paradigma Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan pengalaman
terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap
realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman
semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.
1.
b.
Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian dilakukan telah ditentukan
terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya
pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabelvariabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di
lapangan. Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi.
Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting saja, tetapi justru yang pokok adalah proses
terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan
bersamaan dengan wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara.
Apabila observasi dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan
diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada waktu diadakan wawancara, namun
mengenai perilaku tersebut belum dapat ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil
wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi
akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan
observasi terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga
bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat
dipahami secara mendalam (verstehen).
1.
c.
Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik mempunyai fungsi yang sangat
strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan
sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi
situasi maupun setting. Sebaliknya penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun
setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga
homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh
dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan terapi khusus atau diberikan
pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam
situasi dan setting sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari, 1998:30)
mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented).
Penelitian demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam keadaan sesungguhnya, dan
menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.
1.
d.
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak memperhitungkan nilai
(bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian
kuantitatif memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam
laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi) dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal
(misalnya tidak menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian, mengajukan
argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan
bahasa yang personal (dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam
Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai
subjektif si peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-biasnya,
serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.
1.
e.
Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu
terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin
menghasilkan data yang berlaku umum (universal), maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh
yang diteliti. Peneliti selalu berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha
objektif dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas
dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin mengetahui persepsi
subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada situasi atau terikat pada
konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat
memasuki pesta ulang tahun anaknya atau teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini
berarti penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap
ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau
banyak individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti, maka hasil penelitian seperti ini disebut
bersifat intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif, pengertian intersubjektif sama dengan objektif.
1.
f.
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka penelitian
kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi
dapat juga banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus yang sangat penting
adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian tentang Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara
Sosialis. Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi penelitian
perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai contoh tidak seperti dalam
penelitian kuantitatif yang mematok jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat
dianalisis dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah subjek yang
diteliti.
1.
g.
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka yang diteliti
adalah hal-hal yang bersifat khusus atau spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan
terhadap perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam
lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak
normal (learning-disabilities), dan lain-lain.
1.
h.
Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti agar dapat menjaga
objektivitas atau menghindari subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak
mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena.
Untuk itu peneliti dapat melakukan misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi
terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.
Paradigma dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori Kritis
a)
Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: But philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within
some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering how things really are and really
work is lost. Reality exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam
kerangka kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan Sesuatu benar-benar ada dan benar-benar
bekerja adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk
berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir
seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan Constructivists concur with the ideological argument that
inquiry cannot be value-free. If reality can be seen only through a theory window, it can equally be seen only
through a value window. Many constructions are possible.
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak
bebas nilai. Jika realitas hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela
nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu
tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai.
Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi
penting adalah sebagai berikut: Finally, it depicts knwledge as the outcome or consequence of human activity;
knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing
(Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas
manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran
yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah. Penjelasan Guba yang terakhir tersebut
mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak
merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil
konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil
konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan
ungkapannya yang terkenal: Cogito Ergo Sum, yang artinya Aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes
pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan
hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk
mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui
sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan meragukan kemudian
menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di
satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari
pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keayakinan dasar pada peneliti Konstruktivitas dapat diringkas
sebagai berikut:
Ontology: Relativist Realities exist in the form of multiple mental constructions, socially and experientially
based local and specific, dependent for their form and content on the persons who hold them.
Asumsi ontologi: realitivis realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda,
didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang
mengemukakannya.
Epistomogy: Subjectivist inquirer and inquired into are fused a single (monistic) entity. Findings are literally
the creation of the process of interaction between the two.
Asumsi epistimologi: subjektif peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan
bersifat tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara
peneliti dan yang diteliti.
Methodology: Hermeneutic dialectic individual constructions are elicited and refined hermeneutically, with
the aim of generating one (or a few) constructions on which there is substantisl consensus.
Asumsi metodologi: Hermeneutik dialektik konstruksi-konstruksi individual dinyatakan dan diperhalus
secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial
disepakati
b)
Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Postpositivism is best characterized as modified
version of positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to
limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the aim.
Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari
Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme
berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari
Postpositivisme tersebut.
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin
memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas
dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental
melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas
yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan
suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar
tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek
harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat
subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat
disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu
sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam.
Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas
apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan
antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
Ontology: Critical realist reality exist but can never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can
be only incompletely understood.
Asumsi ontologi: realis kritis artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami
sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.
Epistomology: Modified objectivist objectivity remains a regulatory ideal, but it can only be approximated
with special emphasis placed on external guardians such as the critical tradition and critical community.
Asumsi epistomologi: objektivis modifikasi artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang
ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti
tradisi dan komunitas yang kritis.
Methodology: Modified experimental/manipulative emphasize critical multiplism. Redress imbalances by
doing inquiry in more natural settings, using more qualitative methods, depending more on grounded theory, and
reintroducing discovery into the inqury process.
Asumsi metodologi: eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang
kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang tidak
banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan
memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.
Interpretive
Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya
(Kulturwissenschaften).
Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan
lebih mendalam tentang faham interpretive dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari
tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz,
dan kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi
oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered with ideas stemming from the German
intellectual tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the phenomenology of Alfred
Schutz and critiques of scientism and positivism of ordinary language philosophers critical of logical emperism
(e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).
Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa
interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam sanggahan terhadap
interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan
metoda ilmu pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan alam). Kaum
interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan
budaya (Kulturwissenschaften) berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu
pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu pengetahuan mental dan
budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai makna dari fenomena sosial.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of human inquiry. They crafted various
refutations of naturalistic interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims and methods of
the social sciences are identical to those of the natural sciences). They held that the mental sciences
(Geisteswissenschaften) or cultural sciences (Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural
sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation (Erklaren), where as the goal of
the former is the grasping or understanding (Verstehen) of the meaning of social phenomena.
Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah
Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari
dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah
tersebut dibentuk oleh maksud para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan
alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang berpasangan. Istilah-istilah
tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan
arahan terhadap apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan penjelasan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are terms that routenely appear in the lexicon
of social science methodologists and philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of
their user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological and philosophical persuasions,
these terms are best regarded as sentizing concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general
direction of where instances of particular kind of inquiry can be found. However they merely suggest
directions along which to look rather than provide descriptions of what to see.
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme
merupakan dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena
sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu pengetahuan mental
(Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan
secara memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative
Research karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh
kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea
pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan fenomenologi, yang
keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme
yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan
penjelasan (erklaren) maka interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena (noumenon), penulis akan mengutip
uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya The Etnographic Interview yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul Metode Etnografi sebagai berikut:
Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang
wanita korban serangan jantung, tetapi malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang
yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang
gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian
itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap
beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan
oleh anggota polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu
seorang wanita yang mendapat serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh
polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi.
Polisi berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu
diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada wanita itu. Sedang
gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu
berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan karena
dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang mereka
pandang sebagai perbuatan jahat.
Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1)
Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan gerombolan sangat berbeda.
2)
Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara
berbeda, penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz
(1992: 7 8) The Interpretation of Cultures, Selected Essays yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul: Tafsir Kebudayaan. Geertz memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan
mata. Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak yang mengedipkan
mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan matanya mempunyai makna adalah karena kedutan.
Kedua, anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan mata dengan
sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain.
Ketiga, anak mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat
mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut
seseorang harus melakukan thick description (lukisan mendalam), yang pada hakikatnya sama dengan
melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: Dengan
percaya pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan
makna yang ditenunnya sendiri, saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis
atasnya tidak merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat
interpretif untuk mencari makna.
1.
Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan
kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan
metode analisis yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau
dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi terhadap
suatu fenomena. Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan
dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka
kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini
mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan
pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting
karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat
manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh
para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi
tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan
(Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik
hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam Sumaryono,
1993: 24).
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri
Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman
mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Sebagaimana
seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak
mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang
disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman
imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun
manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai
sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain
dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat
menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan
muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa
tertulis (Sumaryono, 1993: 24).
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai pengalaman mental yang
sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam
bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang
sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam
berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki
pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang
lain dapat menimbulkan banyak persoalan.
Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang
diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman
mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan
keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau
ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-kata atau ungkapan
yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik
dan lebih jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang
biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari
pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada
dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan
pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya melalui
bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu
melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya
seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang
terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang kita
tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua
karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya
dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono, 1993: 28).
BAB III
PENELITIAN KUALITATIF DAN STUDI KASUS
Dalam Bab ini akan diuraikan pengertian dan ciri-ciri penelitian kualitatif, studi kasus dan
grounded theory dari beberapa ahli.
1. 1.
Penelitian Kualitatif
1. Pengertian Penelitian Kualitatif
Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul: Research Design: Qualitative and
Quantitative Approaches. Sage Publications, 1994, mengemukakan: Research that is guided
by the qualitative paradigm is defined as: an inquiry process of understanding a social or
human problem based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting
detailed views of informants, and conducted in a natural setting.
Kutipan tersebut mengandung makna penelitian yang dibimbing oleh paradigma kualitatif
didefinisikan sebagai: Suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia
atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan
kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta
dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah.
Denzin & Lincoln, dalam bukunya yang berjudul: Handbook of Qualitative Research,
Sage Publications, 1998, mengemukakan: Qualitative research is many things to many
people. Its essence is twofold: a commitment to some version of the naturalistic, interpretive
approach to its subject matter, and an ongoing critique of the politics and methods of
positivismQualitative researchers stress the socially constructed nature of reality, the
intimate relationship between the researcher and what is studied, andvalue laden nature
inquiry.
Kutipan tersebut mempunyai arti, penelitian kualitatif esensinya bersifat ganda: suatu
komitmen terhadap pandangan naturalistik-pendekatan interpretatif terhadap pokok persoalan
studi dan suatu kritik yang berkelanjutan terhadap politik dan metode positivisme.
.Peneliti kualitatif menekankan realitas yang dibentuk secara sosial, hubungan yang erat
antara peneliti dan yang diteliti dan , ciri penelitian yang sarat nilai.
Selanjutnya, Denzin & Lincoln menjelaskan: Qualitative research is aimed at gaining a
deep understanding of a specific organization or event, rather than a surface description of a
large sample of a population. It aims to provide an explicit rendering of the structure order,
and broad patterns found among a group of participants. It is also called ethno-methodology
or field research. It generates data about human groups in social settings.
Kutipan tersebut mempunyai arti: Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai
pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus, ketimbang
mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi. Penelitian ini
juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersurat mengenai struktur, tatanan dan pola
yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok partisipan. Penelitian kualitatif juga disebut
etno-metodologi atau penelitian lapangan. Penelitian ini juga menghasilkan data mengenai
kelompok manusia dalam latar/setting sosial.
Lebih lanjut, Denzin & Lincoln menjelaskan: Qualitative research does not introduce
treatments or manipulate variables, or impose the researchers operational definitions of
variables on the participants. Rather, it lets the meaning emerge from the participants. It is
more flexible in that it can adjust to the setting. Concepts, data collection tools, and data
collections methods can be adjusted as the research progresses.
Kutipan tersebut mempunyai arti: Penelitian kualitatif tidak memperkenalkan perlakuan
(treatment), atau memanipulasi variabel atau memaksakan definisi operasional peneliti
mengenai variabel-variabel pada peserta penelitian. Sebaliknya, penelitian kualitatif
membiarkan sebuah makna muncul dari partisipan-partisipan itu sendiri. Penelitian ini
sifatnya lebih fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan latar yang ada. Konsep-konsep,
alat-alat pengumpul data, dan metoda pengumpulan data dapat disesuaikan dengan
perkembangan penelitian.
Untuk memperjelas pandangan-pandangan tentang penelitian kualitatif, Denzin & Lincoln
menambahkan penjelasan sebagai berikut: Qualitative research aims to get a better
understanding through first-hand experience, truthful reporting, and quotations of actual
conversations. It aims to understand how the participants derive meaning from their
surroundings, and how their meaning influences their behavior.
Kutipan tersebut mempunyai arti: Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendasar melalui pengalaman tangan pertama, laporan yang sebenarbenarnya, dan catatan-catatan percakapan yang aktual. Selain itu, penelitian ini bertujuan
untuk memahami bagaimana para partisipan mengambil makna dari lingkungan sekitar dan
bagaimana makna-makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka sendiri.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang
masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari
suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positivismenya.
suatu dinamika sosial. Sebaliknya, dalam ilmu sosial dan humaniora, realitas dipandang
sebagai suatu yang plural dan tidak pernah bebas konteks, bebas nilai dan bebas ideologi,
suatu hal yang sangat diagung-agungkan oleh pendekatan positivisme. Kritik yang paling
mendasar terhadap pendekatan positivisme adalah pada kecenderungannya untuk
memperlakukan data demi menjaga objektivitas tanpa mempertimbangkan konteks, pada
kecenderungannya untuk menggeneralisasi data yang umum kepada kasus-kasus yang
spesifik. Kritik lainnya adalah pada pandangan positivistik yang meyakini adanya realitas
yang bebas nilai (value-free) serta mengabaikan adanya dimensi interaksi dan hubungan
timbal-balik (reciprocal) antara pengamat (observer) dengan yang diamati (Guba & Lincoln,
1998 dalam Malik, 2004:140). Dengan demikian, paradigma teoretik setelah era positivisme
menolak anggapan bahwa sesuatu yang ilmiah hanyalah sesuatu yang dapat diukur secara
kuantitatif. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan positivistik mendapat tantangan dari
paradigma lainnya. Dengan demikian, positivistik tidak lagi satu-satunya cara untuk sampai
pada kebenaran ilmiah. Makin disadari bahwa untuk gejala-gejala sosial, budaya dan
perilaku, pendekatan-pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan naturalistik dan
fenomenologis dianggap lebih mampu untuk menjelaskan gejala secara keseluruhan).
6)
Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus, teknik
pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian, tetapi dapat berubah di lapangan
mengikuti situasi dan perkembangan penelitian.
7) Tidak seperti penelitian kuantitatif di mana untuk mencapai objektivitas dengan
melakukan pengukuran (measurement) secara kuantitatif, penelitian kualitatif mendapatkan
akurasi data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti dalam
konteks dan setting yang alamiah (naturalistic).
Sebagai bahan perbandingan dan sebagai upaya memperluas wawasan, berikut ini pandangan
Poerwandari (1998) yang mengacu pandangan Patton (1990) tentang ciri-ciri penelitian
kualitatif:
1)
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk
memanipulasi latar penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam
situasi di mana fenomena tersebut ada. Fokus penelitian dapat berupa orang, kelompok,
program, pola hubungan ataupun interaksi, dan kesemuanya dilihat dalam konteks alamiah
(apa adanya).
2)
Analisis induktif
Kegiatan lapangan merupakan aktivitas sentral dari sebagian besar penelitian kualitatif.
Mengunjungi lapangan berarti mengembangkan hubungan personal langsung dengan orangorang yang diteliti. Penelitian kualitatif memang menekankan pentingnya kedekatan dengan
orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang
realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari-hari.
4)
Perspektif holistik
Satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman menyeluruh dan
utuh tentang fenomena yang diteliti. Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan
fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan bahwa yang menyeluruh
tersebut lebih besar dan lebih bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian. Penekanan
pada pemahaman holistik ini kontras dengan tradisi kuantitatif-eksperimental, yang menuntut
operasionalisasi variabel independen dan variabel dependen. Pendekatan kuantitatif demikian
tidak disetujui oleh peneliti kualitatif karena dianggap: a) terlalu menyederhanakan realitas
hidup yang sesungguhnya amat kompleks, b) tidak mampu, atau mengabaikan faktor-faktor
penting yang sering sulit sekali untuk dikuantifikasi, c) gagal memberikan gambaran
terintegrasi tentang fenomena yang diteliti.
5)
Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang,
bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam perkembangan kondisi dan waktu.
Minat peneliti kualitatif adalah mendeskripsikan dan memahami proses dinamis yang terjadi
berkenaan dengan gejala yang diteliti. Perubahan dilihat sebagai suatu hal yang wajar, sudah
diduga sebelumnya, dan tidak dapat dihindari. Karenanya, daripada mengendalikan atau
membatasinya, peneliti kualitatif-alamiah justru mengantisipasi kemungkinan perubahan itu,
mengamati dan melaporkan objek yang diteliti dalam konteks perubahan tersebut.
