Yudistira memiliki nama kecilnya yaitu Puntadewa. Ia merupakan yang tertua di
antara lima Pandawa, atau para putera Pandu dengan Dewi Kunti. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama. Yudistira memerintah di Kerajaan Amarta. Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Sifat lainnya yang menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih. Cobaan-cobaan yang dialami Yudhistira seperti layaknya badai dalam perjalanan kehidupannya. Tapi justru badai-badai itu yang membuatnya semakin dapat berdiri kokoh. Apa pun bentuk cobaannya, Yudhistira tetap pada prinsip-prinsipnya. Untuk mewujudkan penyelesaian sengketa tanpa kekerasan. Menawarkan proses pembelajaran untuk membuka dialog kepada siapa pun yang bertikai. Keputusan tantangan perang hanya diambil sebagai jalan paling akhir ketika pihak lawan benar-benar menantang secara terbuka kepadanya. Sepanjang perang Baratayudha pun, walaupun Yudhistira tak pernah memalingkan satu haripun peristiwa di medan laga, tapi hanya sekali dia benar-benar membawa senjata dan membunuh musuhnya, itupun atas permintaan sang lawan sendiri, yaitu ketika melawan raja Mandraka, Prabu Salya. Dan ketika Salya berhasil dibunuhnya, justru Yudhistira yang paling sibuk mengurus jenazah Salya. Sebuah bukti yang ingin diperlihatkan kepada semua orang bahwa peperangan sebenarnya bukan jalan yang disenanginya.