Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Pengolahan Citra

Pengolahan citra adalah kegiatan memanipulasi citra yang telah ada menjadi
gambar lain dengan menggunakan suatu algoritma atau metode tertentu. Proses ini
mempunyai data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Teknikteknik pengolahan citra biasanya digunakan untuk melakukan transformasi dari
satu citra ke citra yang lain.

Pengolahan citra meliputi penajaman citra, penonjolan fitur tertentu dari


suatu citra kompresi citra dan koreksi citra yang tidak fokus atau kabur dan
berbagai manipulasi citra lainnya. Umumnya, operasi-operasi pada pengolahan
citra diterapkan pada citra untuk meningkatkan kualitas penampakan atau untuk
menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung di dalam citra,
mengelompokkan elemen pada citra dan menggabungkan citra dengan yang lain.

2.1.1 Citra

Citra adalah gambar analog dalam dua dimensi. Dari sudut pandang matematika
citra adalah fungsi menerus dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi, di
dalam sebuah citra mengandung banyak informasi yang sering mengalami derau
(noise) mengakibatkan informasi yang diperoleh dari citra tersebut menjadi
kurang akurat. Derau (noise) yang terjadi misalnya warna yang terlalu kontras,
kurang tajam, kabur (blurring) dan sebagainya. [7]

Universitas Sumatera Utara

Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Sebuah citra
grayscale ukuran 150x150 piksel (elemen terkecil dari sebuah citra) diambil
sebagian berukuran 9x8 piksel. Maka, monitor akan menampilkan sebuah kotak
kecil. Namun, yang disimpan dalam memori komputer hanyalah angka-angka
yang menunjukkan besar intensitas pada masing-masing piksel tersebut. [8]

Citra digital dinyatakan dengan matriks berukuran N x M yang tersusun


sebagai berikut:
(0,0)
(1,0)

f(x,y)=

( 2,0)
( 1,0)

(0,1)
(1,1)

( 2,1)
( 1,1)

(0, 2)
(1, 2)

( 2, 2)
( 1, 2)

(0, 1)
(1, 1)

( 2, 1)
( 1, 1)

keterangan:
N = jumlah baris

0 y N1

M = jumlah kolom

0 x M1

G = maksimal warna intensitas

0 f(x,y) L 1

(derajat keabuan / gray level)

Interval (0,G) disebut skala keabuan (grayscale). Besar G tergantung


pada proses digitalisasinya. Biasanya keabuan 0 menyatakan intensitas hitam dan
G menyatakan intensitas putih. Untuk citra 8 bit nilai G = 28 = 256 warna (derajat
keabuan). Teknologi dasar untuk menciptakan dan menampilkan warna pada citra
digital berdasarkan

pada

penelitian

bahwa

sebuah

warna

merupakan

kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue RGB). [3]

2.1.1.1 Citra Biner

Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai pixel
yaitu hitam dan putih. Cita biner juga disebut sebagai citra B&W (black and

Universitas Sumatera Utara

white) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap
pixel dari citra biner.

Citra biner sering kali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti
segmentasi, pengambangan, morfologi, ataupun dithering. [6]

2.1.1.2 Citra Grayscale

Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada
setiap pixelnya, dengan kata lain nilai bagian Red = Green = Blue. Nilai tersebut
digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas warnanya. Warna yang dimiliki
adalah warna dari hitam, keabuan, dan putih. Tingkatan keabuan disini merupakan
warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga putih. [6]

Citra grayscale memiliki derajat keabuan 8 bit seperti yang dapat dilihat
berikut ini :

Gambar 2.1 : Gradasi warna grayscale

Operasi grayscale bertujuan untuk merubah citra 24 bit RGB menjadi citra
abu-abu. Pemilihan pemrosesan pada tingkat abu-abu ini dikarenakan lebih
sederhana. karena hanya menggunakan sedikit kombinasi warna dan dengan citra
abu-abu dirasakan sudah cukup untuk memproses suatu gambar. Perubahan citra
24 bit RGB menjadi citra abu-abu adalah dengan menghitung rata-rata dari
intensitas 0.299*red, 0.587*green, 0.114*blue dari citra 24 bit RGB. [2]

