0005 119 Ispa
0005 119 Ispa
Oleh :
Isna Lutfiyatul Faizah
6411414119
Rombel 05
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara demografis Desa X Kecamatan Kaloran merupakan tempat produksi genting
dimana pada proses produksinya selau menghasilkan asap. Asap dan debu yang dihirup setiap
hari oleh warga Desa X khususnya balita yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan
seperti ISPA, sehingga angka kejadian ISPA balita di Desa X setiap tahunnya selalu
menempati peringkat tertinggi. ISPA pada balita disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor
mikroorganisme (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment). Berdasarkan survey
pendahuluan di Puskesmas Kaloran tahun 2013 kejadian ISPA pada balita didesa X terdapat
laki-laki dan 1 balita mempunyai berat badan lahir 2400 gram.
Data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung menunjukkan pada
tahun 2012 terdapat 21.830 balita yang mengalami ISPA.Sedangkan pada tahun 2013 terdapat
17.679 balita yang mengalami ISPA. Hal ini menandakan bahwa dari tahun 2012 mengalami
penurunan pada balita yang mengal ami ISPA.
Risiko kejadian ISPA Kabupaten Temanggung yang memiliki julukan negeri tembakau
merupakan salah satu daerah yang menjalankan kebijakan longgar terhadap cukai tembakau.
Kondisi ini sangat berpengaruh pada perilaku kebebasan merokok bagi masyarakatnya.
Kondisi ini juga didukung oleh karakteristik wilayah yaitu daerah pegunungan dengan curah
hujan yang relatif tinggi, suhu udara yang sejuk bahkan cenderung dingin. Beberapa aktifitas
untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat dilakukan oleh masyarakat, diantaranya
menggunakan pakaian jaket, menggunakan perapian tungku untuk memasak di dapur, dan
termasuk didalamnya adalah aktifitas merokok. Selain itu aktifitas pembuatan genting yang
dibakar juga terlihat sudah menjadi biasa di masyarakat desa X tersebut. Aktivitas
pembakaran seperti ini akan menimbulkan asap, dan termasuk salah satu bentuk pencemaran
udara didalam rumah. Apalagi jika sering atau berlangsung didalam rumah ditambah dengan
frekuensi membuka jendela atau ventilasi rumah yang kurang maka akan menjadi indicator
keberadaan paparan asap didalam rumah bagi penghuninya.
Fenomena Ini cukup menarik untuk diteliti lebih lanjut, apakah keberadaan paparan pola
hidup penderita ISPA akibat polusi rumah tangga dari indikator asap dapur,asap rokok dan
asap pembakaran genting memiliki peran terhadap kejadian ISPA pada balita di Kabupaten
Temanggung.
1.2
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui atau mendapatkan informasi yang mendalam
genting
sehingga
polusi
rumah
tangga
mempengaruhi
Temanggung
b)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ISPA
ISPA adalah Infeksi Saluran Pernapasan akut yang datang secara mendadak, yang
singkat serta gawat. Penyakit ISPA dapat menjadi Pneumonia atau sering di sebut radang
paru-paru yaitu penyakit batuk yang di tandai dengan napas cepat atau sesak napas. ISPA
sering disalah artikan sebagai Infeksi Saluran pernapasan Atas. Sementara singkatannya
merupakan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara anatomi dibedakan atas
saluran nafas atas mulai dari hidung sampai dengan taring dan saluran nafas bawah mulai dari
laring sampai dengan alveoli beserta adnexanya, akibat invasi infecting agents yang
mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas yang terlibat. Hingga saat ini telah dikenal
lebih dari 300 jenis bakteri dan virus sebagai penyebab ISPA (Levi Silalahi, 2004).
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini diadaptasi dari
istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga
unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut :
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis
mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan
paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract)
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Levi Silalahi,
2004)
ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang di sebabkan oleh
infeksi jasad renik atau bakteri, virus, tanpa atau disertai radang parenkin paru. Selain itu
juga ISPA merupakan kelompok penyakit sebagai penyebab absensi tertinggi bila
dibandingkan dengan kelompok penyakit lain.
