Anda di halaman 1dari 8

1.

Latar Belakang Masalah


Pada kehidupan sehari-hari masyarakat mengenal adanya wakaf, secara
yuridis diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf (selanjutnya disingkat UU Wakaf). Diundangkannya UU Wakaf
dengan pertimbangan bahwa lembaga wakaf sebagai dasar aturan tentang
keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara
baik untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, bahwa
wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan
dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.
Wakaf menurut pasal 1 angka 1 UU Wakaf adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Wakaf untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum, yang
berarti bahwa pewakaf mewakafkan harta bendanya dalam kasus ini berupa
sebidang tanah guna kepentingan ibadah, tidak ada kepentingan lainnya yang
bersifat duniawi.
Wakaf agar sah dan mempunyai kepastian hukum darus dibutikan dengan
ikrar wakaf menurut pasal 3 UU Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang
diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta
benda miliknya. Ikrar wakaf dibuat oleh wakif menurut pasal 1 angka 2 UU
Wakaf adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya dengan Nazhir

menurut pasal 1 angka 4 UU Wakaf adalah pihak yang menerima harta benda
wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Ikrar wakaf dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya
disingkat PPAIW, menurut pasal 1 agka 6 UU Wakaf adalah pejabat berwenang
yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
Wakaf guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum, sehingga
terdapat suatu larangan yang harus dipatuhi oleh Nazhiung. Larangan tersebut
menurut pasal 40 UU Wakaf sebagai berikut:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Syarat wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad
wakaf adalah seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan
membuat perbuatan hukum, dan pemilik utuh dan sah dari harta benda yang
diwakafkan. Akad wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua
orang saksi dan pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan
dengan ikrar dari wakif untuk menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah
untuk diurus oleh nadzir (orang yang mengurus harta wakaf) demi kepentingan
ibadah dan kesejahteraan masyarakat. Harta yang akan diwakafkan tidak boleh

berpindah kepemilikan dari seorang nadzir kepada pihak ketiga, karena hal
tersebut akan menjadikan akad wakaf tidak sah.
Adapun objek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak
maupun benda tidak bergerak yang dimiliki secara tidak bergerak dapat dalam
bentuk tanah, hak milik atas rumah, atau hak milik atas rumah susun. Sementara
untuk objek wakaf benda bergerak dapat dengan bentuk uang. Istilah dari wakaf
itu sendiri dapat dikatikan dengan infaq, zakat dan sedeqah dari pemberi kepada
penerima.
Salah satu bentuk objek yang dapat diwakafkan oleh seorang wakif adalah
tanah dan atau hak milik suatu bangunan. Tanah yang diwakafkan harus bersifat
hak milik atau tanah milik yang bebas dari pembebanan, ikatan, sitaan atau
sengketa. Perwakafan tanah harus dilakukan dengan kehendak sendiri tanpa ada
unsur paksaan dari pihak-pihak lain yang berada disekitar wakif. Wakaf yang
telah diberikan oleh wakif kepada nadzir harus di pelihara dan diurus sesuai dari
tujuan yang telah tertuang dalam akad wakaf yaitu untuk tujuan sosial yang dapat
bermanfaat bagi agama dan masyarakat.
Dibahasnya mengenai wakaf dan larangan pengalihan wakaf, untuk
mengetahui kasus pengalihan wakaf berupa hak atas tanah yang berakibat
disitanya tanah wakaf sebagai berikut:
Faisal Rahmat (wakif), salah satu anggota Persis atau Persatuan Islam
mewakafkan sebuah tanah beserta bangunan di Kampung Loji, Cipanas, Jawa
Barat, diterima oleh Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan
Sejahtera. Bidang tanah beserta bangunannya tersebut ternyata dijual oleh Hilmi

