Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

ASPEK MEDIKOLEGAL DALAM PENULISAN RESEP

Verifikator : dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF, Msi. Med


Pembimbing :
dr. Elisa Rompas, M.Kes
dr. Julia Ike Haryanto
Anggota :
Thomas Aquino Kinantyo Tungga Winastu

2014-061-123

Sylvia Wang Ai Jia

2014-061-126

Irena Santosa

2014-061-135

Marsha Desica Arsanta

2014-061-136

Takul Usman

H2A012029

Karina Silvia R.

H2A012035

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya,
referat dengan judul Aspek Medikolegal dalam Penulisan Resep dapat terselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program Profesi
Dokter di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin berterima kasih kepada dr. Intarniati Nur
Rohmah, Sp.KF, Msi. Med sebagai konsulen pembimbing dan dr. Elisa Rompas, M.Kes
sebagai residen pembimbing referat ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis berharap adanya saran yang membangun demi perbaikan di masa yang
akan datang.

Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua. Mohon maaf apabila

terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.


Semarang, 24 September 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
Cover...................................................................................................................................1
Kata Pengantar.....................................................................................................................2
Daftar Isi..............................................................................................................................3
Bab I: Pendahuluan...........................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..............................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
1.3. Tujuan Umum...............................................................................................................5
1.4. Tujuan Khusus..............................................................................................................5
1.5. Manfaat.........................................................................................................................5
Bab II: Tinjauan Pustaka.................................................................................................6
2.1. Obat dan Resep.............................................................................................................6
2.1.1. Definisi Obat dan Resep.....................................................................................6
2.1.2. Kategori Obat.....................................................................................................7
2.1.3. Peresepan............................................................................................................8
2.2. KODEKI.......................................................................................................................11
A. Tenaga Kesehatan.....................................................................................................11
B. Bidan........................................................................................................................12
a. Wewenang Bidan.................................................................................................13
C. Peraturan Pidana......................................................................................................22
2.3. Tugas dan Wewenang Bidan dan Perawat....................................................................23
2.3.1. Tugas dan Wewenang Perawat...........................................................................23
2.3.2. Hak dan Kewajiban Perawat...............................................................................26
2.4. Tugas dan Wewenang Apoteker....................................................................................28
2.4.1. Hak dan Kewajiban Apoteker.............................................................................28
2.4.2. Wewenang Apoteker...........................................................................................29
2.4.3. Tanggung Jawab Apoteker..................................................................................30
2.5. Tugas dan Wewenang Dokter.......................................................................................31
Bab III: Penutup................................................................................................................36
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................36
3.2. Saran.............................................................................................................................38
Daftar Pustaka...................................................................................................................39
3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Peresepan obat biasanya merupakan langkah terakhir dalam konsultasi pasien dan dokter. Obat yang

diresepkan oleh dokter harus memenuhi kriteria peresepan obat. Menurut WHO resep adalah instruksi
yang diberikan dari prescriber ke dispenser. Prescriber tidak selalu dokter,tapi dapat juga
tenaga medis lain seperti asisten medis, bidan, atau perawat. Sedangkan dispenser tidak selalu
apoteker, tapi dapat juga teknisi farmasi,asisten farmasi, atau perawat. Setiap negara memiliki
standard masing-masing mengenai resep, dan memiliki hukum masing-masing mengenai
penulisan redeep dan pihak-pihak yang berwenang menulis resep. Tidak ada aturan baku
yang sama di seluruh dunia tentang penulisan resep obat karena setiap negara mempunyai
peraturan sendiri-sendiri (de Vries, et al., 1994). Menurut Permenkes Nomor 35 Tahun 2014
Pasal 1 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, resep adalah permintaan tertulis
dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep
harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk menghindari adanya salah persepsi diantara
keduanya dalam mengartikan sebuah resep
Di Indonesia Permenkes No. 26/Menkes/Per/I/I/ 1984 menyebutkan resep harus
ditulis dengan jelas dan lengkap. Selanjutnya dalam Kepmenkes No. 280/Menkes/SK/V/1984
menyebutkan bahwa pada resep harus dicantumkan :(1) Nama dan alamat penulis resep, serta
nomor izin praktek (2) Tanggal penulisan resep. (3) Tanda R/ pada bagian kiri setiap
penulisan resep. (4) Dibelakang lambang R/ harus ditulis nama setiap obat atau komposisi
obat.(5) Tanda tangan atau paraf penulis resep (6) Jenis hewan, nama serta alamat pemiliknya
untuk resep dokter hewan Beberapa tahun belakangan ini perhatian mengenai medication
error makin meningkat seiring dengan meningkatnya sikap kritis dari pasien (Catalango Angus and Cohen, 1993). Hasil penelitian Departemen Kesehatan New York menyatakan
angka kematian yang disebabkan oleh medication error dapat mencapai 1000 orang pertahun.
Pemberian obat yang tidak tepat, dosis yang salah, kemiripan tulisan atau bunyi dari nama
obat, kesalahan rute pemakaian dan kesalahan penghitungan dosis merupakan contoh
kejadian medication error yang sering kali terjadi (Cohen, 1999). Cohen menyebutkan salah
satu penyebab terjadinya medication error adalah adanya kegagalan komunikasi/salah
interpretasi antara prescriber dengan dispenser dalam "mengartikan resep" yang disebabkan
4

oleh : tulisan tangan prescriber yang tidak jelas terutama bila ada nama obat yang hampir
sama serta keduanya mempunyai rute pemberian obat yang sama pula, penulisan angka
desimal dalam resep, penggunaan singkatan yang tidak baku serta penulisan aturan pakai
yang tidak lengkap.
1.2.

Rumusan Masalah
Siapa saja pihak yang berwenang untuk menulis resep ?

1.3.

Tujuan Umum
Mengetahui pihak mana saja yang berwenang untuk menulis resep.

1.4.

Tujuan Khusus
1.
Mengetahui definisi obat dan resep, kategori obat, dan peresepan
2.
Mengetahui KODEKI terutama mengenai resep
3.
Mengetahui tugas dan wewenang bidan dan perawat
4.
Mengetahui tugas dan wewenang apoteker
5.
Mengetahu tugas dan wewenang dokter

1.5.

Manfaat
1. Menambah wawasan bagi masyarakat mengenai siapa saja pihak yang diperbolehkan
untuk menuliskan resep
2. Menambah wawasan bagi tim medis untuk mengetahui siapa saja pihak yang
diperbolehkan untuk menuliskan resep.
3. BAB II
4. TINJAUAN PUSTAKA
5.
5.1 Obat dan Resep
6. 2.1.1. Definisi Obat dan Resep
7.

Kesehatan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 adalah

keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Sedangkan obat menurut Undang-Undang
Kesehatan No.23 tahun 1992 adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Obat dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
obat jadi dan obat palsu. Obat jadi adalah obat yang sudah dalam bentuk siap pakai,
dibedakan menjadi nama generik dan nama dagang. Obat generik adalah obat jadi
terdaftar yang menggunakan nama generik yaitu nama obat internasional atau nama
lazim yang sering dipakai. Obat nama dagang adalah obat jadi dengan nama dagang
yang terdaftar atas nama pembuat atau yang dikuasakannya, dan dijual dalam bungkus
5

asli pabrik yang memproduksinya. Sedangkan obat palsu adalah obat jadi yang
diproduksi oleh pabrik obat yang tidak terdaftar, obat yang tidak terdaftar atau obat
jadi yang kadarnya menyimpang 20% atau lebih dari persyaratan yang ditentukan.
Penulisan obat generik menunjukkan pada:
1)
2)
3)
4)

Nama generik lebih informatif dari pada nama dagang


Memberi kemudahan pemilihan produk
Produk obat generik pada dasarnya lebih murah daripada produk nama dagang
Resep/order dengan nama generik mempermudah substitusi produk yang sesuai
8.
9.

Resep menurut Permenkes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993

pasal 1 adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker pengelola apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kemenkes Republik
Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah tempat tertentu, tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sedangkan apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan
perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
10.

sebagai apoteker.
2.1.2 Kategori Obat
11.
Penggolongan atau pengkategorian obat dimaksudkan untuk
meningkatkan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya.
Penggolongan obat menurut Permenkes No. 917/1993 adalah :

1. Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Pada kemasan dan etiket obat bebas, tanda khusus berupa lingkaran hijau
(TC 396) dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat dalam golongan ini
adalah Parasetamol.
2. Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras masih dapat
dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, namun penggunaannya harus
memperhatikan informasi yang menyertai obat dalam kemasan. Pada kemasan dan
etiket obat bebas terbatas terdapat tanda khusus berupa lingkaran biru (TC 308)
dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat pada kategori ini adalah
Chlorfeniramin maleat (CTM)

3. a. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep Dokter.
Obat keras mempunyai tanda khusus berupa lingkaran bulat merah (TC 165)
dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi.
12.

b. Obat psikotropika adalah obat bukan golongan narkotik yang

berkhasiat mempengaruhi susunan saraf pusat. Obat ini dapat menyebabkan


perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Obat golongan ini hanya boleh
dijual dengan resep dokter dna diberi tanda huruf K dalam lingkaran merah dengan
garis tepi berwarna hitam. Contoh obat pada golongan ini adalah Diazepam dan
Phenobarbital.
13.

4. Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan

kimia yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya


rasa,

mengurangi

sampai

menghilangkan

rasa

nyeri

dan

menimbulkan

ketergantungan. Obat ini hanya diperoleh dengan resep dari dokter. Contoh pada
obat golongan ini adalah Morfin dan Petidin.
14.

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas

berbentuk empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam ukuran panjang 5
(lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter yang terdiri dari 6 macam, yaitu P No. 1 s/d 6,
sebagai berikut:
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

P. No. 1: Awas! Obat Keras, Bacalah aturan memakainya


P. No. 2: Awas! Obat Keras, Hanya untuk kumur, jangan ditelan
P. No. 3: Awas! Obat Keras, Hanya untuk bagian luar dari badan
P. No. 4: Awas! Obat Keras, Hanya untuk dibakar
P. No. 5: Awas! Obat Keras, Tidak boleh ditelan
P. No. 6: Awas! Obat Keras, Obat wasir, jangan ditelan
2.1.3 Peresepan
Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan

Nomor:

919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa


Resep dalam pasal 2 memutuskan bahwa obat yang dapat diserahkan tanpa resep
harus memenuhi kriteria :
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah
usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung
jawabkan untuk pengobatan sendiri.
23.
24.

Sedangkan dalam pasal 3 mengatakan:

1. Daftar Obat yang dapat diserahkan tanpa resep ditetapkan oleh Menteri.
2. Penilaian terhadap obat yang dapat digolongkan menjadi obat yang dapat diserahkan tanpa
resep dilakukan secara terus menerus dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.

25.
26.

Resep yang digunakan oleh seorang dokter, dokter gigi,

maupun dokter hewan dituliskan pada selembar kertas, tentu saja ukuran dan besar
kertas resep tersebut memiliki ketentuan. Kertas resep, seperti halnya dengan papan
pengenal praktek (papan nama) yang dibenarkan oleh Kode Etik Kedokteran ialah:
Ukuran maksimum 1/4 folio (10,5 cm x 16,5 cm) Mencantumkan nama gelar yang
sah, jenis pelayanan sesuai SIP, No. SID / SP, alamat praktek, nomor telepon dan
waktu praktek. Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal dapat
ditambah alamat rumah dan nomor teleponnya. Dan jenis-jenis resep sebagai berikut:
a. Resep standar (R/ Officinalis) yaitu resep yang komposisinya telah dibakukan dan
dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Penulisan resep
sesuai dengan buku standar
b. Resep magistrales (R/ Polifarmasi) yaitu resep yang sudah dimodifikasi atau
diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam
pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
c. Resep medicinal yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek dagang
maupun generik, dalam pelayanannya tidak mengalami peracikan. Sebagai buku
referensi berupa: Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO), Indonesia
Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia (DOI), dan lain-lain.
d. Resep obat generik yaitu penulisan resep obat dengan nama generik dalam bentuk
sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya dapat atau tidak mengalami
peracikan.
27.
28.

Penulisan resep berarti mengaplikasikan pengetahuan dokter

dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan
peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis. Pihak yang memiliki hak untuk
menuliskan resep adalah dokter umum, dokter gigi terbatas pada pengobatan gigi dan
8

mulut, dokter hewan terbatas pada pengobatan pada hewan atau pasien pemilik
hewan. Pihak apoteker berkewajiban melayani secara cermat, memberikan informasi
terutama yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi
kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih rasional, artinya
tepat, aman, efektif, dan ekonomis. Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical
care, secara komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang
farmakologi dan teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada pasien khususnya
masyarakat pada umumnya.
29.
Menurut KODEKI Indonesia, seorang dokter hendaknya tidak
membuka praktek di beberapa tempat dengan meninggalkan resep kosong yang telah
ditanda tangani, sehingga perawat/orang lain dapat menggantikan dokter menulis
resep sekehendak mereka yang dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, dalam pasal 43 ayat 3 dikatakan bahwa Rumah Sakit, apotek, pusat
kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter. Hal tersebut jelas menegaskan resep yang
dimaksud adalah resep yang ditulis oleh seorang dokter.
30.
Beberapa ketentuan tentang menulis resep diantaranya sebagai berikut:
1. Secara hukum dokter yang menandatangani suatu resep bertanggungjawab
sepenuhnya tentang resep yang ditulisnya untuk penderita.
2. Resep ditulis sedemikian rupa sehingga dapat dibaca oleh apoteker tanpa
keraguan.
3. Resep ditulis dengan tinta sehingga tidak mudah terhapus.
4. Tanggal resep dituliskan harus tertera dengan jelas.
5. Umur penderita harus dicantumkan dengan jelas, terutama pada anak. Ini penting
bagi apoteker untuk mengkalkulasi apakah dosis obat yang ditulis pada resep
sudah cocok dengan umur si anak.
6. Di bawah nama penderita hendaknya dicantumkan alamatnya. Hal ini penting
dalam keadaan darurat (misalnya salah obat) sehingga penderita dapat langsung
dihubungi.

Alamat

penderita

pada

resep

juga

akan

mengurangi

kesalahan/tertukarnya pemberian obat bila penderita dengan nama yang kebetulan


sama.
7. Untuk jumlah obat yang diberikan dalam resep, hindarilah menggunakan angka
desimal untuk menghindari kemungkinan kesalahan. Contoh: Untuk obat yang
diberikan dalam jumlah kurang dari satu gram maka ditulis dalam miligram;

misalnya jika obat diberikan setengah gram maka ditulis 500 mg (bukan 0,5
gram).
8. Untuk obat yang dinyatakan dengan satuan Unit jangan disingkat menjadi U.
9. Untuk obat atau jumlah obat berupa cairan, dinyatakan dengan satuan ml, hindari
menulis satuan cc atau cm3.
31.
32.

Komponen pada sebuah resep dan penulisan resep yang lengkap mengandung

informasi sebagai berikut ini:


I.

Inscriptio
a. Identitas dokter: Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter. Dapat
dilengkapi dengan nomor telepon, jam praktek serta hari praktek.
b. Nama kota dan tangga penulisan resep
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep. Tanda ini adalah singkatan

II.

dari recipe yang berarti harap diambil.


