Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi bak virus HIV, keganasannya telah menggeregoti perekonomian bangsa,
menjadikannya begitu rapuh, kepicikkannya telah membelenggukan nurani kebanyakan dari
pemegang kekuasaan. Virus ini mewabah begitu cepat, pada seluruh sendi kehidupan rakyat,
dari kasus uang pelicin korban tilang kepada pengayom masyarakat (baca; polisi), uang
pelicin dari ibu dan ayah untuk memberi sekolah terbaik bagi anaknya, uang pelicin sebagai
bungkaman suara rakyat jelata kepada calon pemimpinnya. Innalillahi.
Menurut survei yang diadakan Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada
tahun 2010 lalu Indonesia masih menempati urutan teratas dalam daftar Negara paling korup di
antara 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Bahkan Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan
Agung, Fery Wibisono mengatakan Penanganan perkara korupsi di Indonesia per tahun
mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara. Jumlah ini menduduki peringkat kedua di dunia,(Akbar,
2013).
Sangat ironis memang, melihat budaya korupsi begitu besarnya menghinggapi negeri
Indonesia ini. Padahal Indonesia adalah negeri dengan penganut muslim terbesar di dunia,
namun saying mental masyarakat muslimnya justru terjerumus terhadap perilaku yang justru
menghansurkan reputasi pribadi dan negerinya sendiri.
Mengangkat carut-marutnya permasalahan korupsi yang dikhawatirkan membudaya di
negeri ini, maka penulis berupaya untuk mengulas permasalahan korupsi dalam perspektif
Islam, diawali dari pendefinisan korupsi, pandangan Islam terhadapnya, isu dan praktik korupsi
di jaman Nabi SAW, hingga solusi yang ditawarkan Islam terhadap persoalan korupsi, akan
menjadi pembatasan topik pembahasan pada makalah berjudul Mengenal dan Memahami
Persoalan Korupsi dalam Sudut Pandang Islam ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2. Bagaimana permasalahan korupsi dalam sudut pandang Islam?
3. Bagaimana isu dan praktik korupsi di zaman Nabi SAW?
4. Apa solusi yang ditawarkan oleh Islam mengenai korupsi?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Korupsi

Kata korupsi berasal dari kata Latin corruptus yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur.
Dalam bahasa Inggris, kata korupsi dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti
frasa a corrupt manuscript (naskah yang rusak) dan dapat juga untuk menyebut kerusakan
tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau
tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu korupsi juga berarti tidak bersih (impure) seperti
frasa corrupt air yang berarti (udara tidak bersih). Syed Hussein Alatas menegaskan bahwa
esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan
(Wahid, 2004).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perbuatan menyimpang dari norma,
menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa kerugian
finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tidak berjalannya
sistem hukum karena adanya penyalahgunaan wewenang.
Menurut Syed Hussein Alatas (Wahid, 2004), ada beberapa jenis korupsi, yaitu:
1.) Korupsi transaktif, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal balik
antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. Korupsi jenis ini
biasanya terjadi antara usahawan dengan pejabat pemerintah atau anggota masyarakat dan
pemerintah.
2.) Korupsi ekstortif (memeras), yaitu bentuk korupsi di mana pihak pemberi dipaksa
melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri, kepentingan,
orang-orang atau hal-hal yang penting baginya.
3.) Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan.
4.) Korupsi investif, yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu tanpa ada kaitan langsung
dengan keuntungan tertentu, selain dari keuntungan yang dibayangkan di masa depan.
5.) Korupsi nepotistik (perkerabatan), yaitu kolusi berupa penunjukan tidak sah terhapap teman
atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan, atau memberi perlakukan
istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku.
6.) Korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya
membuat laporan belanja yang tidak benar.
7.) Korupsi suportif (dukungan), yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada.
B. Korupsi dalam Sudut Pandang Islam
Dalam pandangan islam bahwa korupsi itu sama saja dengan mencuri, mengambil hak orang
lain tanpa seizin pemiliknya, dan islam sangat menegaskan bahwa korupsi itu haram hukumnya.
Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip
bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan
semesta, korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan

pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem pemerintahan. Oleh karena itu, baik alQuran, al-Hadits maupun ijm al- ulam menunjukkan pelarangannya secara tegas. Dalam alQuran, misalnya, dinyatakan:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa
padahal kamu mengetahui.
Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum. Dalam redaksi lain,
dinyatakan: Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.
Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: Penyuap dan penerima
suap itu masuk ke neraka.
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabiin), maupun para ulama
periode sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi
penyuap, penerima suap maupun perantaranya.
Ini artinya, secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam
bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam
kerangka terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang
secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughn menjelaskan
bahwa memakan makanan haram itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir alKasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata: Menyuap seorang hakim
adalah tindakan korupsi.(Akbar, 2013).
C. Isu dan Praktik Korupsi pada Zaman Nabi SAW
Menurut Syamsul Anwar (2013), bilamana kita mempelajari rekaman-rekaman yang
mencatat sejarah Islam awal, kita melihat bahwa isu korupsi muncul pada periode Madinah
awal. Dalam hal ini, ditemukan sebuah riwayat bahwa dalam Perang badar tahun 2 H, terjadi
korupsi, yaitu raibnya sehelai beludru merah rampasan Perang yang diperoleh dari kaum
Musyrikin. Tetapi ada pula riwayat yang menerangkan bahwa yang hilang itu adalah pedang.
Laporan mengenai hilangnya beludru merah dalam Perang Badar ini ditemukan dalam beberapa
sumber orisinil berikut: Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Yala, al-Mujam
al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi. Dalam Sunnan al-Tirmidzi
ditegaskan:
Telah menyampaikan kepada kami Qutaibah: telah menyampaikan kepada kami Abdul
Wahid Ibn Ziyad dari Khusaif (dilaporkan bahwa ia berkata): Miqsan telah menyampaikan

kepada kami seraya berkata: Ibnu Abbas mengatakan: Ayat ini wa ma kana li nabiyyin an
yagulla turun mengenai kasus beludru merah yang hilang pada waktu Perang Badar. Beberapa
orang mengatakan: Barangkali Rasulullah SAW. mengambilnya, maka Allah Tabaraka wa Taala
menurunkan wa ma kana li nabiyyin an yagulla hingga akhir ayat (HR. Tirmidzi). maksud
ayat wa ma kana li nabiyyin an yagulla (Tiada seorang Nabi akan melakukan gulul
[korupsi]).
Peristiwa hilangnya beludru merah seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai
sebab turunnya ayat 161 Ali-Imran :
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
(Al-Imran: 161)
Penolakan tegas pada ayat ini yang menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkhianat dan
tidak mungkin Nabi SAW melakukan tindak korupsi datang langsung dari Allah. Penegasan ini
menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa sedangkan Rosulullah adalah seorang
yang paling mulia, memiliki tabiat yang amanah, adil dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang
tidak pantas, maka tidak mungkin pribadi yang agung itu melakukan tindakan yang sangat buruk
dan memalukan.
Korupsi dalam Perang Khaibar
Khaibar, sebuah perkampungan Yahudi yang ditaklukkan oleh Rasulullah SAW. pada tahun
6 H. di sini kita menemukan bentuk korupsi yang riil, meskipun jumlahnya kecil. Ada dua kasus
korupsi di Khaibar yang dilaporkan dalam beberapa kitab Hadits. Pertama, peristiwa kematian
seorang laki-laki yang melakukan korupsi (gulul) di Khaibar pada waktu penaklukan daerah
tersebut, dan kedua, kasus kematian seorang budak bernama Midam yang juga melakukan
korupsi dan kasus korupsi tali sepatu. Kasus pertama dilaporkan dalam beberapa Hadits di
antaranya adalah versi Ahmad Ibn Hambal sebagai berikut:
Yahya Ibn Said telah menyampaikan kepada kami dari Yahya Ibn Said Ibn Hayyan, dari
Muhammas Ibn Yahya, dari Abi Amrah, dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat
Nabi dari meninggal pada waktu penaklukan Khaibar, maka para sahabat melaporkan hal itu
kepada Nabi SAW.. Lalu beliau bersabda: Salatkanlah kawanmu itu, maka berubahlah raut
wajah orang-orang karena sabda itu.dan Nabi bersabda: Rekanmu itu telah melakukan gulul
dalam Perang. Maka kamipun memeriksa barang-barangnya, lalu kami temukan manik-manik
orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham (HR. Ahmad).

