Anda di halaman 1dari 13

Pengertian Nasikh dan Mansukh

Secara
etimologi nasakh dapat
diartikan
menghapus,
menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah
(tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian
tersebut Ahmad Syadali mengartikan nasakh dengan 2 macam
yaitu:
Pertama: yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk
pada dialek orang Arab yang sering berkata:

.
Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang.
Kedua: memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang
lainnya () .
Adapun secara terminologinya, naskh adalah raf al-hukm alsyariat bid dalil asy-syari. Defenisi ini akan membawa pada
pengertian bahwa naskh itu mengandung arti izalah dan raf.
Selanjutnya, apabila hukum syari hanya bisa dihapus oleh hukum
syari maka akan timbul persoalan, apakah naskh hanya berlaku
antara Al-Quran dengan Al-Quran saja, tidak dengan sunnah.[1]
Adapun yang dimaksud dengan nasakh dalam terminologi
para ahli-ahli ilmu al-Quran dan ulama ushul fiqh dapat dilihat
dari definisi nasakh yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul
Adhim Az-Zarqani dan Muhammad Abu Zahrah di bawah ini:
Yang pertama, Az-Zarqani yang dapat dikatakan mewakili
kalangan ahli ilmu-ilmu Al-Quran, memformulasikan nasakh
dengan penghapusan hukum syari berdasarkan dalil syari.
Sementara Abu Zahrah, yang mereferensikan kalangan ulama
ushul fiqh, mendefinisikan nasakh dengan penghapusan
hukum syari oleh syari (Allah SWT) dengan dalil yang datang
kemudian.
Jadi, nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama
para ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan
hukum syari yang telah ada untuk kemudian digantikan
dengan hukum syari yang datang kemudian. Hukum syari
yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut dengan
istilah nasikh; sementara hukum syari yang dihapus atau
dibatalkan disebut mansukh.
Sebagai contoh, sebelum turun ayat dalam surat alBaqarah ayat 144 yang memerintahkan kiblat shalat ke arah
Kabah Baitullah di Masjidil Haram, kiblat kaum muslimin
adalah menghadap ke arah Masjidil Aqsha, tetapi setelah turun
ayat yang memerintahkan arah kiblat ke Masjidil Haram, maka
nabi Muhammad beserta umatnya beralih arah kiblatnya ke
Masjidil Haram. Dari kasus ini dapat dikemukakan bahwa
menghadap kiblat ke Masjidil Haram adalah nasikh, sedangkan
menghadap ke Masjidil Aqsha adalah mansukh.

Selanjutnya, uraian tentang pengertian naskh ini dapat


ditinjau dari berbagai segi yaitu berikut ini.
1. Gambaran tentang terangkatnya hukum syariat tidak
mungkin terlaksana kecuali dengan dua jalan:
a. Bahwa dalil syari mempunyai tenggang waktu dengan
hukum marfu.
b. Bahwa antara dua dalil ini terjadi taarudh hakiki
sehingga tidak mungkin melakukan kompromi (al-jam)
antara keduanya.
2. Defenisi tersebut memberi pengertian bahwa naskh tidak
tertuju kepada hukum. Dengan demikian, sekalipun ada
pembagian naskh tilawah dan hukum hanya sekedar untuk
memberi penjelasan tentang naskh itu. Yang disebut naskh
tilawah itu sesungguhnya tidak keluar naskh hukum karena
naskh tilawah itu tidak mempunyai arti hakikat kecuali
menasakhkan hukum juga.
3. Naskh yang terjadi mencakup dalam Al-Quran dan As
Sunnah semuanya yaitu: qauliyah, filiyah, wasfiyah dan
tadriyah, karena semuanya bersumber dari wahyu Allah
SWT. dengan demikian, tidak mungkin timbul dari ibtida
dan naskh kecuali berdasarkan wahyu Allah SWT. baik yang
sharih maupun taqrir.
4. Bahwa idhafah dalam raf
al-hukm
asy-syari adalah
idhafah masdar kepada maful sedang failnya tersembunyi,
yaitu
Allah
SWT.
dengan
demikian,
pengertian
sesungguhnya dari nasikh itu adalah Allah SWT.[2]
B. Macam-macam Nasikh Mansukh
Naskh terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1. Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Maan, yaitu penghapusan
teks al-Quran dan sekaligus juga penghapusan hukum yang
terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan
ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: Pada mulanya,
diturunkan ayat al-Quran (tentang saudara sepersusuan
yang haram untuk dinikahi) adalah sepuluh susuan yang
diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima kali susuan
yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah wafat.
2. Naskh al-Hukmi wa Baqa al-Tilawah, yakni penghapusan
pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan
bacaannya atau teksnya tetap diabadikan. Ayat-ayat yang
dijadikan contoh antara lain ayat tentang mendahulukan
sedekah (QS. Al- Mujadilah:12)