Praescriptio
a. Inti resep dokter atau komposisi berisi: Nama setiap jenis / bahan obat, dan
jumlah bahan obat (mg, g, ml, l) dengan angka Arab. Untuk penulisan
jumlah obat dalam satuan biji (tablet, kapsul, botol) dalam angka Romawi.
Jenis atau bahan obat dalam resep terdiri dari:
i. Remedium cardinale: obat pokok yang mutlak harus ada, dapat
berupa bahan tunggal atau beberapa bahan.
ii. Remedium adjuvans: bahan yang membantu kerja obat pokok, tidak
mutlak ada dalam tiap resep.
iii. Corrigens: bahan untuk memperbaiki rasa (corrigens saporis),
warna (corrigens coloris) atau bau obat (corrigens odoris).
iv. Konstituens atau vehikulum: bahan pembawa, seringkali perlu
terutama pada formula magistralis. Misalnya konstituens obat
minum umumnya air.
b. Perintah pembuatan bentuk sediaan obat yang dikehendaki, misalnya f.l.a

III.

pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai aturan, obat berupa puyer.
Signatura
a. Aturan pemakaian obat (frekuensi, jumlah obat dan saat obat diminum,
informasi lain), umumnya ditulis dengan singkatan dalam bahasa Latin.
Aturan pakai ditandai dengan signa yang disingkat dengan S.
b. Identitas pasien di belakang kata Pro: Nama pasien, umur, alamat lengkap.
Bila penderita seorang anak harus ditulis umurnya. Bila resep untuk orang
dewasa dicantumkan Tuan / Nyonya / Bapak / Ibu diikuti nama penderita

IV.

dan umurnya.
Subscriptio
10

a. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep untuk menjadikan suatu resep
otentik. Resep obat dari golongan narkotika harus dibubuhi tandatangan
dokter, tidak cukup dengan paraf saja.
33.
34.

Resep yang mengandung obat golongan narkotika maka tidak

boleh ada tanda iter (iterasi), m.i (mihi ipsi), dan u.c (usus cognitus). Mihi ipsi
memiliki arti untuk pemakaian sendiri. Resep tidak boleh diulang, harus dengan resep
asli, resep baru. Sedangkan resep yang perlu penanganan segera meliputi: cito
(segera), statim (penting), urgent (sangat penting), PIM (periculum in mora =
berbahaya bila ditunda), urutan yang didahulukan: PIM, urgent, statim, dan cito.
Penulisan tanda segera diatas digarisbawahi dan diberi tanda seru, kemudian diparaf
atau ditandatangani di belakang cito, contoh: CITO!paraf. Dan resep yang dapat atau
tidak dapat diulang meliputi iter (dapat diulang), NI (ne iteratur) yang berarti tidak
boleh diulang, dan resep mengandung narkotika tidak boleh diulang.
35.
.
36. 2.2. KODEKI
A. TENAGA KESEHATAN

37.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun

1996 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 1 ayat (1) menerangkan mengenai definisi tenaga
kesehatan.
38.

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

(1) Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
39.

Jenis Jenis tenaga kesehatan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 36 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 2


(1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisian medis.
11

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.


(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi
dan perekam medis.
40.

Seorang Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di

bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Hal ini sesuai
dengan pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 1996 Tentang
Tenaga Kesehatan.
41.
42.

B. BIDAN
Berdasarkan Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X/2010 pasal 1 ayat 1

definisi seorang bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang
telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Sedangkan
berdasarkan Permenkes Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 pasal 1 ayat (1) yang
dimaksud dengan praktik bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga, dan masyarakat) sesuai dengan
kewenangan dan kemampuannya.
43.
a. Wewenang Bidan
44.

Wewenang seorang bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan diatur

berdasarkan Permenkes Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 pasal 14 21.


45.
Pasal 14
46.
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan
pelayanan yang meliputi:
a.
b.
c.

pelayanan kebidanan
pelayanan keluarga berencana
pelayanan kesehatan masyarakat
47.

Pasal 15

a. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a ditujukan


kepada ibu dan anak.

12

b. Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan,
masa persalinan, masa nifas, menyusui, dan masa antara (periode interval).
c. Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa bayi,
masa anak balita dan masa pra sekolah.
49.

48.
Pasal 16
Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi:

a. Penyuluhan dan konseling


b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus
iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamsi ringan dan anemi ringan
e. Pertolongan persalinan normal
f. Pertolongan persalinan abnormal, yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di
dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi
jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan preterm.
g. Pelayanan ibu nifas normal
h. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup ratensio plasenta, renjatan, dan infeksi
ringan
i. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,
perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
50.
51.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:

Pemeriksaan bayi baru lahir


Perawatan tali pusat
Perawatan bayi
Resusitasi pada bayi baru lahir
Pemantauan tumbuh kembang anak
Pemberian imunisasi
Pemberian penyuluhan.
53.

52.
Pasal 17
Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut,

bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak
sesuai dengan kemampuannya.
55.

54.
Pasal 18
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 16

berwenang untuk :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Memberikan imunisasi
Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinan, dan nifas
Mengeluarkan placenta secara manual
Bimbingan senam hamil
Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
Episiotomy
13

g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.

Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II


Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
Pemberian infuse
Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika, dan sedative
Kompresi bimanual
Versi ekstraksi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
Vacum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
Pengendalian anemi
Meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
Penanganan hipotermi
Pemberian minum dengan sonde/pipet
Pemberian obat-obat terbatas, melalui lembaran permintaan obat sesuai dengan Formulir

VI terlampir
t. Pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian.
57.

