Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

TEKNIK ANESTESI INTRAVENA TOTAL


PADA COMPLETE CLOSE FRACTURE OS HUMERUS SINISTRA
SEPERTIGA MEDIAL
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Salatiga

Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204

Diajukan Kepada :

dr. Tinon Anindita, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RSUD SALATIGA 2015


HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TEKNIK ANESTESI INTRAVENA TOTAL
PADA COMPLETE CLOSE FRACTURE OS HUMERUS SINISTRA
SEPERTIGA MEDIAL

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada

November 2014

Menyetujui,
Dokter Pembimbing

dr. Tinon Anindita, Sp. An

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu


Alhamdulillahirabbilalamin dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus. Presentasi kasus ini disusun untuk
memenuhi sebagian syarat pendidikan profesi kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Tinon Anindita, Sp. An selaku dosen pendidik klinik
2. Rekan-rekan dokter muda, serta semua pihak yang membantu.
Penulisan presentasi kasus ini masih belum sempurna sehingga penulis mengharapkan
saran dan kritik. Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Salatiga, November 2015

Candra Widhi Wicaksono

BAB I
PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Bapak S

Usia

: 53 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Desa Bungas

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada lengan kiri atas setelah jatuh dari
enternit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Bapak S mengeluh nyeri pada lengan kiri atas. Nyeri dirasakan setelah pasien
jatuh dari enternit. Pasien tidak bisa beraktifitas seperti biasanya karena nyeri yang sangat
mengganggu terlebih saat lengan digerakkan
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung, liver, ginjal disangkal. Pasien belum
pernah operasi sebelumnya, belum pernah rawat inap di rumah sakit.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), liver (-), ginjal (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Baik
Kesadaran
Kompos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 130/90 mmHg
RR : 22 x/menit
HR : 70 x/menit
Suhu : 36,8 0C
Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut

: konjungiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


: sekret (-/-)
: serumen (-/-)
: bibir sianosis (-/-)

Leher
Kelenjar tiroid

: tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris

Toraks
Paru : Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: simetris saat statis dan dinamis


: nyeri tekan (-), massa (-)
: sonor dikedua lapang paru, nyeri ketok (-)
: suara nafas vesikuler (+/+)

Jantung

: BJ reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: datar, massa (-)

Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas

: Supel, hepar dan lien tidak teraba


: Timpani pada seluruh kuadran abdomen
: Bising usus (+) normal
: akral hangat, oedem (+) pada lengan kiri atas

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
AL

: 16,97

AE

: 4,45

AT

: 351

Hb

: 13,3

Hmt

: 39,1

Trombosit : 236
PTT

: 14,0

APTT : 27,7
GDS

: 60

Ureum : 15
Creatinin : 0,7
SGOT : 28
SGPT : 17
HBs Ag : negative
Radiologi
Tampak gambaran diskontinuitas complete os humerus sinistra sepertiga medial
Fracture complete os humerus sinistra sepertiga medial
Diagnosis Anestesi

ASA I

Rencana Anestesi
Teknik

: anestesi total intravena

Induksi

: Ketamin, Sulfas atropine, Midazolam, Ketorolac, Ondansetron

Maintenance : O2 2 liter/ menit


Laporan Anestesi
Pre operasi
Persiapan Pasien
Informed concent
Bertujuan untuk menginformasikan pasien mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan kepada pasien, bagaimana pelaksanaannya, kemungkinan hasilnya dan
resiko tindakan yang akan dilakukan.
Penandatanganan surat persetujuan operasi oleh pasien sendiri atau oleh keluarga
pasien yang merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga yang menunjukkan
persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan sehingga terjadi hal hal yang
tidak diinginkan, keluarga pasien tidak akan mengajukan tuntutan.
Pasien dipuasakan
Bertujuan untuk mengosongkan lambung pasien sebelum pembedahan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung selama
induksi yang akan membahayakan pasien.
Anamnesis singkat sebelum dilakukan operasi seperti : umur, riwayat alergi obat,
alergi makanan, riwayat asma, riwayat penyakit hipertensi, riwayat penyakit gula,
riwayat penyakit jantung, riwayat pembedahan sebelumnya. Pemeriksaan fisik : vital
sign (TD, nadi, respirasi, suhu), pemeriksaan paru, jantung dan abdomen.
Pembersihan tubuh pasien dari benda benda yang dapat mengganggu kelancaran
proses anestesi dan operasi
Memakai pakaian operasi yang telah disediakan
Persiapan Alat