Grayscale sendiri merupakan sebuah proses pengolahan citra yang biasa


digunakan untuk mempertegas citra yang sebelumnya berupa citra warna lalu

Universitas Sumatera Utara

dirubah menjadi citra digital dengan skala keabuan. Berikut merupakan contoh
perubahan dari citra warna menjadi citra keabuan dengan proses grayscale :

Gambar 2.2 : Proses perubahan citra warna menjadi citra grayscale

2.1.2 Citra Warna (8 bit)

Setiap pixel dari citra warna (8 bit) hanya mewakili oleh 8 bit dengan jumlah
warna maksimum yang dapat digunakan adalah 356 warna. Ada dua jenis warna 8
bit. Pertama, citra warna 8 bit dengan menggunakan palet warna 256 dengan
setiap paletnya memiliki pemetaan nilai (colormap) RGB tertentu. Model ini lebih
sering digunakan. Kedua, setiap pixel memiliki format 8 bit sebagai berikut. [6]

Gambar 2.3 : Format 8 bit

2.1.3 Citra Warna (16 bit)

Citra warna 16 bit (biasanya disebut sebagai citra highcolor) dengan setiap
pixelnya diwakili dengan 2 byte memory (16 bit).

Universitas Sumatera Utara

10

Warna 16 bit memiliki 65.536 warna. Dalam formasi bitnya, nilai merah
dan biru mengambil tempat di 5 bit di kanan dan kiri. Komponen hijau memiliki 5
bit ditambah 1 bit ekstra. Pemilihan komponen hijau dengan deret 6 bit
dikarenakan penglihatan manusia lebih sensitif terhadap warna hijau. [6]

2.1.4 Citra Warna (24 bit)

Setiap pixel dari citra warna 24 bit diwakili dengan 24 bit sehingga total
16.777.216 variasi warna. Variasi ini sudah lebih dari cukup untuk
memvisualisasikan seluruh warna yang dapat dilihat penglihatan manusia.
Penglihatan manusia dipercaya hanya dapat membedakan hingga 10 juta warna
saja. Setiap poin informasi pixel (RGB) disimpan ke dalam 1 byte data. 8 bit
pertama menyimpan nilai biru, kemudian diikuti dengan nilai hijau pada 8 bit
kedua dan pada 8 bit terakhir merupakan warna merah. [6]

2.2 Bangun Ruang

Bangun Ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-titik yang
terdapat pada seluruh permukaan bangun tersebut. Permukaan bangun itu disebut
sisi. Dalam memilih model untuk permukaan atau sisi, sebaiknya digunakan
model berongga yang tidak transparan. Model untuk bola lebih baik digunakan
sebuah bola sepak dan bukan bola bekel yang pejal, sedangkan model bagi sisi
balok lebih baik digunakan kotak kosong dan bukan balok kayu. Hal ini
mempunyai maksud untuk menunjukkan bahwa yang dimaksud sisi bangun ruang
adalah himpunan titik-titik yang terdapat pada permukaan atau yang membatasi
suatu bangun ruang tersebut . [9]

2.2.1 Kubus

Kubus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

11

1.

Jumlah sisi ada 6 buah yang memiliki bentuk bujur sangkar.

2.

Memiliki 8 titik sudut.

3.

Memiliki 12 rusuk dengan panjang yang sama.

4.

Memiliki 4 diagonal ruang dan 12 diagonal bidang

Gambar 2.4 : Kubus

2.2.2 Balok
Balok memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.

Alasnya berbentuk segi empat

2.

Memiliki 12 rusuk

3.

Memiliki 6 bidang sisi

4.

Memiliki 8 titik sudut

5.

Memiliki 4 diagonal ruang dan 12 diagonal bidang

Gambar 2.5 : Balok

2.2.3 Bola
Bola memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.

Hanya memiliki 1 bidang

Universitas Sumatera Utara

12

2.

Tidak memiliki sudut dan tidak memiliki rusuk

Gambar 2.6 : Bola

2.2.4 Tabung

Tabung memiliki ciri-ciri sebagai berikut :


1.