.
Ayat ini dinasakhkan oleh ayat Al-Mujadilah:
13


.
Arti ayat yang pertama dinasakhkan ayat yang kedua, tetapi
bacaan keduanya tetap.
Menurut As-Suyuthi, ayat-ayat mansukh bagian kedua ini
berjumlah 20 tempat, yaitu:
1. QS. Al-Baqarah: 180 dinasakhkan ayat mawarits,
menurut yang lain dinasakhkan oleh hadits, adapula yang
mengatakan
dinasakhkan
dengan
ijma
(yang
dihikayatkan Ibn Arabi).
2. QS. Al-Baqarah: 184 dinasakhkan ayat 185.
3. QS. Al-Baqarah: 187 dinasakhkan ayat 183.
4. QS. Al-Baqarah: 217 dinasakhkan QS. At-Taubah: 36.
5. QS. Al-Baqarah: 240 dinasakhkan ayat 234.
6. QS. Al-Baqarah: 284 dinasakhkan ayat 286.
7. QS. Al-Baqarah: 102 dinasakhkan QS. At-Taghabun: 16.
8. QS. An-Nisa: 33 dinasakhkan QS. Al-Anfal: 75.
9. QS. An-Nisa:8 dinasakhkan ayat 15 (menurut sebagian
tidak).
10. QS. An-Maidah: 2 dinasakhkan dengan boleh berperang.
11. QS. An-Maidah: 42 dinasakhkan ayat 49.
12. QS. Al- Anfal: 65 dinasakhkan ayat sesudahnya.
13. QS. Al- Baraah: 41 dinasakhkan ayat uzur, QS. An-Nur:
61 dan QS. At-Taubah: 91-92, 122.
14. QS. An-Nur: 3 dinasakhkan ayat 32.
15. QS. An-Nur: 58 dinasakhkan (menurut sebagian tidak).
16. QS. Al-Ahzab: 50 dinasakkhkan ayat 50.
17. QS. Al-Mujadilah: 12 dinasakhkan ayat 13.
18. QS. Al-Mumtahanah: 11 dinasakhkan ayat ghanimah dan
menurut yang lain muhkam.
19. QS. Al- Muzammil: 2 dinasakhkan ayat akhir surat
kemudian dinasakhkan oleh shalat yang lima.
20. QS. Al-Baqarah: 115 dinasakhkan ayat 144.
3. Naskh al-tilawah wa baqa al-hukmi, yaitu dinasakhkan
bacaan bukan hukumnya, seperti ayat rajam pernyataan
Umar bin al-Khattab yang menyatakan: Sekiranya aku tidak
khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah
menambah-nambahkan al-Quran dengan yang tertulis di
dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang hukuman
rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf seraya
membacakan ayat:
[3]