Mesin monitor
Infuse set + cairan infuse
Cairan septik dan antiseptik
Plester
Pelaksanaan Anestesi
o Pasien datang dari bangsal ke ruang IBS sudah dipasang infus.
o Setelah itu pasien diposisikan diatas meja operasi, kemudian dilakukan injeksi
intravena melewati selang infus dengan memberikan sulfas atropin 1 ampul,
midazolam 7 mg, ketamine 7 mg ( dalam bentuk larutan 1 % dosis lazim 1-2
mg/kgBB).
o Anestesi sudah berhasil ditandai dengan pasien mengalami penurunan kesadaran
serta tidak respon terhadap rangsang suara maupun nyeri.
o Untuk mempertahankan saturasi O2 pasien diberikan selang O2 sebanyak 2L/
menit
Pengawasan Anestesi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal hal yang dipantau :
tekanan darah, frekuensi nadi, pernafasan, SpO2, kebutuhan cairan pasien, kedalaman
anestesi.
Post Operasi
Pasien dibawa keruang pemulihan (recovery room) dan dilakukan pemulihan kesadaran
compos mentis dan dapat dibangunkan, pernafasan spontan dan fungsi vital kembali.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Close Fracture Os Humerus


Fraktur adalah hilangnya continuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total
(complete) maupun sebagian. Fraktur dapat disebabkan karena trauma langsung maupun
tak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang . Hal
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak
langsung terjadi apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah
tekanan. Misalnya, jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula.
Apabila dilihat dari hubungannya dengan dunia luar, terdapat fraktur terbuka dan
tertutup. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen
tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan /
tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
B. Definisi
Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa"
dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot.
Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik
untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang
dilakukan untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan persiapan pra
anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi
status fisik, masukan oral, dan premedikasi. 2) induksi obat anestesi intravena beserta
pemeliharaan dan 3) pemulihan. Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena,

obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat
anestesi yang ideal memiliki sifat: 1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia;
4) memiliki antagonis; 5) cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan
tidak ada atau minimal; 7) farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap
disfungsi organ

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan nyeri lengan kiri post trauma jauth dari enternit. Setelah
dilakukan serangkaian pemeriksaan meliputi anamnesis pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang diagnosis dapat ditegakkan yaitu fraktur os humerus sinistra sepertiga medial.
Kemudian pasien deprogram untuk dilakukan operasi erkait diagnosis tersebut.

Anamnesis dilakukan saat pre-operasi sebagai pendekatan psikologi sehingga dapat


mengurangi kecemasan yang mungkin timbul pada pasien. Melalui anamnesis kita dapat
memperoleh gambaran tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi. Pada anamnesis tidak
didapatkan riwayat penyakit DM, Hipertensi, Liver, Asma, Jantung, Ginjal.
Riwayat operasi sebelumnya juga penting ditanyakan untuk mengetahui adanya riwayat
post- operasi yang menyulitkan seperti perdarahan yang lama, pengaruh obat anestesi yang
berkepanjangan, alergi, mual, muntah, gatal atau sesak nafas.
Pemeriksaan fisik rutin meliputi pemeriksaan keadaan umum, kesadaran, vital sign, serta
pemeriksaan dari kepala sampai ekstremitas inferior.
Pemeriksaan laboratorium telah dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan darah dan
urin.Kemudian dilakukan pemeriksaan radiologi yang sangat membantu penegakan diagnosis
fraktur pada pasien.
Setelah memenuhi syarat operasi, pasien diminta puasa selama 6 jam, dan untuk
mengganti cairan yang hilang selama puasa, pasien diberikan infus RL.
Klasifikasi status fisik untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari
The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi ASA antara lain :
ASA I

: pasien dalam kondisi sehat

ASA II

: pasien dengan kelainan sistemik ringan sedang yang tidak berhubungan


dengan pembedahan, dan pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari
hari.