6)
Penelitian kualitatif yang baik akan menampilkan kedalaman dan rincian, karena fokusnya
memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Kasus dipilih sesuai
dengan minat dan tujuan khusus yang diuraikan dalam tujuan penelitian. Studi kasus sangat
bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang
tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam.
7)
Netralitas empatik
Penelitian kualitatif sering dikritik menghasilkan data yang subjektif, dan karenanya
dianggap kurang ilmiah. Memang ilmu sering didefinisikan dalam kerangka objektivitas,
yang dalam perspektif positivistik-kuantitatif dicapai melalui distansi (jarak catatan penulis)
peneliti dari objek yang diteliti, karena peneliti kuantitatif-positivistik yakin bahwa distansi
akan mempertahankan sikap bebas nilai. Peneliti-peneliti kualitatif, sebaliknya,
menganggap bahwa objektivitas murni tidak pernah ada, hanya merupakan ilusi peneliti
kuantitatif. Pilihan untuk meneliti topik tertentu pun sudah diwarnai subjektivitas, sementara
rancangan dan instrumen penelitian adalah produk manusia, dan karenanya, selalu mungkin
mengandung bias.
8)
Fleksibilitas rancangan
Penyelidikan yang bersifat kualitatif tidak dapat secara jelas, lengkap dan pasti ditentukan di
awal sebelum dilaksanakannya pekerjaan di lapangan. Tentu saja, rancangan awal yang
disusun sebaik mungkin, yang akan menentukan fokus pertama, rencana-rencana pengamatan
dan wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Meski demikian, sifat alamiah
dan induktif dari penelitian tidak memungkinkan peneliti menentukan secara tegas variabelvariabel operasional, menetapkan hipotesis yang akan diuji maupun menyelesaikan skema
pengambilan sampel dan instrumen yang akan dipakai sebelum ia sungguh-sungguh
memasuki pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat luwes, akan berkembang
sejalan berkembangnya pekerjaan lapangan.
9)
Bila peneliti kuantitatif dapat berpegang pada rumus-rumus dan teknik statistik, peneliti
kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan penelitiannya. Karenanya,
kompetensi peneliti menjadi aspek paling penting: Peneliti adalah Instrumen Kunci dalam
penelitian kualitatif. Peneliti berperan besar dalam seluruh proses penelitian, mulai dari
memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data, hingga menganalisis dan
menginterpretasikannya.
a)
a)
Realitas bersifat subjektif dan ganda seperti dilihat partisipan (subjek yang diteliti) dalam
suatu studi.
b)
1. Masalah-masalah yang cocok dengan penelitian kuantitatif dan yang cocok dengan
penelitian kualitatif
Menurut Poerwandari (1998:46), gambaran mengenai masalah-masalah yang cocok untuk
diteliti dengan pendekatan kuantitatif atau kualitatif adalah sebagai berikut:
1)
Bila anda lebih tertarik pada yang disebut Allport sebagai Psikologi Diferensial,
yakni melihat elemen-elemen psikologi secara terpisah, mencari gambaran tentang hal
tersebut pada manusia pada umumnya sehingga dapat membandingkan manusia satu dengan
yang lain, tampaknya yang lebih sesuai digunakan adalah pendekatan kuantitatif.
2)
Bila anda tertarik untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai
makhluk subjektif, pendekatan kualitatif adalah yang sesuai untuk digunakan. Seperti juga
beberapa tokoh yang menganggap penting pendekatan kualitatif dalam psikologi, saya
berpandangan bahwa psikologi, khususnya psikologi kepribadian dan psikologi klinis akan
banyak menyumbangkan pengetahuan tentang manusia bila banyak bertumpu pada
pendekatan kualitatif.
3)
Hal-hal yang membutuhkan pemahaman mendalam dan khusus sangat sulit diteliti
dengan pendekatan kualitatif. Sulit untuk membayangkan bagaimana kita dapat secara utuh
meneliti penghayatan individu yang mengalami perceraian, trauma yang dialami korban
kejahatan seksual, dinamika kekerasan terhadap perempuan, atau penyesuaian diri
terhadap situasi menganggur dengan pendekatan kuantitatif.
4)
Kecenderungan yang positif dan perlu terus dikembangkan saat ini adalah mulai
digunakannya pendekatan kualitatif dan kuantitatif sebagai dua hal yang saling menunjang
dalam penelitian-penelitian psikologi. Yang banyak dilakukan psikologi konvensional adalah
menyusun skala atau kuesioner berdasarkan teori yang ada. Karena teori yang ada sering juga
tidak sesuai dengan konteks populasi penelitian, tidak jarang terjadi bahwa pertanyaanpertanyaan yang berkembang adalah pertanyaan yang merefleksikan cara berpikir peneliti,
dan gagal mengungkap apa yang sesungguhnya menjadi masalah responden atau subjek
penelitian. Menyadari hal tersebut, beberapa peneliti mulai menggabungkan metode-metode
kualitatif dan kuantitatif.
Akan dikemukakan pendapat Prof. Dr. Fuad Hasan tentang penelitian kualitatif sebagai
berikut:
Pendekatan kualitatif sangat penting untuk dipahami oleh mereka yang bersibuk diri
dengan studi tentang manusia dan berbagai penjelmaan tingkah lakunya, baik individual
maupun kolektif. Banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, apalagi
penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi. Banyak sekali penjelmaan
kejiwaan yang mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik.
Kita mungkin berbicara tentang skala, peringkat, tolok ukur, dan berbagai sarana pengukur
lainnya, akan tetapi perlu tetap disadari bahwa apa yang dapat ditangkap secara kuantitatif
itu tidak sepenuhnya representatif bagi pemahaman ikhwal manusia yang pada hakekatnya
bersifat kualitatif. Bagaimana mengukur keresahan, keriangan, kebosanan, kesepian,
frustrasi, euforia, rasa percaya diri, rasa malu, rasa cinta, rasa benci, rasa marah, rasa iri,
dan sejumlah penjelmaan kejiwaan lainnya, kecuali melalui kesanggupan berbagi rasa
empathy? Bukanlah segala penjelmaan manusiawi itu sesekali juga dapat menjadi
penghayatan diri kita sendiri?
1. 2.
Studi Kasus
Setelah uraian mengenai apa itu penelitian kualitatif dan apa saja ciri-cirinya, selanjutnya
akan dibahas dua jenis penelitian kualitatif yaitu studi Kasus dan grounded theory.
1. Pengertian Studi Kasus
Menurut Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236), studi kasus tidak selalu menggunakan
pendekatan kualitatif, ada beberapa studi kasus yang menggunakan pendekatan kuantitatif.
Stake, dalam membahas studi kasus, akan menekankan pendekatan kualitatif, bersifat
naturalistik, berbasis pada budaya dan minat fenomenologi. Studi kasus bukan merupakan
pilihan metodologi, tetapi pilihan masalah yang bersifat khusus untuk dipelajari. Terdapat
contoh masalah yang dapat bersifat kuantitatif, misalnya; anak yang sakit, dokter
mempelajari anak yang sakit dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan
dokter lebih bersifat kuantitatif ketimbang kualitatif. Contoh lain studi tentang anak yang
diabaikan (neglected child) dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan
pekerja sosial lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Sebagai suatu bentuk penelitian,
pemilihan studi kasus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada kasus-kasus yang bersifat
individual, bukan oleh pemilihan penggunaan metode penelitian. Hal ini dapat dilihat dari
penjelasan Stake sebagai berikut: Some case studies are qualitative studies, some are not. In
this chapter I will concentrate on case studies where qualitative inquiry dominates, with
strong naturalistic, holistic, cultural, phenomenological interests. Case study is not a
methodological choice, but a choice of object to be studied. We could study it in many ways.
The physician studies the child because the child is ill. The childs symptoms are both
qualitative and quantitative. The physicians record is more quantitative than qualitative. The
social worker studies the child because the child is neglected. The symptoms of neglect are
both qualitative and quantitative. The formal record the social worker keeps in more
qualitative than quantitative. In many professional and practical fields, cases are studied and
recorded. As a form of research, case study is defined by interest in individual cases, not by
methods of inquiry used.
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa nama studi kasus ditekankan oleh beberapa peneliti
karena memfokuskan tentang apa yang dapat dipelajari secara khusus pada kasus tunggal.
Penekanan studi kasus adalah memaksimalkan pemahaman tentang kasus yang dipelajari dan
bukan untuk mendapatkan generalisasi. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai
berikut: The name case study is emphasized by some of us because it draws attention to the
question of what specifically can be learned from the single case. That epistemological
question is the driving question of this chapter: What can be learned from the single case? I
will emphasize designing the study to optimize understanding of the case rather than
generalization beyond.