Memiliki 2 rusuk

2.

Alas dan atapnya berupa lingkaran

3.

Memiliki 3 bidang sisi yaitu 2 bidang sisi lingkaran dan 1 bidang selimut

Gambar 2.7 : Tabung

2.2.5 Limas Segitiga

Limas Segitiga memiliki ciri-ciri sebagai berikut :


1.

Alasnya berbentuk segitiga

2.

Memiliki 4 bidang sisi (alas dan 3 sisi tegak)

3.

Memiliki 6 rusuk

4.

Memiliki 4 titik sudut

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.8 : Limas Segitiga


2.2.6 Kerucut

Kerucut memiliki ciri-ciri sebagai berikut :


1.

Memiliki 2 bidang sisi

2.

Memiliki 2 rusuk dan 1 titik sudut

Gambar 2.9 : Kerucut

2.3 JPEG

JPEG (Joint Photographic Expert Group) merupakan format file yang


paling tinggi tingkat popularitasnya dalam dunia digital fotografi. JPEG memiliki
kemampuan dalam kedalaman warna 24 bit (3 saluran warna dimana masingmasing saluran memiliki kedalaman warna sebanyak 8 bit).

Universitas Sumatera Utara

14

JPEG menghasilkan ukuran file kecil dengan memanfaatkan kompresi


lossy. Kompresi lossy menghilangkan detail pada gambar sehingga dapat
dikatakan sebagai kurangnya informasi. [4]

2.4 Thresholding

Dalam pengolahan citra, proses operasi ambang batas atau sering disebut
thresholding ini merupakan salah satu operasi yang sering digunakan dalam
menganalisis suatu obyek citra. Threshold merupakan suatu cara bagaimana
mempertegas citra dengan mengubah citra menjadi hitam dan putih (nilainya
hanya tinggal menjadi antara 0 dan 1). Di dalam proses threshold ini harus
ditetapkan suatu variabel yang berfungsi sebagai batas untuk melakukan konversi
elemen matriks citra menjadi hitam atau putih. Jika nilai elemen matriks dibawah
ini dikonversi menjadi nilai 0 (hitam) dan jika diatas nilai ini elemennya
dikonversi menjadi 1. [10]

Pengembangan citra (image thresholding) merupakan metode yang paling


sederhana untuk melakukan segmentasi. Thresholding digunakan untuk mengatur
jumlah derajat keabuan yang ada pada citra. Proses thresholding ini pada dasarnya
adalah proses pengubahan kuantisasi pada citra. Untuk mendapatkan hasil
segmentasi yang bagus, beberapa operasi perbaikan kualitas citra dilakukan
terlebih dahulu untuk mempertajam batas antara objek dengan latar belakangnya.
[1]

Dalam pemanfaatan threshold biasanya untuk citra RGB (Red, Green,


Blue) akan dirubah dulu menjadi citra grayscale (keabuan) terlebih dahulu baru
nantinya akan dilakukan proses thresholding.

Pada operasi ini nilai pixel yang memenuhi syarat ambang batas dipetakan
ke suatu nilai yang dikehendaki. Dalam hal ini syarat ambang batas dan nilai yang
dikehendaki disesuaikan dengan kebutuhan. [10]

Universitas Sumatera Utara

15

2.4.1 Proses Threshold

Proses thresholding atau binerisasi pada prinsipnya adalah melakukan


pengubahan nilai derajat keabuan menjadi dua nilai yaitu 0 atau warna hitam dan
255 atau warna putih. Pemilihan nilai threshold yang digunakan berpengaruh
terhadap ketajaman suatu citra. [2] Secara umum proses threshold citra grayscale
untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut:
0 jika (, )
g(x,y) =

1 jika (, ) <
keterangan:
g(x,y) = citra biner dari citra grayscale f(x,y)
T

= nilai threshold

Proses threshold dilakukan dengan memeriksa nilai derajat keabuan pada


citra. Jika nilai derajat keabuan kurang dari nilai threshold maka warna piksel
berubah menjadi

hitam, begitu juga sebaliknya jika piksel lebih dari nilai

threshold maka warna piksel akan berubah menjadi putih. [6]

Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses


pengambangan. Kualitas hasil citra biner sangat tergantung pada nilai T yang
digunakan. Nilai threshold antara 0 255, dimana artinya bila ada intensitas pixel
yang bernilai diatas threshold maka intensitas pixel tersebut akan bernilai sama
dengan threshold. [6]

Terdapat dua jenis pengambangan, yaitu pengambangan global (global


thresholding) dang pengambangan secara lokal adaptif (locally adaptive
thresholding). [1]

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 2.10 : Proses Threshold


a) Thresholding global

Salah satu cara untuk memilih nilai ambang adalah dengan melihat histogram citra
tersebut. Histogram adalah menggambarkan citra yang memiliki dua mode
berbeda sehingga memudahkan untuk memilih yang berbeda hingga ada yang
ditemukan sehingga mengahasilkan T ambang batas yang memisahkannya. Cara
lain untuk memilih T adalah dengan trial dan eror, memilih nilai ambang batas
yang berbeda hingga ada yang ditemukan sehingga menghasilkan hasil yang baik.
[1]

b) Thresholding lokal

Metode thresholding global dapat gagal jika kontras latar belakang tidak merata.
Thresholding akan dikatakan sebagai thresholding lokal jika nilai T (nilai
ambang) bergantung pada nilai gray level f(x,y) dan nilai properti lokal citra
p(x,y). Dalam thresholding lokal citra akan dibagi ke dalam bagian yang lebih
kecil kecil dan proses pengembangan akan dilakukan secara lokal. Kelebihan
yang dimiliki thresholding adalah secara subyektif,citra yang dihasilkan akan
lebih bagus. Thresholding lokal dapat ditunjukkan bahwa proses ini adalah setara
dengan thresholding f(x,y) dengan fungsi lokal yang bervariasi T ambang (x,y) [1]
:
0 jika (, )
g(x,y) =

1 jika (, ) <
Dimana :

(, ) = 0 (, ) + 0

Universitas Sumatera Utara

17

0 (x,y) adalah membuka morfologi dari f,dan 0 konstan adalah hasil dari

fungsi graytresh digunakan pada 0 .

Pada pengambangan global, seluruh pixel pada citra dikonversikan


menjadi hitam dan putih dengan nilai ambang T. Kemungkinan besar pada
pengambangan global akan banyak informasi hilang karena hanya menggunakan
satu nilai T untuk keseluruhan pixel. Untuk mengatasi masalah ini dapat
digunakan pengambangan secara lokal adaptif. Pada pengambangan lokal, suatu
citra dibagi menjadi blok-blok kecil dan kemudian dilakukan pengambangan lokal
pada setiap blok dengan nilai T yang berbeda. [6]

Gambar 2.11 : Contoh citra setelah dilakukan threshold

2.4.2 Metode Otsu

Metode Otsu menghitung nilai ambang T secara otomatis berdasarkan citra


masukan. Pendekatan yang digunakan oleh metode otsu adalah dengan melakukan
analisis diskriminan yaitu menentukan suatu variabel yang dapat membedakan
antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Analisis diskriminan
akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat memisahkan objek dengan
latar belakang. [5]

Untuk memilih nilai ambang batas secara otomatis, Gonzalez dan Woods
(2002) menggambarkan prosedur iterasi sebagai berikut [2]:

Universitas Sumatera Utara

18

1. Dipilih dahulu perkiraan awal untuk T. (disarankan estimasi awal adalah titik
tengah antara nilai-nilai intensitas minimun dan maksimum citra).
2. Bagi citra menggunakan T. Ini akan menghasilkan dua kelompok pixel G1,
yang terdiri dari semua pixel dengan nilai-nilai intensitas T, dan G2 yang
terdiri dari pixel dengan nilai-nilai <T.
3. Menghitung nilai rata-rata intensitas 1 dan 2 untuk pixel di daerah G1 dan
G2.
4. Menghitung nilai ambang baru dengan persamaan :
1

T = 2 (1+2)