ASA III

: pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas

ASA IV

: pasien dengan kelainan sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas


rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
(mengancam jiwa dengan atau tanpa pembedahan)

ASA V

: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan


hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Pada keadaan emergency biasanya dicantumkan huruf E


Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik
untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang dilakukan untuk
anestesi umum intravena antara lain penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan oral, dan
premedikasi, induksi obat anestesi intravena beserta pemeliharaan dan pemulihan.
Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal memiliki sifat:
1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera
sesudah pemberian dihentikan
2) analgetik
3) amnesia
4) memiliki antagonis
5) cepat dieliminasi
6) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal
7) farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk:
1) induksi anesthesia
2) induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat
3) menambahkan efek hipnosis pada anestesi inhalasi dan anestesi regional
4) menambahkan sedasi pada tindakan medik
Cara pemberian dapat berupa :
1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi atau pada operasi-operasi singkat
hanya obat ini saja yang dipakai
2) suntikan berulang untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan
dosis ulangan lebih kecil dari dosis permulaan,
3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi.

Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap
dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk tingkat
obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk memberikan
anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya, permukaan bedah
dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan membutuhkan kadar obat yang
lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan penurunan bijaksana laju infus menjelang
akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang cepat.
Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan redistribusi harus
digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah yang akan mempertahankan
anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan opiat sebagai bagian dari teknik nitrousnarkotika atau anestesi jantung, skema dosis yang tercantum di bawah anestesi yang digunakan.
Ketika candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi seimbang, dosis yang tercantum
untuk analgesia diperlukan.
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi yang memadai, baik
suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus diperlukan untuk secara cepat untuk
meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai intervensi juga membutuhkan konsentrasi obat yang
lebih besar, biasanya untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi, intubasi endotrakeal,
sayatan kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk memberikan konsentrasi
puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat yang memadai untuk intubasi
endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi untuk prosedur seperti sayatan
kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan.
PREMEDIKASI
Obat obat yang sering digunakan :
1. Analgesik narkotik
a. Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Morfin adalah alkaloid golongan fenantren. Morfin memiliki gugus OH fenolik
dan gugus OH alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh
berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid opium.

Farmakokinetik:

morfin

diabsorbsi

diusus.

Setelah

pemberian

dosis

tunggal,

sebagian morfin mengalami


konjugasi

dengan

asam

glukoronat dihepar, sebagian


keluar dalam bentuk bebas dan
10 % tidak diketahui nasibnya.
Morfin melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama
melalui ginjal, sebagian kecil ditinja dan keringat.
Farmakodinamik: morfin memiliki efek analgetik dan narkose terhadap
susunan saraf pusat. Efek analgetik terutama ditimbulkan akibat kerja opioid pada
reseptor , selain itu juga memiliki afinitas yang lemah terhadap terhadap reseptor
dan reseptor . Reseptor , , dan banyak didapatkan pada kornu dorsalis
medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi nyeri
dimedula spinalis maupun pada aferen primer yang melerai nyeri. Agonis opioid
melalu reseptor , , dan pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif
mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis, selain itu agonis
menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor di otak. Terjadi
perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu. Pasien mengatakan bahwa nyeri
masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Efek narkose, morfin dosis kecil (510mg) menimbulkan euforia pada pasien yang menderita nyeri, sedih, gelisah
sebaliknya pada orang normal akan menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir
atau takut. Morfin menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi sukar
berfikir, apatis dan aktivitas motorik berkurang. Miosis yang ditimbulkan morfin
akibat kerjanya pada reseptor dan oleh perangsangan pada segmen otonom
inti saraf okulomotorius. Miosis dapat dilawan dengan atropin. Pada intoksikasi
morfin didapatkan pin point pupils. Depresi nafas terjadi berdasarkan efek
langsung terhadap pusat nafas dibatang otak, terjadi penurunan frekuensi nafas,
volume semenit dan tidal exchange, akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar

meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas terhadap
CO2 berkurang. Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggiian ventilasi
pulmonal. Morfin dan derivatnya menghambat refleks batuk, tetapi tidak sekuat
kodein. Mual dan muntah, efek emetik terjadi berdasarkan stimulasi langsung
pada Emetic chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula
oblongata bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri.
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP. Morfin
menghambat sekresi HCl secara lemah, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Morfin
juga mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan
makanan diusus halus. Diusus besar morfin mengurangi atau menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus usus besar dan menyebabkan
spasme usus besar akibatanya penerusan isi kolon menjadi lambat dan tinja
menjadi keras. Morfin menyebabkan peningkatan tekanan dalam duktus
koledokus daan efek ini dapat menetap dalam 2 jam keadaan ini disertai dengan
perasaan tidak enak di epigastrium sampai nyeri kolik berat. Dosis terapi morfin
tidak berpengaruh ke kardiovaskular, perubahan kardiovaskular terjadi akibat efek
depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.
Yang mungkin dialami pasien adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh pingsan
akibat vasodilatasi perifer yang terjadi karena efek langsung terhadap pembuluh
darah kecil. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan
uterus lebih tahan terhadap renggangan oleh karena itulah morfin digunakan
untuk obat dismenore. Karena pelepasan histamin, menyebabkan pelebaran
pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah dan terasa panas, berkeringat,
dan kadang gatal-gatal. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir aliran ginjal dan
penglepasan ADH.
Dosis dan sediaan. yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam sulfat,
atau fosfat alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang
digunakan 0,1 mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali morfin
subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek analgetik sedikit lebih
lemah dan masa kerja lebih panjang dari pada pemberian 8 mg morfin IM.

Efek samping. Morfin menyebabkan idiosinkrasi dan alergi yaitu


menyebabkan mual dan munta terutama pada wanita, urtikaria, eksantem,
dermatitis kontak, pruritus dan bersin. Pada intoksikasi akut, pasien akan tertidur
sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas terlambat, 24x/menit, pernafasan Cheyne Stokes, sianotik, muka merah agak kebiruan, sampai
terjadi syok, dan pin point pupils.
b. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Petidin
atau
meperidin
merupakan derivat fenilpiperidin.
Secara kimia adalah etil-1metil4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Farmakokinetik: kadar puncak
dalam plasma biasanya dicapai
dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian lintas oral, sekitar
50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam
plasma tercapai dalam 1-2 jam, setelah pemberian secara IV, kadar dalam plasma
menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung
dengan lambat. Kurang lebih 6% petidin terikat dengan protein dalam plasma.
Petidin dimetabolisme didalam hati, dihidrolisis menjadi asam meperidinat yang
selanjutnya mengalami konjugasi. Masa paruhnya 3 jam. Pada pasien sirosis
hati bioavaibilitasnya meningkat menjadi 80%. Dan masa paruhnya memanjang.
Farmakodinamik: petidin atau meperidin bekerja pada reseptor . Pada
susunan saraf pusat petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas,
dan efek sentral lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15 menit setelah
pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik lebih cepat
timbul dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar 10 menit, mencapai
puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektifitaspetidin 75-100mg
parenteral kurang lebih sama dengan 10mg morfin. Bioavaibilitas peroral 4060%, maka bila diberikan per parenteral diberikan setengahnya. Sedasi, euforia
dan eksitasi, pemberian petidin kepada pasien yang nyeri atau cemas akan
menimbulkan euforia. Dosis toksik petidin menimbulkan perangsangan SSP,

berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi. Petidin depresi nafas dengan
menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat yang
mengatur irama nafas dalam pons. Petidin menurunkan tidal volume, sedangkan
frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Sebaliknya morfin terutama menimbulkan
penurunan frekuensi nafas. Kardiovaskular, pemberian petidin pada pasien
berbaring tidak mempengaruhi kardiovaskular. Bila berobat jalan dapat
menyebabkan sinkop akibat penurunan tekanan darah akibat depresi nafas yang
menyebabkan peningkatan kadar CO2, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah
otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan cerebrospinal. Petidin tidak
menimbulkan konstipasi sekuat morfin. Uterus, dosis terapi petidin yang
diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan tidak
mengubah kontraksi uterus, dan juga tidak mengganggu kontraksi atau involusi
uterus pascapersalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca
persalinan.
Dosis. Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg dan
ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM. Pemberian IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian 50-100mgpetidin
secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada sebagian besar
pasien.
Efek samping. Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi. Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat harus dikurangi
karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat diberikan bersama
antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain penekan SSP, dosis obat juga
harus dikurangi.
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB

Fentanil

merupakan

obat dari golongan opioid


yang
dalam

banyak

digunakan
anestesi,

kekuatannya 100 X morfin.