Lebih lanjut, Stake menjelaskan tentang identifikasi kasus bahwa kasus dapat bersifat
sederhana tetapi dapat juga bersifat kompleks. Kasus dapat bersifat tunggal misalnya hanya
terkait dengan seorang anak, atau banyak misalnya satu kelas, atau bersifat kompleks
misalnya kaum profesional yang mempelajari anak dalam masa kanak-kanak. Waktu yang
dibutuhkan untuk mempelajari dapat pendek atau panjang, tergantung waktu untuk
berkonsentrasi. Setelah menentukan mempelajari suatu kasus, peneliti seyogyanya terlibat
secara mendalam pada kasus tersebut. Hal ini dpat dibaca penjelasan Stake sebagai berikut:
A case may be simple or complex. It may be a child or a classroom of children or a
mobilization of professionals to study a childhood condition. It is one among others. In any
given study, we will concentrating our inquiry on the one may be long or short, but while we
so consentrate, we are engaged in case study.
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa apabila ingin mempelajari suatu kasus, tidak mungkin
memahami secara mendalam tanpa mengetahui tentang kasus-kasus lain. Tetapi apabila
sumber daya terbatas, maka lebih baik hanya berkonsentrasi memahami kompleksitas satu
kasus saja tanpa harus melakukan perbandingan antar kasus-kasus tersebut. Apabila
mempelajari lebih dari satu kasus, maka sebaiknya penelitian berkonsentrasi pada kasus
tunggal. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: Ultimately we may be
more interested in phenomenon or population of cases than in the individual case. We cannot
understand this case without knowing about other cases. But while we are studying it, our
meager resources are concentrated on trying to understand its complexities. For the while,
we probably will not study comparison cases. We may simultaneously carry on more one case
study, but each case study is concentrated inquiry into a single case.
Stake mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) tipe studi kasus. Yang pertama disebut studi kasus
intrinsik, yaitu studi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari kasus yang khusus,
hal ini disebabkan karena seluruh kekhususan dan keluarbiasaan kasus itu sendiri menarik
perhatian. Tujuan studi kasus intrinsik bukan untuk memahami suatu konstruksi abstrak atau
konstruksi fenomena umum seperti kemampuan membaca (literacy), penggunaan obat-obatan
oleh remaja atau apa yang harus dilakukan oleh kepala sekolah. Tujuannya bukan untuk
membangun teori, meskipun pada waktu lain peneliti mungkin mengerjakan hal tersebut.
Studi dilakukan karena ada minat intrinsik di dalamnya, sebagai contoh anak luar biasa,
klinik, konferensi atau kurikulum. Apa yang dikemukakan ini dibandingkan dengan
penjelasan Stake sebagai berikut: Different researchers have different purposes for studying
cases. To keep such differences in mind, I find it useful to identify three types of study. In what
we may call intrinsic case study, study is undertaken because one wants better understanding
of its particular case. It is not undertaken primarily because the case represents other cases
or illustrates a particular trait or problem, but because, in all its particularity and
ordinariness, this case itself is of interest. The researcher temporarily subordinates other
curiosities so that case may reveal its story. The purpose is not to come to understand some
abstract constructs or generic phenomenon, such as literacy or teenage drug use or what a
school principal does. The purpose is not theory building though at other times the
researcher may do just that. Study is undertaken because of intrinsic interest in, for example,
this particular child, clinic conference or curriculum.
Studi kasus yang kedua disebut studi kasus instrumental (instrumental case study), adalah
kasus khusus yang diuji untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang suatu
masalah (issue) atau untuk memperbaiki teori yang telah ada. Walaupun studi kasus ini
kurang diminati, ia memainkan peran yang mendukung, memfasilitasi pemahaman terhadap
sesuatu yang lain (minat eksternal). Kasusnya dilihat secara mendalam, dan konteksnya
diteliti secara cermat, aktivitas-aktivitas untuk mendalami kasus tersebut dilakukan secara
rinci, karena kasus ini membantu pemahaman tentang ketertarikan dari luar (minat eksternal).
Dasar pemilihan mendalami kasus ini dikarenakan kasus ini diharapkan dapat memperluas
pemahaman peneliti tentang minat lainnya. Hal ini disebabkan karena para peneliti bersamasama mempunyai beberapa minat yang selalu berubah-ubah yang tidak membedakan studi
kasus intrinsik dari studi kasus instrumental dan bertujuan memadukan keterpisahan di antara
keduanya. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: In what we may call
instrumental case study, a particular case is examined to provide insight into an issue or
refinement of theory. The case of secondary interest; it plays a supportive role, facilitating
our understanding of something else. The case is often looked at in depth, its contexts
scrutinized, its ordinary activities detailed, but because this helps us pursue the external
interest. The case may be seen as typical of other cases or not. (I will discuss the small
importance of typicality later.) The choice of case is made because it is expected to advance
our understanding of that other interest. Because we simultaneously have several interests,
often changing, there is no line distinguishing intrinsic case study from instrumental; rather,
a zone of combined purpose separates them.
Studi kasus ketiga adalah studi kasus kolektif (collective case study), yaitu penelitian
terhadap gabungan kasus-kasus dengan maksud meneliti fenomena, populasi, atau kondisi
umum. Ini bukan merupakan kumpulan studi instrumental yang diperluas pada beberapa
kasus. Studi kasus kolektif memerlukan kasus-kasus individual dalam kumpulan kasus-kasus
diketahui lebih dahulu untuk mendapatkan karakteristik umum. Kasus-kasus individual dalam
kumpulan kasus-kasus tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama atau berbeda, masing-masing
mempunyai kelebihan dan bervariasi. Kasus-kasus tersebut dipilih karena dipercaya bila
memahami kasus-kasus tersebut akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, penyusunan
teori yang lebih baik tentang kumpulan kasus-kasus yang lebih luas. Hal ini dapat dibaca
pada penjelasan Stake sebagai berikut: With even less interest in one particular case,
researchers may study a number of cases jointly in order to inquire into the phenomenon,
population, or general condition. We might call this collective case study. It is not the study
of collective but instrumental study extended to several cases. Individual cases in the
collection may or may not be known in advance to manifest the common characteristic. They
may be similar or dissimilar, redundancy and variety each having voice. They are chosen
because it is believed that understanding them will lead to better understanding, perhaps
better theoritizing, about a still larger collection of cases.
Selanjutnya mengenai studi kekhususan, Stake menjelaskan bahwa peneliti kasus mencari
tahu tentang apa yang bersifat umum dan apa yang bersifat khusus dari kasus tersebut, tetapi
hasil akhir dari kasus tersebut biasanya menampilkan sesuatu yang unik. Keunikan tersebut
mungkin meresap dan meluas kepada:
Kasus lainnya bilamana kasus tersebut berkaitan dengan kasus yang dipelajari
Untuk mempelajari kekhususan suatu kasus, keseluruhan data tersebut harus dikumpulkan.
Keunikan, kekhususan dan perbedaan tidak disukai secara meluas. Studi kasus dirugikan oleh
orang-orang yang kurang menghargai kekhususan. Banyak ahli ilmu pengetahuan sosial telah
menulis tentang studi kasus, seolah-olah studi kasus khusus tidak sepenting studi kasus
lainnya yang diarahkan guna menghasilkan generalisasi. Studi kasus dianggap merupakan
tipifikasi dari kasus-kasus lainnya sebagai eksplorasi yang mengawali studi-studi yang dapat
menghasilkan generalisasi, atau hanya merupakan suatu langkah awal dalam membangun
teori. Jadi studi kasus kurang dihargai sebagai studi intrinsik yang bernilai kekhususan seperti
biografi, studi mandiri kelembagaan, program evaluasi, praktek terapi dan banyak macam
pekerjaan. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: Case researchers
seek out both what is common and what is particular about the case, but the end result
regularly presents something unique (Stouffer, 1941). Uniqueness is likely to be pervasive,
extending to
To study the case, many researchers will gather data on all the above.
