Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang kronis
dan berulang, dengan karakteristik rasa gatal yang hebat, kulit kering, inflamasi
dan eksudasi. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural). Hal ini dapat
disebabkan oleh stress fisik dan emosional. DA seringkali berhubungan dengan
peningkatan nilai serum IgE dan riwayat alergi tipe I, rhinitis alergika dan asma
pada penderita atau keluarga.1
DA seringkali mengenai 10-15% anak diseluruh belahan dunia dan
prevalensinya meningkat dengan cepat. Gejala pertama biasanya dimulai saat
bayi, dan sekitar 50% kasus didiagnosis pada usia 1 tahun, dan DA bersifat jangka
panjang dan menetap hingga dewasa pada sepertiga pasienSekitar 70 persen kasus
DA dimulai pada anak usia dibawah 5 tahun, meskipun sebanyak 10 persen kasus
yang dijumpai di rumah sakit dimulai saat usia dewasa.2,3
Dermatitis atopik

dicetuskan oleh sejumlah faktor pencetus. Meliputi

bahan iritan (bahan pakaian yang tidak cocok, air keras), mikroba (khususnya
Staphylococcus aureus), psikologis (khususnya keadaan stres) dan faktor alergi.
Pasien DA seringkali mengalami peningkatan serum IgE dan derajat sensitisasi
yang tinggi terhadap alergen lingkungan, termasuk makanan. Polutan dalam
maupun luar ruangan seperti asam tembakau dapat mempengarugi produksi IgE.
Sebanyak sepertiga anak dengan DA memiliki alergi terhadap makanan. 4
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk
menjadikan dermatitis atopik sebagai tema laporan kasus agar
dapat diketahuinya etiologi, tatalaksana serta prognosis dari
kasus yang diangkat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Dermatitis Atopik

2.1.1

Definisi
Dermatitis atopik (D.A.) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,

disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (D.A., rhinitis alergi, dan atau asma bronchial).1
2.1.2

Epidemiologi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat

sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang,


Australia dan Negara-negara industri lainnya, prevalensi DA pada anak mencapai
10 20 persen, sedangkan pada dewasa 1 3 persen. Di Negara agraris,
prevalensi ini lebih rendah. Perbandingan wanita dan pria adalah 1,3:1. 1
Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi D.A.,
misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meingkatnya penggunaan antibiotik,
berpotensi menaikkan jumlah penderita D.A. 1
DA cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih
dari seperempat anaknya akan menderita DA pada 3 bulan pertama kehidupan.
Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih separuh anaknya menderita
alergi sampai usia 2 tahun dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua
menderita atopi. Risiko mewarisi D.A. lebih tinggi bila ibu yang menderita D.A.
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berkelanjut hingga
masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama, kira-kira
50%.1

2.1.3

Etiopatogenesis
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenensis D.A., misalnya

faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep


dasar terjadinya D.A. adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh
sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. 1
A. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom
5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan
prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama
penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar
monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%. 5
B. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin
kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi alergen,
iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide
sehingga menyebabkan kulit makin kering. 6
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset
CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari
darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga
dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi
pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13,
sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan
IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil. 5
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah
CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk

mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh


darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel
T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+,
CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan
Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak
menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein
extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang
melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka
terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas
ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di
microenvironment. 5
C. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain
jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang
peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis.7
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik. 8
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa
nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik. 5
D. Imnopatogenesis
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel

ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak


dapat

menyebabkan

lesi

ekzematosa.

kemungkinan

zat

tersebut

menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal


menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE.9
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin
spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4,
IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan
IgE.5
1) Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan
kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA
terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau
rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini
memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.5
2) Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat
berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada
lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi
sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang
lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan
pada DA akut. 5
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap
antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan
sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan
respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun
pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T

sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap


limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap
infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. 5
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang
berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin,
bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat
dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin
sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan
sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai
manfaat antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan) akan
melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis,
yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah
beratnya eksema. 5
E. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat

reseptor

FceRI

pada

permukaannya,

dan

beperan

untuk

mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2


di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam
sirkulasi. 5

F. Faktor Non Imunologis


Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal. 5
G. Autoalergen

Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung


antibody IgE terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut merupakan
protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. Pada dermatitis
atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen
endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai
penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas. 6
Berbagai Faktor Pemicu
Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam pathogenesis D.A., tetapi
tidak biasa terjadi pada penderita D.A. yang lebih tua. Makanan yang paling
sering ialah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi
pada penderita D.A. karena induksi makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa,
urtikaria, kontak urtikaria, atau kelainan mukokutan yang lain.1
Patogenesis hipersensitivitas makanan dengan manifestasi dermatitis
atopik telah mengalami perubahan pada akhir abad ini. Pada penelitian terakhir,
sekitar sepertiga anak memperlihatkan hubungan hipersensitivitas makanan
dengan gejala kulit. Kurang lebih 60% dari pasien ini memberikan reaksi positif
terhadap double blind placebo controlled food challenge (DBPCFC) terhadap
salah satu allergen makanan yang diujikan. Pada penelitian Sampson terbukti ada
hubungan antara hipersensitivitas makanan yang timbul segera dengan
pemunculan gejala kulit pada beberapa anak pasien dermatitis atopik. Empat belas
dari 26 anak dalam penelitian tersebut menderita eritema kulit dan pruritus yang
timbul segera setelah setelah pemaparan antigen makanan melalui DBPCFC.10
Penderita D.A. cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur,
karena imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90%
lesi kulit penderita D.A. ditemukan S.aureus, sedangkan pada orang normal hanya
5%. S.aureus melepaskan toksin yang bertindak sebagai superantigen yang
mengstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Apabila ada superantigen menembus
sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik, dan degranulasi sel
mast, kejadian ini akan memicu siklus gatal-garuk yang akan menimbulkan lesi di

kulit penderita D.A. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan
menginduksi resistensi kortikosteroid sehingg memperparah D.A. 10
2.1.4

Gambaran Klinis
Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid

diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan
teraba dingin. Penderita D.A. cenderung tipe astenik, dengan inteleginsia di atas
rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.1
Gejala utama D.A. ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. 1
Manifestasi klinis

