Anda di halaman 1dari 13

I.1.

Pertimbangan Anestesi pada Anak


Anestesi pada anak tidak hanya sekedar menyesuaikan dosis
obat dan ukuran alat anestesi dengan ukuran yang lebih kecil.
Kebutuhan anestesi pada neonatus, bayi, dan anak berbeda satu dengan
yang lain, dikarenakan oleh anatomi dan fisiologi pada setiap
kelompok umur sangat berbeda. Mortalitas dan morbiditas neonatus
dan bayi lebih tinggi dibandingkan pasien anak yang lebih besar.
Resiko komplikasi anestesi ditemukan berbanding terbalik dengan usia.
Neonatus dan bayi memiliki jumlah alveoli yang lebih sedikit
dan ukuran yang kecil, yang menyebabkan komplians paru pada
neonatus dan bayi lebih kecil dibandingkan anak. Tulang costae pada
kedua kelompok usia ini juga lebih fleksibel. Kombinasi keduanya
menyebabkan dinding dada neonatus dan bayi kolaps saat inspirasi,
dan volume residual paru yang rendah saat ekspirasi. Functional
residual capacity (FRC) yang rendah berarti simpanan oksigen saat
periode apneu, seperti saat percobaan intubasi, dan meningkatkan
resiko terjadinya ateletaksis dan hipokesmia pada neonatus dan bayi.
Dibandingkan dengan anak dan dewasa, neonatus dan bayi
memiliki ukuran kepala dan lidah yang secara proporsional lebih besar,
pasase nasal yang sempit, laring yang berada di anterior dan cephalad,
epiglottis yang panjang, trakea dan leher yang pendek. Kartilago
krikoid merupakan titik tersempit pada jalan napas pada anak usia
kurang dari 5 tahun, sedangkan pada dewasa, titik tersempit adalah
glottis. Perubahan sebesar 1mm akibat edema mukosa dapat
menyebabkan efek yang signifikan pada laju aliran anestesi inhalan
pada anak karena ukuran trakeanya yang kecil.
Volume kardiak pada neonatus dan bayi sangat sensitif terhadap
perubahan laju nadi, dikarenakan oleh ventrikel kiri yang masih belum
matur. Pasien anak yang menjalani operasi emergensi dan prosedur
operasi yang lama rentan mengalami hipotensi, asystole, dan kematian
intraoperatif. Sistem syaraf simpatis dan refleks baroreseptor pada anak
belum matur.
Kulit yang tipis, kadar lemak yang rendah, dan rasio luas
permukaan tubuh anak dibandingkan dengan berat badan yang lebih

besar menyebabkan neonatus lebih mudah kehilangan panas, dan


mengalami hipotermia. Hal ini diperberat dengan suhu ruang operasi
yang dingin, luka yang terekspos, pemberian cairan intravena, gas
anestesi, dan efek samping anestesi terhadap regulasi suhu. Hipotermia
pada neonatus dapat berakibat gangguan jantung, depresi pernapasan,
peningkatan resistensi jantung paru, dan perubahan respons terhadap
obat.
Penyimpanan glikogen neonatus yang sedikit membuat mereka
mudah mengalami hipoglikemia. Selain itu, neonatus, bayi dan anak
juga

lebih

rentan

rhabdomiolisis,

mengalami

aritimia

myoglobinemia,

spasme

jantung,
otot

hiperkalemia,
masseter,

dan

hipertermia.
I.1.1.

Evaluasi Pre-operatif dan Persiapan Operasi


Evaluasi pre-operatif pasien anak berbeda dengan orang
dewasa dalam beberapa hal. Usia dan berat badan sangat penting
dalam