Uniqueness, particulary, diversity is not universally loved. Case study methodology has
suffered somewhat because it has sometimes been presented by people who have a lesser
regard for study of the particular (Denzin, 1981; Glaser & Strauss, 1967; Herriott &
Firestone, 1983; Yin, 1984). Many social scientists have written about case study as if
intrinsic study of a particular case is not as important as studies to obtain generalizations
pertaining to a population of cases. They have emphasized case study as typification of other
cases, as exploration leading to generalization producing studies, or as an occasional early
step in theory building. Thus, by these respected authorities, case study method has been little
honored as in the intrinsic study of a valued particular, as its generally in biography,
institutional self study, program evaluation, therapeutic practice, and many lines of work.
Dari pandangan-pandangan Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236-238) tersebut dapat
disimpulkan tentang studi kasus dan ciri-cirinya sebagai berikut: Studi kasus adalah suatu
bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat
kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif maupun
kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan
masyarakat luas. Dalam buku yang penulis susun ini lebih ditekankan pendekatan
kualitatif.
1. b.
6)
a)
Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari kasus itu sendiri,
atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic interest).
b)
Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan
teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini dapat dikatakan studi kasus
instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di luar kasusnya atau minat eksternal
(external interest).
c)
Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun masing-masing kasus
individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk mendapatkan karakteristik
umum, karena setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang bervariasi.
7)
Hal-hal umum juga dipelajari dalam studi kasus, tetapi fokusnya terarah pada hal yang
khusus atau unik. Untuk mendapatkan hal-hal yang unik dari data-data sebagaimana tersebut
di bawah ini, harus dikumpulkan dan dianalisis, yaitu:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Untuk memperdalam wawasan pembaca, berikut ini akan dikemukakan tulisan Baedhowi
(2001:94) yang mengacu pada Yin (1981) tentang perbedaan studi kasus intrinsik dengan
studi kasus instrumental dan studi kasus kolektif sebagai berikut: Intrinsic case study
dilakukan untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus tertentu. Jadi studi terhadap
kasus ini karena peneliti ingin mengetahui secara intrinsik mengenai fenomena, keteraturan,
dan kekhususan dari suatu kasus, bukan alasan eksternal lainnya. Sebaliknya, instrumental
case study merupakan studi terhadap kasus untuk alasan eksternal, bukan karena kita ingin
mengetahui tentang hakekat kasus tersebut. Kasus hanya dijadikan sebuah instrumen untuk
memahami hal lain di luar kasus, misalnya dalam membuktikan sebuah teori yang
sebelumnya sudah ada. Sedangkan collective case study dilakukan untuk menarik kesimpulan
atau generalisasi terhadap fenomena atau populasi dari kasus-kasus tersebut. Jadi, jenis studi
kasus ke-tiga ini ingin membentuk sebuah teori berdasarkan persamaan dan keteraturan yang
didapat dari setiap kasus yang diselidiki.
a)
Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan hal-hal yang amat
mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus mampu mengungkap
makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
b)
Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga memberi nuansa,
suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan
studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif yang sangat ketat.
2)
Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas, reliabilitas
dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur
dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang bertujuan untuk mencari
generalisasi.
7. Jelaskan pengertian Studi Kasus baik menurut Denzin & Lincoln, maupun Stake !
8. Menurut anda apa kriteria utama sehingga suatu studi (penelitian) disebut Studi
Kasus?
9. Menurut Stake terdapat 3 (tiga) tipe Studi Kasus. Sebutkan ketiga tipe Studi Kasus
tersebut ? Jelaskan perbedaan Studi Kasus yang satu dengan yang lainnya !
10. Sebutkan dan jelaskan 7 (tujuh) macam ciri-ciri Studi Kasus ?
11. Jelaskan kelebihan dan kelemahan Studi Kasus !
12. Buatlah Proposal Penelitian Kualitatif dengan menerapkan prinsip-prinsip dan ciri-ciri
Penelitian Kualitatif !
BAB IV
TEKNIK PENGUMPULAN INFORMASI (DATA)
Menurut Creswell (1994: 150-151) berdasarkan tipe data kualitatif maka terdapat 4 (empat)
macam tipe pengumpulan data, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara,
3) dokumen, 4)
alat-alat audiovisual. Atas dasar hal tersebut penulis mengklasifikasi kan teknik pengumpulan
informasi (data) menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara, 3) dokumen,
sedangkan alat-alat audiovisual penulis sebut sebagai alat bantu pengumpulan data.
Selanjutnya masing-masing teknik pengumpulan data tersebut akan diuraikan pengertian dan
ciri-cirinya.
1. 1.
Menurut Kartono (1980: 142) pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: studi
yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan
pengamatan dan pencatatan. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah: mengerti
ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia
pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu.
Observasi dapat menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1)
2)
Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis, dan tidak secara kebetulan
(accidental) saja.
3)
Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang lebih umum,
dan tidak karena didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4) Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikontrol seperti pada data ilmiah
lainnya (Jekoda, dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian kualitatif
tidak biasa digunakan, istilah yang biasa digunakan untuk menggantikan kedua istilah
tersebut adalah kredibilitas.
Poerwandari tidak memberikan batasan tentang observasi tetapi memberikan penjelasan
tentang observasi sebagai berikut: Observasi barangkali menjadi metode yang paling dasar
dan paling tua di bidang psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam
proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun kuantitatif
mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin
yang berarti melihat dan memperhatikan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam
penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun
dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang dilakukan dalam laboratorium dalam konteks eksperimental
itu adalah observasi dalam rangka penelitian kuantitatif. Observasi dalam rangka penelitian
kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari, 1998: 63) menegaskan observasi merupakan metode
pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif.
Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus
dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah
mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak memberikan batasan tentang observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok
persoalan dalam membahas observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b)
macam-macam pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a) Manfaat Pengamatan
Menurut Guba dan Lincoln (1981: 191 193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-alasan
pengamatan (observasi) dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif, intinya
karena:
1)
Pengamatan merupakan pengalaman langsung, dan pengalaman langsung dinilai
merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh
kurang meyakinkan, maka peneliti dapat melakukan pengamatan sendiri secara langsung
untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
2)
Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian
mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa yang berkaitan dengan
pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan yang diperoleh dari data.
4)
Sering terjadi keragu-raguan pada peneliti terhadap informasi yang diperoleh yang
dikarenakan kekhawatiran adanya bias atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan
dimungkinkan karena responden kurang mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak
psikologis antara peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk
menghilangkan keragu-raguan tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan pengamatan.
5)
Pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit.
Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku
sekaligus. Jadi pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit
dan untuk perilaku yang kompleks.
6)
Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan,
pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati perilaku
bayi yang belum bisa berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan dimaksudkan agar memungkinkan pengamat melihat
dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang diteliti, menangkap makna fenomena dan
budaya dari pemahaman subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang
dirasakan dan dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
Jadi interpretasi peneliti harus berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
b)
yang terjadi dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan,
b) pengamatan tertutup apabila pengamat melakukan pengamatan tanpa diketahui oleh subjek
yang diamati. Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan dengan latar
alamiah atau pengamatan tidak terstruktur dan b) pengamatan buatan atau pengamatan
terstruktur. Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa digunakan dalam penelitian
kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau pengamatan tidak terstruktur inilah yang biasa
digunakan dalam penelitian kualitatif.
Selanjutnya Bunford Junker (dalam Moleong, 2001: 126-127) membagi peran peneliti
sebagai pengamat menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1)
Berperan serta secara lengkap (the complete participant). Pengamat dalam hal ini
menjadi anggota penuh dari suatu kelompok yang diamati, artinya peneliti bergabung secara
penuh atau menjadi anggota secara penuh dalam kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti.
Dengan demikian peneliti dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya,
termasuk yang rahasia.
2)
Pemeran serta sebagai pengamat (the participant as observer). Peneliti tidak
sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diamati (misalnya anggota kehormatan), tetapi
masih dapat melakukan fungsi pengamatan. Hal-hal rahasia masih dapat diketahui.
3)
Pengamat sebagai pemeran serta (the observer as participant). Peranan pengamat
secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala macam informasi termasuk yang rahasia
dapat dengan mudah diperoleh.
4)
Pengamat penuh (the complete observer). Biasanya hal ini terjadi pada pengamatan
suatu eksperimen dilaboratorium yang menggunakan kaca sepihak. Peneliti dengan bebas
mengamati secara jelas subjeknya dari belakang kaca, sedang subjeknya sama sekali tidak
mengetahui apakah mereka sedang diamati atau tidak.