2.2 Etiologi Penyakit ISPA
Penyebab ISPA beranekaragam namun penyebab terbanyak adalah infeksi virus dan
bakteri. Penyebab infeksi ini dapat sendirian atau bersama-sama secara simultan. Penyebab
ISPA akibat infeksi virus berkisar 90-95% terutama ISPA Atas. ISPA terdiri dari lebih 300
jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebeb ISPA antara lain dari genus Streptokokus,
Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofillus, Bordetella dan Korinobakterium. Virus penyebeb
ISPA antara lain adalah golongan Mikosovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma,
Herpesvirus.
ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat
disebabkan oleh bakteri dan virus. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri
umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa
masalah dalam penanganannya. Sementara itu faktor lain terjadinya ISPA antara lain BBLR
(Berat badan lahir ringan), malnutrisi, polusi udara dalam ruangan, tidak mendapatkan ASI
penuh, padat hunian, imunisasi tidak lengkap dan defesiensi vitamin A.
Penyakit ISPA dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko berikut :
a.
Faktor yang berkaitan dengan daya tahan tubuh (host) seperti umur, Jenis kelamin, status
a. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest
indrawing).
b. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
c. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa
tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis
tergolong bukan pneumonia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi
ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan
sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
a. Pneumonia berat : ditandai dengan batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
yaitu 60 kali per menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada
bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada tiga klasifikasi penyakit
yaitu :
a. Pneumonia berat
bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak
menangis atau meronta).
b. Pneumonia
bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali
per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia
batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat (Lembang, 2003).
2. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomik
a. ISPA bagian atas adalah infeksi akut menyerang hidung sampai epiglotis, misalnya:
1) Tonsilitis
penyakit ini ditandai rasa sakit pada saat menelan diikuti dengan demam dan kelemahan
tubuh, dapat disebabkan oleh virus dan bakteri.
2) Common cold
adalah infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering dijumpai pada balita yang
disertai demam tinggi.
3) Sinusitus akut
merupakan radang pada sinus, beringus, sakit kepala, demam, malaise dan nausea.
4) Pharingitis
yaitu peradangan pada mukosa pharing dengan gejala demam disertai menggigil, rasa sakit
pada tenggorokan, sakit kepala, sakit saat menelan dan lain-lain.
b. ISPA bagian bawah adalah infeksi saluran pernapasan dari epiglotis sampai alveoli
paru, misalnya:
1) Bronchitis akut
demam yang disertai batuk-batuk, sesak napas, dahaknya sulit keluar karena menjadi
lengket, ditemukan adanya ronki basah dan wheezing.
2) Pneomonia
radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolodasi, panyakit penyakit ini muncul
karena akut dengan demam, penderita pucat, batuk-batuk dan pernapasan menjadi cepat.
3) Bronkopnemonia
peradangan paru-paru, biasanya dimulai di bronkioli terminal, gejalanya adalah
demam, sesak napas, batuk dengan dahak yang kuning kehijauan dan biasanya berupa
serangan yang datangnya secara tiba-tiba.
4) Tubercolosis paru
penyakit yang disebabkan M. Tuberculosis, gejalanya batuk biasanya disertai darah,
panas, nyeri dada, kurus akibat kurang nafsu makan.
3. Kalisifikasi berdasarkan derajat keparahan penyakit
a. ISPA ringan
Tanda-tanda ISPA ringan, jika ditemukan salah satu atau tebih dari tanda-tanda berikut:
1. Batuk
2. Serak : anak bersuara parau saat mengeluarkan suara (saat berbicara atau menangis).
3. Pilek : mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
4. Panas(demam): suhu badan lebih dari 370 atau jika dahi anak diraba dengan punggung
tangan panas terasa panas.
b) Tanda-tanda ISPA Sedang, jika dijumpai tanda-tanda ISPA ringan disertai satu atau
lebih tanda-tanda berikut:
Pernafasan lebih dari 50x per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun, atau
lebih dari 40x per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih.
Cara menghitung pernafasan adalah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu
menit. Untuk ini maka diperlukan arloji. Suhu lebih dari 39derajat (diukur dengan alat
pengukur suhu badan/termometer). Tenggorokan berwarna merah. Timbul bercak-bercak
pada kulit menyerupai bercak campak. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang
telinga. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur). Pernafasan berbunyi menciutciut.