Hadits ini merekam sebuah kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh salah seorang sahabat
yang ikut dalam penaklukan Khaibar. Tidak ada catatan tentang nama orang tersebut. Hanya saja
dalam beberapa versi dari Hadits bersangkutan disebutkan bahwa ia berasal dari Bani Asyja.
Dalam kasus ini korupsi diberi hukuman moral, yaitu Rasulullah SAW tidak ikut menyalatkan
jenazahnya; beliau menyuruh sahabatnya saja yang menyalatkannya.
Kasus kedua, dari korupsi di Khaibar adalah korupsi mantel dan korupsi tali sepatu. Korupsi
mantel dilakukan oleh Midam, seorang budak yang mengikuti perjalanan Nabi SAW, ke Wadi
al-Qura beberapa waktu setelah penaklukan Khaibar. Ia terkena tembakan anak panah misterius
di Wadi al-Qura, ketika hendak menurunkan barang-barang bawaan Rasulullah dari untanya
sehingga meninggal dunia. Para sahabat yang melihat kejadian itu mengatakan semoga ia
masuk surga. Namun Nabi SAW, menyanggah dan menerangkan, bahwa ia pernah melakukan
korupsi mantel pada waktu penaklukan Khaibar dan mantel yang dikorupsi itu akan
membakarnya di neraka kelak. Korupsi tali sepatu pada waktu penaklukan Khaibar dilakukan
oleh salah seorang yang ikut dalam perjalanan ke Wadi al-Qura tersebut. Identitasnya secara
lebih jelas tidak ada informasinya. Ketika mendengar pernyataan Rasulullah SAW, mengenai
mantel yang dikorupsi oleh Midam dapat menjadi penyebab ia masuk neraka, lelaki itu buruburu memberikan tali pengikat sepatu yang dikorupsinya pada waktu penaklukan Khaibar
kepada Rasulullah saw. Teks Hadits tersebut dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:
Ismail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata Malik telah menyampaikan kepadaku,
dari Saur Ibn Zaid ad-Dili, dari Abi al-Ghais bekas budak Ibn Muti, dari Abu Hurairah (bahwa)
ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah SAW, pada waktu penaklukan Khaibar, kami tidak
memperoleh rampasan perang berupa emas dan perak, yang kami peroleh adalah benda tak
bergerak, pakaian dan barang-barang dan seorang lelaki dari Bani ad-Dubaib bernama Rifaah
Ibn Zaid menghadiahi Rasulullah SAW. Seorang budak bernama Midam. Rasulullah SAW,
berangkat menuju Wadi al-Qura, sehingga ketika ia sampai ke Wadi al-Qura itu pada saat
Midam menurunkan barang-barang bawaan Rasulullah SAW, tiba-tiba sebuah panah misterius
(mengenai Midam) dan menyebabkan ia meninggal. Maka orang-orang (yang melihat)
mengatakan: Semoga ia masuk surga. Maka Rasulullah SAW. bersabda: Tidak! Demi Tuhan
yang diriku berada di tangannya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu penaklukan
Khaibar dari rampasan Perang yang belum dibagi akan menyulut api neraka yang akan
membakarnya. Ketika orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah itu, seorang laki-laki
datang kepada Nabi SAW, membawa seutas tali sepatu atau dua utas tali sepatu (keraguan dari