Flick (2002: 135) menjelaskan tentang observasi sebagai berikut: disamping kemampuan
berbicara dan mendengarkan sebagaimana digunakan dalam wawancara-wawancara,
observasi merupakan keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan
diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi visual tetapi juga persepsi
berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang diintegrasikan. (Besides the
competencies of speaking and listening which are used in interviews, observing is another
everyday skill which is methodologically systematized and applied in qualitative research.
Not only visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling are
integrated (Adler and Adler 1998)).
Dengan menyetujui pendapat Friedrichs (1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan
prosedur observasi secara umum diklasifikasikan menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu:
a)
Observasi tertutup versus observasi terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan
kepada siapa yang diobservasi. (Covert versus overt observation: how far is the observation
revealed to those who are observed).
b)
Observasi tidak terlibat versus observasi terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi
bagian yang aktif dari lapangan yang diamati. (Non-participant versus participant
observation: how far does the observer become an active part of the observed field).
c)
Observasi sistematis lawan observasi yang tidak sistematis: adalah suatu observasi yang
lebih atau kurang terstandarisasikan dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih
fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (Systematic versus unsystematic
observation: is a more or less standarized observation scheme applied or does observation
remain rather flexible and responsive to the processes themselves).
d) Observasi secara alamiah versus situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan
dalam lapangan yang diminati atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang
mengarah ke suatu tempat yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan
observasi yang lebih baik. (Observation in natural versus artificial situations: are
observation done in the field of interest or are interactions moved to a special place (eq. a
laboratory) to give a better observability).
e)
Observasi diri versus mengobservasi orang-orang lain: kebanyakan orang lain
diobservasi, maka berapa banyak niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri
sendiri untuk dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang
diobservasi. (Self-observation versus observing others: mostly other people are observed, so
how much attention is paid to the researchers reflexive self-observation for futher grounding
the interpretation of the observed).
Mengenai tahap-tahap observasi, penulis seperti Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b),
dan Spradley (1980) (dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi memiliki 7
(tujuh) tahap, yaitu:
a)
Seleksi suatu latar (setting) yaitu dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu
yang menarik itu dapat diobservasi (The selection of a setting, i.e. where and when the
interesting processes and persons can be observed).
b)
Berikan definisi tentang apa yang dapat didokumentasikan dalam observasi itu dan
dalam setiap kasus. (The definition of what is to be documented in the observation and in
every case).
c)
Latihan untuk pengamat supaya ada standarisasi misalnya apa yang dijadikan fokusfokus penelitian. (The training of the observers in order to standarized such focuses).
d) Observasi deskriptif yang memberikan suatu pemaparan umum mengenai lapangan.
(Descriptive observations which provide an initial general presentation of the field).
e)
Observasi terfokus yang semakin terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan
pertanyaan penelitian. (Focused observations which concentrate more and more on aspects
that are relevant to the research questions).
f)
Observasi selektif yang dimaksudkan untuk secara sengaja menangkap hanya aspekaspek pokok. (Selective observations which are intended to purposively grasp only central
aspects).
g) Akhir dari observasi apabila kepenuhan teori telah tercapai, yaitu apabila observasi
lebih lanjut tidak memberikan pengetahuan lanjutan. (The end of the observations, when
theoretical saturation has been reached (Glaser and Strauss, 1967), i.e. futher observations
do not provide any futher knowledge).
Kerlinger (1986, terjemahan Simatupang 1990: 857) intinya menyatakan bahwa manusia
melakukan pengamatan sehari-hari terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain.
Tetapi pengamatan seperti itu jelas tidak memberikan data yang dapat dipergunakan untuk
penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar data hasil pengamatan dapat
dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan prosedur pengukuran yaitu setiap
perilaku diberi skor menurut aturan tertentu, sehingga berdasarkan skor-skor tersebut dapat
disusun kesimpulan. Namun menurut Kerlinger hal tersebut ternyata masih menimbulkan
kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa perilaku tersebut
harus dikontrol secara ketat dan cermat agar perilaku tersebut dapat dikenakan prosedur
pengukuran, dengan demikian data tersebut bermanfaat untuk ilmu pengetahuan ilmiah.
Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa pengamatan harus alamiah (naturalistik):
pengamat harus larut dalam situasi realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus
mengamati perilaku sebagai yang muncul dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini
dalam pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar (dalam Koentjoroningrat, 1977: 139) intinya menyatakan bahwa dalam
pengetahuan ilmiah mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta,
pengamatan merupakan teknik yang pertama-tama digunakan dalam penelitian ilmiah.
Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sehari-hari, pengamatan
sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan
bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian.
Syarat-syarat tersebut adalah peneliti harus berusaha membandingkan dengan hasil
pengamatan orang lain dalam masalah yang sama dan dalam keadaan yang sama, apabila
ternyata mendapatkan hasil yang tidak sama, maka harus diperiksa kembali dimana
kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu pengamatan, peneliti dapat mengulang
pengamatannya kemudian membandingkan dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal
ini tidak selalu dapat dilakukan karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak
dapat diamati lagi. Catatan penulis: untuk membandingkan hasil pengamatan dari seorang
peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit karena belum tentu mendapatkan peneliti
dalam masalah yang sama dengan subjek yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib
membandingkan wajib penelitiannya dengan hasil pengamatan significant others yaitu
individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga
persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan
biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya menurut
Suparlan (1994: 62) intinya terdapat anggapan sementara pihak bahwa pengamatan dinilai
bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah karena sederhana, tidak rumit teknik-tekniknya
dan tidak susah memahami dan menggunakannya. Padahal apabila digunakan sesuai
persyaratannya akan memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan.
orang atau fenomena yang sama dan dalam situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan
dengan mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan menggunakan teknik lain
misalnya wawancara dan lain-lain. Atau dapat pula dilakukan dengan membandingkan
dengan hasil pengamatan dari significant others. Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam
penelitian kualitatif harus ditegakkan.
1. Ciri-ciri Observasi
1)
Persyaratan lain disamping diterapkannya prinsip triangulasi, maka agar hasil observasi
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya latihan untuk melakukan
observasi, dan telah dimilikinya secara mantap pengetahuan teoritis atau konseptual dalam
bidang atau masalah yang diobservasi oleh si peneliti. Atau dengan kata lain peneliti telah
memiliki kepekaan teoritis (theoretical sensitivity).
2)
Pengamatan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif karena
mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a)
Pengamatan yang dilakukan sendiri oleh si peneliti dapat diperoleh kebenaran yang
meyakinkan, karena si peneliti dapat secara langsung mengecek kebenaran informasi.
b)
Pengamatan memungkinkan si peneliti mampu memahami situasi yang rumit yaitu jika
si peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus atau tingkah laku yang
kompleks.
c)
Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat
perilaku dan kegiatan sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan,
pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat, misalnya mengamati bayi yang belum
dapat berbicara, atau mengamati orang yang menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna
netra, dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti muda (mahasiswa S-1 yang sedang menyusun
Skripsi dengan pendekatan kualitatif) tujuan pengamatan adalah menangkap makna
fenomena sebagaimana pemahaman subjek yang diteliti terhadap fenomena tersebut.
Merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang
dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
4)
Menggaris bawahi pendapat Poerwandari (1998: 62) yang menyatakan bahwa
pengamatan diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang
muncul, dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti
pengamatan harus dilakukan dengan teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan tidak
dapat dilakukan secara bersamaan dengan wawancara, karena tidak mungkin pengamatan
yang dilakukan bersamaan waktu dengan wawancara akan mendapatkan hasil teliti dan
cermat.
5)
Mengacu pendapat dari Kerlinger (1986 terjemahan Simatupang, 1990: 857) yang
menyatakan pengamatan dalam konteks penelitian kualitatif situasi yang diamati harus
realistik dan alami (naturalistik), maka pendapat Banister dkk (1994 dalam Poerwandari,
1998: 62) yang menyatakan observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium
(eksperimental) maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan observasi tersebut
dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini eksperimen direncanakan dan
dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti dalam eksperimen penelitian kuantitatif
berperan sebagai objek eksperimen. Observasi dapat pula dilakukan dalam penelitian
kualitatif apabila eksperimen disusun dan dilakukan oleh peneliti lain, si peneliti mengamati
subjek yang diteliti dalam eksperimen tersebut dalam situasi apa adanya. Subjek yang diteliti
tidak menjadi objek eksperimen dan tidak tahu kehadiran observer (eksperimen dengan
laboratorium berkaca).