Dari tanda-tanda ISPA perlu berhati-hati karena jika anak menderita ISPA ringan, tetapi
penderita mengalami: Panas badannya lebih dari 39derajat atau gizinya kurang, atau umurnya
4 bulan atau kurang, maka anak tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat
pertolongan dari pertugas kesehatan (perawat, bidan atau dokter setempat).
c. Tanda-tanda ISPA Berat, jika dijumpai tanda-tanda ISPA ringan atau ISPA sedang
disertai satu atau lebih tanda-tanda berikut:
1. Bibir atau kulit biru.
2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
3. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.
4. Pernafasan berbunyi bercuit-ciut, dan anak tampak gelisah.
5. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas.
6. Nadi cepat lebih dari 160x permenit atau tak teraba.
7. Tenggorokan berwarna merah
2.4.1
a)
Tanda-tanda klinis
Pada sistem pernafasan adalah: napas tak teratur dan cepat, retraksi/ tertariknya kulit
kedalam dinding dada, napas cuping hidung/napas dimana hidungnya tidak lobang,
sesak kebiruan, suara napas lemah atau hilang, suara nafas seperti ada cairannya
b)
dan coma.
Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah:
tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk.
b)
Tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang
bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume
yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, mendengkur, mengi, demam
dan dingin
Penderita ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau Puskesmas, karena perlu mendapat
perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan/cairan infus
2.5
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Infeksi saluran
pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua
golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.
ISPA bermula pada saat mikriorganisme atau atau zat asing seperti tetesan cairan yang
dihirup, memasuki paru dan menimbulkan radang. Bila penyebabnya virus atau bakteri,
cairan digunakan oleh organisme penyerang untuk media perkembangan. Bila penyebabnya
zat asing, cairan memberi tempat berkembang bagi organisme yang sudah ada dalam paruparu atau sistem pernapasan,
Umumnya penyakit pneumonia menular secara langsung dari seseorang penderita kepada
orang lain melalui media udara. Pada waktu batuk banyak virus dan kuman yang dikeluarkan
dan dapat terhirup oleh anak lain yang berdekatan dengan penden bernafasrita.
2.6 Diagnosis ISPA
Dalam pola tata laksana penderita, diagnosis pneumon ia pada balita didasarkan pada
adanya batuk dan kesukaran bernapas disertai peningkatan frekuensi nafas sesuai umur.
Adanya nafas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung frekuensi pernapasan. Batas
napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia
2 bulan - < 1 tahun dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun - < 5 tahun. Pada
anak usia , 2 bulan tidak dikenal diagnosis pneumonia.
Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernapas
disertai nafas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2
bulan - < 5 tahun. Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai
dengan adanya nafas berat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak go kali per menit atau lebih,
atau adanya penarikan yang kuatt pada dinding dada sebelah bawah ke dalam
2.7 Epidemiologi ISPA
Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri variabel
yang dapat dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place), dan variabel waktu
(time).
2.7.1
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian
pada bayi dan anak balita di negara berkembang, sekitar 4 juta kematian disebabkan oleh
penyakit ISPA terutama pneumonia.
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit ISPA
pada balita di indonesia diperkirakan sebesar 3-6 kali per tahun. Ini berarti seorang balita
rata-rata mendapat serangan ISPA sebanyak 3-6 kali dalam setahun.
Berdasarkan hasil penelitian, CB di cikutra suatu daerah urban di Kota Bandung pada tahun
2000 dikatakan bahwa episode ISPA sebesar 6,68 anak per tahun.
Berdasarkan hasil penelitian bambang sutrisna di indramayu (2008) dikatakan bahwa resiko
terjadinya kematian bayi dan anak balita karena pneumonia dapat dipengaruhi oleh faktor
anak yaitu anak yang tidak diimunisasi secara lengkap, tidak mendapatkan (defisiensi)
vitamin A, yang mengalami berat badan lahir rendah, tidak memperoleh ASI secara ekslusif
dan anak yang mengalami gizi kurang serta adanya aspek kepercayaan setempat dalam
praktik pencarian pengobatan yang salah dan anak balita yang tidak memanfaatkan fasilitas
kesehatan yang telah disediakan.