56.
Pasal 19
Bidan dalam memberikan pelayanan keluarga berencana sebagaimana

dimaksud dalam pasal 14 huruf b berwenang untuk:


a. Memberikan obat dan alat kontrasepsi oral, suntikan, dan alat kontrasepsi dalam rahim, alat
b.
c.
d.
e.

kontrasepsi bawah kulit dan kondom


Memberikan penyuluhan/konseling pemakaian kontrasepsi
Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim
Melakukan pencabutan alat kontrasepsi bawah kulit tanpa penyulit
Memberikan konseling untuk pelayanan kebidanan, keluarga berencana dan kesehatan
masyarakat.
59.

58.
Pasal 20
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan, masyarakat sebagaimana

dimaskud dalam pasal 14 huruf c berwenang untuk :


a.
b.
c.
d.

Pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan anak


Memantau tumbuh kembang anak
Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
Melaksanakan deteksi dini, melaksanakan petolongan pertama, merujuk dan memberikan
penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan
Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
60.

Pasal 21

a. Dalam keadaan darurat bidan berwenang melakukan pelayanan kebidanan selain


kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14.
b. Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
61.

Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X/2010 juga mengatur mengenai praktik

kebidanan, disini akan dibahas mengenai ketentuan umum mengenai bidan, perizinan
dalam menjalankan praktik kebidanan, serta penyelenggaraan praktik kebidanan.
14

62.

BAB I

KETENTUAN UMUM
63.

Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

(1) Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undanganan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif,
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3) Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat
kompetensi.
(4) Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.
(5) Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik
bidan mandiri.
(6) Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar
operasional prosedur.
(7) Praktik mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.
(8) Organisasi profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
64.
65.

BAB II

PERIZINAN
Pasal 2
(1) Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(2) Bidan yang menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III
(D III) Kebidanan.
66.

Pasal 3

(1) Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
(2) Setiap bidan yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
(3) SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1
(satu) tempat.
67.

Pasal 4

15

(1) Untuk memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bidan harus
mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
melampirkan:
a. fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi;
b. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau
tempat praktik;
d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
e. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang
ditunjuk; dan
f. rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Kewajiban memiliki STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), Majelis
Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan,
maka Surat Izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR.
(4) Contoh surat permohonan memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Formulir I terlampir.
(5) Contoh SIKB sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir.
(6) Contoh SIPB sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir.
68.

Pasal 5

(1) SIKB/SIPB dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.


(2) Dalam hal SIKB/SIPB dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota maka
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e tidak
diperlukan.Permohonan SIKB/SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota kepada
pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan
diterima.
70.

69.
Pasal 6
Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan/atau kerja paling banyak di 1

(satu) tempat kerja dan 1 (satu) tempat praktik.


71.
Pasal 7
(1) SIKB/SIPB berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika
habis masa berlakunya.
(2) Pembaharuan SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dengan melampirkan:
a. fotokopi SIKB/SIPB yang lama;
b. fotokopi STR;
c. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
16

e. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang


ditunjuk sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e; dan
f. rekomendasi dari organisasi profesi.
72.
Pasal 8
73.
SIKB/SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
a. tempat kerja/praktik tidak sesuai lagi dengan SIKB/SIPB.
b. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang.
c. dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin
74.
BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 9
Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan

75.

yang meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. pelayanan kesehatan anak; dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
76.
Pasal 10
(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada
masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa
antara dua kehamilan.
(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

pelayanan konseling pada masa pra hamil;


pelayanan antenatal pada kehamilan normal;
pelayanan persalinan normal;
pelayanan ibu nifas normal;
pelayanan ibu menyusui; dan
pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.

(3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang
untuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

episiotomi;
penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;
pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
penyuluhan dan konseling;
bimbingan pada kelompok ibu hamil;
pemberian surat keterangan kematian; dan
pemberian surat keterangan cuti bersalin.
77.

Pasal 11

17

(1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan
pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
(2) Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berwenang untuk:
a. melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan
hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
79.

pada masa neonatal (0 - 28 hari), dan perawatan tali pusat;


penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah;
pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah;
pemberian konseling dan penyuluhan;
pemberian surat keterangan kelahiran; dan
pemberian surat keterangan kematian.
78.
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan

keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, berwenang untuk:


a. memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana; dan
b. memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.
80.
Pasal 13
(1) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
Bidan yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan
kesehatan meliputi:
a. pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan
memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit;
b. asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu
dilakukan di bawah supervisi dokter;
c. penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan;
d. melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak,
anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan;
e. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak
sekolah;
f. melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas;
g. melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi
Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya;
h. pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi; dan
i. pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.
(2) Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan
bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan
18

penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta
pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
81.

Pasal 14

(1) Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
(2) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(3) Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter,
kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
82.