Adapun pembagian dari naskh itu terbagi atas ada


empat, yaitu:
1. Al-Quran dengan Al-Quran
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh.
Misalnya, ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al- Baqarah (2): 240,
artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah sehingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada
dosa bagimu, (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang maruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS. Al-Baqarah: 234
artinya: Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu
dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap
diri
mereka
menurut
yang
patut.
Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.
Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam,
sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri, jika
istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi.
Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan masalah iddah.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua ayat
ini.
2. Al-Quran dengan Sunnah
naskh ini terbagi atas dua macam:
Adapun kalau nash Al-Quran dinasakh dengan nash
Sunnah, maka perlu diketahui kalau Sunnah terbagi menjadi
dua macam:
a. Nash
Sunnah
yang
dinukil
secara mutawatir,
sebagaimana cara Al-Quran dinukil.
Syaikh Ali bin Ubaidillah telah menceritakan
dua buah riwayat yang berasal dari Ahmad. Dalam
riwayat ini disebutkan, kalau Ahmad telah berkata bahwa
pendapat yang masyhur menyebutkan kalau nash AlQuran tidak boleh dinasakh dengan nash Hadits
mutawatir. Pendapat inilah yang dianut oleh Ats-Tsauri
dan Asy-Syafii. Sedangkan riwayat kedua dari Ahmad
menyebutkan kalau nash Al-Quran boleh dinasakh
dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat ini telah dianut
oleh Abu Hanifah.

Malik berkata bahwa dalil untuk riwayat pertama


dari Ahmad, yang menyatakan nash Al-Quran tidak bisa
dinasakh dengan nash Hadits mutawatir adalah firman
Allah SWT.

.
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih
baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS.
Al-Baqarah (2): 106)
Adapun dalil untuk riwayat kedua dari Ahmad, yang
menyebutkan bahwa nash Hadits mutawatir bisa
menasakh nash Al-Quran adalah firman Allah SWT.

.
Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl: 44)
Bukti bahwa Hadits mutawatir bisa menasakh nash
Al-Quran menurut pendapat yang membolehkannya
adalah firman Allah SWT. Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara maruf (QS. Al-Baqarah: 180)
yang dinasakh dengan sabda Rasulullah SAW,

.
Tidak ada wasiat untuk ahli waris.
b. Nash Sunnah yang dinukil secara ahad. Jenis nash
Sunnah ini sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk
menasakh
Al-Quran,
karena
Hadits
Ahad
tidak
berkonsekuensi hukum qathi (pasti), namun hanya
menimbulkan hukum yang bersifat zhann. Padahal, AlQuran merupakan nash yang berkonsekuensi hukum
qathi. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan sesuatu
yang sifatnya qathi hanya karena pertimbangan sesuatu
yang bersifat zhann.[4]
3. Sunnah dengan Al-Quran
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . [8] Misalnya
masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan
dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil
yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh alqur`an dengan
firmannya
:
Artinya : Sungguh kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit maka sungguh kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai .
Palingkanlah mukamu kearah masjidil haram . Dan di mana
saja kamu berada , palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang
diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui,

bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari


tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah/2: 144)
Contoh jenis ini adalah: syariat shalat menghadap Baitul
Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya
dengan
firman
Allah
Azza
wa
Jalla.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4. Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c. Sunnah ahad dengan mutawatir
d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi
silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an dengan
hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama .
C. Pandangan Ulama Tentang Nasikh dan Mansukh
Para ulama bersepakat bahwa nash Al-Quran boleh dinasakh
dengan nash Al-Quran. Begitu juga dengan nash Sunnah boleh
dinasakh dengan nash Sunnah.
Sebagian ulama yang dipelopori oleh Abu Muslim alAsfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama
ayat al-Quran tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an alQuran dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih
rendah dibandingkan dengan al-Quran. Padahal, di antara
syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih
unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal
sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh
dalam Al-Quran, dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat
Al-Quran dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar.
Pertama, kelompok surat-surat Al-Quran yang di dalamnya
sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat
mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat
Al-Quran yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah
maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat.
Ketiga, kelompok surat-surat Al-Quran yang di dalamnya
hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat,
kelompok surat-surat al-Quran yang di dalamnya hanya ada
ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.

Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam


al-Quran, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan
sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih
sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah
ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, AlSuyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang
terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama,
tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba
mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap
nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang
dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah
(2): 180 dengan an-Nisa (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan
al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, alAhzab (33): 52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak
nasikh-mansukh internal Al-Quran akan selalu bekerja keras
untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama
dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh
Muhammad Al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara
ekspilisit menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh internal
Al-Quran telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang
oleh Al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan
mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas
menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh sesama ayat
al-Quran ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Quran yang di-nasakhk-an
oleh ayat-ayat Al-Quran sendiri. Yang ada hanyalah
penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Quran
menafsirkan kata ayatin dan ayatan dalam kedua ayat di
atas dengan pengertian ayat al-Quran, sedangkan para
penentang nasikh-mansukh sesama al-Quran menafsirkannya
dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah
terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikhmansukh internal al-Quran memperkuat penafsirannya
dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara
lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama
korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang
sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya
wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang pada malam
hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan
ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa
wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh
Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).

Adapun ulama yang menerima adanya nasikh dan


mansukh:
1. Imam Syafii
Imam Syafii mengakui adanya naskh dalam Al-Quran,
berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah: 106,

2.

3.

4.

5.

Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau
yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ibnu katsir
Ibnu
Katsir
dalam
kitab
tafsirnya,
menyatakan
bahwaSesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan
tidak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah,
karena Allah mentepkan hukum menurut kehendak Nya dan
melakukan apa saja yang dikehendaki Nya.
Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah
keberadaan
naskh
dalam
Al-Quran
dengan
menyatakan,Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan
kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena
berbeda waktu dan tempat, Jika suatu hukum diundangkan karena
dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keprluan itu berakhir,
maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu
dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan
waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi jauh lebih baik dari
yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba
Allah.
Muhammad Rasyid Rida
Muhammad
Rasyid
Rida
dalam
tafsirnya
menjelaskan:Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena
perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila
suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan
pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada
waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan
hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai
dengan waktu itu.
Sayyid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan
sanggahan
terhadap
pendirian
orang-orang
Yahudi
yang
mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam
dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan
hukum-hukum Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan
kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram, maupun perubahan-

6.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

1.

perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi


sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi
dan kondisi mereka yang berkembang yang baru.
Manna Khalil Al-Kattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok
untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada
masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan
pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era
perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri`
pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada
periode yang lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan
suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan
para hambaNya.
Sedangkan tokoh yang menolak adanya nasikh mansukh dalam
Al-Quran:
Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
Imam Ar-Razi
Muhammad Abduh
Dr. Taufiq Sidqi
Muhammad Khudari Bek
Muhammad Abduh
Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an
yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh,
dengan perbedaan penafsiran. Adapun alasan-alasan mereka adalah
sebagai berikut:
Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok
pendukung naskh dijadikan sebagai argumentasi adanya naskh
dalam al-Qur`an, menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi
yang mengingkari al-Qur`an atau merujuk pada wahyu yang
diturunkan sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan oleh alQur`an . Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab kitab suci
sebelum al-Qur`an diganti dengan yang lebih baik , ayitu al-Qur`an.
Kandungan surat an-Nahl ayat : 101 dilihat dari segi turunnya
ditujukan kepada orang orang kafir yang tidak mempercayai
kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum yang ada di dalam
al-Qur`an berlainan dengan hukum hukum dalam Taurat dan Injil.
Menurut mereka kalau al-Qur`an benar benar datang dari Allah SWT,
maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab kitab sebelumnya.
Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang
maslahat buat hamba-hambaNya.
2. Jika dalam al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti
didalam al-Qur`an terdapat kesalahan dan saling berlawanan ,
padahal
al-Qur`an
sendiri
telah
menegaskan:
Artinya Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan
baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan

dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS.Fushshilat / 41: 42)
3. Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh
dalam al-Qur`an. Seandainya ada, sudah tentu ia akan
menjelaskannya.
4. Hadits hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai
sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits Tidak ada
wasiat bagi penerima waris (HR.Bukhari , Abu Daud ,
Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin
Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad
yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan hadits ahad tidak
punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan
hukum sesuatu.
5. Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan
dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh.
Misalnya , menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang
mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani
berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asySyuyuti tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada sebagian
ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan
tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan
oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh
membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan
ayat ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif.
D. Metode yang Digunakan untuk Mengetahui Nasikh Mansukh
1. Penjelasan langsung dari rasul
2. Dalam satu nash yang bertentangan itu ada petunjuk yang
menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari
yang lain. Seperti hadits Nabi :