5. Ulangi langkah 2 hingga langkah 4 sampai perbedaan t di iterasi berturutturut lebih kecil dari T0 parameter standar.

Gambar 2.12 : Contoh pengambilan nilai thresholding dengan


metode Otsu
Sebuah fungsi yang menghitung graythresh disebut batas menggunakan
metode otsu (Otsu,1979). Formulasi dari metode otsu adalah sebagai berikut [2]:
Nilai ambang yang akan dicari dari suatu citra gray level dinyatakan
dengan k. Nilai k berkisar antara 1 sampai dengan L, dengan nilai L = 255.
Sedangkan jumlah pixel pada tingkat keabuan i dilambangkan oleh n1 dan jumlah
pixel pada citra oleh N = n1 + n2 + .... + nL

[2]

Misalkan nilai ambang yang akan dicari dinyatakan dengan k. Nilai k


berkisar antara 1 sampai dengan L, dengan L = 255 [6].

Universitas Sumatera Utara

19

Probabilitas untuk pixel i dinyatakan dengan :

Pi =

(1)

Dengan ni menyatakan jumlah pixel dengan tingkat keabuan I dan N


menyatakan banyaknya pixel pada citra.

Nilai momen kumulatif ke nol, momen kumulatif ke satu, dan nilai ratarata berturut-turut dapat dinyatakan sebagai berikut.
w(k) = =1

(2)

()= =1 .

(3)

T = =1 .

(4)

Nilai ambang k dapat ditentukan dengan memaksimumkan persamaan :


2
2
(k*) = max1< ()

(5)

Dengan :
[ () ()]
2
(k) =
()[1 ()]

(6)

Keterangan :
pi : probabilitas pixel
ni : jumlah pixel pada tingkat keabuan
N : jumlah pixel pada citra

Universitas Sumatera Utara

20

k : nilai ambang suatu citra


w : momen kumulatif
: nilai rata-rata
T : nilai rata-rata total
: varians kelas
Metode ini adalah metode yang sangat populer diantara semua metode
thresholding yang ada. Teknik Otsu ini memaksimalkan kecocokan dari sebuah
threshold sehingga dapat memisahkan objek dengan latar belakangnya. Semua ini
didapatkan dengan memilih nilai threshold yang memberikan pembagian kelas
yang terbaik untuk semua piksel yang ada didalam image. Dasarnya adalah
dengan menggunakan histogram yang telah dinormalisasi dimana jumlah tiap poin
pada setiap level dibagi dengan jumlah total poin pada image[5].

Gambar 2.13 : contoh hasil thresholding dengan metode Otsu pada tulang
rahang

2.5 Deteksi Tepi

Deteksi tepi berfungsi untuk memperoleh tepi objek. Deteksi tepi memanfaatkan
perubahan nilai intensitas yang drastis pada batas dua area. Defenisi tepi disini
adalah himpunan piksel yang terhubung yang terletak pada batas dua area.

Umumnya, deteksi tepi menggunakan dua macam detektor, yaitu detektor


baris (Hy) dan detektor kolom (Hx). Beberapa contoh yang tergolong jenis ini
adalah operator Roberts, Prewitt, Sobel, dan Frei-Chen.

Universitas Sumatera Utara

21

2.5.1 Deteksi Tepi Roberts

Operator Roberts, yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1965, terdiri atas
dua filter berukuran 2x2. Ukuran filter kecil membuat komputasi sangat cepat.
Namun, kelebihan ini sekaligus menimbulkan kelemahan, yakni sangat
terpengaruh oleh derau. Selain itu, operator roberts memberikan tanggapan lemah
terhadap tepi, kecuali kalau tepi sangat tajam[10].
X

x+1

z1

z2

-1

y+1

z3

z4

-1

(a) Posisi pada citra f

(b) Gx

(c) Gy

Gambar 2.14 : Operator Roberts (b) dan (c) serta posisi pada cita f

Bentuk operator Roberts ditunjukkan di gambar 2. Misalkan, f adalah citra yang


akan dikenaloperator Roberts. Maka, nilai operator Roberts pada (y,x).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai