2014-061-123
2014-061-126
Irena Santosa
2014-061-135
2014-061-136
Takul Usman
H2A012029
Karina Silvia R.
H2A012035
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya,
referat dengan judul Aspek Medikolegal dalam Penulisan Resep dapat terselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program Profesi
Dokter di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin berterima kasih kepada dr. Intarniati Nur
Rohmah, Sp.KF, Msi. Med sebagai konsulen pembimbing dan dr. Elisa Rompas, M.Kes
sebagai residen pembimbing referat ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis berharap adanya saran yang membangun demi perbaikan di masa yang
akan datang.
Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua. Mohon maaf apabila
Penyusun
DAFTAR ISI
Cover...................................................................................................................................1
Kata Pengantar.....................................................................................................................2
Daftar Isi..............................................................................................................................3
Bab I: Pendahuluan...........................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..............................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
1.3. Tujuan Umum...............................................................................................................5
1.4. Tujuan Khusus..............................................................................................................5
1.5. Manfaat.........................................................................................................................5
Bab II: Tinjauan Pustaka.................................................................................................6
2.1. Obat dan Resep.............................................................................................................6
2.1.1. Definisi Obat dan Resep.....................................................................................6
2.1.2. Kategori Obat.....................................................................................................7
2.1.3. Peresepan............................................................................................................8
2.2. KODEKI.......................................................................................................................11
A. Tenaga Kesehatan.....................................................................................................11
B. Bidan........................................................................................................................12
a. Wewenang Bidan.................................................................................................13
C. Peraturan Pidana......................................................................................................22
2.3. Tugas dan Wewenang Bidan dan Perawat....................................................................23
2.3.1. Tugas dan Wewenang Perawat...........................................................................23
2.3.2. Hak dan Kewajiban Perawat...............................................................................26
2.4. Tugas dan Wewenang Apoteker....................................................................................28
2.4.1. Hak dan Kewajiban Apoteker.............................................................................28
2.4.2. Wewenang Apoteker...........................................................................................29
2.4.3. Tanggung Jawab Apoteker..................................................................................30
2.5. Tugas dan Wewenang Dokter.......................................................................................31
Bab III: Penutup................................................................................................................36
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................36
3.2. Saran.............................................................................................................................38
Daftar Pustaka...................................................................................................................39
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Peresepan obat biasanya merupakan langkah terakhir dalam konsultasi pasien dan dokter. Obat yang
diresepkan oleh dokter harus memenuhi kriteria peresepan obat. Menurut WHO resep adalah instruksi
yang diberikan dari prescriber ke dispenser. Prescriber tidak selalu dokter,tapi dapat juga
tenaga medis lain seperti asisten medis, bidan, atau perawat. Sedangkan dispenser tidak selalu
apoteker, tapi dapat juga teknisi farmasi,asisten farmasi, atau perawat. Setiap negara memiliki
standard masing-masing mengenai resep, dan memiliki hukum masing-masing mengenai
penulisan redeep dan pihak-pihak yang berwenang menulis resep. Tidak ada aturan baku
yang sama di seluruh dunia tentang penulisan resep obat karena setiap negara mempunyai
peraturan sendiri-sendiri (de Vries, et al., 1994). Menurut Permenkes Nomor 35 Tahun 2014
Pasal 1 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, resep adalah permintaan tertulis
dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep
harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk menghindari adanya salah persepsi diantara
keduanya dalam mengartikan sebuah resep
Di Indonesia Permenkes No. 26/Menkes/Per/I/I/ 1984 menyebutkan resep harus
ditulis dengan jelas dan lengkap. Selanjutnya dalam Kepmenkes No. 280/Menkes/SK/V/1984
menyebutkan bahwa pada resep harus dicantumkan :(1) Nama dan alamat penulis resep, serta
nomor izin praktek (2) Tanggal penulisan resep. (3) Tanda R/ pada bagian kiri setiap
penulisan resep. (4) Dibelakang lambang R/ harus ditulis nama setiap obat atau komposisi
obat.(5) Tanda tangan atau paraf penulis resep (6) Jenis hewan, nama serta alamat pemiliknya
untuk resep dokter hewan Beberapa tahun belakangan ini perhatian mengenai medication
error makin meningkat seiring dengan meningkatnya sikap kritis dari pasien (Catalango Angus and Cohen, 1993). Hasil penelitian Departemen Kesehatan New York menyatakan
angka kematian yang disebabkan oleh medication error dapat mencapai 1000 orang pertahun.