Dalam dosis kecil (1g/kgBB, IV) fentanil memiliki onset dan durasi kerja yang
singkat (20-30 menit) dan menimbulkan efek sedasi sedang. Dalam dosis besar
(50-150g/kgBB, IV) didapatkan sedasi yang dalam serta penurunan kesadaran,
dan kadang didapatkan kekakuan otot dada.
Farmakokinetik. Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu.
Setelah pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan
cepat (waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar antara 3-4
jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Setelah suntikan
intravena ambilan dan distribusinya hampir sama dengan morfin tetapi fraksi
terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir
oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di
darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin
dalam beberapa hari.
Farmakodinamik. Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan
medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap
nyeri. Sistem kardiovaskuler. Kardiovaskular cenderung tidak mengalami
perubahan signifikan setelah pemberian fentanil, namun kadang dalam dosis besar
dapat menyebabkan bradikardi yang memerlukan terapi atropin. Sistem
pernafasan. Seperti analgesik opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan
bergantung dosis pemberiannya. Efek depresi pernafasan berlangsung lebih lama
dari efek analgesiknya.
Dosis. Fentanil dosis 1-3g/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan dan tidak
untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150g/kgBB digunakan untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi dengan kombinasi dengan benzodiazepine dan anestetik
inhalasi dosis rendah pada bedah jantung selain itu juga dapat mencegah

peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan


kortisol. (
Efek samping. Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
pelumpuh otot.
2. Analgesik non narkotik
Obat abakgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), untuk
memudahkan mari kita kelompokan jenisnya berdasarkan selektifitasnys. Antaralain;
a. Ketorolak
Ketorolak
merupakan
antigonis

poten

dengan

efek

antiinflamasi
sedang.

Absorbsi

oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam 30-50 menit.
Biaavailabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein. Ketorolak IM
sebagai

analgesik

pasca

bedah

memeperlihatkan

efektivitas

sebanding

morfin/petidin dosis umum; masa kerja lebih panjang dan efek samping lebih
ringan. Dosis IM 30-60mg, IV 15-30 mg. efek sampingnya berupa nyeri ditempat
suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing , dan sakit kepala terjadi kirakira 2 kali placebo. Karena ketorolak sangat selektif menghambat COX-1, maka
obat ini tidak dilanjur dipakai lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak
lambung.
b. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik terikat sangat kuat pada protein
plasma.

Bekerja menghambat siklooksigenase. Digunakan untuk kerusakan

jaringan lunak, nyeri muskuloskeletal, dan disminorea. Asam mefenamat


diabsorpsi peroral, kadar puncaknya 2-4 jam, waktu paruhnya 2-4 jam dan 50%
diekskresikan melalui urin. Efek samping pada saluran cerna sering timbul misal
dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung. Dosisnya 2-3 kali 250-500mg sehari. Di Amerika obat ini tidak
diberikan pada anak-anak dan ibu hamil dan pemberian tidak lebuh dari 7 hari.

c. Natrium diklofenak
Natrium diklofenak termasuk dalam klasifikasi selektivitas penghambat COX,
termasuk

kelompok

preferential COX 2
inhibitor.
dapat

Diklofenac
mengurangi

konsentrasi
arachidonat

bebas

intraseluller didalam lekosit,. Absorbsi obat melalui saluran cerna berlangsung


cepat dan lengkap. Obat ini terikat protein plasma 99% dan mengalami efek
metabolisme lintas pertama (first pass) sebesar 40-50%. Walaupu waktu paruhnya
singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak diakumulasi di cariran sinovial yang
menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat
tersebut. Efek sampingnya mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala juga
peningkatan SGOT, SGPT. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis
orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi 2-3-4.
d. Tramadol
Analog kodein sintetik merupakan agonis reseptor yang lemah. Sebagian
dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan norepinefrin dan
serotonin. Tramadol sama efektifnya dengan morfin dan petidin untuk nyeri
ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lbih lemah. Untuk
nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan petidin dan kurang menyebabkan
depresi nafas pada neonatus.
Preparat tramadol merupakan campuran rasemik, yang lebih efektif dari
masing-masing enansiomernya. Enansiomer (+) berikatan dengan reseptor dan
menghambat

ambilan serotonin. Enansiomer (-) menghambat ambilan

norepinefrin dan merangsang reseptor 2-adrenergik.


Tramadol mengalami metabolisme di hati dan ekskresi oleh ginjal, dengan
masa paruh eliminasi 6 jam unutk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya.
Analgesia timbul 1 jam setelah penggunaan secara oral. Mencapai puncak 2-3 jam
dan lama analgesia sekitar 6 jam. Dosis maksimum perhari 400mg.
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi, dan
skit kepala. Depresi pernafasan nampaknya kurang dibanding morfin.

