Secara
etimologi nasakh dapat
diartikan
menghapus,
menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah
(tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian
tersebut Ahmad Syadali mengartikan nasakh dengan 2 macam
yaitu:
Pertama: yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk
pada dialek orang Arab yang sering berkata:
.
Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang.
Kedua: memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang
lainnya () .
Adapun secara terminologinya, naskh adalah raf al-hukm alsyariat bid dalil asy-syari. Defenisi ini akan membawa pada
pengertian bahwa naskh itu mengandung arti izalah dan raf.
Selanjutnya, apabila hukum syari hanya bisa dihapus oleh hukum
syari maka akan timbul persoalan, apakah naskh hanya berlaku
antara Al-Quran dengan Al-Quran saja, tidak dengan sunnah.[1]
Adapun yang dimaksud dengan nasakh dalam terminologi
para ahli-ahli ilmu al-Quran dan ulama ushul fiqh dapat dilihat
dari definisi nasakh yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul
Adhim Az-Zarqani dan Muhammad Abu Zahrah di bawah ini:
Yang pertama, Az-Zarqani yang dapat dikatakan mewakili
kalangan ahli ilmu-ilmu Al-Quran, memformulasikan nasakh
dengan penghapusan hukum syari berdasarkan dalil syari.
Sementara Abu Zahrah, yang mereferensikan kalangan ulama
ushul fiqh, mendefinisikan nasakh dengan penghapusan
hukum syari oleh syari (Allah SWT) dengan dalil yang datang
kemudian.
Jadi, nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama
para ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan
hukum syari yang telah ada untuk kemudian digantikan
dengan hukum syari yang datang kemudian. Hukum syari
yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut dengan
istilah nasikh; sementara hukum syari yang dihapus atau
dibatalkan disebut mansukh.
Sebagai contoh, sebelum turun ayat dalam surat alBaqarah ayat 144 yang memerintahkan kiblat shalat ke arah
Kabah Baitullah di Masjidil Haram, kiblat kaum muslimin
adalah menghadap ke arah Masjidil Aqsha, tetapi setelah turun
ayat yang memerintahkan arah kiblat ke Masjidil Haram, maka
nabi Muhammad beserta umatnya beralih arah kiblatnya ke
Masjidil Haram. Dari kasus ini dapat dikemukakan bahwa
menghadap kiblat ke Masjidil Haram adalah nasikh, sedangkan
menghadap ke Masjidil Aqsha adalah mansukh.
.
Ayat ini dinasakhkan oleh ayat Al-Mujadilah:
13
.
Arti ayat yang pertama dinasakhkan ayat yang kedua, tetapi
bacaan keduanya tetap.
Menurut As-Suyuthi, ayat-ayat mansukh bagian kedua ini
berjumlah 20 tempat, yaitu:
1. QS. Al-Baqarah: 180 dinasakhkan ayat mawarits,
menurut yang lain dinasakhkan oleh hadits, adapula yang
mengatakan
dinasakhkan
dengan
ijma
(yang
dihikayatkan Ibn Arabi).
2. QS. Al-Baqarah: 184 dinasakhkan ayat 185.
3. QS. Al-Baqarah: 187 dinasakhkan ayat 183.
4. QS. Al-Baqarah: 217 dinasakhkan QS. At-Taubah: 36.
5. QS. Al-Baqarah: 240 dinasakhkan ayat 234.
6. QS. Al-Baqarah: 284 dinasakhkan ayat 286.
7. QS. Al-Baqarah: 102 dinasakhkan QS. At-Taghabun: 16.
8. QS. An-Nisa: 33 dinasakhkan QS. Al-Anfal: 75.
9. QS. An-Nisa:8 dinasakhkan ayat 15 (menurut sebagian
tidak).
10. QS. An-Maidah: 2 dinasakhkan dengan boleh berperang.
11. QS. An-Maidah: 42 dinasakhkan ayat 49.
12. QS. Al- Anfal: 65 dinasakhkan ayat sesudahnya.
13. QS. Al- Baraah: 41 dinasakhkan ayat uzur, QS. An-Nur:
61 dan QS. At-Taubah: 91-92, 122.
14. QS. An-Nur: 3 dinasakhkan ayat 32.
15. QS. An-Nur: 58 dinasakhkan (menurut sebagian tidak).
16. QS. Al-Ahzab: 50 dinasakkhkan ayat 50.
17. QS. Al-Mujadilah: 12 dinasakhkan ayat 13.
18. QS. Al-Mumtahanah: 11 dinasakhkan ayat ghanimah dan
menurut yang lain muhkam.
19. QS. Al- Muzammil: 2 dinasakhkan ayat akhir surat
kemudian dinasakhkan oleh shalat yang lima.
20. QS. Al-Baqarah: 115 dinasakhkan ayat 144.
3. Naskh al-tilawah wa baqa al-hukmi, yaitu dinasakhkan
bacaan bukan hukumnya, seperti ayat rajam pernyataan
Umar bin al-Khattab yang menyatakan: Sekiranya aku tidak
khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah
menambah-nambahkan al-Quran dengan yang tertulis di
dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang hukuman
rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf seraya
membacakan ayat:
[3]
.
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih
baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS.
Al-Baqarah (2): 106)
Adapun dalil untuk riwayat kedua dari Ahmad, yang
menyebutkan bahwa nash Hadits mutawatir bisa
menasakh nash Al-Quran adalah firman Allah SWT.