rawi). Nabi SAW. lalu mengatakan: seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas
talipun akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan). (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini, seperti disinggung terdahulu, terdapat korupsi yang jumlahnya kecil;
mantel dan tali sepatu. Namun para ahli hadits menegaskan bahwa hadits ini menekankan
beratnya dosa korupsi. Korupsi dalam hadits ini dapat dikategorikan sebagai korupsi otogenik,
yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri melalui penggelapan kekayaan publik. Dalam kasus
ini para koruptor menggelapkan harta rampasan Perang (ghanimah) dan tidak melaporkannya
kepada Nabi SAW.
D. Solusi Islam terhadap Permasalahan Korupsi
Sesungguhnya dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di
tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang ketat. Pertama: pengawasan yang
dilakukan oleh individu. Kedua: pengawasan dari kelompok, dan ketiga: pengawasan oleh
negara.
Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya
korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.
Dengan diterapkannya syariat Islam tentu akan berefek pada tumbuhnya spirit ruhiah yang
sangat kental, spirit yang timbul bahwa siapapun merasa senantiasa diawasi oleh dzat yang
Maha Melihat dan tak pernah tidur, spirit yang membuka kesadaran bahwa akan ada hisab atas
segala amal dan perbuatan manusia, bila sprit seperti ini yang timbul tentu akan berdampak pula
pada menggairahnya budaya amar maruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk
menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Berbeda dengan kasus
pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab tazir yang
hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau
hakim (Adinegoro, 2013).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda, Perampas, koruptor (mukhtalis) dan
pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan. (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu
Hibban).
Bentuk tazir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor;
misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara,
pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan
penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah,
V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).

Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu pernah menyita seluruh harta
pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqt Ibn Saad,Trkh al-Khulaf
as-Suyuthi).
Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja
koruptor dihukum mati.
Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara
menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki
pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal
hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud).
Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan
terjadinya tindakan korupsi.
Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan beliau selalu menghitung
harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil. Sedangkan dalam upayanya
untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang
pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini
banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian
banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah.
Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. (Ridho E, 2012).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Siapa saja yang kami (Negara) beri
tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka
apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud).
Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan
pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan
yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan
minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya.
Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordinary, suatu figur unik di tengah-tengah para
pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan
memilahmilah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak
pernah dan tidak boleh dipertukarkan. Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah
seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebeum masuk, ditanya oleh
Khalifah, Ada apa Anda malam-malam ke sini? Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak,
jawab anaknya. Urusan keluarga atau urusan negara? tanya balik Khalifah. Urusan keluarga,
tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya

masuk. Lho, kok lampunya dimatikan, tanya anaknya sambil keheranan. Ini lampu negara,
sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan
fasilitas negara, demikian jawab Khalifah. Sang anakpun mengiyakannya.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran dalam
berprilaku sebagai seorang muslim. Islam mendidik kaum muslimin dengan pendidikan yang
menakjubkan, ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabawi yang mulia ini telah menunaikan
tugasnya dalam mendidik kaum muslimin. Sehingga membuahkan hasil yang sangat luar biasa,
membentuk masyarakat yang bersifat amanah, menghindari sesuatu yang meragukan kehalalannya,
merasa benci dan jijik terhadapat tindak korupsi dalam bentuk apapun.
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. 2013. Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam:
Perspektif Studi Hadis. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
E, Ridho Bachtiar. 2012. Korupsi dalam Perspektif Sejarah: Kultur Perkembangannya dan Solusi
Penyelesaiannya. Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga.
Adinegoro, Nugroho. Korupsi dalam Perspektif Islam.
Cholis Akbar. 2013. Suap dan Korupsi Merajalela, Jangan Malu Solusi Islam (2). Hidayatullah.com
Wahid, Marzuki. 2004. Korupsi, Pandangan dan Sikap Islam. Cirebon. Dewan Kebijakan FahminaInstitute.

Anda mungkin juga menyukai