Pasal 15

(1) Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktik mandiri


tertentu untuk melaksanakan program Pemerintah.
(2) Bidan praktik mandiri yang ditugaskan sebagai pelaksana program pemerintah berhak
atas pelatihan dan pembinaan dari pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.
83.
Pasal 16
(1) Pada daerah yang belum memiliki dokter, Pemerintah dan pemerintah daerah harus
menempatkan bidan dengan pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.
(2) Apabila tidak terdapat tenaga bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dan pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.
(3) Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota bertanggung jawab menyelenggarakan
pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
84.
Pasal 17
(1) Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi:
a. memiliki tempat praktik, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan
kebidanan, serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita
dan prasekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan sehat;
b. menyediakan maksimal 2 (dua) tempat tidur untuk persalinan; dan
c. memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Ketentuan persyaratan tempat praktik dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
85.
Pasal 18
(1) Dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan berkewajiban untuk:
a. menghormati hak pasien;
b. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan;
19

c. merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan
tepat waktu;
d. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
e. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan;
f. melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis;
g. mematuhi standar; dan
h. melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan
termasuk pelaporan kelahiran dan kematian.
(2) Bidan dalam menjalankan praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
(3) Bidan dalam menjalankan praktik kebidanan harus membantu program pemerintah
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
87.

86.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan mempunyai hak:

a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai


dengan standar;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya;
c. melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan
d. menerima imbalan jasa profesi.
88.
89.
90.
C. PERATURAN PIDANA
91.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan Bab XX didalamnya terdapat peraturan mengenai pidana yang akan diterima
seseorang yang melakukan pelanggaran dalam bidang kesehatan.
92.
BAB XX
93.
KETENTUAN PIDANA
94.
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
20

kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).
95.
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan

96.

farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
97.
Pasal 197
98.
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan dendapaling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
99.
Pasal 198
100.
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana
denda palingbanyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
101.
102.
103.
2.3. Tugas dan Wewenang Bidan dan Perawat
104.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun
2014 tentang Keperawatan. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun
sehat. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan,
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
105.
106.
2.3.1. Tugas dan Wewenang Perawat
107.
Adapun tugas dan wewenang perawat dalam undang-undang
republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pada pasal 29 adalah :
1

Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:


a pemberi Asuhan Keperawatan;
b
c
d
e
f

penyuluh dan konselor bagi Klien;


pengelola Pelayanan Keperawatan;
peneliti Keperawatan;
pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan/atau
pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama
ataupun sendiri-sendiri.
21

Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
secara bertanggung jawab dan akuntabel.
108.
109.

Adapun tugas dan wewenang perawat dalam undang-undang

republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pada pasal 33 adalah :


1

Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 29 ayat (1) huruf f merupakan penugasan Pemerintah yang dilaksanakan pada
keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah
tempat Perawat bertugas.

2 Keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah
tempat Perawat bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan setempat.
3 Pelaksanaan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi
Perawat.
4 Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perawat berwenang:
a

melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga

b
c

medis;
merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan
melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga
kefarmasian.

110.
111.

Adapun tugas dan wewenang perawat dalam undang-undang

republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pada pasal 35 adalah :


1

Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat

melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.


Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk

menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.


Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang

mengancam nyawa atau kecacatan Klien.


Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai

dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.


Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.

22

112.

Wewenang perawat undang-undang republik indonesia nomor

38 tahun 2014 pasal 30 tentang keperawatan adalah :


113. Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Keperawatan mempunyai
wewenang:
1 Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
a

melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;

b menetapkan diagnosis Keperawatan;


c merencanakan tindakan Keperawatan;
d melaksanakan tindakan Keperawatan;
e mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f melakukan rujukan;
g memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep

tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.


Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan masyarakat, Perawat berwenang:
a

melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga

dan kelompok masyarakat;


menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat;

c
d
e
f
g
h
i
j
l
m

membantu penemuan kasus penyakit;


merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
melakukan rujukan kasus;
mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
melakukan pemberdayaan masyarakat;
melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling. mengelola kasus; dan
melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif.

114.
115.

Wewenang perawat undang-undang republik indonesia nomor

38 tahun 2014 pasal 31 tentang keperawatan adalah :


1 Dalam menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi Klien, Perawat
berwenang:
a
b
c

melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat individu dan


keluarga serta di tingkat kelompok masyarakat;
melakukan pemberdayaan masyarakat;
melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
23

d menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan


e melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.
2 Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola Pelayanan Keperawatan, Perawat
berwenang:
a
b
c

melakukan pengkajian dan menetapkan permasalahan;


merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Pelayanan Keperawatan; dan
mengelola kasus.

3 Dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti Keperawatan, Perawat berwenang:


a
b

melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika;


menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin

pimpinan; dan
menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

116.
117.
118.

2.3.2. Hak dan Kewajiban Perawat


Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu

perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undangundang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu
perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi,
perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian, memberikan
tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian
119.
Adapun hak perawat dalam undang-undang republik indonesia
nomor 38 tahun 2014 pada pasal 36 adalah :
1 Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
2 Memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau
keluarganya.
3 Menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
4 Menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik,
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan
Peraturan Perundang-undangan; dan
5 Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
120.
121.
Adapun kewajiban perawat dalam undang-undang republik
indonesia nomor 38 tahun 2014 pada pasal 37 adalah :

24

1 melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan


standar Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundangundangan;
122.
2 memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
3 merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga
kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat
kompetensinya;
4 mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
5 memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah
dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau
keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya;
6 melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain
yang sesuai dengan kompetensi Perawat; dan
7 melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
123.
124.
Adapun hak dan kewajiban klien dalam undang-undang
republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pasal 38 tentang keperawatan adalah :
125. Dalam Praktik Keperawatan, Klien berhak:
1 Mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan
2
3

Keperawatan yang akan dilakukan;


Meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
Mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan;


Memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan

diterimanya; dan
5 Memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya.
126.
127.
Adapun hak dan kewajiban klien dalam undang-undang
republik indonesia nomor 38 tahun 2014 pasal 40 tentang keperawatan adalah :
128. Dalam Praktik Keperawatan, Klien berkewajiban:
a memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b mematuhi nasihat dan petunjuk Perawat;
c mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
129.
130.
131.
132.
25

133.