Pemberian obat yang tidak tepat, dosis yang salah, kemiripan tulisan atau bunyi dari nama
obat, kesalahan rute pemakaian dan kesalahan penghitungan dosis merupakan contoh
kejadian medication error yang sering kali terjadi (Cohen, 1999). Cohen menyebutkan salah
satu penyebab terjadinya medication error adalah adanya kegagalan komunikasi/salah
interpretasi antara prescriber dengan dispenser dalam "mengartikan resep" yang disebabkan
4
oleh : tulisan tangan prescriber yang tidak jelas terutama bila ada nama obat yang hampir
sama serta keduanya mempunyai rute pemberian obat yang sama pula, penulisan angka
desimal dalam resep, penggunaan singkatan yang tidak baku serta penulisan aturan pakai
yang tidak lengkap.
1.2.
Rumusan Masalah
Siapa saja pihak yang berwenang untuk menulis resep ?
1.3.
Tujuan Umum
Mengetahui pihak mana saja yang berwenang untuk menulis resep.
1.4.
Tujuan Khusus
1.
Mengetahui definisi obat dan resep, kategori obat, dan peresepan
2.
Mengetahui KODEKI terutama mengenai resep
3.
Mengetahui tugas dan wewenang bidan dan perawat
4.
Mengetahui tugas dan wewenang apoteker
5.
Mengetahu tugas dan wewenang dokter
1.5.
Manfaat
1. Menambah wawasan bagi masyarakat mengenai siapa saja pihak yang diperbolehkan
untuk menuliskan resep
2. Menambah wawasan bagi tim medis untuk mengetahui siapa saja pihak yang
diperbolehkan untuk menuliskan resep.
3. BAB II
4. TINJAUAN PUSTAKA
5.
5.1 Obat dan Resep
6. 2.1.1. Definisi Obat dan Resep
7.
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Sedangkan obat menurut Undang-Undang
Kesehatan No.23 tahun 1992 adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Obat dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
obat jadi dan obat palsu. Obat jadi adalah obat yang sudah dalam bentuk siap pakai,
dibedakan menjadi nama generik dan nama dagang. Obat generik adalah obat jadi
terdaftar yang menggunakan nama generik yaitu nama obat internasional atau nama
lazim yang sering dipakai. Obat nama dagang adalah obat jadi dengan nama dagang
yang terdaftar atas nama pembuat atau yang dikuasakannya, dan dijual dalam bungkus
5
asli pabrik yang memproduksinya. Sedangkan obat palsu adalah obat jadi yang
diproduksi oleh pabrik obat yang tidak terdaftar, obat yang tidak terdaftar atau obat
jadi yang kadarnya menyimpang 20% atau lebih dari persyaratan yang ditentukan.
Penulisan obat generik menunjukkan pada:
1)
2)
3)
4)
pasal 1 adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker pengelola apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kemenkes Republik
Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah tempat tertentu, tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sedangkan apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan
perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
10.
sebagai apoteker.
2.1.2 Kategori Obat
11.
Penggolongan atau pengkategorian obat dimaksudkan untuk
meningkatkan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya.
Penggolongan obat menurut Permenkes No. 917/1993 adalah :
1. Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Pada kemasan dan etiket obat bebas, tanda khusus berupa lingkaran hijau
(TC 396) dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat dalam golongan ini
adalah Parasetamol.
2. Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras masih dapat
dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, namun penggunaannya harus
memperhatikan informasi yang menyertai obat dalam kemasan. Pada kemasan dan
etiket obat bebas terbatas terdapat tanda khusus berupa lingkaran biru (TC 308)
dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat pada kategori ini adalah
Chlorfeniramin maleat (CTM)
3. a. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep Dokter.
Obat keras mempunyai tanda khusus berupa lingkaran bulat merah (TC 165)
dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi.
12.
4. Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan
mengurangi
sampai
menghilangkan
rasa
nyeri
dan
menimbulkan
ketergantungan. Obat ini hanya diperoleh dengan resep dari dokter. Contoh pada
obat golongan ini adalah Morfin dan Petidin.
14.
berbentuk empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam ukuran panjang 5
(lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter yang terdiri dari 6 macam, yaitu P No. 1 s/d 6,
sebagai berikut:
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Nomor:
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung
jawabkan untuk pengobatan sendiri.
23.
24.
1. Daftar Obat yang dapat diserahkan tanpa resep ditetapkan oleh Menteri.
2. Penilaian terhadap obat yang dapat digolongkan menjadi obat yang dapat diserahkan tanpa
resep dilakukan secara terus menerus dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
25.
26.
maupun dokter hewan dituliskan pada selembar kertas, tentu saja ukuran dan besar
kertas resep tersebut memiliki ketentuan. Kertas resep, seperti halnya dengan papan
pengenal praktek (papan nama) yang dibenarkan oleh Kode Etik Kedokteran ialah:
Ukuran maksimum 1/4 folio (10,5 cm x 16,5 cm) Mencantumkan nama gelar yang
sah, jenis pelayanan sesuai SIP, No. SID / SP, alamat praktek, nomor telepon dan
waktu praktek. Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal dapat
ditambah alamat rumah dan nomor teleponnya. Dan jenis-jenis resep sebagai berikut:
a. Resep standar (R/ Officinalis) yaitu resep yang komposisinya telah dibakukan dan
dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Penulisan resep
sesuai dengan buku standar
b. Resep magistrales (R/ Polifarmasi) yaitu resep yang sudah dimodifikasi atau
diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam
pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
c. Resep medicinal yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek dagang
maupun generik, dalam pelayanannya tidak mengalami peracikan. Sebagai buku
referensi berupa: Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO), Indonesia
Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia (DOI), dan lain-lain.
d. Resep obat generik yaitu penulisan resep obat dengan nama generik dalam bentuk
sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya dapat atau tidak mengalami
peracikan.
27.
28.
dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan
peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis. Pihak yang memiliki hak untuk
menuliskan resep adalah dokter umum, dokter gigi terbatas pada pengobatan gigi dan
8
mulut, dokter hewan terbatas pada pengobatan pada hewan atau pasien pemilik
hewan. Pihak apoteker berkewajiban melayani secara cermat, memberikan informasi
terutama yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi
kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih rasional, artinya
tepat, aman, efektif, dan ekonomis. Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical
care, secara komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang
farmakologi dan teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada pasien khususnya
masyarakat pada umumnya.
29.
Menurut KODEKI Indonesia, seorang dokter hendaknya tidak
membuka praktek di beberapa tempat dengan meninggalkan resep kosong yang telah
ditanda tangani, sehingga perawat/orang lain dapat menggantikan dokter menulis
resep sekehendak mereka yang dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, dalam pasal 43 ayat 3 dikatakan bahwa Rumah Sakit, apotek, pusat
kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter. Hal tersebut jelas menegaskan resep yang
dimaksud adalah resep yang ditulis oleh seorang dokter.
30.
Beberapa ketentuan tentang menulis resep diantaranya sebagai berikut:
1. Secara hukum dokter yang menandatangani suatu resep bertanggungjawab
sepenuhnya tentang resep yang ditulisnya untuk penderita.
2. Resep ditulis sedemikian rupa sehingga dapat dibaca oleh apoteker tanpa
keraguan.
3. Resep ditulis dengan tinta sehingga tidak mudah terhapus.
4. Tanggal resep dituliskan harus tertera dengan jelas.
5. Umur penderita harus dicantumkan dengan jelas, terutama pada anak. Ini penting
bagi apoteker untuk mengkalkulasi apakah dosis obat yang ditulis pada resep
sudah cocok dengan umur si anak.
6. Di bawah nama penderita hendaknya dicantumkan alamatnya. Hal ini penting
dalam keadaan darurat (misalnya salah obat) sehingga penderita dapat langsung
dihubungi.
Alamat
penderita
pada
resep
juga
akan
mengurangi
misalnya jika obat diberikan setengah gram maka ditulis 500 mg (bukan 0,5
gram).
8. Untuk obat yang dinyatakan dengan satuan Unit jangan disingkat menjadi U.
9. Untuk obat atau jumlah obat berupa cairan, dinyatakan dengan satuan ml, hindari
menulis satuan cc atau cm3.
31.
32.
Komponen pada sebuah resep dan penulisan resep yang lengkap mengandung
Inscriptio
a. Identitas dokter: Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter. Dapat
dilengkapi dengan nomor telepon, jam praktek serta hari praktek.
b. Nama kota dan tangga penulisan resep
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep. Tanda ini adalah singkatan
II.
III.
pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai aturan, obat berupa puyer.
Signatura
a. Aturan pemakaian obat (frekuensi, jumlah obat dan saat obat diminum,
informasi lain), umumnya ditulis dengan singkatan dalam bahasa Latin.
Aturan pakai ditandai dengan signa yang disingkat dengan S.
b. Identitas pasien di belakang kata Pro: Nama pasien, umur, alamat lengkap.
Bila penderita seorang anak harus ditulis umurnya. Bila resep untuk orang
dewasa dicantumkan Tuan / Nyonya / Bapak / Ibu diikuti nama penderita
IV.
dan umurnya.
Subscriptio
10
a. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep untuk menjadikan suatu resep
otentik. Resep obat dari golongan narkotika harus dibubuhi tandatangan
dokter, tidak cukup dengan paraf saja.
33.
34.
boleh ada tanda iter (iterasi), m.i (mihi ipsi), dan u.c (usus cognitus). Mihi ipsi
memiliki arti untuk pemakaian sendiri. Resep tidak boleh diulang, harus dengan resep
asli, resep baru. Sedangkan resep yang perlu penanganan segera meliputi: cito
(segera), statim (penting), urgent (sangat penting), PIM (periculum in mora =
berbahaya bila ditunda), urutan yang didahulukan: PIM, urgent, statim, dan cito.
Penulisan tanda segera diatas digarisbawahi dan diberi tanda seru, kemudian diparaf
atau ditandatangani di belakang cito, contoh: CITO!paraf. Dan resep yang dapat atau
tidak dapat diulang meliputi iter (dapat diulang), NI (ne iteratur) yang berarti tidak
boleh diulang, dan resep mengandung narkotika tidak boleh diulang.
35.
.
36. 2.2. KODEKI
A. TENAGA KESEHATAN
37.
1996 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 1 ayat (1) menerangkan mengenai definisi tenaga
kesehatan.
38.
(1) Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
39.
bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Hal ini sesuai
dengan pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 1996 Tentang
Tenaga Kesehatan.
41.
42.
B. BIDAN
Berdasarkan Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X/2010 pasal 1 ayat 1
definisi seorang bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang
telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Sedangkan
berdasarkan Permenkes Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 pasal 1 ayat (1) yang
dimaksud dengan praktik bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga, dan masyarakat) sesuai dengan
kewenangan dan kemampuannya.
43.
a. Wewenang Bidan
44.
pelayanan kebidanan
pelayanan keluarga berencana
pelayanan kesehatan masyarakat
47.
Pasal 15
12
b. Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan,
masa persalinan, masa nifas, menyusui, dan masa antara (periode interval).
c. Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa bayi,
masa anak balita dan masa pra sekolah.
49.
48.
Pasal 16
Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi:
52.
Pasal 17
Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut,
bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak
sesuai dengan kemampuannya.
55.
54.
Pasal 18
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 16
berwenang untuk :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Memberikan imunisasi
Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinan, dan nifas
Mengeluarkan placenta secara manual
Bimbingan senam hamil
Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
Episiotomy
13
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
VI terlampir
t. Pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian.
57.
56.
Pasal 19
Bidan dalam memberikan pelayanan keluarga berencana sebagaimana
58.
Pasal 20
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan, masyarakat sebagaimana
Pasal 21
kebidanan, disini akan dibahas mengenai ketentuan umum mengenai bidan, perizinan
dalam menjalankan praktik kebidanan, serta penyelenggaraan praktik kebidanan.