6) Agar dapat berfungsi sebagai metoda dalam penelitian ilmiah pengamatan harus
dilakukan sesuai persyaratannya. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan memperoleh data
yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan (Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam penelitian
ilmiah dengan menggunakan teknik pengamatan harus memperhatikan 8 (delapan) hal, yaitu:
a) ruang atau tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d) benda-benda atau alat-alat, e) waktu, f)
peristiwa, g) tujuan, h) perasaan subjek yang diteliti.
7)
Mengacu pendapat beberapa penulis Flick (2002: 136) menyatakan terdapat 7 (tujuh)
tahap dalam pelaksanaan observasi, yaitu:
a)
b)
Mendefinisikan apa yang dapat didokumentasikan dalam observasi dan dalam setiap
kasus.
c)
Melakukan latihan bagi peneliti tentang aturan-aturan yang harus ditaati dalam
melakukan pengamatan sesuai fokus-fokus penelitian yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus penelitian dapat berubah sesuai kondisi dilapangan.
d)
e)
f)
g)
Mengakhiri observasi apabila tujuan observasi telah tercapai artinya apa yang akan
diobservasi tidak dapat dikembangkan lagi karena telah sesuai dengan teori yang mendasari,
dan tidak akan mendapatkan data-data baru lagi yang memberikan pengetahuan baru.
1. 2.
kualitatif untuk bidang psikologi, karena agar dapat menghayati perasaan, sikap, pola pikir
yang mendasari perilaku subjek yang diteliti secara mendalam tidak cukup memadai apabila
hanya dilakukan dengan wawancara. Keterlibatan langsung si peneliti dalam kehidupan
sehari-hari dari subjek yang diteliti dapat memungkinkan hal-hal tersebut tercapai.
Selanjutnya menurut Suparlan berbeda dengan metoda-metoda pengamatan lainnya, sasaran
dalam pengamatan terlibat adalah orang atau pelaku ( subjek yang diteliti). Karena itu juga
keterlibatannya dengan sasaran yang ditelitinya berwujud dalam hubungan-hubungan sosial
dan emosional. Hal tersebut dilakukan dengan melibatkan dirinya dalam kegiatan dan
kehidupan pelaku yang diamatinya sesuai dengan kacamata kebudayaan dari para pelakunya
sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan psikologi karena perilaku manusia tidak mungkin
lepas dari nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya. Bahwa budaya merupakan jaringan
makna atau nilai ini dikemukakan oleh Clifford Greetz (1992) dalam bukunya yang berjudul:
Tafsir Kebudayaan.
Sedang definisi pengamatan terlibat (participant observation dari Denzin (1989: 157-8 dalam
Flick, 2002: 139)) sebagai berikut: Pengamatan terlibat didefinisikan sebagai suatu strategi
lapangan yang secara simultan (serempak) mengkombinasikan analisis dokumen,
mewawancarai para responden dan informan-informan, observasi dan partisipasi
(keterlibatan) langsung dan instrospeksi (Participant observation will be defined as a field
strategy that simultaneously combines document analysis, interviewing of respondents and
informants, direct participation and observation, and instrospection).
Jorgensen (dalam Flick, 2002: 139) membedakan pengamatan terlibat (participant
observation) dengan pengamatan tidak terlibat (non-participant observation) dalam 7 (tujuh)
hal, sebagai berikut:
1. Pengamatan terlibat ditujukan pada minat khusus atau nilai-nilai/makna-makna
kemanusiaan dan interaksi antar manusia seperti pandangan dari perspektif orangorang yang berada di dalam atau bagian situasi dan seting khusus. (A special interest
in human meaning and interaction as viewed from the perspective of people who are
insiders or members of particular situations and settings).
2. Lokasi/tempat disini dan sekarang dari seting dan situasi kehidupan sehari-hari
sebagai dasar penelitian dan metoda. (Location in the here and now of everyday life
situations and setting as the foundation of inquiry and method).
3. Suatu bentuk teori dan penyusunan teori yang menekankan interpretasi dan
pemahaman tentang eksistensi manusia. (A form of theory and theorizing stressing
interpretation and understanding of human existence).
4. Suatu proses penelitian yang logis yang terbuka-tertutup, fleksibel, memberi
kesempatan dan memerlukan redefinisi yang tetap dari apa yang menjadi
permasalahan, berdasarkan pada fakta-fakta yang dikumpulkan dalam seting yang
kongkret dari eksistensi manusia. (A logic and process of inquiry that is open-ended,
flexible, opportunistic, and requires constant redefinition of facts gathered in concrete
setting of human existence).
5. Suatu yang mendalam, kualitatif, pendekatan dan disain studi kasus. (An in-depth,
qualitative, case study approach and design).
6. Kinerja/performansi dari peranan orang yang terlibat yang meliputi pemantapan dan
pemeliharaan hubungan-hubungan dengan warga setempat dilapangan, dan (The
performance of a participant role or roles that in volves establishing and maintining
relationships with natives in the field; and).
7. Menggunakan observasi langsung dengan metoda-metoda untuk mengumpulkan
informasi lainnya. (The use of direct observation along with other methods of
gathering information).
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengamatan terlibat
(participant observation) adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis,
terencana, terarah pada suatu tujuan dimana pengamat atau peneliti terlibat langsung
dalam kehidupan sehari-hari dari subjek atau kelompok yang diteliti. Dengan
keterlibatan langsung dalam kehidupan sehari-hari tersebut menyebabkan terjadinya
hubungan sosial dan emosional antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dampaknya
si peneliti mampu menghayati perasaan, sikap, pola pikir yang mendasari perilaku
subjek yang diteliti terhadap masalah yang dihadapi.
Untuk memperdalam wawasan pembaca tentang pengamatan terlibat akan diuraikan seluk
beluk pengamatan terlibat dari pandangan Suparlan (1997: 100-101). Dikemukakan bahwa
dalam kegiatan penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan terlibat si peneliti
bukan hanya mengamati gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang
diteliti, tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, merasakan, dan dalam batas-batas
tertentu mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang ditelitinya.
Wawancara yang dilakukannya bukanlah wawancara formal, yang biasa dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, tetapi sebuah wawancara yang terwujud sebagai dialog yang
spontan berkenaan dengan suatu masalah atau topik yang kebetulan sedang dihadapi oleh
pelaku. Justru yang spontan inilah yang objektif dan sahih karena tidak direkayasa terlebih
dulu oleh para informan (pengumpul informasi yaitu pembantu peneliti untuk mengumpulkan
informasi). Inti dari metoda pengamatan terlibat adalah mengumpulkan informasi melalui
pancainderanya. Metoda ini berbeda dengan metoda pengamatan yang hanya menggunakan
indera mata saja, atau dengan metoda wawancara dengan pedoman yang hanya menggunakan
telinga untuk mendengarkan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh informan.
Keterlibatan peneliti di dalam kehidupan masyarakat yang diteliti mungkin dapat dilakukan
kalau si peneliti tersebut diterima oleh masyarakat yang ditelitinya. Salah satu prasyarat
untuk dapat diterima oleh masyarakat yang diteliti adalah kejujuran dalam menjelaskan siapa
dirinya, dan memberikan penjelasan tersebut dengan secara masuk akal.
Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan
biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Hasil-hasil pengamatan
biasanya mencakup setting dari lingkungan hidup, lokasi, dan kondisi fisik dan sosial dari
unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya menurut Spindler (1982: 6 7
dalam Suparlan 1997: 108 110) pedoman umum yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan pengamatan terlibat, diantaranya:
1. Pengamatan-pengamatan yang dilakukan harus kontekstual. Peristiwa-peristiwa yang
signifikan harus dilihat dalam kerangka hubungan dari setting (latar) yang sedang
diteliti di dalam konteks-konteks yang lebih luas dan yang terletak di luar setting
tersebut.
2. Hipotesa-hipotesa dan pertanyaan-pertanyaan penelitian harus muncul sejalan dengan
berlangsungnya penelitian yang dilakukan dan berada dalam setting untuk diamati.
Ketentuan untuk memutuskan yang mana yang signifikan untuk dipelajari sebaiknya
ditunda sampai tahap orientasi dari penelitian lapangan tersebut telah selesai dilalui.
3. Pengamatan berlangsung lama dan berulang-ulang. Rangkaian peristiwa-peristiwa
harus diamati lebih dari satu kali.