menentukan

ukuran

laringoskop,

ETT, facemask,

dan

tatalaksana cairan juga didasarkan pada usia anak yang bersangkutan,


begitu pula dengan dosis obat-obatan yang akan diberikan, untuk
mencegah under/overdosis. Riwayat prematuritas penting, termasuk
usia gestasi, sekuele prematuritas seperti palsi serebral, penyakit paru
kronik, apnea dan bradikardi. Adakah kebiasan mengorok (snoring);
hal ini berkaitan dengan kemungkinan anak memiliki obstructive sleep
apnea (OSA) yang kemudian harus menjadi perhatian khusus untuk
dokter anestesi, dimana kejadian obstruksi jalan napas dapat terjadi
pada saat induksi dan fase-fase emergensi anestesi, termasuk pada fase
post operasi, terutama jika opioid diberikan sebagai tatalaksana nyeri.
Pihak keluarga juga perlu ditanyakan mengenai faktor risiko malignant
hyperthermia (MH) termasuk riwayat MH pada keluarga, riwayat MH
pasien, dan miopati kongenital.
Review secara sistematik juga perlu ditanyakan, seperti riwayat
kongesti hidung, batuk, demam untuk menilai adanya infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), mual-muntah, diare, dan tanda-tanda vital
seperti HR, RR, TD, suhu, dan saturasi perlu diukur.

Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan fisik


secara umum termasuk tumbuh kembang anak, pemeriksaan terhadap
patensi jalan napas dengan memperhatikan ada/tidaknya abnormalitas
kraniofasial, ukuran tonsil, ada/tidaknya mikrognatia. Jantung dan paru
sebaiknya diauskultasi untuk engevaluasi murmur dan wheezing atau
suara napas melemah. Tanda-tanda infeksi seperti rhinorea, eksudat
tonsilar, demam, dan batuk juga perlu diperiksa. Ekstremitas juga
sebaiknya diperiksa untuk mencari tempat ang potensial sebagai akses
intravena.
Pemeriksaan fisik pada anak pada umumnya sulit dilakukan,
terutama dalam menilai kompetensi jalan napasnya. Penilaian
fleksibilitas/ekstensibilitas leher yang merupakan salah satu komponen
penting untuk menentukan apakah intubasi dapat dilakukan atau tidak,
dilakukan dengan meminta anak untuk melihat ke atas dan ke bawah.
Apabila terlihat adanya massa, tumor, atau abses pada leher/saluran
pernapasan atas, yang dapat mengganggu gerak fleksi/ekstensi leher
ataupun fungsi pernapasan anak, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Apabila anak tidak kooperatif, pemeriksaan luar terhadap jalan napas
biasanya sudah dapat menunjukkan informasi yang cukup untuk
menentukan apakah terdapat gangguan pada saluran pernapasannya
atau tidak. Dokter juga perlu menanyakan kepada orang tua anak
tersebut, apakah terdapat gigi tanggal pada anak. Apabila ada, prosedur
laringoskopi dan intubasi harus dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari trauma. Gigi goyang sebaiknya dicabut terlebih dahulu
untuk mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi.
Pemeriksaan laboratorium pada anak yang secara umum sehat
tidak perlu dilakukan, kecuali pada kasus-kasus tertentu apabila
terdapat disfungsi organ dan penyakit ko-morbid.
Puasa merupakan salah satu persiapan operasi yang penting.
Puasa dapat meminimalisir risiko aspirasi isi lambung. Pada keadaan
tidak adanya obstruksi usus, refluks gastroesofagus, dan kondisi lain
yang dapat menyebabkan lambatnya pengosongan lambung, guideline
mengenai hal puasa pada pasien anak adalah sebagai berikut: makanan
padat diperbolehkan hingga 6-8 jam sebelum anestesi, susu/ASI
fortifikasi dan formula untuk bayi hingga 6 jam sebelum anestesi, ASI