3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz). Diazepam dan lorazepam
tidak larut dalam air. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls),
sedangkan midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia
dalam larutan dengan PH 3,5.
Midazolam

Golon
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral. Benzodiazepine bekerja pada
reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut
lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan
berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor GABA.
Farmakokinetik. Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang
banyak digunakan dalam anestesi diklasifikasikan sebagai berikut: 1.) Midazolam
(short-lasting); 2.) lorazepam (intermediate-lasting); 3.) diazepam (long-acting),
berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio bersihan midazolam
berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan lorazepam 0.8-1.8 ml/kg/menit dan
diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit. Walaupun terminasi kerja dari obat ini terutama
dipengaruhi oleh redistribusi obat dari SSP ke jaringan lain setelah penggunaan
untuk anestesi, pemberian berulang, atau infuse berkelanjutan, kadar midazolam
dalam darah turun lebih cepat dibandingkan yang lain karena bersihan hati yang
lebih besar. Hasil metabolisme dari benzodiazepines menjadi penting. Diazepam
membentuk 2 macam metabolit aktif yaitu, oxazepam dan desmethyldiazepam
yang memperkuat dan memperpanjang efek obat. Midazolam mengalami
biotransformasi menjadi hydroxymidazolam yang memiliki potensi 20-30% dari

midazolam. Metabolit-metabolit ini diekskresikan melalui urin dan dapat


menyebabkan sedasi yang dalam pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada
pasien yang sehat, hydroxymidazolam lebih cepat diekskresikan dibanding
midazolam.
Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari benzodiazepine antara
lain usia, jenis kelamin, ras, induksi enzim, gangguan hepar & ginjal. Diazepam
sensitive terhadap hal-hal tersebut di atas terutama usia, usia yang bertambah
mengurangi kecepatan bersihan diazepam dari tubuh secara signifikan, hal ini
juga didapatkan pada midazolam namun dalam derajat yang lebih rendah.
Kebiasaan merokok sebaliknya mempercepat klirens diazepam. Klirens
midazolam tidak dipengaruhi kebiasaan merokok tetapi konsumsi alcohol, pada
pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens midazolam akan
mengalami percepatan Farmakokinetik lorazepam tidak dipengaruhi usia, jenis
kelamin ataupun gangguan ginjal. Ketiga obat ini dipengaruhi oleh obesitas.
Volume distribusi meningkat akibat perpindahan dari plasma ke jaringan adipose.
Walaupun tidak mempengaruhi klirens, namun waktu paruh menjadi lebih
panjang, sehingga pemulihan akan didapatkan lebih lambat pada pasien dengan
obesitas.
Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu 30-60
detik dibanding lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh midazolam berkisar
antara 2-3 menit, 2 kali lebih panjang dibanding diazepam, namun kekuatan
lorazepam 6 kali lipat dari diazepam. Sama seperti onset, durasi kerja juga
bergantung kelarutan dalam lemak dan kadar dalam darah. Redistribusi
midazolam dan diazepam lebih cepat dibanding lorazepam yang kemungkinan
diakibatkan dari kelarutan dalam lemak lorazepam yang lebih rendah. Sehingga
durasi kerja lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan midazolam.
Farmakodinamik. Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti
kejang, hipnotik, relaksasi otot dan sedasi tanpa efek analgetik. Bergantung dari
dosisnya, juga menurunkan kebutuhan oksigen otak dan aliran darah ke otak serta
laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam bergantung dari dosisnya juga
memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek perlindungan midazolam

didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler. Perubahan yang


mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah yang ringan akaibat
penurunan resistensi vaskular sistemik. Efek ini didapatkan sedikit lebih nyata
pada pemberian midazolam namun perubahan tekanan darah ini kurang lebih
sama seperti pemberian thiopental. Bahkan dosis 0.2mg/kgBB dilaporkan aman
untuk induksi pada pasien dengan stenosis aorta. Benzodiazepine tidak
mempengaruhi mekanisme refleks homeostatik, oleh karena itu hemodinamik
relatif stabil. Sistem pernafasan. Seperti kebanyakan obat anestesi intravena
lainnya, obat golongan benzodiazepine juga mendepresi pusat pernafasan,
menurunkan frekuensi nafas serta volume tidal. Puncak depresi pernafasan setelah
pemberian midazolam (0.13-0.2 mg/kg) terjadi dalam 3 menit dan berlangsung
kurang lebih selama 60-120 menit. Waktu pemberian juga mempengaruhi onset
depresi pernafasan, semakin cepat obat diberikan, semakin cepat terjadi depresi
pernafasan. Depresi pernafasan setelah pemberian midazolam akan tampak lebih
nyata dan berlangsung lebih lama pada pasien PPOK. Opioid dan benzodiazepine
secara sinergis memperkuat depresi pernafasan walaupun bekerja melalui
mekanisme yang berbeda. Sistem otot rangka. Bekerja di tingkat supraspinal dan
spinal, menimbulkan penurunan tonus otot rangka, sehingga sering digunakan
pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.
Dosis. Benzodiazepin digunakan untuk tujuan sedasi sebagai premedikasi,
selama pemberian regional atau anestesi local, ataupun setelah operasi. Selain itu
juga untuk mengurangi kecemasan, efek amnesia dan peningkatan ambang batas
kejang, untuk keperluan ini benzodiazepine diberikan secara titrasi. Dosis untuk
induksi yang dianjurkan adalah 0.05-0.15 mg/kgBB untuk midazolam dengan
dosis ulangan 0.05mg/kgBB bila diperlukan, 0.3-0.5mg/kgBB untuk diazepam
dengan dosis ulangan 0.1mg/kgBB bila diperlukan, dan 0.1 mg/kgBB untuk
lorazepam dengan dosis ulangan 0.02mg/kgBB bila diperlukan. Untuk
mendapatkan efek sedasi dosis berulang yang dianjurkan untuk midazolam adalah
0.5-1mg, 2mg untuk diazepam, dan 0.25mg untuk lorazepam.
Efek samping. Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi

pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu


sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan
flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1
mcg/kg/menit.
5. Antikolinergik
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Bertujuan menurunkan sekresi
kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut serta menurunkan efek
parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga menurunkan risiko timbulnya
refleks vagal.
Farmakodinamik.

Atropin dalam dosis kecil memperlihatkan efek

merangsang disusunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek
depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan, depresi pusat tertentu
memberikan efek antitremor dan efek ini berguna sebagai antiparkinson, atropin
merangsang N. Vagus sehingga denyut jantung berkurang. Memberikan efek
kelenjar eksokrin sehingga terjadi hambatan saliva. Perangsangan respirasi terjadi
akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu,
atropin tidak berguna merangsang respirasi tapi mengurangi sekresi hidung,
mulut, faring dan bronkus. Kardiovaskular. Pengaruh atropin terhadap jantung
bersifat bifasik dengan dosis 0.25-0.5mg, frekuensi jantung berkurang. Pada dosis
toksis terjadi dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher akibat vasodilatasi, yang
merupakan kompensasi kulit untuk melepas panas. Pada mata menghambat M
constrictor pupilae dan ciliaris memberikan efek midriasis sehingga terjadi
fotofobia dan siklplegia. Pada pencernaan, menghambat peristaltik usus/lambng
sehingga digunakan untuk antispasmodik.
Dosis. diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek
hipersekresi, misal: dietileter atau ketamin. Sediaannya amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB. Dosis lebih 2 mg biasanya hanya digunakan pada keracunan
insektisida organofosfat terjadi hambatan N vagus sehingga terjadi takikardia.
Efek samping: proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada
anak-anak sehingga terjadi febris dan dehidrasi. Pada anak mudah

terjadi

keracunan, gejala timbul 15-20 menit dimulai dengan pusing, mulut kering, tidak
bisa menelan , sukar bicar a dan perasaan haus sekali karena air liur tidak ada,
penglihatan kabur, midriasis , gallop rhythm. Anti dotumnya ialah fisotigmin
salisilat 2-4mg SK dapat menghilangkan gejala SSP dan efek anhidrosis.
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi; diproduksi secret
yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi intraoperatif.
Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi adalah sebagai (1) antisialogogue
dan (2) sedasi dan amnesia. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan
mengurangi sekresi cairan lambung, namun tidak disetujui penggunaannya pada
preoeratif.
Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif mengeringkan
saluran nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi endotrakeal.
Antisialogogue sangan penting pada operasi intraoral dan pada pemeriksaan jalan
nafas seperti bronkoskopi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas
sawar darah otak namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai sedatif
terutama bila dikombinasi dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau diazepam,
tidak semua pasien dapat berefek amnesia oleh pemberian scopolamine.
Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui blokade
efek asetylkolin pada SA node. Atropin lebih potensial dibanding glykopirolat dan
scopolamine. Aksi vagolitik ini berguna mencegah refleks bradikardi selama
operasi. Bradikardi bisa terjadi akibat traksi otot ekstraorbital, otot abdomen,
stimulasi sinus carotis, atau setelah pemberian berulang suksinylkolin. Atropine
dan glykopirolat diberikan intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering
diperlukan untuk mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative
antikolinergik tidak dibenarkan untuk menurunkan sekresi H+ lambung.
6. Anti emetic
a. Ondancentron
Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena

sitostatika.

Mekanisme

kerjanya

diduga

dilangsungkan

dengan

mengantagoniskan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor zone di area

posttrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pada
pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum tercapai setelah
1-1.5 jam terikat protein plasma sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya 3 jam.
Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB.
b. Simetidin dan Ranitidin
Farmakokinetik: bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan bersama atau segera
setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode
pascamakan. Absorpsi simetdidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin
masuk ke SSP. Sekitar 50-80% dari dosisIV, dan 40% oral, simetidin
diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar
2jam.
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien penyakit gagal
ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3jam setelah penggunaan
150mg ranitidin oral dan yang terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas
pertamanya di hepar. Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja.
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
asam lambung sehingga pemberian simetidin atau ranitidin sekresinya dihambat.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volurme dan

kadar pepsin cairan

lambung.
Dosis. Anatagonis reseptor H2 satu kali sehari pada malam hari diberikan
untuk mengatasi gejala akut tukak lambung. Untuk premedikasi biasanya
digunakan ranitidin 50-150mg.
Efek samping. Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus. Kehilangan libido dan impoten.
INDUKSI ANESTESI
1. KETAMIN

Ketamin adalah suatu rapid acting non-barbiturate general anesthetic. Pertama


kali diperkenalkan oleh
Domino and Carsen pada
tahun 1965
Ketamin

kurang

digemari untuk induksi


anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Blok terhadap reseptor
opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan
interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek
analgesik.
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik
sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi
kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan
pemberian intramuskular (12-25 menit).
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum
endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun 30%
lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida
menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang
kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan
yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor
dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde.
Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian
Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan

sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran
darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan saatnya
yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan
lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar
sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu,
halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik.
Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai maksimum
beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian.
Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang
meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian
premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi.
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara, kecuali
dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi. Ketamin
menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus
oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme
bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan.
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 14mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui infus
dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat banyak
rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan
menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis
awal sesuai kebutuhan. Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8
mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25
mg/kgBB intravena. Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam
dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan sulfas
atropine 0.01mg/kgBB.
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya
pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah

saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien
dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk
tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma.
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.) Pasien
dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga
harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah
faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian. Namun
efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai
premedikasi
2. PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan
sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun
1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan
sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal.
Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2%
diekskresikan dalam tinja.
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan
redistribusi dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (9697%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan
cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih
lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi
dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.

Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida


dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi
melalui urin. Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun
tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui
menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan
perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan
fentanyl, alfentanil dan propanolol.
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP,
dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek
analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung
cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat
menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi
pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh
efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun
penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan
spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus (dibandingkan
dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia
berbanding lurus dengan efek depresi jantung.
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol
dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun dapat
memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan
propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya
bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari
rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory depressants.
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. Dosis yang
dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah
2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA

III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari
3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih
dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. Dosis
yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis
inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan
kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55
tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB.
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi
psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi
yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol
digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV lainnya,
mungkin karena sifat antiemetik propofol. Propofol mendukung perkembangan bakteri,
sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena. Biasanya terjadi saat
penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada
penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti.. Bradikardi serta hipotensi
kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan
penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti
myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol
dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat
ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsi.
3. PEMELIHARAAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu
tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal

memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi.Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012
2. Mangku,G. et al. Ilmu Anesesia Dan Reaminasi.Macanan Jaya Cemerlang, Jakarta 2009.

3. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
4. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for
Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008

Anda mungkin juga menyukai