14
62.
BAB I
KETENTUAN UMUM
63.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
(1) Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undanganan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif,
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3) Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat
kompetensi.
(4) Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.
(5) Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik
bidan mandiri.
(6) Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar
operasional prosedur.
(7) Praktik mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.
(8) Organisasi profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
64.
65.
BAB II
PERIZINAN
Pasal 2
(1) Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(2) Bidan yang menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III
(D III) Kebidanan.
66.
Pasal 3
(1) Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
(2) Setiap bidan yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
(3) SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1
(satu) tempat.
67.
Pasal 4
15
(1) Untuk memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bidan harus
mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
melampirkan:
a. fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi;
b. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau
tempat praktik;
d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
e. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang
ditunjuk; dan
f. rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Kewajiban memiliki STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), Majelis
Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan,
maka Surat Izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR.
(4) Contoh surat permohonan memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Formulir I terlampir.
(5) Contoh SIKB sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir.
(6) Contoh SIPB sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir.
68.
Pasal 5
69.
Pasal 6
Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan/atau kerja paling banyak di 1
75.
yang meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. pelayanan kesehatan anak; dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
76.
Pasal 10
(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada
masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa
antara dua kehamilan.
(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
(3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang
untuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
episiotomi;
penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;
pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
penyuluhan dan konseling;
bimbingan pada kelompok ibu hamil;
pemberian surat keterangan kematian; dan
pemberian surat keterangan cuti bersalin.
77.
Pasal 11
17
(1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan
pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
(2) Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berwenang untuk:
a. melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan
hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
79.
penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta
pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
81.
Pasal 14
(1) Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
(2) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(3) Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter,
kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
82.
Pasal 15
c. merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan
tepat waktu;
d. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
e. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan;
f. melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis;
g. mematuhi standar; dan
h. melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan
termasuk pelaporan kelahiran dan kematian.
(2) Bidan dalam menjalankan praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
(3) Bidan dalam menjalankan praktik kebidanan harus membantu program pemerintah
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
87.
86.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan mempunyai hak:
Kesehatan Bab XX didalamnya terdapat peraturan mengenai pidana yang akan diterima
seseorang yang melakukan pelanggaran dalam bidang kesehatan.
92.
BAB XX
93.
KETENTUAN PIDANA
94.
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
20
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).
95.
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
96.
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
97.
Pasal 197
98.
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan dendapaling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
99.
Pasal 198
100.
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana
denda palingbanyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
101.
102.
103.
2.3. Tugas dan Wewenang Bidan dan Perawat
104.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun
2014 tentang Keperawatan. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun
sehat. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan,
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
105.
106.
2.3.1. Tugas dan Wewenang Perawat
107.
Adapun tugas dan wewenang perawat dalam undang-undang
republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pada pasal 29 adalah :
1
Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama
ataupun sendiri-sendiri.
21
Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
secara bertanggung jawab dan akuntabel.
108.
109.
2 Keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah
tempat Perawat bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan setempat.
3 Pelaksanaan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi
Perawat.
4 Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perawat berwenang:
a
melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga
b
c
medis;
merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan
melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga
kefarmasian.
110.
111.
22
112.
c
d
e
f
g
h
i
j
l
m
114.
115.
pimpinan; dan
menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
116.
117.
118.
perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undangundang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu
perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi,
perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian, memberikan
tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian
119.
Adapun hak perawat dalam undang-undang republik indonesia
nomor 38 tahun 2014 pada pasal 36 adalah :
1 Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
2 Memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau
keluarganya.
3 Menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
4 Menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik,
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan
Peraturan Perundang-undangan; dan
5 Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
120.
121.
Adapun kewajiban perawat dalam undang-undang republik
indonesia nomor 38 tahun 2014 pada pasal 37 adalah :
24
diterimanya; dan
5 Memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya.
126.
127.
Adapun hak dan kewajiban klien dalam undang-undang
republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pasal 40 tentang keperawatan adalah :
128. Dalam Praktik Keperawatan, Klien berkewajiban:
a memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b mematuhi nasihat dan petunjuk Perawat;
c mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
129.
