Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204
Diajukan Kepada :
November 2014
Menyetujui,
Dokter Pembimbing
KATA PENGANTAR
BAB I
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Bapak S
Usia
: 53 tahun
: Desa Bungas
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada lengan kiri atas setelah jatuh dari
enternit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Bapak S mengeluh nyeri pada lengan kiri atas. Nyeri dirasakan setelah pasien
jatuh dari enternit. Pasien tidak bisa beraktifitas seperti biasanya karena nyeri yang sangat
mengganggu terlebih saat lengan digerakkan
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung, liver, ginjal disangkal. Pasien belum
pernah operasi sebelumnya, belum pernah rawat inap di rumah sakit.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), liver (-), ginjal (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Baik
Kesadaran
Kompos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 130/90 mmHg
RR : 22 x/menit
HR : 70 x/menit
Suhu : 36,8 0C
Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Kelenjar tiroid
Toraks
Paru : Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
AL
: 16,97
AE
: 4,45
AT
: 351
Hb
: 13,3
Hmt
: 39,1
Trombosit : 236
PTT
: 14,0
APTT : 27,7
GDS
: 60
Ureum : 15
Creatinin : 0,7
SGOT : 28
SGPT : 17
HBs Ag : negative
Radiologi
Tampak gambaran diskontinuitas complete os humerus sinistra sepertiga medial
Fracture complete os humerus sinistra sepertiga medial
Diagnosis Anestesi
ASA I
Rencana Anestesi
Teknik
Induksi
Mesin monitor
Infuse set + cairan infuse
Cairan septik dan antiseptik
Plester
Pelaksanaan Anestesi
o Pasien datang dari bangsal ke ruang IBS sudah dipasang infus.
o Setelah itu pasien diposisikan diatas meja operasi, kemudian dilakukan injeksi
intravena melewati selang infus dengan memberikan sulfas atropin 1 ampul,
midazolam 7 mg, ketamine 7 mg ( dalam bentuk larutan 1 % dosis lazim 1-2
mg/kgBB).
o Anestesi sudah berhasil ditandai dengan pasien mengalami penurunan kesadaran
serta tidak respon terhadap rangsang suara maupun nyeri.
o Untuk mempertahankan saturasi O2 pasien diberikan selang O2 sebanyak 2L/
menit
Pengawasan Anestesi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal hal yang dipantau :
tekanan darah, frekuensi nadi, pernafasan, SpO2, kebutuhan cairan pasien, kedalaman
anestesi.
Post Operasi
Pasien dibawa keruang pemulihan (recovery room) dan dilakukan pemulihan kesadaran
compos mentis dan dapat dibangunkan, pernafasan spontan dan fungsi vital kembali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat
anestesi yang ideal memiliki sifat: 1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia;
4) memiliki antagonis; 5) cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan
tidak ada atau minimal; 7) farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap
disfungsi organ
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri lengan kiri post trauma jauth dari enternit. Setelah
dilakukan serangkaian pemeriksaan meliputi anamnesis pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang diagnosis dapat ditegakkan yaitu fraktur os humerus sinistra sepertiga medial.
Kemudian pasien deprogram untuk dilakukan operasi erkait diagnosis tersebut.
ASA II
ASA III
ASA IV
ASA V
Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap
dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk tingkat
obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk memberikan
anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya, permukaan bedah
dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan membutuhkan kadar obat yang
lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan penurunan bijaksana laju infus menjelang
akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang cepat.
Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan redistribusi harus
digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah yang akan mempertahankan
anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan opiat sebagai bagian dari teknik nitrousnarkotika atau anestesi jantung, skema dosis yang tercantum di bawah anestesi yang digunakan.
Ketika candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi seimbang, dosis yang tercantum
untuk analgesia diperlukan.
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi yang memadai, baik
suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus diperlukan untuk secara cepat untuk
meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai intervensi juga membutuhkan konsentrasi obat yang
lebih besar, biasanya untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi, intubasi endotrakeal,
sayatan kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk memberikan konsentrasi
puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat yang memadai untuk intubasi
endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi untuk prosedur seperti sayatan
kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan.
PREMEDIKASI
Obat obat yang sering digunakan :
1. Analgesik narkotik
a. Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Morfin adalah alkaloid golongan fenantren. Morfin memiliki gugus OH fenolik
dan gugus OH alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh
berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid opium.
Farmakokinetik:
morfin
diabsorbsi
diusus.
Setelah
pemberian
dosis
tunggal,
dengan
asam
meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas terhadap
CO2 berkurang. Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggiian ventilasi
pulmonal. Morfin dan derivatnya menghambat refleks batuk, tetapi tidak sekuat
kodein. Mual dan muntah, efek emetik terjadi berdasarkan stimulasi langsung
pada Emetic chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula
oblongata bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri.