non-fortifikasi hingga 4 jam sebelum anestesi, dan cairan jernih hingga


2 jam sebelum anestesi.
Pre-medikasi penting untuk mengurangi ansietas, karena
ansietas secara signifikan dapat menyebabkan stres perioperatif dan
ketidakpuasan. Pre-medikasi diperlukan untuk menenangkan pasien
sekaligus mensedasi pasien, namun di satu sisi prosedur ini justru
dapat meningkatan kecemasan pada orang tua pasien. Obat yang paling
sering digunakan sebagai pre-medikasi adalah midazolam. Dapat
diberikan per oral, intranasal, rektal, dan intramuskular. Midazolam
0,3-0.5 mg/kg, dosis maksimal 15mg memberikan ansiolisis dan sedasi
yang adekuat dalam waktu 20-45 menit setelah pemberian per oral.
Jarang terjadi reaksi paradoksik (agitasi) pada anak setelah pemberian
midazolam. Diazepam dan lorazepam sering digunakan untuk anak
yang lebih tua dan menghasilkan sedasi dan amnesia.
Ketamine, derivat phenyclidine, dapat juga diberikan sebagai
premedikasi secara oral, nasal, rektal, atau intramusukular. Ketamine
berakibat sedasi, amnesia, dan analgesi, dan juga berpengaruh terhadap
salivasi berlebih, nistagmus, PONV dan halusinasi. Ketamin tidak
mendepresi refleks jalan napas dan mempersiapkan tonus jalan napas.
Agonis -2 clonidine, secara oral dapat digunakan sebagai
sedasi preoperatif. Clonidine bekerja secara sentral dan perifer untuk
mengurangi tekanan darah. Clonidine juga mengurangi kebutuhan
anestesi sehingga konsentrasi anestesi volatile yang digunakan untuk
menghasilkan efek yang sama dapat lebih rendah. Clonidine tidak
mengobstruksi jalan napas dan dapat mengurangi kebutuhan obat
untuk mengatasi nyeri postoperasi. Clonidine memiliki onset yang
lebih lama sehingga sebaiknya diberikan 1 jam sebelum memulai
anestesi.
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menghilangkan
ansietas baik pada orang tua pasien maupun pasien dikenal dengan
Parental Presence at Induction of Anesthesia (PPIA). Orang tua
diminta untuk menemani anak di dalam ruang persiapan/ruang operasi
saat prosedur induksi dilakukan. Biasanya hal tersebut dapat
membantu menenangkan pasien dan juga orang tuanya. Akan tetapi,

terkadang PPIA justru meningkatkan kecemasan orang tua dan dengan


demikian juga meningkatkan kecemasan pasien.
Infeksi viral (ISPA) pada anak pada 2-4 minggu sebelum
anestesi umum meningkatkan resiko terjadinya komplikasi paru saat
intraoperatif, seperti wheezing (10x lebih besar), spasme laring (5x
lebih besar), hipoksemia, dan ateletaksis terutama apabila anak juga
mengalami gejala batuk yang berat, demam tinggi, atau riwayat
keluarga dengan hypereactive airway. Keputusan apakah anak dengan
ISPA boleh dilakukan anestesi umum masih menjadi kontroversi,
tergantung dengan adanya penyakit penyerta lain, beratnya gejala
ISPA, dan tingkat urgensi operasi.
I.1.2. Perioperatif

Termoregulasi dan heat loss


Oleh karena rasio luas permukaan dan BB yang lebih besar, anak
lebih cepat kehilangan panas bila berada di lingkungan yang
dingin, baik secara radiasi ataupun konveksi. Anak kecil tidak bisa
bereaksi menggigil dan bergantung pada termogenesis dengan
metabolisme brown fat untuk produksi panas. Heat loss dapat
dibatasi dengan termoregulasi vasokonstriksi. Lingkungan kamar
operasi dapat menggunakan radiant warmer, cairan infus yang
dihangatkan,

dan

humidifikasi

jalan

napas.

Hipertermia

perioperatif mungkin terjadi akibat infeksi atau inflamasi.