2.7.2
ISPA saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama terutama di negara berkembang,
seperti indonesia. Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa
sekitar 20 % kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA.
Berdasarkan data Dinas kesehatan Dati II Kabupaten Gresik (kawasan industri) didapatkan
bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir penyakit saluran pernapasan bagian atas
menunjukkan gambaran meningkat dari tahun ke tahun.
2.7.3. Epidemiologi ISPA berdasarkan waktu (time)
Berdasarkan data SDKI tahun 2007, 2010 dan 2012 dapat diketahui bahwa prevalensi
pneumonia pada balita telah mengalami sediki penurunan yaitu dengan prevalensi 10% dari
tahun 2007, 10% pada tahun 2010, dan 9% pada tahun 2012.
2.8 Pencegahan dan Pengobatan ISPA
a) Pencegahan
Mengingat pencegahan lebih baik dari pengobatan maka sebaiknya pengelolaan ISPA
dilaksanakan secara menyeluruh meliputi penyuluhan kesehatan yang baik, menggalakkan
imunisasi dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana lazimnya. Walaupun
morbiditas ISPA bawah relatif lebih kecil dari ISPA atas namun fasilitas klinik yang
dibutuhkan dalam penanganannya sangat tinggi. Selayaknyalah pemberantasan ISPA bawah
diprioritaskan dengan menitik beratkan usaha penekanan morbiditas ISPA bawah baik
sebagai lanjutan ISPA atas atau tidak dan mortalitasnya.
Dalam upaya pencegahan ISPA dapat dilihat dalam lima tingkat pencegahan, yaitu
sebagai berikut:
1. Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Promosi kesehatan untuk pencegahan penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai upaya,
antara lain:
a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya menerapkan pola hidup
sehat dan PHBS sejak dini.
b. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan pemberantasan
serta diagnosa dini dari suatu penyakit seperti ISPA.
c. Melakukan perbaikan lingkungan sosial seperti mengurangi dan menghilangkan kondisi
sosial yang mempertinggi resiko terjadinya infeksi.
2. Perlindungan Khusus (Spesifik Protection)
Perlindungan khusus dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan
upaya antara lain:
a. Perbaikan status gizi individu/perorangan ataupun masyarakat untuk membentuk daya
tahan dalam tubuh yang lebih baikdan dapat melawan agent penyakit yang akan masuk ke
dalam tubuh.
b. Pemberian ASI Ekslusif kepada bayi yang baru lahir, karena ASI banyak mengandung
kalori, protein dan vitamin yang banyak dibutuhkan tubuh, pencegahan ini bertujuan untuk
membentuk sistem kekebalan tubuh.
3. Diagnosis dini dan Pengobatan Segera (early diagnosis and prompt treatment)
Diagnosis dini dan pengobatan segera terhadap penyakit ISPA dapat dilakukan upaya antara
lain:
a. Temukan semua penderita secara dini dan aktif dengan cara diperiksa di sarana pelayanan
kesehatan guna memastikan bahwa seseorang/bayi benar-benar tidak menderita ISPA.
b. Melakukan pencarian penderita ISPA dan berikan segera pengobatan yang tepat serta
sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita agar tidak menularkan
penyakitnya pada orang lain.
c. Sediakan fasilitas yang memadai seperti laboratorium agar dapat melakukan diagnosa dini
terhadap penderita, kontak, dan tersangka.
4. Pemberantasan cacat (disability limitation)
Penyakit ISPA jika tidak diobati secara baik dan teratur akan dapat mengakibatkan kematian.
Pemberantasan cacat dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan
berbagai upaya diantaranya:
a. Mencegah
proses
lebih
lanjut
dengan
cara
melakukan
pengobatan
secara
Immunisasi.
Pengobatan
Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika. Penyebab ISPA atas yang
terbanyak adalah infeksi virus maka pemberian antibiotika pada infeksi ini tidaklah rasional
kecuali pada sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang telinga tengah.
sebagainya.
b.
Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin
untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila
demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek
bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
Pengobatan penyakit ISPA juga dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, salah
satunya dengan merawat penderita di rumah sakit. Apabila perawatan untuk semua anak
dengan penarikan dinding dada tidak memungkinkan, dapat dipertimbangkan untuk diberikan
terapi antibiotik dirumah dengan pengawasan yang ketat pada anak yang tidak mengalami
penarikan dinding dada hebat, sianosis, atau tanda penyakit yang sangat berat.
Pengobatan selanjutnya yaitu memberikan oksigen, jika frekuensi pernapasan lebih dari 70,
terdapat penarikan dinding dada hebat, atau gelisah. Penggunaan terapi antibiotik juga
merupakan salah satu pengobatan dimana di berikannya bencil penisilin secara intramoskular
setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari.(ampisilin secara intramoskular, walaupun mahal
dapat digantikan bencilpenisilin). Pengobatan antibiotik sebaiknya diteruskan selama 3 hari
setelah keadaan membaik.
terutama bila ada epidemi ataupun pandemi. Kuman penyebab infeksi saluran pernapasan
atas yang seriang adalah disebabkan oleh virus yaitu adenovirus, dan miksovirus.
Sementara itu, kuman penyebab infeksi saluran pernapasan bagian bawah sebagian besar
penyebabnya adalah bakteri yaitu streptococcus pneomonia dan haemophylus influenzae.
b) Host (penjamu)
1. Umur
Hasil SDKI 1991 menunjukkan prevalensi pneumonia paling tingga pada kelompk umur 1223 bulan sedangkan dari hasil SDKI 1994 dan 1997 preva. hasil prevalensi paling tinggi pada
kelompok umur 6-11 bulan. Hasil analisis faktor resiko berdasarkan penelitian Djaja, S(1999)
membuktikan faktor usia merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya kematian dan
pneuomonia pada balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang
sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia
dibandingkan balita berusia muda.
2.
Jenis kelamin
zat zat kekebalan yang belum dibuat oleh bayi tersebut. Sehingga bayi yang mengonsumsi
ASI lebih tahan terhadap penyakit infeksi.
6. Imunisasi
Bayi dan anak tergolong kelompok berisiko tinggi terhadap penularan penyakit. Oleh karena
itu, diupayakan imunisasi yang tujuanya mencegah timbulnya penyakit. Banyak penyakit
infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Sesuai dengan program pemerintah seorang
anak diharuskan imunisasi terhadap 6 jenis penyakit utama yaitu TBC, Difteri, Tetanus,
Pertusis, Polio dan Campak.selain untuk pencegahan penyakit menular, imunisasi pada anak
juga merupakan pemenuhan kebutuhan anak untuk menunjang proses tumbuh kembang yang
ideal.
7. Faktor lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya
proses interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit.
Secara garis besarnya, faktor lingkungan terdiri dari lingkutngan fisik, lingkungan biologis
dan lingkungan sosial.
Menurut kartasamita, yang mengutip pendapat hartono, terjadinya penyakit ISPA terutama
pneumonia dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak sehat didalam, (seperti polusi
udara, hygene perorangan dan perumahan).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini dengan menerapkan suatu metode pendekatan kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara Fokus group Discussion (FGD), wawancara dan
observasi yang melibatkan kader dan ibu balita, serta telaah dokumen.
3.2 Informan
Teknik pengambilan sampel/informan adalah purposive sampling. Jumlah informan
didasarkan pada prinsip kesesuaian dan kecukupan. Kesesuaian artinya informan dipilih
berdasarkan pengetahuannya mengenai puskesmas dan infeksi ISPA yang dianggap dapat
memberikan informasi yang sesuai topik penelitian. Kecukupan artinya jumlah sampel yang
dipilih disesuaikan dengan jenis kedalaman informasi yang dibutuhkan peneliti. Dalam hal ini
harus memenuhi variasi pada kategori-kategori seperti umur. Pada penelitian ini informan
yang akan diteliti dikelompokan kedalam kelompok informan dan informan kunci.