() .
Artinya : Dahulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur
tapi kini ziarahilah.
3. Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah
satu hadits yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya
dari hadits yang lain.
Adapun cara lain yang digunakan untuk mengetahui nasakh
dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat mi
nasakh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian
turunnya dalam perspektif sejarah.
E. Manfaat yang Bisa Dipetik dari Mempelajari Nasikh Mansukh
1. Hukum nasikh lebih berat dari mansukh

Sebagian alasan adanya naskh yang membawa hukum yang


lebih berat bertujuan untuk membawa ummat ke derajat
yang lebih tinggi akhlak dan tingkat peradabannya. Pada
mulanya mereka cukup untuk meninggalkan kebiasaan yang
sudah lama seperti kasus meminum khamar. Pada mulanya
masih dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat
akan tetapi dosanya lebih berat dari manfaatnya, kemudian
khamar diharamkan sama sekali.
2. Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberi keringanan
kepada hamba Nya dan menunjukkan karunia Allah SWT.
dan Rahmat Nya. Dengan demikian hamba Nya dituntut
untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan, dan
mencintai agama Nya.
3. Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian
ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan petunjuk
mana yang lebih ringan dan berat. Para ulama menafsirkan
hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi hamba Nya sekaligus
sebagai pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka
yang betul-betul beriman. siapa yang beriman berarti dia
akan selamat dan siapa yang menjadi munafik. pemisahan
antara yang betu-betul beriman menjadi faktor utama.[5]
Adapun manfaat yang lain yang bisa dipetik yaitu:
a.
Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat
yang paling sempurna.
b.
Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan
mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan
disepanjang zaman.
c.
Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu
relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang
mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat
yang sempurna.
d.
Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu
mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Allah,
atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e.
Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang
selalu
setia
mengamalkan
hukum-hukum
perubahan,
walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f.
Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat
islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang
memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT. Yang
maha pengasih lagi maha penyayang.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para
ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan
hukum syari yang telah ada untuk kemudian digantikan
dengan hukum syari yang datang kemudian. Hukum syari
yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut
dengan istilah nasikh; sementara hukum syari yang
dihapus atau dibatalkan disebut mansukh.
2. Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Maan, yaitu penghapusan
teks al-Quran dan sekaligus juga penghapusan hukum yang
terkandung di dalamnya
Naskh al-Hukmi wa Baqa al-Tilawah, yakni penghapusan
pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan
bacaannya atau teksnya tetap diabadikan.
Naskh al-tilawah wa baqa al-hukmi, yaitu dinasakhkan
bacaan bukan hukumnya.
3. Sebagian ulama yang dipelopori oleh Abu Muslim alAsfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama
ayat al-Quran tidaklah dibolehkan.
4. Metode yang digunakan untuk mengetahui nasikh dan
mansukh yaitu:
Penjelasan langsung dari rasul, dalam satu nash yang
bertentangan itu ada petunjuk yang menyatakan salah satu
nash lebih dahulu datangnya dari yang lain, dan Periwayat
hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits
yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits
yang lain.
5. Manfaat mempelajari nasikh dan mansukh:
Hukum nasikh lebih berat dari mansukh, Hukum nasikh lebih
ringan dan mansukh, dan Hukum nasikh sama beratnya
dengan mansukh.
B. Saran
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar
manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan
ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur.
Oleh sebab itu terdapat banyak atsar (perkataan sahabat atau
tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus
mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah
disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui
ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus

mengetahui
kemudian.

ayat

mana

yang

turun

lebih

dahulu

dan

[1]
[2]
[3]
[4]

datang

Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 85
Ibid. hlm. 85-86
Ibid. hlm. 91-93
Imam Al Hafizh Abi Al Faraj Abdurrahman Ibnu Jauzi penerjemah Wawan Djunaedi
Soffandi, S. Ag, Nasikh Mansukh, 2002, hlm. 30-32

[5] Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 101

Anda mungkin juga menyukai