Hipertermia dapat juga menjadi tanda akhir dari hipertermia
malignant, yang biasanya diawali dengan takikardia, hiperkarbia
dan asidosis.
Monitoring
Berdasarkan Standard American Society of Anesthesiologist,
monitoring selama perioperatif mencakup EKG, tekanan darah,
saturasi O2, dan capnography, dan peralatan tersebut sebaiknya
selalu digunakan pada setiap situasi anestesi pediatrik. Pemantauan
pada suhu bersifat wajib apabila diketahui adanya MH pada
pasien, atau yang lebih sering ditemukan, kondisi hipotermi.
Induksi Anestesi

Anestesi total biasanya mengggunakan agen inhalasi atau melalui


intravena. Induksi dengan ketamin intramuscular (5-10 mg/ kg)
biasanya dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya pada pasien
yang agresif, perubahan mental, baik pada anak-anak maupun
dewasa. Induksi intravena biasanya lebih senang dikerjakan bila
pasien sudah terpasang infus.
o

Induksi intravena
Induksi yang digunakan sama dengan dewasa: propofol
2-3 mg/ kg diikuti dengan pelumpuh otot non depolarisasi
seperti rocuronium, vecuronium, cisatracurium, dan atracurium
atau suksinilkolin. Atropine direkomendasikan diberikan secara
rutin sebelum penggunaan suksinilkolin untuk mencegah
bradikardia. Keuntungan induksi intravena adalah kemudahan
akses intravena bila diperlukan obat-obatan emergensi dan
memungkinkan induksi yang lebih singkat pada pasien dengan
resiko aspirasi. Pada umumnya, intubasi pada anak-anak
dikerjakan dengan kombinasi propofol, lidokain, dan opiate,
dengan atau tanpa agen inhalasi, menghindari penggunaan
pelumpuh

otot.

Pelumpuh

otot

tidak

digunakan

pada

penggunaan LMA.
o Induksi Inhalasi
Banyak pasien pediatrik yang memasuki ruang operasi
tanpa terpasang jalur intravena dan selalu ada kemungkinan
untuk mengalami kesulitan saat memasang infus tersebut.
Beruntungnya, sevofluran bisa digunakan untuk menurunkan
kesadaran dalam hitungan menit dan lebih mudah dilakukan
pada pasien yang sudah diberikan sedasi (midazolam oral).
Sevofluran lebih diunggulkan karena desfluran maupun
isofluran memiliki bau yang tajam dan lebih sering
menyebabkan batuk, tahan napas, dan laringospasme. Kita bisa
gunakan satu atau dua teknik induksi inhalasi dengan
sevofluran

(7-8%

sevofluran

Dalai

60%

N2O)

untuk

mempercepat induksi. Setelah mencapai anestesi yang dalam,

kita bisa mulai memasang akses intravena dan masukan


propofol serta opioid (atau pelumpuh otot) untuk memulai
intubasi. Ada banyak perbedaan antara dewasa dan pediatric
yang mempengaruhi pemilihan intubasi dan masker ventilasi
(lihat table).
Tekanan darah anak-anak sangat sensitif terhadap agen
volatil anestesi. Hal ini karena mekanisme kompensasi yang
buruk (misalnya vasokonstriksi dan takikardia) dan sensitivitas
yang lebih tinggi pada miokard yang belum matur. Halotan
lebih sering menyebabkan depresi kardiovaskular, bradikardia,
dan aritmia daripada sevofluran. Namun, keduanya lebih jarang
mengiritasi jalan napas atau menyebabkan henti napas atau
laringospasme selama induksi. Secara umum, anestesi volatile
lebih

banyak

menyebabkan

depresi

napas

pada

bayi

dibandingkan anak yang lebih besar. Dan sevofluran terbukti


paling jarang menyebabkan depresi napas, dan menjadi agen
inhalasi yang direkomendasikan untuk anestesi pediatric. Baik
sevofluran maupun desfluran berkaitan dengan kejadian
delirium dan agitasi pada anak anak. Oleh karena itu, beberapa
klinisi

mengganti

sevofluran

dengan

isofluran

untuk

maintenance setelah fase induksi.


Pasien biasanya akan melewati sebuah fase dimana
stimulasi

dalam

laringospasme.

intubasi

Henti

akan

napas

memicu

harus

terjadinya

dibedakan

dari

laringospasme. Pemberian tekanan positif akhir ekspirasi 10 cm


biasanya dapat mengatasi laringospasme. Atau alternative
lainnya, anestesiologis dapat memperdalam anestesi dengan
meningkatkan anestesi volatile dan menempatkan LMA atau
intubasi psien dalam sevofluran yang dalam. Resiko depresi
kardiak, bradikardia, atau laringospasme yang terjadi dalam
pemberian

anestesi

yang

dalam

dapat

diatasi

dengan

suksinilkolin IM (4-6 mg/kg, maksimal 150 mg) dan atropine


IM ( 0,02mg / kg, maksimal 0,4 mg) bila akses intravena belum
terpasang.

