

26,2

0,0

0,0

0,0

0,0

Tawangmangu III
1.300-1.600 m dpl.

0,0

0,0

22,8

6,5

0,0

0,0

35,2

0,0

0,0

0,0

35,5

Keterangan: K = Kelompok Kepok; Rb= Raja Bandung; A= Kelompok Ambon; By = Byok; J = Jambe; L = Lilin;
Bw = Bawen; Ms = Mas; C = Comot; Rn = Raja Nangka; Mr = Morosebo

KESIMPULAN
Hasil servei menunjukkan bahwa penyebab layu
pada pisang di Sambunmacan Sragen dan Tawangmangu
Karanganyar disebabkan oleh Blood Disases Bacterium
(BDB) dan F. oxysporum f.sp. cubense dengan insidens
penyakit berturut-turut 40,30-80,70 % dan 0,00-7,60 %.
Di Sambungmacan Sragen penyakit layu pisang
didoninasi oleh layu bakteri darah pada kultivar Kepok
Kuning dan Raja Bandung dengan insidens penyakit

86,78 % dan 78,46 %. Di Tawangmangu Karanganyar,


penyakit layu pisang lebih dinominasi oleh layu Fusarium
dengan insidens penyakit paling tinggi pada kultivar
kelompok Ambon diikuti Byok, Kapok group, dan Raja
Bandung dengan insidens penyakit secara berturut-turut
14,17%, 2,67%, 2,10%, dan 1,60%. Tampaknya, insidens
penyakit layu bakteri darah berhubungan dengan
ketinggian tempat, doninansi kultivar rentan, dan jenis
tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005a. Rumusan Pertemuan Sinkronisasi

Anonim, 2008. Budidaya Pertanian Pisang (Musa sp.)

Pelaksanaan Pengembangan Hortikultura 2005.


<http://www.hortikultura.id> Diakses 9 Okt.
2005.

<www.warintek-bantul.htm>. Diakses 8 Maret


2008.

Anonim, 2005b. Major and Food Agricultural Commodities & Producers. FAO (Food and Agricultural
Organization). <http://www.fao.org/es/ess/

Hadiwiyono, S. Subandiyah, C. Sumardiyono, J. Widada,


& M. Fegan. 2007a. Effect of Altitude and
Wounding on Blood Disease Progress of Plantain. J. Tropic. Plant Pests Dis. 7(2):111-116.

commodity.html>. Accessed on 10th Oct. 2005.


22

Agrosains 12(1): 19-23, 2010

Hadiwiyono, A. Wibowo, S. Subandiyah, C.


Sumardiyono, J. Widada, & M. Fegan. 2007b.

Nasir, N., Jumjunidang, Riska, & F. Eliesti. 2003. The


occurrence of Fusarium oxysporum f.sp.

Co-Infection of Musa spp. by Blood Disease


Bacterium and Fusarium oxysporum f. sp.
cubense. In: Y.B. Sumardiyono, S. Hartono, T.
Arwiyanto, A. Widiastuti, T. Joko, R. Kasiamdari
(Eds.). Proceedings of the Third Asian Confer-

cubence race 4 in Indonesia. Programs and Abstracts of 2nd International Symposium on


Fusarium Wilt on Banana Salvador de Bahia 2226 September 2003.p12.

ence on Plant Pathology. Yogyakarta, August


22-24, 2007. Faculty of Agriculture Gadjah Mada
University, Yogyakarta, p.169-170.
Hadiwiyono, S. Subandiyah, C. Sumardiyono, J. Widada,
M. Fegan, & P. Taylor. 2007c. Survival of Blood
Disease Bacteria in Soil and Diseased Plantain
Debris. In: Y.B. Sumardiyono, S. Hartono, T.
Arwiyanto, A. Widiastuti, T. Joko, R. Kasiamdari
(Eds.). Proceedings of the Third Asian Conference on Plant Pathology. Yogyakarta, August
22-24, 2007. Faculty of Agriculture Gadjah Mada

Sira, H. 2007. Effisiensi Ekonomis, Pengembangan Usaha


Tani Pisang, Musa paradisiaca L. Research Report dari LAPTUNILAPP. 12:44-57. <http://
digilib.unila.ac.id/go>. Diakses 20 Mei 2008.
Stotzky, G. & L.T. Rem. 1966. Influence of clay minerals
on microorganism: monmorilonite and koalinite
on bacteria. Can. J. Microbiol. 12:547-563.
Subandiyah, S.; Hadiwiyono; E. Nur, A. Wibowo; M.
Fegan; and P. Taylor. 2006. Survival of blood disease bacterium of banana in soil. p.76-77 in: Proceeding of the 11st International conference on
Plant Ptahogenic bacteria. 10th to 14th July
2006. Royal College of Physicians of Edinburgh,
Edinburgh, Scotland United Kingdom.

University, Yogyakarta, p.169-170.


Hadiwiyono. 2010. Penyakit Darah pada Pisang: Infeksi
dan Keanekaragaman Genetika Patogen. Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Disertasi).

Sudirman & B. Supeno. 2002. Skrining beberapa varietas


pisang terhadap infeksi penyakit darah pisang.
Dalam: A. Purwantoro, D. Sitepu, I. Mustika, K.
Mulya, M.S. Sudjono, M. Mahmud, S.H.
Hidayat, Supriadi, & Widodo (Penyunting).
Prosiding Kongres XVI dan Seminar Nasional

Hafif, B. 2006. Meraih Untung dengan Usaha Pisang


Raja Nangka. BPTP Lampung. <http://
www.libang.deptan.go.id. Diakses: 20 Mei 2008.
Hartati, S.Y., Supriadi, & S.J. Eden-Green. 1989. Uji
patogenesitss bakteri penyebab penyakit darah
(blood disease) pisang pada beberapa varietas
pisang dan tanaman Solanaceae. Dalam:
Prosiding, KonggresNasional X dan Seminar
ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
Denpasar. p.273 - 275.

Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Jurusan


Hama & Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
IPB & PFI, Bogor, p.311-312.
Sunaryono, H.H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit
Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Supeno, B. 2002. Isolasi dan karakterisasi penyakit darah
pisang di Lombok. Dalam: A. Purwantoro, D.

Leben, 1981. How plant pathogenic bacteria survive.


Plant Disease 65:633-637.
Leiwakabessy, C. 1999. Potensi beberapa Jenis Serangga
dalam Penyebaran Penyakit Layu Bakteri
Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum
Yabuuchi et al. pada Pisang di Lampung. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Thesis).

Sitepu, I. Mustika, K. Mulya, M.S. Sudjono, M.


Mahmud, S.H. Hidayat, Supriadi, Widodo
(Penyunting). Prosiding Kongres XVI dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Jurusan Hama & Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian IPB & PFI, Bogor, p:31-33.

Marshall, K.C. 1975. Clay mineralogy in relation to survival of soil bacteria. Ann. Rev. Phytopathol.
13:357-373.

Insidens Penyakit Layu Bakteri Darah Dan Layu Fusarium Pisang Di


Sambungmacan Sragen Dan Tawangmangu ....... (Hadiwiyono)

23

Anda mungkin juga menyukai