130.
131.
132.
25
133.
134.
Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15
140.
Apoteker. Dalam kode itu diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap
masyarakat, teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok
kode etik itu adalah, sebagai berikut:
141.
a. Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di dalam
lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam rangka pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan Nasional
khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.
b. Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawatnya:
1. Seorang Apoteker harus selalu menganggap sejawatnya sebagai saudara kandung
yang selalu saling mengingatkan dan saling menasehatkan untuk mematuhi ketentuanketentuan kode etik.
2. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat merugikan
teman sejawatnya, baik moril maupun materiil.
3. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
kerja sama yang baik dalam memelihara, keluhuran martabat jabatan, kefarmasian,
mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
c. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:
1. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat yang
berkecimpung di bidang kesehatan.
2. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakannya atau perbuatan
yang dapat mengakibatkan berkurang / hilangnya kepercayaan masyarakat kepada
sejawat petugas kesehatan.
142.
143.
144.
145.
pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter,
dokter gigi, dan dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
27
1. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor
izin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta
nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompabilitas, cara dan lama pemberian obat
3. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan
pasien (medication record)
4. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan
146.
2.4.3. Tanggung Jawab Apoteker
147.
resep dan yang berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa
dipakai di rumah. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada
pasien/penderita,
bagaimana
obat
yang
diinginkan
pasien
tersebut
dapat
menyembuhkan penyakitnya serta tidak ada tidaknya efek samping yang merugikan.
148.
Tanggung jawab tugas apoteker di apotek dalam Kode Etik
Apoteker Indonesia tahun 2009:
1. Tanggung jawab atas obat dengan resep
149.
Apoterker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker
mengetahui:
a. Bagaimana obat tersebut digunakan
b. Reaksi samping obat yang mungkin ada
c. Stabilitas obat dalam bermacam-macam kondisi
d. Cara dan rute pemakaian obat
150.
2. Tanggung jawab apoteker untuk memberi informasi pada masyarakat dalam memakai
obat bebas terbatas (OTC)
151. Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus
self medication atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker
menentukan apakah self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu
konsultasi ke dokter atau tidak. Pengobatan dengan non-resep akan semakin
bertambah.
152.
masuk, keluarnya harus obat artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter
ke apotek, diusahakan agar pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan
sampai hanya menanyakan harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa
sampai demikian, haruslah dicatat alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang
28
mampu, kurang uangnya atau karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya,
apakah pelayanan kurang ramah, kurang luwes, dan sebagainya.
153. Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan
langganan baru, membina langganan lama, meningkatkan pelayanan dengan
pembinaan karyawan, turut membantu mencairkan piutang-piutang lama, mencari
sumber pembelian yang lebih murah dengan jangka waktu kredit yang lebih lama, dan
sebagainya.
154.
sejumlah lembaga advokasi konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK, yaitu dengan
adanya pengakuan pemerintah terhadap lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang mempunyai kegiatan yang meliputi, penyebaran informasi dalam
rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen
dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan nasehat kepada konsumen yang
memerlukannya, bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
155.
2.5. Tugas dan Wewenang Dokter
156.
menempati posisi teratas didalam hal kesehatan, baik pada tahap pemeriksaan,
diagnosa, pengobatan suatu penyakit sampai ketahap pemulihan, serta pemeliharaan
kesehatan. Seorang dokter memiliki fungsi sosial untuk melayani masyarakat umum
atau pasien yang datang kepadanya dengan keahlian yang dimilikinya. Hal tersebut
berkaitan agar terpenuhinya kepentingan dari masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu.
157. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktek Kedokteran Pasal 50, hak dokter:
a) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan
b) standar prosedur operasional;
c) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
d) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
e) menerima imbalan jasa.
158. Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standar profesi ialah
batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus
29
dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dan yang dimaksud
dengan standar prosedur operasional ialah suatu perangkat instruksi atau langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
159. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran:
a) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
c) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
d) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
160.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 52, pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak:
a) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
b)
c)
d)
e)
a)
b)
c)
d)
mempunyai kewajiban:
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
162.