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP. Morfin
menghambat sekresi HCl secara lemah, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Morfin
juga mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan
makanan diusus halus. Diusus besar morfin mengurangi atau menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus usus besar dan menyebabkan
spasme usus besar akibatanya penerusan isi kolon menjadi lambat dan tinja
menjadi keras. Morfin menyebabkan peningkatan tekanan dalam duktus
koledokus daan efek ini dapat menetap dalam 2 jam keadaan ini disertai dengan
perasaan tidak enak di epigastrium sampai nyeri kolik berat. Dosis terapi morfin
tidak berpengaruh ke kardiovaskular, perubahan kardiovaskular terjadi akibat efek
depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.
Yang mungkin dialami pasien adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh pingsan
akibat vasodilatasi perifer yang terjadi karena efek langsung terhadap pembuluh
darah kecil. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan
uterus lebih tahan terhadap renggangan oleh karena itulah morfin digunakan
untuk obat dismenore. Karena pelepasan histamin, menyebabkan pelebaran
pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah dan terasa panas, berkeringat,
dan kadang gatal-gatal. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir aliran ginjal dan
penglepasan ADH.
Dosis dan sediaan. yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam sulfat,
atau fosfat alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang
digunakan 0,1 mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali morfin
subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek analgetik sedikit lebih
lemah dan masa kerja lebih panjang dari pada pemberian 8 mg morfin IM.
berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi. Petidin depresi nafas dengan
menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat yang
mengatur irama nafas dalam pons. Petidin menurunkan tidal volume, sedangkan
frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Sebaliknya morfin terutama menimbulkan
penurunan frekuensi nafas. Kardiovaskular, pemberian petidin pada pasien
berbaring tidak mempengaruhi kardiovaskular. Bila berobat jalan dapat
menyebabkan sinkop akibat penurunan tekanan darah akibat depresi nafas yang
menyebabkan peningkatan kadar CO2, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah
otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan cerebrospinal. Petidin tidak
menimbulkan konstipasi sekuat morfin. Uterus, dosis terapi petidin yang
diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan tidak
mengubah kontraksi uterus, dan juga tidak mengganggu kontraksi atau involusi
uterus pascapersalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca
persalinan.
Dosis. Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg dan
ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM. Pemberian IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian 50-100mgpetidin
secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada sebagian besar
pasien.
Efek samping. Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi. Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat harus dikurangi
karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat diberikan bersama
antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain penekan SSP, dosis obat juga
harus dikurangi.
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
Fentanil
merupakan
banyak
digunakan
anestesi,
poten
dengan
efek
antiinflamasi
sedang.
Absorbsi
oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam 30-50 menit.
Biaavailabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein. Ketorolak IM
sebagai
analgesik
pasca
bedah
memeperlihatkan
efektivitas
sebanding
morfin/petidin dosis umum; masa kerja lebih panjang dan efek samping lebih
ringan. Dosis IM 30-60mg, IV 15-30 mg. efek sampingnya berupa nyeri ditempat
suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing , dan sakit kepala terjadi kirakira 2 kali placebo. Karena ketorolak sangat selektif menghambat COX-1, maka
obat ini tidak dilanjur dipakai lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak
lambung.
b. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik terikat sangat kuat pada protein
plasma.
c. Natrium diklofenak
Natrium diklofenak termasuk dalam klasifikasi selektivitas penghambat COX,
termasuk
kelompok
preferential COX 2
inhibitor.
dapat
Diklofenac
mengurangi
konsentrasi
arachidonat
bebas
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz). Diazepam dan lorazepam
tidak larut dalam air. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls),
sedangkan midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia
dalam larutan dengan PH 3,5.
Midazolam
Golon
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral. Benzodiazepine bekerja pada
reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut
lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan
berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor GABA.
Farmakokinetik. Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang
banyak digunakan dalam anestesi diklasifikasikan sebagai berikut: 1.) Midazolam
(short-lasting); 2.) lorazepam (intermediate-lasting); 3.) diazepam (long-acting),
berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio bersihan midazolam
berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan lorazepam 0.8-1.8 ml/kg/menit dan
diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit. Walaupun terminasi kerja dari obat ini terutama
dipengaruhi oleh redistribusi obat dari SSP ke jaringan lain setelah penggunaan
untuk anestesi, pemberian berulang, atau infuse berkelanjutan, kadar midazolam
dalam darah turun lebih cepat dibandingkan yang lain karena bersihan hati yang
lebih besar. Hasil metabolisme dari benzodiazepines menjadi penting. Diazepam
membentuk 2 macam metabolit aktif yaitu, oxazepam dan desmethyldiazepam
yang memperkuat dan memperpanjang efek obat. Midazolam mengalami
biotransformasi menjadi hydroxymidazolam yang memiliki potensi 20-30% dari
merangsang disusunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek
depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan, depresi pusat tertentu
memberikan efek antitremor dan efek ini berguna sebagai antiparkinson, atropin
merangsang N. Vagus sehingga denyut jantung berkurang. Memberikan efek
kelenjar eksokrin sehingga terjadi hambatan saliva. Perangsangan respirasi terjadi
akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu,
atropin tidak berguna merangsang respirasi tapi mengurangi sekresi hidung,
mulut, faring dan bronkus. Kardiovaskular. Pengaruh atropin terhadap jantung
bersifat bifasik dengan dosis 0.25-0.5mg, frekuensi jantung berkurang. Pada dosis
toksis terjadi dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher akibat vasodilatasi, yang
merupakan kompensasi kulit untuk melepas panas. Pada mata menghambat M
constrictor pupilae dan ciliaris memberikan efek midriasis sehingga terjadi
fotofobia dan siklplegia. Pada pencernaan, menghambat peristaltik usus/lambng
sehingga digunakan untuk antispasmodik.