Intubasi Trakea
Oksigen 100% harus diberikan sebelum intubasi untuk
meningkatkan keamanan pasien selama periode apnea sebelum
dan selama intubasi. Penggunaan pelumpuh otot pada anak anak
lebih jarang daripada dewasa. Pelumpuh otot bekerja lebih cepat
pada anak-anak dibandingkan dewasa karena waktu sirkulasi yang
lebih singkat. Bayi membutuhkan dosis suksinilkolin lebih tinggi
(2-3 mg/ kg) daripada dewasa, namun dosis atracurium yang lebih
rendah. Anak anak lebih rentan terhadap efek samping
suksinilkolin yang berupa aritmia, hiperkalemia, rhabdomiolisis,
myoglobinemia, spasme masseter, dan hipertermia malignan,
sehingga tidak digunakan secara rutin. Banyak klinisi memilih
rocuronium sebagai obat pilihan bila memang perlu penggunaan
pelumpuh otot karena onset nya yang paling cepa diantara obat
nondepolarisasi lainnya.
Oksiput pada bayi yang prominen menyebabkan posisi
kepala cenderung fleksi. Hal ini mudah dikoreksi dengan
mengganjal bahu atau meletakkan bantal donat di bawah kepala.
Pasien anak yang lebih besar, jaringan tonsil yang prominen dapat
menghalangi visualisasi laring. Bilah laringoskop yang lurus
membantu intubasi pada laring anterior neonatus dan infan.
Diameter pipa endotrakea diperkirakan dengan rumus berdasarkan
usia, yakni: diameter = 4 + usia/4.

Rumus ini tidak berlaku untuk pasien neonatus premature


(ukuran diameter pipa 2,5 3 mm) dan neonatus matur (ukuran 3
3,5 mm). pasien anak usia 5 tahun, dapat menggunakan pipa
5mm. pipa endotrake yang tidak memiliki balon dipilih untuk anak
usia kurang dari 5 tahun untuk mengurangi resiko post intubasi,
namun banyak anestesiologis yang sudah tidak menggunakan pipa
tanpa balon ukuran 4 atau lebih. Mereka lebih memilih pipa
dengan balon yang berukuran lebih kecil dengan mendeflasikan
balon tersebut pada pasien anak yang memiliki resiko aspirasi
yang tinggi. Ada rumus yang dapat memperkirakan panjang pipa
endotrakeal: panjang = 12 + usia / 2.

Maintenance
Ventilasi pada neonatus dan infant selama anestesi dikontrol
dengan conventional semiclosed circle system. Selama ventilasi
spontan, meskipun dengan resistensi rendah dari circle system bisa
menjadi hambatan yang signifikan untuk diatasi neonatus. Katup
yang tidak langsung, pipa napas, dan pengabsorpsi CO 2
merupakan penyebab resistensi. Pasien dengan berat yang kurang
dari 10 kg, beberapa anestesiologis menyarankan Mapleson D
circuit atau Brain system karena lebih mudah diatasi dengan
ventilasi tekanan positif, circle system aman digunakan pada
pasien semua usia jika ventilasi terkontrol dengan baik.
Monitoring tekanan udara dapat menjadi petunjuk obstruksi dari
pipa yang bengkok atau pipa yang masuk ke bronkus.
Maintenance anesthesia pada pediatric sama dengan
dewasa. Jika penggunaan inhalasi seperti sevofluan dilanjutkan
sebagai maintenance, maka opioid (misalnya, fentanyl 1 1,5
mcg/ kg) diberikan 15-20 menit sebelum prosedur operasi selesai
dapat menurunkan insiden delirium dan agitasi akibat nyeri post
operasi.