2.4. Tugas dan Wewenang Apoteker

134.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker adalah


sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
135.
2.4.1. Hak dan Kewajiban Apoteker
136.
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang
dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian
yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan
merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak
dalan suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap
pelaksanakan isi dari perjanjian.
137.

Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian

diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen, yaitu:
1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
138.
139.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan

kefarmasian diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan/
atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/ atau
diperdagangkan
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
26

Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15
140.

Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi

Apoteker. Dalam kode itu diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap
masyarakat, teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok
kode etik itu adalah, sebagai berikut:
141.
a. Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di dalam
lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam rangka pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan Nasional
khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.
b. Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawatnya:
1. Seorang Apoteker harus selalu menganggap sejawatnya sebagai saudara kandung
yang selalu saling mengingatkan dan saling menasehatkan untuk mematuhi ketentuanketentuan kode etik.
2. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat merugikan
teman sejawatnya, baik moril maupun materiil.
3. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
kerja sama yang baik dalam memelihara, keluhuran martabat jabatan, kefarmasian,
mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
c. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:
1. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat yang
berkecimpung di bidang kesehatan.
2. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakannya atau perbuatan
yang dapat mengakibatkan berkurang / hilangnya kepercayaan masyarakat kepada
sejawat petugas kesehatan.
142.
143.
144.
145.

2.4.2. Wewenang Apoteker


a. Pelayanan resep
Menurut Kongres nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia

pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter,
dokter gigi, dan dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

27

1. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor
izin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta
nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompabilitas, cara dan lama pemberian obat
3. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan
pasien (medication record)
4. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan
146.
2.4.3. Tanggung Jawab Apoteker
147.

Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar

resep dan yang berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa
dipakai di rumah. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada
pasien/penderita,

bagaimana

obat

yang

diinginkan

pasien

tersebut

dapat

menyembuhkan penyakitnya serta tidak ada tidaknya efek samping yang merugikan.
148.
Tanggung jawab tugas apoteker di apotek dalam Kode Etik
Apoteker Indonesia tahun 2009:
1. Tanggung jawab atas obat dengan resep
149.
Apoterker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker
mengetahui:
a. Bagaimana obat tersebut digunakan
b. Reaksi samping obat yang mungkin ada
c. Stabilitas obat dalam bermacam-macam kondisi
d. Cara dan rute pemakaian obat
150.
2. Tanggung jawab apoteker untuk memberi informasi pada masyarakat dalam memakai
obat bebas terbatas (OTC)
151. Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus
self medication atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker
menentukan apakah self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu
konsultasi ke dokter atau tidak. Pengobatan dengan non-resep akan semakin
bertambah.
152.

Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto setiap resep yang

masuk, keluarnya harus obat artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter
ke apotek, diusahakan agar pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan
sampai hanya menanyakan harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa
sampai demikian, haruslah dicatat alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang
28

mampu, kurang uangnya atau karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya,
apakah pelayanan kurang ramah, kurang luwes, dan sebagainya.
153. Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan
langganan baru, membina langganan lama, meningkatkan pelayanan dengan
pembinaan karyawan, turut membantu mencairkan piutang-piutang lama, mencari
sumber pembelian yang lebih murah dengan jangka waktu kredit yang lebih lama, dan
sebagainya.
154.

Kecenderungan masyarakat konsumen hanya bersandar kepada

sejumlah lembaga advokasi konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK, yaitu dengan
adanya pengakuan pemerintah terhadap lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang mempunyai kegiatan yang meliputi, penyebaran informasi dalam
rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen
dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan nasehat kepada konsumen yang
memerlukannya, bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
155.
2.5. Tugas dan Wewenang Dokter
156.

Seorang dokter memiliki peranan yang sangat penting dan juga

menempati posisi teratas didalam hal kesehatan, baik pada tahap pemeriksaan,
diagnosa, pengobatan suatu penyakit sampai ketahap pemulihan, serta pemeliharaan
kesehatan. Seorang dokter memiliki fungsi sosial untuk melayani masyarakat umum
atau pasien yang datang kepadanya dengan keahlian yang dimilikinya. Hal tersebut
berkaitan agar terpenuhinya kepentingan dari masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu.
157. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktek Kedokteran Pasal 50, hak dokter:
a) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan
b) standar prosedur operasional;
c) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
d) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
e) menerima imbalan jasa.
158. Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standar profesi ialah
batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus

29

dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dan yang dimaksud
dengan standar prosedur operasional ialah suatu perangkat instruksi atau langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
159. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran:
a) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
c) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
d) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
160.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 52, pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak:
a) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
b)
c)
d)
e)

dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);


meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
menolak tindakan medis; dan
mendapatkan isi rekam medis.
161.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 53 pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,

a)
b)
c)
d)

mempunyai kewajiban:
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
162.
163.
Pelayanan medis yang diberikan oleh Dokter sesuai dengan
kewajibannya, meliputi perawatan pasien dengan cara keilmuan yang ia miliki secara
adekuat, yang terdiri dari konseling, pemeriksaan fisik, pengobatan, pemberian obat,
tindakan medis dan pemberian informasi sesuai dengan hak pasien. Pengobatan yang
diberikan dokter dapat berupa tindakan medis, atau pemberian obat. Pemberian obat
didahului dengan penulisan resep dan pemilihan obat-obatan yang boleh diberikan
30

maka dari itu, diperlukan pengaturan tentang pemberian dan penggunaan sediaan
farmasi yang boleh diresepkan oleh Dokter yang dapat ditemukan di Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 102, yang menyebutkan
bahwa:
1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat
dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
164.

Sediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika yang dimaksud

adalah Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
seperti alfentanil, benzetidin, hidromorfinol, fentanil, metadona, dan lain-lain.
165.
Praktik kefarmasian diatur oleh undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran Pasal 108, yang berbunyi:
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
166.

167.

DansesuaidenganUndangUndangNomor29Tahun2004tentangPraktek

Kedokteran,Pasal198,setiaporangyangtidakmemilikikeahliandankewenanganuntuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksuddalamPasal 108dipidana dengan
pidanadendapalingbanyakRp100.000.000,00(seratusjutarupiah).
168.
169.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Menurut pasal 11, tenaga kesehatan di Indonesia dibagi menjadi:

tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis);
tenaga psikologi klinis;
tenaga keperawatan (perawat);
tenaga kebidanan (bidan);
tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknis kefarmasian);
tenaga kesehatan masyarakat;
tenaga kesehatan lingkungan;
tenaga gizi;
tenaga keterapian fisik;
31

j.
k.
l.
m.

tenaga keteknisian medis;


tenaga teknik biomedika;
tenaga kesehatan tradisional; dan
tenaga kesehatan lain.
170.
171.

Tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal

yang telah disebutkan diatas akan diberikan sanksi, baik administratif maupun pidana,
seperti yang disebutkan pada Pasal 82:
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52
ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1),
Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70
ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26
ayat (2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi
administratif.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Tenaga
Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
172.
173.
174.
175.
176.

a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran Pasal 84 ayat 1 dan 2, setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian
berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

32

177.

BAB III

178. PENUTUP
179.
3.1.
180.

Kesimpulan
Resep menurut Permenkes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 pasal 1

adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
pengelola apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU RI No 36 Tahun 2009 Bab XX tentang
Kesehatan Pasal 196 mengatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Kemudian Pasal 197 berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan dendapaling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah). Pasal 198 berbunyi: Setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
181.

Untuk tugas dan wewenang tenanga kesehatan dibagi menjadi tugas

dan wewenang perawat dan bida, apoteker, dan dokter. Perawat bertugas sebagai pemberi
asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan
keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang;
dan/atau, pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. Bidan dalam
menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi
pelayanan kebidanan, pelayanan keluarga berencana, pelayanan kesehatan masyarakat.
Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur
dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, memperlakukan atau

33

melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu
barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku, memberikan kesempatan kepada konsumen
untuk menguji dan mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan
atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan, memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan untuk tugas dan wewenang
dokter, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran:
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain
yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
182.

Pemberian obat didahului dengan penulisan resep dan pemilihan obat-

obatan yang boleh diberikan maka dari itu, diperlukan pengaturan tentang pemberian dan
penggunaan sediaan farmasi yang boleh diresepkan oleh dokter yang dapat ditemukan di
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 102, yang
menyebutkan bahwa, penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan
dilarang untuk disalahgunakan, ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika
dilaksanakan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan.

Praktik

kefarmasian diatur oleh undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek


Kedokteran Pasal 108, yang berbunyi : Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

34

183.
3.2.
184.

Saran
Dalam pelaksanaan praktek kesehatan, diperlukan penambahan wawasan lebih

bagi para tenaga kesehatan mengenai tugas dan wewenang masing-masing tenaga
kesehatan agar tidak terjadi overloop dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Selain
itu perlunya pengawasan lebih ketat dari pihak berwajib apabila diketahui ada hal-hal yang
tidak sesuai dalam pelaksanaannya.
185.

186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
35

208. DAFTAR PUSTAKA


209.
1.

Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) IDI. Kode


Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Jakarta. 2004

2. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan
Bebas Terbatas. 2007.
3. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Bina Penggunaan Obat
Rasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.
4. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 919/MENKES.PER/X/1993
Tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahlan Tanpa Resep.
5. Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Kepmenkes

RI

No.

1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.


6. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tenaga Kesehatan: Undang-Undang
Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 tentang Keperawatan.
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kepmenkes RI No. 1464/MENKES/X/2010.
9. Menteri

Kesehatan

Republik

900/MENKES/SK/VII/2002.

36

Indonesia.

Permenkes

Nomor

Anda mungkin juga menyukai