Penelitian ini didahului dengan penelitian pendahuluan. Tujuannya adalah untuk Menilik
pola hidup penderita ISPA pada Balita di Desa X, Kabupaten Temanggung dengan
menggunakan teknik FGD. Peserta FGD adalah kader selaku pelaksana dipuskesmas dan ibu
balita selaku pihak terdekat anak yang mengawasi anak dirumah. Peserta FGD baik kader
baik maupun ibu balita berasal dari 2 unit puskesmas yang mempunyai pasien penderita ISPA
tertinggi dan 2 unit puskesmas yang mempunyai pasien penderita ISPA terendah selama 6
bulan terakhir.
Alasan pembatasan waktu 6 bulan dilakukan adalah supaya informan yang erpilih
benar-benar informan yang status keberhasilannya ekstrim semakin pendek waktu
perkembangan keberhasilan, maka semakin besar peluang peneliti untuk me-recall memori
informan tentang perilakunya dalam mengawasi anaknya.
Sumber
Jumlah
Alasan pemilihan
1 kelompok
@6 orang
Kader
1 kelompok
@6 orang
Ibu balita
Kelompok 1 adalah 6-7 ibu balita
1 kelompok
@6 orang
genting
Kelompok 2 adalah 6-7 ibu balita
1 kelompok
@6 orang
genting
Total
4kelompok
Pada penelitian utama, informan juga berasal dari 2 puskesmas berbeda, yaitu 2 unit
puskesmas dengan pasien penderita ISPA tertinggi selama 6 bulan terakhir di Desa X Kab.
Temanggung yang dianggap paling buruk tentang kejadian ISPA nya karena menempati yang
tertinggi. Waktu pengamatan terhadap perkembangan status keberhasilan penelitian yang
seharunya 1 tahun selama 2014 terpaksa dibatasi dalam waktu 6 bulan karena sulit memilih
puskesmas mana yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Kesulitan tersebut
muncul karena perkembangan Kejadian ISPA di Desa X sangat fluktuatif.
Pada table berikut dapat dilihat sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria
pemilihan informan, dan tempat pengumpulan data.
Sumber
Metode
Kader dari 2
FGD
puskesmas
Jumlah
Informan
3 Kelompok
@6 orang
Kriteria
Tempat
Kelompok 1
Puskesmas
adalah kader
dengan
puskesmas yang
banyaknya
memiiki masa
pasien yang
mengalami ISPA
sama dengan 5
cenderung naik
baru.
selama 6 bulan
terakhir dan
sebaliknya
Observasi dan
kasus
secukupnya
Kelompok 2
dadal kader
puskesma yang
memiliki masa
kerja 5 tahun
atau kader lama.
Puskesmas
Ibu balita
Wawancara
dengan anak
Rumah atau
ISPA 7 orang
Rendah (= <
tempat
SMP)
pembuatan
genting
BB naik 7 orang
ISPA selama 6
Status pekerjaan
bulan terakhir
ibu : bekerja
dan BB naik
sebagai
selama 6 bulan
pembuatan
terakhir
genting
(gerabah)
Jumlah balita : >
5 orang
Informan kunci (masing-masing 1 orang)
4 kelompok dan 21 orang
wawancara
Penanggung jawab wilayah desa X
Total
Bidan
Rumah atau
Puskesmas
wawancara
Puskesmas
Meminta data anak yang mengalami kejadian ISPA kepada Puskesmas kemudian
mengkonfirmasikan data tersebut denga catatan kader. Mendatangi rumah informan yang
terpilih untuk diwawancarai termasuk ibu balita. Mewawif ancarai bidan,dokte dan tenaga
kesehan yang lain. FGD dilakukan kepada 4 kelompok kader dengan berpedoman kepada
pedoman FGD, dan melakukan observasi ke Puskesmas.
3.5 validasi data
Validasi data melalui triangulasi sumber dan metode. Triangulasi sumber yang digunakan
adalah informan kader dengan bidan, informan ibu balita,serta dokter puskesmas setempat.
Selain itu menelaah dokumen terkait hal yang dijelaskan informan. Triangulasi metode yang
digunakan adalah wawancara dan observasi, diperkuat dengan telaah dokumen.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39872/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16600/4/Chapter%20II.pdf