Aminuddin dan pembelinya adalah Luthfi Hasan yang terperiksa dalam kasus
tindak pudana korupsi, sehingga obyek wakaf disita oleh pihak Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk barang bukti.
Faisal Rahmat selaku wakif, terkejut dan merasa keberatan atas disitanya
obyek wakaf dan berencana mengajukan keberatan kepada KPK dan akan
menebus kembali tanah tersebut dan meminta KPK membebaskan tanah tersebut
dari daftar sita. Bahkan mereka berniat mempraperadilkan Komisi Pemberantasan
Korupsi atas penyitaan tanah wakaf yang diklaim milik tersangka kasus dugaan
suap kuota impor daging sapi Luthfi Hasan Ishaaq. Faisdal Rahmat mengutip
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 40 yang melarang
penjualan dan penyitaan harta wakaf. Penjual harta wakaf terancam pidana
kurungan 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
Wakaf berupa hak atas tanah jika diperjual belikan harus memenuhi syarat
materiil salah satu di antaranya adalah penjual mempunyai hak untuk menjual
bidang tanah tersebut. Penjual dalam hal ini penerima wakaf (nazhir) sebagai
pihak yang mengelola tanah wakaf untuk kepentingan sosial keagamaan, namun
kenyataannya menjual bidang tanah wakaf tersebut.

2. Rumusan Masalah
Pembahasan pada uraian tersebut di atas dalam kasus jual beli tanah wakaf,
maka yang dipermasalahkan adalah: Apakah langkah Faisal Rahmat selaku wakif
yang akan menebus kembali bidang tanah wakaf dan bangunannya telah tepat
ditinjau dari UU Wakaf ?

3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan akademis, untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
b. Tujuan praktis, untuk menganalisis permasalahan Apakah langkah Faisal
Rahmat selaku wakif yang mengambil langkah akan menebus kembali
bidang tanah wakaf dan bangunannya telah tepat ditinjau dari UU Wakaf.

4. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan untuk membahas permasalahan ini adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan atas peraturan perundangundangan yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
b. Pendekatan Masalah
Masalah didekati secara statute approach dan conseptual approach.1
Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta
membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi
pembahasan. Sedang pendekatan secara conseptual approach yaitu suatu
pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan
pendukung pembahasan skripsi.
c. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan skripsi ini terdiri dari:

1 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2010, h. 93.

- Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal
ini peraturan perundang-undangan, dalam hal ini KUH Perdata, Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan lain seperti
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
Milik.
-

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahaminya
yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana.

d. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum


Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi
kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait
dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang
terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk
lebih mudah membaca dan mempelajarinya.
e. Analisis Bahan Hukum
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang
bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat
umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang
kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga
diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan
selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dengan menghubungkan pasalPasal yang satu dengan pasal-Pasal lainnya atau peraturan perundangundangan satu dengan lainnya yang ada dalam undang-undang itu sendiri

maupun dengan pasal-Pasal dari undang-undang lain

untuk memperoleh

pengertian lebih mantap. Serta penafsiran otentik adalah penafsiran yang pasti
terhadap arti kata yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan itu
sendiri.

5. Pertanggungjawaban Sistematika
Skripsi ini disusun terdiri dari 4 (empat) bab, dan masing-masing bab
terdiri atas sub-sub bab sebagai berikut:
Pertama-tama Bab I, Pendahuluan, yang mengawali seluruh rangkaian
uraian dan pembahasan, sehingga telah tepat jika diletakkan pada awal
pembahasan. Sub bab pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, berisikan
latar belakang dipilihnya masalah, dilanjutkan dengan rumusan masalah berisikan
permasalahan yang diungkap oleh latar belakang, alasan pemilihan judul
dimaksudkan untuk memberikan suatu gambaran dipilihnya judul skripsi. Tujuan
penulisan dan kemudian dilanjutkan dengan metode penulisan yang merupakan
langkah-langkah atau metode-metode yang digunakan dalam suatu penulisan
karya ilmiah dan pertanggungjawaban sistematika berisi kerangka skripsi.
Bab II, dengan judul bab Tinjauan Tentang wakaf. Sub babnya terdiri dari
pengertian tentang wakaf, akibat hukum peralihan wakaf dan wakaf tanah
Bab III, dengan judul bab Kasus Peralihan wakaf tanah beserta bangunan
di Kampung Loji, Cipanas, Jawa Barat. Sub babnya terdiri dari kronologi kasus
dan pembahasan

Akhirnya Bab IV, Penutup. Bab ini merupakan akhir dari seluruh
rangkaian dari pembahasan. Sub babnya terdiri dari simpulan yang berisi hasil
pembahasan atau jawaban atas masalah serta saran sebagai bahan masukan atau
sesuatu yang diharapkan di dalam penanggulangan permasalahan-permasalahan
serupa.

Anda mungkin juga menyukai