163.
Pelayanan medis yang diberikan oleh Dokter sesuai dengan
kewajibannya, meliputi perawatan pasien dengan cara keilmuan yang ia miliki secara
adekuat, yang terdiri dari konseling, pemeriksaan fisik, pengobatan, pemberian obat,
tindakan medis dan pemberian informasi sesuai dengan hak pasien. Pengobatan yang
diberikan dokter dapat berupa tindakan medis, atau pemberian obat. Pemberian obat
didahului dengan penulisan resep dan pemilihan obat-obatan yang boleh diberikan
30
maka dari itu, diperlukan pengaturan tentang pemberian dan penggunaan sediaan
farmasi yang boleh diresepkan oleh Dokter yang dapat ditemukan di Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 102, yang menyebutkan
bahwa:
1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat
dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
164.
adalah Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
seperti alfentanil, benzetidin, hidromorfinol, fentanil, metadona, dan lain-lain.
165.
Praktik kefarmasian diatur oleh undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran Pasal 108, yang berbunyi:
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
166.
167.
DansesuaidenganUndangUndangNomor29Tahun2004tentangPraktek
Kedokteran,Pasal198,setiaporangyangtidakmemilikikeahliandankewenanganuntuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksuddalamPasal 108dipidana dengan
pidanadendapalingbanyakRp100.000.000,00(seratusjutarupiah).
168.
169.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis);
tenaga psikologi klinis;
tenaga keperawatan (perawat);
tenaga kebidanan (bidan);
tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknis kefarmasian);
tenaga kesehatan masyarakat;
tenaga kesehatan lingkungan;
tenaga gizi;
tenaga keterapian fisik;
31
j.
k.
l.
m.
yang telah disebutkan diatas akan diberikan sanksi, baik administratif maupun pidana,
seperti yang disebutkan pada Pasal 82:
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52
ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1),
Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70
ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26
ayat (2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi
administratif.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Tenaga
Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
172.
173.
174.
175.
176.
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 84 ayat 1 dan 2, setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian
berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
32
177.
BAB III
178. PENUTUP
179.
3.1.
180.
Kesimpulan
Resep menurut Permenkes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 pasal 1
adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
pengelola apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU RI No 36 Tahun 2009 Bab XX tentang
Kesehatan Pasal 196 mengatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Kemudian Pasal 197 berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan dendapaling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah). Pasal 198 berbunyi: Setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
181.
dan wewenang perawat dan bida, apoteker, dan dokter. Perawat bertugas sebagai pemberi
asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan
keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang;
dan/atau, pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. Bidan dalam
menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi
pelayanan kebidanan, pelayanan keluarga berencana, pelayanan kesehatan masyarakat.
Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur
dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, memperlakukan atau
33
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu
barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku, memberikan kesempatan kepada konsumen
untuk menguji dan mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan
atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan, memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan untuk tugas dan wewenang
dokter, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran:
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain
yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
182.
obatan yang boleh diberikan maka dari itu, diperlukan pengaturan tentang pemberian dan
penggunaan sediaan farmasi yang boleh diresepkan oleh dokter yang dapat ditemukan di
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 102, yang
menyebutkan bahwa, penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan
dilarang untuk disalahgunakan, ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Praktik
34
183.
3.2.
184.
Saran
Dalam pelaksanaan praktek kesehatan, diperlukan penambahan wawasan lebih
bagi para tenaga kesehatan mengenai tugas dan wewenang masing-masing tenaga
kesehatan agar tidak terjadi overloop dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Selain
itu perlunya pengawasan lebih ketat dari pihak berwajib apabila diketahui ada hal-hal yang
tidak sesuai dalam pelaksanaannya.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
35
2. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan
Bebas Terbatas. 2007.
3. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Bina Penggunaan Obat
Rasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.
4. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 919/MENKES.PER/X/1993
Tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahlan Tanpa Resep.
5. Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Kepmenkes
RI
No.
Kesehatan
Republik
900/MENKES/SK/VII/2002.
36
Indonesia.
Permenkes
Nomor