DA berbeda pada

setiap tahapan

atau fase

perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak
didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa. 11
A. Dermatitis Atopik Infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel
yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk
krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher,
pergelangan tangan, lengan, dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi
ditemukan di lutut. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga
anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A.
infantile eksudat, erosi, krusta, dan dapat mengalami infeksi. Lambat laun
lesi menjadi kronis dan residif. 1
B. Dermatitis Atopik Anak ( usia 2 sampai 10 tahun)
Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul,
likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat
lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di
muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi

erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Penderita


sensitive terhadap wol, bulu kucing, dan anjing, juga bulu ayam, burung,
dan sejenisnya. 1
C. Dermatitis Atopik Remaja dan Dewasa
Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak populareritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A.
remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan
sekitar mata. Pada D.A. dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat,
misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.
Lesi sangat gatal terutama pada malam hari waktu beristirahat. 1
2.1.5

Diagnosis
Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka

yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang diikordinasi oleh Williams
(1994). 1
Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria
minor, yakni: 1

A. Kriteria Mayor
1. Pruritus
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
4. Dermatitis kronis atau residif
5. Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Gambar 2.1 Dermatitis Pada Muka Dan Fleksura


B. Kriteria Minor

Gambar 2.2 Contoh Kriteria Mayor pada Dermatitis Atopik


1. Xerosis
2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)
3. Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
4. Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris
5. Pitiriasis alba
6. Dermatitis di papila mame
7. White dermatografism dan delayed blanched response
8. Keilitis
9. Lipatan infra orbital Dennie Morgan
10. Konjungtivitis berulang
11. Keratokonus
12. Katarak subkapsular anterior
13. Orbita menjadi gelap
14. Muka pucat dan eritema
15. Gatal bila berkeringat
16. Intolerans perifolikular
17. Hipersensitif terhadap makanan
18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
19. Tes alergi kulit tipe dadakan positif
20. Kadar IgE dalam serum meningkat
21. Awitan pada usia dini
2.1.6

Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding D.A. ialah dermatitis seboroik (terutama pada

bayi), dermatitis kontak, dermatitis numularis, scabies, iktiosis, psoriasis


(terutama di daerah palmoplantar), dermatitis herpetiformis, sindrom Sezary, dan

10

penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi juga sindrom imunodefisiensi, misalnya


sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.1
A. Dermatitis Kontak Alergik (DKA)
1. Definisi
Dermatitis kontak alergik adalah dermatitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit yang terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. 1
2. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan (DKI), jumlah
penderita dermatitis kontak alergik (DKA) lebih sedikit; karena hanya
mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah
seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan
kimia yang dipakai oleh masyarakat. 1
3. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah, merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus
stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya.
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH.
Juga factor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak dan
status imunologik.1
4. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang
sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat
menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum
corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein

11

kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke selsel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara
khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein
karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak
selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan
respons,

menyebabkan

timbulnya

sitotoksisitas

langsung

dan

terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin.13


Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF,
leukotrien, IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan
yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut
akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama
seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan
oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan
bahkan beberapa tahun. 13
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan
adanya vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang
terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia
atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan
sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis
yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak
memiliki rambut terutama kelopak mata. 13
5. Gejala Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung
pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema, dan edema lebih

12

dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering,


berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas. 1
Kejadian DKA paling sering di tangan, mungkin karena tangan
merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk
melakukan pekerjaan sehari-hari. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi
pada penderita. Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis
tangan, misalnya detergen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan
peptisida. 1

Gambar 2.3 Dermatitis Kontak Alergik pada Telapak Tangan


Sedangkan untuk DKA pada paha dan tungkai bawah dapat
disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat
topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh
deterjen, bahan pembersih lantai.1
6. Diagnosis
a. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang
cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya
mengeluh gatal. 1
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka
perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana
atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data

13

yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan,


hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi,
penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari
yang bersangkutan maupun keluarganya. 1
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA
dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran;
di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat
yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen. 1
c. Pemeriksaan Penunjang
Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak
Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut
karena kontak alergi. 1
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit,
misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel,
dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan
bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya,
misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu.
Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan

14

dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui


bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga
keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung
tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel
dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam
dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air,
dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa
hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi. 1
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan uji tempel: 1
1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau
excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.

15

5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap


penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel
dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah
dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut: 1


Reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
Reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
Reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
Meragukan : hanya makula eritematosa
Iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (ir)
Reaksi negatif (-)
Excited skin
Tidak dites (NT=non tested)
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu
setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan
antara respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi
lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu
dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi
sampai satu minggu setelah aplikasi. 1
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon
alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu
dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi
tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun
(reaksi tipe decrescendo).

7.

Diagnosis Banding

16

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran


morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis
numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang
utama ialah DKI. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji temple perlu
dipertimbangkan untuk menentukan apakah dermatitis tersebut karena
kontak alergik. 13
8. Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa14
1. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi.
2. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk
terkena dermatitis kontak alergi
3. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan
aktivitas yang bersentuhan dengan allergen.
4. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
b. Medikamentosa
1. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat
(CTM)

sebanyak

3-4 mg/dosis,

sehari

2-3 kali

untuk

dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak anak


untuk menghilangkan rasa gatal.1
a. Sistemik1
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila

terdapat

infeksi

sekunder

diberikan

antibiotika

(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari,


selama 5 hingga 7 hari

17

b. Topikal1
Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
2. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 14
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk
terkena dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun,
jika tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar
allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan
aktivitas yang berisiko terhadap paparan allergen

9.

Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi
kronis bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasis).
Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan
alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita. 1

B. Dermatitis Numularis
1.
Definisi
Dematitis numularis adalah dermatitis berupa lesi berbentuk mata
uang (koin) atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi
berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah
(oozing).1

18

2. Epidemiologi
Dermatitis numularis pada orang dewasa terjadi lebih sering pada
pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin
antara 55 dan 65 tahun; pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia
15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada
anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun;
umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia. 1
3. Etiopatogenesis
Penyebabnya tidak diketahui, banyak faktor yang ikut berperan.
Diduga staphylococcus dan micrococcus ikut berperan, mengingat
jumlah koloninya meningkat walaupun tanda infeksi secara klinis
tidak tampak; mungkin juga lewat mekanisme hipersensitivitas. 1
Dermatitis kontak mungkin ikut memegang peranan pada berbagai
kasus dermatitis numularis, misalnya alergi terhadap nikel, krom,
kobal, demikian pula iritasi dengan wol dan sabun. 1
Trauma fisis dan kimiawi mungkin juga berperan, terutama bila
terjadi di tangan; dapat pula pada bekas cedera lama atau jaringan
parut. 1
Kulit penderita dermatitis numularis cenderung kering, hidrasi
stratum korneum rendah. Dermatitis pada orang dewasa tidak
berhubungan dengan gangguan atopi. Pada anak, lesi numularis terjadi
pada dermatitis atopik. 1
4. Gambaran Klinis
Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal.
Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, kemudian membesar
dengan cara berkonfluensi atau meluas ke samping, membentuk satu
lesi karakteristik seperti uang logam (koin), eritematosa, sedikit
edematosa, dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecah terjadi
eksudasi, kemudian mongering menjadi krusta kekuningan. 1

19

Jumlah lesi dapat hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar,
bilateral tau simetris, dengan ukuran yang bervariasi, mulai dari miliar
sampai nummular, bahkan plakat. Tempat predileksi di tungkai bawah,
badan, lengan, termasuk punggung tangan. 1
Dermatitis numularis cenderung hilang-timbul, ada pula yang terus
menerus, kecuali dalam periode pengobatan. Bila terjadi kekambuhan
umumnya timbul pada tempat semula. 1

Gambar 2.4 Dermatitis Numularis


5. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis dermatitis numularis didasarkan atas gambaran klinis.
Sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatitis kontak,
dermatitis atopik, neurodermatitis sirkupskripta, dan dermatomikosis. 1
6. Penatalaksanaan
Sedapat-dapatnya

mencari

penyebab

atau

factor

yang

memprovokasi. Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien.


Secara topikal lesi dapat diobati dengan obat anti inflamasi, misalnya
preparat ter, glukokortikoid, takrolismus, atau pimekrolimus. Bila lesi
masih eksudatif, sebaiknya dikompres dahulu misalnya dengan larutan
Permanganan Kalikus 1:10.000. Kalau ditemukan infeksi bakterial,
diberikan pada kasus yang berat dan refrakter, dalam jangka pendek.
Pruritus dapat diobati dengan antihistamin golongan H1, misalnya
Hidroksisil HCl. 1
7. Prognosis
Dari suatu pengamatan, sejumlah penderita yang diikuti selama
berbagai interval sampai dua tahun, didapati 22% sembuh, 25%

20

pernah sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak


pernah bebas dari lesi kecuali masih dalam pengobatan. 1
2.17

Penatalaksanan
Terapi DA membutuhkan pendekatan sistematis dan multifaktorial yang

merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis, identifikasi dan eliminasi


faktor penyebab seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan stres emosional yang
bersifat individual. Penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama
(long term control), bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan.8 Edukasi
merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan DA, yaitu perawatan kulit yang
benar dan menghindari penyebab. Agen topical digunakan untuk terapi penyakit
yang terlokalisasi dan ringan, sedangkan fototerapi dan agen sistemik digunakan
untuk yang lebih luas dan berat. 10
A. Terapi Non-farmakologis
Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacangkacangan yang
dapat mencetuskan D.A. harus diidentifikasi secara teliti melalui
anamnesis dan beberapa pemeriksaan khusus. Namun, eliminasi makanan
esensial pada bayi/anak harus berhati-hati karena dapat menyebabkan
malnutrisi sehingga sebaiknya diberi makanan pengganti. 10
Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu dibilas dengan
air biasa dan menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa bahan
pewangi akan membersihkan kotoran dan keringat, juga skuama yang
merupakan medium yang baik untuk bakteri. Keadaan itu akan
meningkatkan penetrasi terapi topikal. Hindari sabun atau pembersih kulit
yang mengandung antiseptik/antibakteri yang digunakan rutin karena
mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi sekunder. Dalam tiga
menit setelah selesai mandi, pasien seharusnya mengaplikasikan pelembab
untuk memaksimalkan penetrasinya. Salap hidrofilik dengan ceramiderich
barrier repair mixtures akan memelihara kelembaban dan berfungsi
sebagai sawar untuk bahan antigen, iritan, patogen, dan mikroba. 10

21

Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan


pelembab akan mengurangi penggunaan kortikosteroid hingga 50%.2
Sebuah penelitian pada 100 pasien DA dengan pelembab urea 5% atau
losion urea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari efektif dan
aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringansedang. 10
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar
karena dapat mengiritasi kulit. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek
untuk menghindari kerusakan kulit (erosi, eksoriasi) akibat garukan. Gatal
dikurangi dengan emolien ataupun kompres basah. 10
Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi
tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan
kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut
(kasa balut) dapat diberi larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim
kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat dan
ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya. Cara ini sebaiknya
dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu.
Balut basah dapat pula dilakukan dengan mengoleskan emolien saja di
bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal
serta berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga
mempercepat penyembuhan. Bila tidak disertai pelembab, balut basah
dapat menambah kekeringan kulit dan menyebabkan fisura. Penggunaan
balut basah yang berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga
memudahkan infeksi sekunder. 10
B. Terapi Topikal
1) Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal merupakan terapi yang paling sering
digunakan pada DA di Amerika Serikat untuk DA fase akut. Terapi
kortikosteroid untuk DA bersifat efektif, relatif cepat, ditoleransi
dengan baik, mudah digunakan, dan harganya tidak semahal terapi
alternatif lainnya. Pada sebuah penelitian dengan randomized
controlled trials pada 83 kasus DA, 80% dilaporkan remisi total.