I.2. Cairan dan Elektrolit


I.2.1.

Pemberian Cairan Intraoperatif

Cairan intravena yang diberikan pada pasien pediatrik di ruang


operasi mempunyai fungsi untuk menggantikan defisit cairan,
maintenance, menyeimbangkan kehilangan cairan yang terjadi saat
operasi, dan penatalaksanaan terhadap hipovolemia. Cairan hipotonik
seperti normal saline 0,2% dengan penambahan potassium digunakan
sebagai maintenance di luar ruang operasi, namun di ruang operasi
cairan isotonik tanpa glukosa diberikan sebagai maintenance untuk
menghindari hiponatremia dan abnormalitas dari potassium serum.
Pada pasien pediatrik, cairan isotonik yang paling sering digunakan
adalah Ringer Laktat dan Plasmalyte A. Cairan koloid yang paling
sering digunakan pada pasien pediatrik adalah albumin 5%, namun hal
ini masih sering diperdebatkan efisiensinya dengan pemberian cairan
kristaloid isotonik.

Penggantian Defisit Cairan selama Preoperatif


Defisit cairan selama preoperatif adalah jumlah jam
dimana pasien tidak mendapatkan asupan oral (No Oral Intake,
NPO) dikali dengan kebutuhan cairan maintenance per jam.
Secara umum, 50% dari defisit digantikan pada 1 jam pertama
anestesia dan 50% sisanya digantikan pada 2 jam berikutnya.
Pasien

yang

menjalani

operasi

darurat

mungkin

memiliki defisit cairan yang lebih banyak karena muntah,


demam, kehilangan cairan dari kompartemen ke-3, atau
kehilangan darah. Penggunaan cairan yang hangat perlu
dipertimbangkan

untuk

menghindari

hipotermia

pada

pemberian cairan pengganti secara intravena dalam jumlah


besar.

Cairan Maintenance
Laju maintenance per jam harus dihitung menggunakan
rule 4-2-1 dan menggunakan cairan isotonik.

Kehilangan Cairan saat Operasi


Cairan yang hilang saat operasi dapat berupa kehilangan
darah, kehilangan cairan dari kompartemen ke-3, dan evaporasi.
Apabila diberikan darah atau cairan koloid untuk menggantikan

darah yang hilang, digunakan perbandingan 1:1. Apabila


diberikan cairan kristaloid untuk menggantikan darah yang
hilang, digunakan perbandingan 3:1. Kehilangan cairan dari
kompartemen ke-3 dan evaporasi tergantung dari prosedur
operasi, apakah invasif atau tidak. Kehilangan cairan dari
kompartemen ke-3 digantikan dengan cairan kristaloid isotonik.

Penanganan Hipovolemia
Volume intravaskular dapat dimonitor pada pasien
pediatrik dengan menilai variabel hemodinamik pada kelompok
umur. Takikardi dan penurunan tekanan darah dapat mengarah
kepada hipovolemia. Pengecekan urine output atau tekanan
vena sentral juga dapat memberikan informasi untuk status
volume intravaskular. Apabila pasien suspek hipovolemia,
berikan bolus cairan kristaloid atau koliud 10-20mL/kg.

I.2.2. Pemberian Glukosa


Pemberian cairan yang mengandung glukosa lebih baik tidak
digunakan untuk menggantikan defisit cairan, kehilangan cairan dari
kompartemen ke-3, atau kehilangan darah. Pada anak usia lebih dari 1
tahun, stress dan pelepasan katekolamin yang berhubungan dengan
operasi bisanya akan mencegah hipoglikemia. Glukosa sering
diberikan pada pasien dengan usia kurang dari 1 tahun atau berat badan
kurang dari 10 kg. Pasien pediatrik memiliki risiko yang lebih tinggi
terjadi hipoglikemia, termasuk neonatus prematur, neonatus cukup
bulan, dan pasien yang menderita disfungsi hati. Pasien yang diberikan
cairan dengan konsentrasi dekstrosa tinggi pada preoperatif dapat
dilanjutkan infusnya dengan pengurangan laju infus atau mengganti
cairan dengan cairan dekstrosa 5% atau 10%. Pada pasien dengan
instabilitas glukosa, konsentrasi gula darah harus dimonitor secara
ketat.
Tabel 2.4.1. Cairan pada Anak
Kebutuhan Cairan
Per jam
Per 24 jam