.
Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl: 44)
Bukti bahwa Hadits mutawatir bisa menasakh nash
Al-Quran menurut pendapat yang membolehkannya
adalah firman Allah SWT. Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara maruf (QS. Al-Baqarah: 180)
yang dinasakh dengan sabda Rasulullah SAW,
.
Tidak ada wasiat untuk ahli waris.
b. Nash Sunnah yang dinukil secara ahad. Jenis nash
Sunnah ini sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk
menasakh
Al-Quran,
karena
Hadits
Ahad
tidak
berkonsekuensi hukum qathi (pasti), namun hanya
menimbulkan hukum yang bersifat zhann. Padahal, AlQuran merupakan nash yang berkonsekuensi hukum
qathi. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan sesuatu
yang sifatnya qathi hanya karena pertimbangan sesuatu
yang bersifat zhann.[4]
3. Sunnah dengan Al-Quran
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . [8] Misalnya
masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan
dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil
yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh alqur`an dengan
firmannya
:
Artinya : Sungguh kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit maka sungguh kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai .
Palingkanlah mukamu kearah masjidil haram . Dan di mana
saja kamu berada , palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang
diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui,
2.
3.
4.
5.
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau
yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ibnu katsir
Ibnu
Katsir
dalam
kitab
tafsirnya,
menyatakan
bahwaSesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan
tidak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah,
karena Allah mentepkan hukum menurut kehendak Nya dan
melakukan apa saja yang dikehendaki Nya.
Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah
keberadaan
naskh
dalam
Al-Quran
dengan
menyatakan,Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan
kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena
berbeda waktu dan tempat, Jika suatu hukum diundangkan karena
dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keprluan itu berakhir,
maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu
dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan
waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi jauh lebih baik dari
yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba
Allah.
Muhammad Rasyid Rida
Muhammad
Rasyid
Rida
dalam
tafsirnya
menjelaskan:Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena
perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila
suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan
pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada
waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan
hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai
dengan waktu itu.
Sayyid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan
sanggahan
terhadap
pendirian
orang-orang
Yahudi
yang
mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam
dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan
hukum-hukum Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan
kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram, maupun perubahan-
6.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS.Fushshilat / 41: 42)
3. Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh
dalam al-Qur`an. Seandainya ada, sudah tentu ia akan
menjelaskannya.
4. Hadits hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai
sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits Tidak ada
wasiat bagi penerima waris (HR.Bukhari , Abu Daud ,
Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin
Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad
yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan hadits ahad tidak
punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan
hukum sesuatu.
5. Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan
dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh.
Misalnya , menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang
mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani
berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asySyuyuti tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada sebagian
ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan
tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan
oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh
membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan
ayat ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif.
D. Metode yang Digunakan untuk Mengetahui Nasikh Mansukh
1. Penjelasan langsung dari rasul
2. Dalam satu nash yang bertentangan itu ada petunjuk yang
menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari
yang lain. Seperti hadits Nabi :
() .
Artinya : Dahulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur
tapi kini ziarahilah.
3. Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah
satu hadits yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya
dari hadits yang lain.
Adapun cara lain yang digunakan untuk mengetahui nasakh
dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat mi
nasakh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian
turunnya dalam perspektif sejarah.
E. Manfaat yang Bisa Dipetik dari Mempelajari Nasikh Mansukh
1. Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para
ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan
hukum syari yang telah ada untuk kemudian digantikan
dengan hukum syari yang datang kemudian. Hukum syari
yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut
dengan istilah nasikh; sementara hukum syari yang
dihapus atau dibatalkan disebut mansukh.
2. Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Maan, yaitu penghapusan
teks al-Quran dan sekaligus juga penghapusan hukum yang
terkandung di dalamnya
Naskh al-Hukmi wa Baqa al-Tilawah, yakni penghapusan
pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan
bacaannya atau teksnya tetap diabadikan.
Naskh al-tilawah wa baqa al-hukmi, yaitu dinasakhkan
bacaan bukan hukumnya.
3. Sebagian ulama yang dipelopori oleh Abu Muslim alAsfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama
ayat al-Quran tidaklah dibolehkan.
4. Metode yang digunakan untuk mengetahui nasikh dan
mansukh yaitu:
Penjelasan langsung dari rasul, dalam satu nash yang
bertentangan itu ada petunjuk yang menyatakan salah satu
nash lebih dahulu datangnya dari yang lain, dan Periwayat
hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits
yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits
yang lain.
5. Manfaat mempelajari nasikh dan mansukh:
Hukum nasikh lebih berat dari mansukh, Hukum nasikh lebih
ringan dan mansukh, dan Hukum nasikh sama beratnya
dengan mansukh.
B. Saran
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar
manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan
ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur.
Oleh sebab itu terdapat banyak atsar (perkataan sahabat atau
tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus
mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah
disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui
ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus
mengetahui
kemudian.
ayat
mana
yang
turun
lebih
dahulu
dan
[1]
[2]
[3]
[4]
datang
Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 85
Ibid. hlm. 85-86
Ibid. hlm. 91-93
Imam Al Hafizh Abi Al Faraj Abdurrahman Ibnu Jauzi penerjemah Wawan Djunaedi
Soffandi, S. Ag, Nasikh Mansukh, 2002, hlm. 30-32
[5] Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 101