22

Penelitian pada 231 anak dengan DA menerima terapi 0,05%


fluticasone propionate dengan pelembab dua kali perminggu,
menunjukkan bahwa pada pasien kontrol lebih cenderung mengalami
relaps. 10
Kortikosteroid dengan potensi rendah cukup bagi anak pada
semua lokasi tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil terapi pada
penggunaan preparat potensi lemah jangka pendek dan panjang pada
anak dengan derajat penyakit ringan sedang. 10
Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah
terhambatnya pertumbuhan oleh supresi adrenal karena absorbsi
sistemik, namun belum ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan
kortikosteroid pada anak mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan.2
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut apakah penggunaan steroid dua kali
sehari lebih efektif dibandingkan sekali sehari. 10
2) Inhibitor Kalsineurin Topikal
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif.
Sebuah penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan mempunyai
potensi yang sama dengan kortikosteroid topikal. Kelebihan inhibitor
kalsineurin topikal dibandingkan dengan kortikosteroid adalah tidak
menyebabkan penipisan kulit, namun pada penggunaan awal akan
menimbulkan sensasi terbakar di kulit. Takrolimus tersedia dalam
bentuk salap 0,03% dan 0,1% untuk DA derajat sedang hingga berat.
Kadar 0,03% dapat digunakan untuk anak usia 2-15 tahun. Krim
pimekrolimus 1% diindikasikan untuk DA derajat ringan hingga
sedang pada pasien diatas usia 2 tahun. 10
Penggunaan takrolimus dan pimekrolimus dua kali sehari
terbukti aman, dengan respon klinis pada anak dan dewasa akan terjadi
dalam 1 minggu setelah terapi. Oleh karena itu dapat digunakan di
wajah serta daerah lipatan kulit (aksila, leher, inguinal) dan kulit yang
tipis (wajah, kelopak mata). 10
Selain efek samping rasa terbakar pada kulit, juga eritem dan
pruritus. Belum ada bukti peningkatkan risiko hipertensi dan

23

neurotoksik, namun dibutuhkan penelitian dalam waktu jangka


panjang untuk selanjutnya. 10
Strategi Terapi Kombinasi
International Consensus Conference on Atopikc Dermatitis II
(ICCAD II) merekomendasikan kortikosteroid topical untuk mengatasi
eksaserbasi

akut/flare,

sedangkan

inhibitor

kalsineurin

topikal

digunakan secara intermiten untuk terapi pemeliharaan. Penelitian


pada ko-aplikasi betametason valerat dengan takrolimus atau
pimekrolimus

meningkatkan

penetrasi

keduanya

sehingga

efektifitasnya meningkat. Kombinasi kortikosteroid dan antibiotik


topikal dapat diberikan pada lesi dengan infeksi ringan. Dibutuhkan
penelitian lebih lanjut mengenai terapi kombinasi dan untuk
menetapkan dosis optimal untuk kombinasi kortikosteroid dan
inhibitor kalsineurin atau alteransi. 10
Ter
Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan antiinflamasi, walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal. Sampo yang
mengandung ter dapat digunakan untuk lesi di skalp. Preparat ter
sebaiknya tidak digunakan pada lesi akut karena dapat menyebabkan
iritasi. Efek sampingnya antara lain folikulitis, fotosensitivitas, dan
potensi karsinogenik. 10
C. Terapi Sistemik
1) Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik seperti prednison jarang digunakan
sebagai terapi primer pada DA, namun terkadang dapat digunakan
pada masa akut sementara transisi ke agen lain. Prednisolon 1 mg/kg
berat badan dapat digunakan pada anak, namun sebaiknya tidak lebih
dari 1 atau 2 minggu. Penggunaan jangka waktu lama tidak dianjurkan
pada anak. 10
2) Inhibitor Kalsineurin Sistemik

24

Siklosporin oral sebagai terapi sistemik DA tersedia dalam


bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi singkat, namun
penggunaan lebih dari setahun tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi
sering terjadi setelah penghentian terapi siklosporin. Siklosporin
merupakan obat kategori C yang berisiko nefrotoksik, hipertensi, dan
hiperlipidemia. Efek samping dapat diminimalisir dengan dosis yang
tepat dan durasi singkat. Siklosporin bereaksi dengan obat-obat lain
seperti obat untuk jantung dan hipertensi (diltiazem, verapamil,
diuretik hemat Kalium), statin, antibiotik dan antijamur (klaritomisin,
eritromisin, flukonazol, ketokonazol), antikejang (karbamazepin,
fenitoin),

antidepresan

(selective

serotonin

reuptake

inhibitor,

nefazodone), dan obat-obat inhibitor protease HIV (indinavir,


saquinavir). 10
3) Anti Infeksi
Bila terdapat

tanda

infeksi

sekunder

oleh

kolonisasi

Staphylococcus aureus (madidans, krusta, pustul, pus) yang luas dapat


diberikan antibiotik sistemik misalnya sefalosporin atau penisilin yang
resisten

terhadap

penisilinase

(dikloksasilin,

kloksasilin,

flukloksasilin). Bila lesinya tidak luas dapat dipakai antibiotik topikal,


misalnya asam fusidat atau mupirosin. Eritromisin atau makrolid
lainnya dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.
Antijamur topical atau sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi
infeksi jamur. 10
4) Fototerapi
UVA, UVB, narrowband UVB, UVA-1, kombinasi UVA dan
UVB, atau bersama psoralen (fotokemoterapi) dapat digunakan
sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi panjang,
namun berisiko menimbulkan penuaan kulit dini dan keganasan kulit
pada pengobatan jangka lama. 10
Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA, yang
dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanoma

25

maligna.2,12 Fototerapi dipertimbangkan pada DA berat dan luas yang


tidak responsif terhadap pengobatan topikal. 10
Fotokemoterapi tidak dianjurkan untuk anak usia kurang dari 12
tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata. 10
2.1.8 Komplikasi
1. Infeksi Sekunder Akibat Bakteri
Merupakan komplikasi yang paling sering pada dermatitis atopik.
Biasanya disebabkan oleh bakteri kelompok Strptococci B-hemolytic,
studi lain mengungkapkan Staphylococcus merupakan 93% penyebab
infeksi sekunder pada lesi dermatitis atopik. Infeksi tersebut menyebabkan
timbulnya folikulitis atau impetigo. Pioderma yang berhubungan dengan
dermatitis atopik biasanya ditemukan lesi eritema dengan eksudasi dan
krusta, skuama berminyak dan jerawat kecil pada ujungnya. 12
2. Infeksi Jamur Kulit
Adanya gangguan epidermal barrier function, kelembaban dan
maserasi

