Anda di halaman 1dari 2

Kritik adalah suatu yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari, kita semua

tidak lepas dari mengkritik dan dikritik. Hanya bedanya, ada kritik yang
sifatnya membangun ada juga yang malah merusak. Itu tergantung dari
kepribadian masing-masing individu. Kalau mereka yang bijak,
menanggapi kritik dari orang lain, semua akan dianggap membangun,
meskipun itu kelihatan kritik yang pedas misalnya. Kritik dari musuh,
lawan justru akan terlihat sangat jujur bagi mereka, karena mereka yang
benci dengan anda justru akan mengkritik hanya yang jelek dari anda
sehingga dari situ anda bisa lebih berbenah diri. Kawan dekat, konon
kebanyakan hanya tau sisi baik kita saja. Atau paling tidak, nggak tega
kritik pedas pada sahabat sendiri.
Bagi mereka yang kurang bijak menanggapi kritik, begitu dapat kritik
pedas, motivasi mereka langsung down atau justru marah-marah pada
pengkritik sambil mengumpat, kurang ajar, bisanya kritik doank, kasih
saran kek.
Kritik ada yang sifatnya penting ada juga yang remeh. Penting kalau itu
berdampak besar buat kehidupan kita sendiri maupun orang lain. Remeh
kalau kritik tersebut tidak berdampak apa-apa pada diri sendiri maupun
orang lain.
Contoh kecil pagi ini misalnya, sehabis main badminton dengan kawankawan di kampus, kami pulang melewati jalan menuju rumah dan terlihat
sekumpulan laki-laki setengah baya mengenakan sarung warna putih
yang dilipat keatas, orang India memang terbiasa dengan pakaian itu
seperti sewaktu beratifitas maupun pergi ke temple, sewaktu melihat itu
teman yang mbonceng saya berujar, kenapa mereka mengenakan
pakaian seperti itu, jelek sekali. Saya pun menanggapi, lah, itu kan
tradisi mereka, ko lu yang sewot. Salah apa coba mereka, cara
berpakaian aja dipermasalahkan. Apa semua orang harus berpakaian
seperti kita?, Kritik jenis ini kalau boleh saya klasifikasikan termasuk tidak
esensial (meminjam bahasa senior saya waktu ospek).
Pakaian, dari zaman dahulu kala memang merupakan simbol sebuah
kehormatan. Alkisah ketika sang Mulla Nasruddin Hoja diundang makan
sang Raja ke istana dan datang dengan pakaian seadanya beliau dicegat
oleh penjaga istana, meski sudah bilang bahwa sang Raja-lah yang
mengundang, pengawal tetap bersikukuh beliau tidak boleh masuk.
Setelah ganti pakaian yang layak, pengawal-pun mempersilahkan beliau
masuk. Sewaktu mengambil hidangan, dia pun mencelupkan jubahnya
kedalam mangkuk yang berisi kuah sambil berujar nih, makan tuh kuah,
yang dihormati kan kamu bukan aku.
Bungkus memang penting, tapi isi jauh lebih penting. Tergantung
konteksnya, kalau pas jamuan makan seperti Nasruddin, yang penting
bukan pakaiannya, tapi orang dalam pakaian itu. Apa anda kira mereka
yang berdasi lebih terhormat dari mereka yang cuman pake kaos oblong?,

bukankah koruptor hampir semuanya berdasi?. Bungkus dalam konteks


marketing, menjadi sangat penting untuk menarik minat konsumen tentu
dengan tanpa mengabaikan isi. Bungkus atau kemasan yang atraktif akan
jauh lebih laku dibanding yang biasa saja meskipun dengan isi yang lebih
baik.
Mereka yang bijak dalam memberi kitik dan menanggapi kritik tentu tau
etika dalam mengkritik. Kritik yang bijak adalah yang tidak menyakiti hati
orang yang dikritik. Seperti yang pernah dicontohkan Om Mario Teguh,
sewaktu sang istri membuat sayur dan kurang asin. Ketika ditanya istri
apakah rasa sayurnya pas, beliau menjawab, istriku, sayur ini enak
sekali, dan lebih enak lagi kalau garamnya engkau tambahi. Karena, kata
Tapi atau But dalam sebuah keluarga bisa menimbulkan percekcokan.
Kalau nggak percaya silahkan anda coba. Terlalu banyak but dalam
sebuah keluarga, semakin banyak pula masalah yang timbul.

Wallahu alam
Mysore, 10 Dzul Qadah 1437 H

Alfakir
Muhammad Syafii albaduwi

Anda mungkin juga menyukai