Dosis. diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek
hipersekresi, misal: dietileter atau ketamin. Sediaannya amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB. Dosis lebih 2 mg biasanya hanya digunakan pada keracunan
insektisida organofosfat terjadi hambatan N vagus sehingga terjadi takikardia.
Efek samping: proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada
anak-anak sehingga terjadi febris dan dehidrasi. Pada anak mudah
terjadi
keracunan, gejala timbul 15-20 menit dimulai dengan pusing, mulut kering, tidak
bisa menelan , sukar bicar a dan perasaan haus sekali karena air liur tidak ada,
penglihatan kabur, midriasis , gallop rhythm. Anti dotumnya ialah fisotigmin
salisilat 2-4mg SK dapat menghilangkan gejala SSP dan efek anhidrosis.
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi; diproduksi secret
yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi intraoperatif.
Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi adalah sebagai (1) antisialogogue
dan (2) sedasi dan amnesia. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan
mengurangi sekresi cairan lambung, namun tidak disetujui penggunaannya pada
preoeratif.
Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif mengeringkan
saluran nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi endotrakeal.
Antisialogogue sangan penting pada operasi intraoral dan pada pemeriksaan jalan
nafas seperti bronkoskopi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas
sawar darah otak namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai sedatif
terutama bila dikombinasi dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau diazepam,
tidak semua pasien dapat berefek amnesia oleh pemberian scopolamine.
Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui blokade
efek asetylkolin pada SA node. Atropin lebih potensial dibanding glykopirolat dan
scopolamine. Aksi vagolitik ini berguna mencegah refleks bradikardi selama
operasi. Bradikardi bisa terjadi akibat traksi otot ekstraorbital, otot abdomen,
stimulasi sinus carotis, atau setelah pemberian berulang suksinylkolin. Atropine
dan glykopirolat diberikan intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering
diperlukan untuk mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative
antikolinergik tidak dibenarkan untuk menurunkan sekresi H+ lambung.
6. Anti emetic
a. Ondancentron
Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena
sitostatika.
Mekanisme
kerjanya
diduga
dilangsungkan
dengan
posttrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pada
pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum tercapai setelah
1-1.5 jam terikat protein plasma sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya 3 jam.
Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB.
b. Simetidin dan Ranitidin
Farmakokinetik: bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan bersama atau segera
setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode
pascamakan. Absorpsi simetdidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin
masuk ke SSP. Sekitar 50-80% dari dosisIV, dan 40% oral, simetidin
diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar
2jam.
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien penyakit gagal
ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3jam setelah penggunaan
150mg ranitidin oral dan yang terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas
pertamanya di hepar. Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja.
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
asam lambung sehingga pemberian simetidin atau ranitidin sekresinya dihambat.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volurme dan
lambung.
Dosis. Anatagonis reseptor H2 satu kali sehari pada malam hari diberikan
untuk mengatasi gejala akut tukak lambung. Untuk premedikasi biasanya
digunakan ranitidin 50-150mg.
Efek samping. Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus. Kehilangan libido dan impoten.
INDUKSI ANESTESI
1. KETAMIN
kurang
sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran
darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan saatnya
yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan
lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar
sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu,
halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik.
Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai maksimum
beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian.
Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang
meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian
premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi.
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara, kecuali
dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi. Ketamin
menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus
oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme
bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan.
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 14mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui infus
dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat banyak
rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan
menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis
awal sesuai kebutuhan. Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8
mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25
mg/kgBB intravena. Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam
dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan sulfas
atropine 0.01mg/kgBB.
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya
pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah
saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien
dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk
tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma.
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.) Pasien
dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga
harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah
faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian. Namun
efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai
premedikasi
2. PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan
sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun
1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan
sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal.
Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2%
diekskresikan dalam tinja.
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan
redistribusi dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (9697%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan
cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih
lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi
dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari
3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih
dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. Dosis
yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis
inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan
kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55
tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB.
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi
psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi
yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol
digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV lainnya,
mungkin karena sifat antiemetik propofol. Propofol mendukung perkembangan bakteri,
sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena. Biasanya terjadi saat
penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada
penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti.. Bradikardi serta hipotensi
kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan
penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti
myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol
dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat
ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsi.
3. PEMELIHARAAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu
tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi.Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012
2. Mangku,G. et al. Ilmu Anesesia Dan Reaminasi.Macanan Jaya Cemerlang, Jakarta 2009.
3. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
4. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for
Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008