mempengaruhi

timbulnya

kepekaan

terhadap

infeksi

jamur.Faktor individu dan lingkungan sehari-hari juga berperanan penting


pada timbulnya komplikasi ini, seperti kaus kaki serta olahragawan.
Pytiriosporum ovale akhir-akhir ini dianggap meningkat pada kulit pasien
dermatitis atopic. 12
3. Infeksi Virus
Kutil karena virus dan moluscum kontagiosum ditemukan lebih
sering pada dermatitis atopik, sedangkan infeksi herpes simpleks dapat
menimbulkan lesi yang menyebar luas. Erupsi Varicelliform Kaposis
adalah komplikasi lain dermatitis atopi, ini disebabkan oleh virus herpes
simpleks dan vaccinia. Kelainan dikenal sebagai Eksim herpetikum atau
eksim vaksinatum. Perkembangan erupsi vesicular yang meningkat pada
orang yang atopik dapat menungkatkan kemungkinan terjadinya erupsi
Kaposis variceliform.12
4. Eritroderma

26

Terjadi pada 4-14% kasus dermatitis atopik.Keadaan tersebut dapat


terjadi akibat adanya efek withdrawl pemakaian kortikosteroid sistemik
pada kasus dermatitis atopik berat. Komplikasi ini cenderung dapat
mengancam hidup pasien bila terdapat kegagalan fungsi jantung, sepsis,
hipotermi dan hipoalbuminemia.12

2.1.9

Prognosis
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Faktor yang

berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah : 1


1.
2.
3.
4.
5.
6.

DA yang luas pada anak.


Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.
Awitan (onset) DA pada usia muda.
Anak tunggal.
Kadar IgE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi

asma bronkiale atau hay fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk
mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. 1

BAB III
LAPORAN KASUS

27

3.1

Identitas Pasien
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Bangsa
Alamat

: I.S
: 3 tahun
: Perempuan
: Islam
: Indonesia
: Jl. A. Yani Lr. Kelekar No. 3 RT. 17/04 Silaberanti

Tanggal Periksa

Palembang
: 9 Nopember 2015

3.2

Anamnesis

3.2.1

Keluhan Utama (Alloanamnesis pada 9 Nopember 2015, pukul 11:00)


Timbul bercak kemerahan sejak 1 tahun yang lalu di tungkai bawah kanan
dan kiri serta di punggung kaki kanan.

3.2.2

Keluhan Tambahan
Gatal pada daerah bercak kemerahan.

3.2.3

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sekitar 1 tahun yang lalu, timbul bercak kemerahan di tungkai
bawah kanan dan kiri serta di punggung kaki kanan OS yang timbul
bersamaan, berjumlah masing-masing satu bercak kemerahan di tungkai
bawah kanan dan kiri ukuran kira-kira dua ruas jari telunjuk. 1 hari
kemudian, bercak kemerahan juga timbul di punggung kaki kanan,
berjumlah satu bercak kemerahan ukuran kira-kira satu ruas jari telunjuk.
Bercak kemerahan tersebut disertai rasa gatal, tidak disertai rasa nyeri.
Gatal dirasakan lebih hebat pada malam hari dan saat berkeringat. Apabila
terasa gatal, maka OS menggaruk bercak kemerahan tersebut. 3 hari
kemudian, muncul bintil-bintil ukuran sebesar kepala jarum pentul di
daerah yang kemerahan dan gatal tersebut. Bercak kemerahan lalu
bertambah lebar.

28

Sehari-hari OS tidak terpapar oleh bahan-bahan seperti detergen


atau pembersih lantai. Selama menggunakan sepatu dan sandal yang biasa
OS gunakan, OS tidak mengalami keluhan seperti sekarang. OS belum
pernah menggunakan obat topikal sebelumnya pada daerah yang
mengalami keluhan.
Bintil-bintil tersebut menjadi terkelupas dan sampai luka karena
digaruk terus menerus oleh OS. Orangtua OS lalu membawa OS berobat
ke praktek dokter mandiri dan diberi obat makan dan salep. Keluhan gatal
dirasakan berkurang namun bercak merah dan bintil masih ada. Setelah
obat habis OS lalu dibawa berobat lagi dan mendapat obat salep baru.
Keluhan berangsur-angsur hilang dalam 3 bulan dengan berobat teratur.
1 bulan setelahnya, keluhan gatal disertai bercak merah dan bintilbintil kembali lagi. OS lalu dibawa berobat ke Poliklinik Kulit Kelamin
RSUD Palembang Bari. OS mendapat obat makan dan obat salep. Setelah
berobat, keluhan gatal OS berkurang, bercak kemerahan berkurang dan
bintil mengering. Namun keluhan kembali berulang setelah obat habis.
Saat ini, OS datang untuk kontrol ulang ke Poliklinik Kulit
Kelamin RSUD Palembang Bari. Saat kontrol ulang, bagian tungkai
bawah kanan dan kiri, serta bagian punggung kaki kanan OS terlihat
bercak kehitaman dengan bekas garukan.
3.2.4
1.
2.
3.
4.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat gatal-gatal sebelumnya disangkal.
Riwayat sakit asma disangkal.
Riwayat sering bersin-bersin disangkal.
Riwayat alergi makanan (+) : mie, telur, ikan laut.

3.2.5
1.
2.
3.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma pada keluarga (+) : ibu OS.
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat alergi pada keluarga disangkal.

29

3.3

Pemeriksaan Fisik

3.3.1

Status Generalis
Keadaan Umum
Keadaan Umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernapasan
BB
TB

: Baik
: Compos Mentis
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: 94 x/menit
: 36,5 C
: 22x/menit
: 21 kg
: 100 cm

Keadaan Spesifik
Kepala

: Normocephali

Wajah

: Tidak tampak pucat ataupun kemerahan, pytiriasis


alba (-)

Mata

: CA (-/-), SI (-/-)

Hidung

: Tidak ada kelainan pada bentuk

Telinga

3.3.2

: Tidak ada kelainan pada bentuk

Mulut

: Tidak ada kelainan pada bentuk

Leher

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Thoraks

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

: Status Dermatologikus.

Status Dermatologikus

30

Gambar 3.1 Regio Dorsum Pedis Dextra


Keterangan:
= Makula-Patch Hiperpigmentasi
= Krusta
Regio dorsum pedis dextra, tampak makula-patch hiperpigmentasi,
multipel, bentuk tidak beraturan, ukuran 0,5 cm 3 cm x 0,4 cm 2 cm,
tersebar konfluens, sebagian diskret, di atasnya tampak beberapa krusta
cokelat dan hitam.

Gambar 3.2 Regio Cruris Dextra

31

Keterangan:
= Patch Hiperpigmentasi
= Krusta
Regio cruris dextra, tampak patch hiperpigmentasi, multipel, bentuk tidak
beraturan, ukuran 2,8 cm 4 cm x 2,3 cm 3 cm, tersebar konfluens
sebagian diskret, di atasnya tampak beberapa krusta hitam.

Gambar 3.3 Regio Cruris Sinistra


Keterangan:
= Patch Hiperpigmentasi
= Krusta
= Papul
Regio cruris sinistra, tampak patch hiperpigmentasi, multipel, bentuk tidak
beraturan, ukuran 2,5 cm 8 cm x 2 cm 6 cm, tersebar konfluens
sebagian diskret, di atasnya tampak:

3.4

Papul, multipel, bentuk bulat, ukuran miliar diameter 0,1 cm,

tersebar diskret.
Beberapa krusta hitam.

Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit allergen atau uji IgE spesifik untuk mencari faktor atopi.
2. Tes dermografisme.

32

3.5

Diagnosis Banding
1. Dermatitis Atopik
2. Dermatitis Kontak Alergik
3. Dermatitis Numularis

3.6

Diagnosis Kerja
Dermatitis Atopik

3.7

Penatalaksanaan

3.7.1

Penalaksanaan umum:
a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya antara lain:
1) Dermatitis atopik termasuk jenis penyakit alergi yang ada
hubungan dengan kerentanan genetik seseorang.
2) Penyakit ini tidak menular tetapi dapat diwariskan antar
generasi.
3) Penyakit ini dapat dicetuskan oleh berbagai faktor sehingga
pasien harus belajar mengetahui apa saja yang dapat memicu
timbulnya penyakit dan berusaha menghindari pejanan.
4) Penyakit ini cenderung berulang apabila tubuh terpapar alergen
tertentu sehingga membutuhkan waktu pengobatan yang cukup
panjang.
b. Menjelaskan pasien cara minum atau memakai obat oles yang benar:
1) Obat oles digunakan setelah mandi, dua kali sehari, oleskan tipis
dan merata di area lesi.
2) Apabila timbul reaksi alergi obat segera hentikan pemakaian dan
segera konsultasi ke dokter.
c. Menyarankan agar pasien:
1) Jangan menggosok atau menggaruk area lesi karena dapat
menimbulkan luka dan infeksi.
2) Menggunakan pakaian yang longgar dan cepat menyerap
keringat, membawa handuk pribadi, serta segera mengganti baju
yang basah untuk mengurangi rasa gatal.
3) Menjaga dan meningkatkan kebersihan diri (mandi, cuci tangan,
memotong kuku) dan lingkungan tempat tinggal.

33

4) Menjalani pengobatan secara teratur di bawah pengawasan


dokter untuk menghindari resistensi dan efek samping obat yang
tidak diinginkan.
3.7.2

Penatalaksanaan Khusus
a. Topikal
:
1) Mometasone furoate 0,1 % krim 1,5 gr, dioleskan 2 x 1 hari
b. Sistemik
:
1) Cetirizine 2,5 mg (2 ml) sirup, 2 x 1 hari
2) Triamcinolone tab 4 mg/ hari (1 x 1 hari)

3.8

Prognosis

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

34

BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosa pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinik
dan pemeriksaan fisik yang dilakukan.
Tabel 4.1. Perbandingan Anamnesis Secara Teori dan Kasus
Anamnesis
Dermatitis

Teori
atopik
adalah

Kasus
keadaan Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

peradangan kulit kronis dan residif, disertai


gatal yang umumnya sering terjadi selama
masa

bayi

dan

anak-anak,

Riwayat atopi (+) pada ibu OS berupa


asma bronkhiale.

sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE


dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (dermatitis atopi,
rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan
konjungtivitis alergika).1

35

Gejala utama D.A. ialah pruritus, dapat 1 tahun yang lalu timbul bercak kemerahan di
hilang

timbul

sepanjang

hari,

tetapi tungkai bawah kanan dan kiri serta di

umumnya lebih hebat pada malam hari. punggung kaki kanan OS, disertai rasa gatal
Akibatnya

penderita

akan

menggaruk yang lebih hebat pada malam hari dan saat

sehingga timbul bermacam-macam kelainan berkeringat. Apabila terasa gatal, maka OS


di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, menggaruk bercak kemerahan tersebut. 3 hari
erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.1

kemudian, muncul bintil-bintil ukuran sebesar


kepala

jarum

pentul

di

daerah

kemerahan dan gatal tersebut.

Tabel 4.2. Penegakan Diagnosis Dermatitis Atopik secara Teori dan Kasus
Kriteria Mayor pada pasien:
Pruritus
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria Minor pada pasien:
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mame
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif, Kadar IgE di dalam serum
meningkat
Awitan pada usia dini

36

yang

Berdasarkan kriteria Mayor dan Minor Dermatitis Atopik oleh Hanifin &
Rajka1, bila ditemukan minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, maka pada
pasien mengarah ke manifestasi dari Dermatitis Atopik.
Kemudian

dilakukan

pengkajian

lebih

lanjut

berdasarkan

status

dermatologis yang ditemukan :


Tabel 4.3. Status dermatologis berdasarkan teori dan kasus.
Status Dermatologis
Teori
Tempat predileksi :

Kasus
Regio dorsum pedis dextra, tampak makula-patch

Pada anak usia 2 tahun 10 tahun hiperpigmentasi, multipel, bentuk tidak beraturan,
yaitu pada lipat siku, lipat lutut, ukuran 0,5 cm 3 cm x 0,4 cm 2 cm, tersebar
pergelangan tangan bagian fleksor, konfluens, sebagian diskret, di atasnya tampak
kelopak mata, leher, jarang di muka.1
Menurut kriteria minor diagnosis
dermatitis atopik, pada anak-anak
yaitu pada daerah ekstensor.1

lebih

eksudatif,

Regio cruris dextra, tampak patch hiperpigmentasi,


multipel, bentuk tidak beraturan, ukuran 2,8 cm 4
cm x 2,3 cm 3 cm, tersebar konfluens sebagian
diskret, di atasnya tampak beberapa krusta hitam.

Efloresensi :
Lesi

beberapa krusta coklat dan hitam.

kering, tidak begitu Regio cruris sinistra, tampak patch hiperpigmentasi,


lebih

banyak

papul, multipel, bentuk tidak beraturan, ukuran 2,5 cm 8

likenifikasi, dan sedikit skuama. cm x 2 cm 6 cm, tersebar konfluens sebagian


Dapat

terjadi

erosi,

likenifikasi, diskret, di atasnya tampak:

mungkin juga mengalami infeksi

Papul, multipel, bentuk bulat, ukuran miliar

diameter 0,1 cm, tersebar diskret.


Beberapa krusta hitam.

sekunder.1

Pada status dermatologis di atas sesuai dengan teori dan yang ditemukan
pada pasien, sehingga diagnosis pasien Dermatitis Atopik menjadi lebih kuat.
Tabel 4.4. Diagnosis Banding1
Dermatitis Atopik

Dermatitis Kontak Alergika

Dermatitis Numularis

37

(DA)

(DKA)

(DN)

Etio

Sering

berhubungan Muncul akibat adanya faktor Diduga staphylococcus

logi

dengan

peningkatan pencetus kontak (iritan dan dan micrococcus ikut

kadar IgE dalam serum alergi).

berperan; mungkin juga

dan riwayat atopi pada

lewat

keluarga atau penderita

hipersensitivitas

mekanisme

Eflore

Lesi polimorfik: papul, Eritema, vesikel miliar, bula, Bercak merah, dengan

sensi

likenifikasi,
ekzematosa:

lesi luas

kelainan

biasanya efloresensi papul dan

eritema, sebatas daerah yang terkena, vesikel yang berbentuk

papulovesikel,

erosi, dan batas nya tegas.

ekskoriasi & krusta.

nummular

(uang

logam) dan terasa gatal

Predi

Anak pada lipat siku, Kejadian DKA paling sering Tungkai bawah, badan,

leksi

lipat lutut, pergelangan di tangan, Tergantung lokasi lengan dan punggung


tangan

bagian

dalam, yang terpapar alergen.

tangan.

kelopak mata, leher, dan


kadang-kadang di wajah.

Penulis mengeksklusi diagnosis dermatitis kontak alergi (DKA) karena


pada DKA lesi muncul akibat adanya faktor pencetus kontak (iritan dan alergi)
dan lokasi tergantung pada bagian tubuh yang terpapar alergen. Lesi yang muncul
berupa eritema, vesikel miliar, bula, luas kelainan biasanya sebatas daerah yang
terkena, dan batas nya tegas. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi
dan eksudasi (basah).
Sedangkan pada kasus, lesi yang ditemukan berupa makula-patch
hiperpigmentasi dan papul dengan erosi, ekskoriasi, dan krusta, tanpa ada vesikel
atau bula. Dan juga pada kasus tidak ada riwayat kontak dengan allergen yang
menjadi pemicu terjadinya lesi.

38

Penulis mengeksklusi diagnosis dermatitis numularis (DN) karena pada


DN lesi muncul dengan penyebab yang belum diketahui, yang diduga
staphylococcus dan micrococcus, dermatitis kontak, dan trauma fisis serta kimia
ikut berperan dalam timbulnya penyakit ini. Lesi yang muncul berupa bercak
merah dengan efloresensi papul dan vesikel yang berbentuk numular (uang
logam) dan terasa gatal yang biasanya timbul di tungkai bawah, badan, lengan dan
punggung tangan.
Sedangkan pada kasus, lesi yang ditemukan berupa makula-patch
hiperpigmentasi dan papul dan krusta, tanpa berbentuk numular (uang logam).
Sehingga dari ketiga diagnosis banding tersebut, yang menjadi diagnosis
kerjanya adalah Dermatitis Atopik.
Tabel 4.5. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik Berdasarkan Teori dan Kasus
Penatalaksanaan
Teori

Kasus

Umum :
Berbagai makanan seperti susu, ikan, Menjelaskan

kepada

pasien

tentang

telur, kacangkacangan yang dapat penyakitnya.


mencetuskan D.A. harus diidentifikasi Menjelaskan pasien cara minum atau memakai
secara teliti melalui anamnesis dan obat oles yang benar.
beberapa

pemeriksaan

khusus. Menyarankan agar pasien:

Namun, eliminasi makanan esensial


pada

bayi/anak

harus

d. Jangan menggosok atau menggaruk area

berhati-hati

lesi karena dapat menimbulkan luka dan

karena dapat menyebabkan malnutrisi

infeksi.
e. Menggunakan pakaian yang longgar dan

sehingga sebaiknya diberi makanan


pengganti. 10
Mandi dengan air hangat teratur dua
kali sehari lalu dibilas dengan air biasa
dan menggunakan pembersih yang
lembut dan tanpa bahan pewangi akan
membersihkan kotoran dan keringat,

cepat

menyerap

keringat,

membawa

handuk pribadi, serta segera mengganti


baju yang basah untuk mengurangi rasa
gatal.
f. Menjaga dan meningkatkan kebersihan
diri (mandi, cuci tangan, memotong kuku)
dan lingkungan tempat tinggal.

39

juga skuama yang merupakan medium

g. Menjalani pengobatan secara teratur di

yang baik untuk bakteri. Keadaan itu

bawah

pengawasan

dokter

akan meningkatkan penetrasi terapi

menghindari resistensi dan efek samping

topikal. 10

obat yang tidak diinginkan.

Hindari sabun atau pembersih kulit


yang

mengandung

antibakteri
karena

yang

antiseptic

digunakan

mempermudah

rutin

resistensi,

kecuali bila ada infeksi sekunder. 10


Hindari pakaian yang terlalu tebal,
bahan wol atau yang kasar karena
dapat

mengiritasi

kulit.

Kuku

sebaiknya selalu dipotong pendek


untuk menghindari kerusakan kulit
(erosi, eksoriasi) akibat garukan.10

40

untuk

Khusus :
Topikal :

Topikal1
-

Hidrasi

kulit

dengan

krim

dioleskan 2 x 1 hari

hidrofilik urea 10%


-

Kortikosteroid potensi rendah


pada bayi dan potensi menengah

Sistemik:
-

Cetirizine 2,5 mg (2 ml) sirup, 2 x 1

hari
Triamcinolone tab 4 mg/hari (1 x 1

pada anak dan dewasa.


-

Imunomodulator
(trakolimus,

Mometasone furoate 0,1% krim 1,5 gr,

topikal

pimekrolimus)

hari)

penghambat calcineurin dalam


bentuk salep.
Sistemik1
-

Kortikosteroid sistemik dengan


tapering off.

Antihistamin untuk membantu


mengurangi rasa gatal yang
hebat.

Antiinfeksi

bila

ditemukan

tanda infeksi dan peradangan


luas.
Pemberian kortikosteroid topikal karena kortikosteroid topikal mempunyai
kemampuan menekan inflamasi/peradangan dengan cara menghambat fosfolipase
A dan menekan IL-1. Sebagai obat imunosupresan, kortikosteroid dapat
menghambat kemotaksis neutrofi l, menurunkan jumlah sel Langerhans dan
menekan pengeluaran sitokin, menekan reaksi alergi-imunologi, serta menekan
proliferasi/antimitotik. KT juga menyebabkan vasokonstriksi dan efek ini sejalan
dengan daya antiinflamasi.17

41

Tabel 4.6 Klasifikasi potensi kortikosteroid topikal17

Pada pasien ini yang berusia 3 tahun (anak-anak), diberi kortikosteroid


topikal golongan potensi sedang,1 berupa Mometasone fuorate 0,1% krim,
dioleskan 2 x 1 hari.
Mometason furoat 0,1% krim, salep dan lotion yang ditemukan efektif,
aman dan sangat ditoleransi dalam eksim masa kanak-kanak dan senyawa itu
ditemukan sama amannya pada bayi.18

42

Untuk menghitung jumlah KT yang diresepkan, sebaiknya menggunakan


ukuran fingertip unit yang dibuat oleh Long dan Finley. Satu fingertip unit
setara dengan 0,5 gram krim atau salep.17

Gambar 1. Fingertip Unit17


Pada laki-laki satu fingertip unit setara dengan 0,5 gram, sedangkan pada
perempuan setara dengan 0,4 gram. Bayi dan anak kira-kira 1/4 atau 1/3 nya.
Jumlah krim atau salep yang dibutuhkan per hari dapat dikalkulasi mendekati
jumlah yang seharusnya diresepkan. 17

Gambar 2. Pedoman FTU untuk anak-anak17


Pada kasus ini, diperlukan 3 FTU untuk masing-masing tungkai bawah
kanan dan kiri, serta punggung kaki kanan. Sehingga diperlukan 9 FTU. Karena
pada anak-anak, perkiraan jumlah yang dibutuhkan adalah 9 FTU x 1/3 x 0,5
gram = 1,5 gram per hari untuk satu kali pengolesan. Sehingga bila diberikan 2
kali diperlukan 3 gram dalam sehari.

43

Pengolesan KT yang dianjurkan adalah 1-2 kali per hari tergantung


dermatosis dan area yang dioles. Pada terapi dermatitis atopik, dianjurkan 1-2
kali/hari. Pengolesan lebih dari 2 kali tidak memberikan perbedaan bermakna,
bahkan dapat mengurangi kepatuhan pasien. Teknik aplikasi pengolesan KT,
aplikasi sederhana oleskan salep tipis merata pijat perlahan-lahan. 17
Adanya reaksi hipersensitivitas dan inflamasi yang mendasari reaksi alergi
menunjukkan bahwa penyakit alergi membutuhkan tatalaksana farmakoterapi
yang mengatasi reaksi inflamasi alergi tersebut. 16
Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik.
Cetirizine merupakan antagonis reseptor H1 generasi kedua, yang merupakan
metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu
hidroksizin. 16
Cetirizine mempunyai keunggulan dibandingkan antihistamin klasik lain
karena mempunyai efek antiinflamasi, terutama melalui penghambatan proses
kemotaksis sel inflamasi. Hasil studi ETAC juga menunjukkan cetirizine
mempunyai efektivitas yang tinggi dengan efek samping yang minimal.16
Sehingga pada kasus diberikan Cetirizine 2,5 mg (2 ml) sirup, 2 x 1 hari,
sesuai dosis anak-anak 5 mg per hari atau 2,5 mg setiap 12 jam.
Proses kemotaksis sel inflamasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Efek
antiinflamasi kortikosteroid juga dicapai melalui penghambatan mediator atau
sitokin proinflamasi yang mencegah reaksi inflamasi alergi berlanjut. 16
Triamcinolone merupakan kortikosteroid oral yang dapat digunakan pada
anak karena mempunyai efek antiinflamasi, efek samping retensi natrium yang
rendah dan rasa yang tidak pahit. 16
Sehingga pada kasus diberikan Triamcinolone dengan dosis anak-anak
dengan BB < 34 kg yaitu 4 gram per hari. Karena sediaan Triamcinolone 1 tab = 4
gram jadi diberikan sebanyak 1 x 1 hari.
Untuk penentuan baik atau buruknya prognosis, faktor yang berhubungan
dengan prognosis kurang baik adalah DA yang luas pada anak, menderita rinitis
alergika dan asma bronkiale, riwayat DA pada orang tua atau saudaranya, awitan
(onset) DA pada usia muda, anak tunggal, kadar IgE serum sangat tinggi. 1 Pada

44

kasus ini hanya didapatkan onset DA pada usia muda, sehingga pada kasus ini
prognosis (quo ad vitam dan quo ad functionam) adalah baik (bonam).
Sebelumnya ada yang melaporkan bahwa 84% DA anak berlangsung
sampai remaja dan DA anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%
menghilang dan 65% berkurang gejalanya.1 Sehingga untuk kesembuhan (quo ad
sanationam) pada kasus ini adalah dubia ad bonam.

45

Anda mungkin juga menyukai