Maintenance
<10 kg
11-20 kg
>20 kg

4 mL/kg
40 mL + 2 mL/kg >

100 mL/kg
1000 mL + 50 mL/kg >

10kg
60 mL + 1 mL/kg > 20

10 kg
1500 mL + 20 mL/kg >

kg
20 kg
Penggantian cairan yang hilang saat operasi berdasarkan tipe operasi
Noninvasif
0-2 mL/kg/jam
Invasif ringan
2-4 mL/kg/jam
Invasif sedang
4-8 mL/kg/jam
Sangat invasif
10 mL/kg/jam
I.3. Tatalaksana Nyeri
Obat analgesik yang digunakan sebagai tatalaksana nyeri pada anak
antara lain golongan acetaminophen, NSAID, dan opioid, diberikan per oral,
intramuskular, atau intravena. Opioid yang paling sering dipakai adalah
fentanil dan morfin. Efek samping termasuk sedasi, depresi pernapasan,
pruritus, dan mual/muntah. Acetaminophen memiliki risiko hepatotoksik.
NSAID, salah satunya ketorolac, dapat mengakibatkan disfungsi platelet,
perdarahan GIT, dan disfungsi renal. Oleh karena itu, penting untuk
mempertimbangkan penyakit ko-morbid pasien seperti gangguan ginjal, risiko
perdarahan (tonsilektomi, operasi jantung) sebelum pemberian NSAID sebagai
tatalaksana nyeri. Keuntungan dari acetaminophen dan NSAID adalah efek
sedasi dan depresi napas yang ringan.
I.4.

Post-operatif
Kondisi pasien di ruang pemulihan merupakan salah satu fase kritis
dimana masalah-masalah dapat timbul, diantaranya adalah peningkatan risiko
obstruksi jalan napas setelah kesadaran pasien mulai kembali. Saluran napas
pasien harus dipantau secara ketat untuk tanda-tanda obstruksi, laringospasme,
dan hipoksemia. Nasal canule/mask harus tersedia untuk memberikan oksigen,
CPAP, dan ventilasi pada pasien.
Komplikasi post-anestesi yang sering dialami pasien anak adalah :
laringospasme dan batuk croup post-intubasi. Laringospasme disebabkan oleh
stimulasi dari nervus laringeus superior. Batuk croup disebabkan oleh edema
glottis atau trakea. Croup sering terjadi pada pasien anak usia 1-4 tahun,
percobaan intubasi yang berulang, ukuran ETT yang terlalu besar, durasi
operasi lama, dan prosedur pada kepala-leher.

Selain laringospasme dan batuk croup, mual/muntah pasca operasi


(PONV) juga merupakan efek samping dari anestesi yang paling tidak
diinginkan oleh pasien. Apabila pasien memiliki risiko tinggi PONV, maka
hindari penggunaan opioid dan N2O serta berikan profilaktik anti-emetik
(ondansetron, deksametason) untuk menurunkan kejadian PONV.
Tatalaksana nyeri pasien pediatrik pada fase post-operatif harus
dilakukan secara berkala. Opioid dapat dititrasi untuk mengobati nyeri sedangberat secara efektif. NSAID dan acetaminophen juga dapat diberikan.
Pasien dibawa dari ruang operasi ke ruang pemulihan untuk kemudian
dilakukan pemantauan terhadap patensi jalan napas, nyeri post-operatif, serta
PONV. Setelah pasien sadar dengan kondisi jalan napas yang stabil serta nyeri
post-operatif sudah teratasi, pasien dapat dibawa kembali ke bangsal/kamar.
Untuk menentukan apakah pasien sudah dapat kembali atau belum, metode
yang paling sering digunakan adalah Aldrette Score.

Anda mungkin juga menyukai