4. Pandangan warga setempat (the native view) yaitu pandangan dari setiap orang yang
terlibat di dalam setting sosial mengenai kenyataan harus diungkapkan melalui
inferensi-inferensi dari pengamatan dan melalui berbagai bentuk penelitian etnografi:
wawancara, prosedur-prosedur lainnya yang dipilih (termasuk penggunaan sejumlah
alat bantu penelitian), dan bahkan kalau perlu dapat menggunakan kuesioner
walaupun harus dengan secara hati-hati.
Catatan penulis: walaupun hal tersebut di atas dimaksudkan untuk penelitian etnografi, tetapi
menurut penulis berlaku juga untuk penelitian bidang-bidang studi yang lain, termasuk
psikologi.
Selanjutnya menurut Suparlan (1994: 72 79) terdapat bermacam-macam keterlibatan si
peneliti dalam pengamatan terlibat, yaitu:
1. Keterlibatan pasif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti tidak terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya, dan dia juga
tidak melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan pelaku atau para pelaku yang
diamati. Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud dalam bentuk keberadaannya
dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan pelakunya.
Contoh. Seorang peneliti yang ingin mengetahui bagaimana pola tindakan warga Jakarta
untuk memperoleh pelayanan fasilitas yang terbatas ditempat umum. Kasus yang diamati
adalah ditempat penjualan karcis kereta api untuk luar kota di stasiun Gambir. Cara yang
dilakukannya adalah: Dia cukup datang ke stasiun kereta api Gambir, berdiri diruang tempat
adanya loket penjualan karcis untuk luar kota. Di papan pengumuman terdapat jadual-jadual
pemberangkatan masing-masing kereta api dan jam-jam penjualan karcis. Si peneliti tidak
harus ikut berdiri dimuka loket dan membeli karcis untuk dapat keterangan yang diperlukan.
Dengan demikian si peneliti cukup berdiri terpisah dari orang-orang yang sibuk berusaha
memperoleh karcis, tetapi dia juga tidak betul-betul terpisah dari para pelaku yang
diamatinya karena ia berada dalam arena kegiatan-kegiatan yang sedang diamatinya. Dalam
keadaan demikianlah si peneliti digolongkan sebagai pengamat dengan keterlibatan yang
pasif.
2. Keterlibatan Setengah-setengah. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti
mengambil suatu kedudukan yang berada dalam dua hubungan struktural yang
berbeda, yaitu antara struktur yang menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatan yang
diamatinya dengan struktur dimana dia sebagian dari dan menjadi pendukungnya.
Dalam kedudukan demikian, peranannya adalah mengimbangi antara peranan yang
harus dimainkan di dalam struktur yang ditelitinya dengan struktur yang dalam mana
dia menjadi salah satu unsurnya.
Contoh. Seorang mahasiswa kriminologi yang hendak mengadakan penelitian mengenai
kehidupan nara pidana disebuah Lembaga Pemasyarakatan; tidak mungkin untuk dapat
mengadakan pengamatan dengan cara hidup dipenjara sama dengan nara pidana (atau salah
satu kategori nara pidana sesuai dengan masa hukuman dan kejahatan yang telah
dilakukannya) lainnya. Pertama, kehidupan sebagai nara pidana terlalu berat bagi mahasiswa
tersebut, karena dalam kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan masih juga terkandung unsurunsur kekerasan dan kekejaman dalam segala seginya. Kedua, akan terjadi kesukaran untuk
menempatkan kedudukan si mahasiswa dalam struktur sosial yang berlaku dalam lembaga
tersebut, yang dapat merugikan usaha-usahanya untuk memperoleh keterangan-keterangan
yang diperlukan. Justu dia dikenal sebagai mahasiswa oleh para nara pidana itu maka
kemungkinan besar dia lebih banyak untuk dapat memperoleh keterangan yang diperlukan
dibandingkan kalau dia betul-betul sebagai nara pidana dalam kegiatan penelitiannya. Dalam
kedudukan sebagai mahasiswa, dalam satu segi dia orang luar lebih banyak dipercaya
untuk mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara sewajarnya dibandingkan kalau dia
berperan sebagai nara pidana atau sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam keadaan
demikian dia akan tetap mempertahankan peranannya sebagai peneliti atau pengamat yang
terlibat setengah-setengah.
3. Keterlibatan Aktif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti ikut mengerjakan apa
yang dikerjakan oleh para pelakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Kegiatankegiatan tersebut dilakukannya untuk dapat betul-betul memahami dan merasakan
(meng-internalisasikan) kegiatan-kegiatan dalm kehidupan mereka dan aturan-aturan
yang berlaku serta pedoman-pedoman hidup yang mereka jadikan sandaran pegangan
dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Contoh. Seorang peneliti yang berusaha untuk membuat etnografi salah satu suku bangsa
terasing di Indonesia, yaitu Orang Sakai yang hidup di wilayah Propinsi Riau, telah
menggunakan pengamatan terlibat. Dalam kegiatan penelitiannya, dia hidup/tinggal bersama
dengan Orang Sakai yang ditelitinya ditempat pemukiman mereka. Secara bertahap dia
berusaha untuk dapat memperoleh bahan-bahan keterangan yang diperlukan, yang antara lain
adalah turut aktif mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Orang Sakai yang
ditelitinya. Misalnya, untuk memperoleh bahan keterangan mengenai sistem mata
pencaharian, khususnya dalam hal ini cara-cara mereka menjerat hewan hutan, menangkap
ikan, dan sebagainya, maka si peneliti tersebut ikut dalam kegiatan-kegiatan menjerat hewan
di hutan, menangkap ikan (dengn berbagai tekniknya) di sungai, di rawa-rawa dan
digenangan air, dan sebagainya. Dalam kerangka pembicaraan mengenai tahap-tahap
kegiatan dalam penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan terlibat, sebenarnya
Pengamatan Keterlibatan Aktif dapat dilihat sebagai satu tahap perantara untuk mencapai
tahap berikutnya yaitu Pengamatan Terlibat Sepenuhnya atau Lengkap.
4. Keterlibatan Penuh atau Lengkap. Pada waktu si peneliti telah menjadi sebagian dari
kehidupan warga masyarakat yang ditelitinya, artinya dalam kehidupan warga
masyarakat tersebut kehadiran si peneliti dianggap biasa dan kehadirannya dalam
kegiatan-kegiatan para warga telah dianggap sebagai suatu keharusan, maka pada
waktu tersebut si peneliti sebenarnya telah mencapai suatu tahap keterlibatan yang
penuh atau lengkap. Dalam keadaan demikian, sebenarnya kedudukan dan peranan si
peneliti telah didefinisikan dalam struktur sosial yang berlaku, oleh para warga itu
sendiri. Sebenarnya tidak mudah untuk mencapai tahap ini, dan pencapaian tersebut
sebagian terbesar tergantung pada kemampuan si peneliti untuk dapat memanipulasi
kondsi-kondisi yang dipunyainya dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi yang
dihadapinya yang bersumber pada situasi penelitiannya. Dalam banyak hal seorang
peneliti yang menggunakan metoda pengamatan terlibat dapat mencapai tahap ini;
yaitu setelah memakan waktu yang cukup lama dalam hubungan si peneliti dengan
warga masyarakat yang bersangkutan dan setelah warga masyarakat tersebut merasa
bahwa si peneliti bukan orang yang jahat bahkan orang-orang yang baik.
Berkenaan dengan tahap pengamatan terlibat yang penuh atau lengkap ini, perlu dicatat
bahwa tidak semua peneliti dengan menggunakan pengamatan terlibat dapat menggunakan
cara teknik pengamatan terlibat penuh atau lengkap. Hal ini disebabkan oleh adanya
kenyataan bahwa tidak semua sasaran penelitian itu memungkinkan dilakukannya penelitian
dengan menggunakan teknik pengamatan terlibat penuh. Ada sasaran-sasaran penelitian yang
cukup membahayakan (baik dari segi fisik maupun segi sosial dan kejiwaan) bagi para
peneliti yang ingin menggunakan teknik keterlibatan yang sepenuhnya. Contohnya adalah
penelitian terhadap atau mengenai kehidupan orang homo sek oleh seorang peneliti laki-laki
yang tidak tergolong sebagai orang homo sek; juga penelitian terhadap kehidupan nara pidana
Lembaga Pemasyrakatan (seperti contoh yang telah dikemukakan terdahulu).
Disamping pengamatan terlibat, menurut Suparlan terdapat 2 (dua) macam pengamatan yang
lain, yaitu pengamatan biasa dan pengamatan terkendali, berikut penjelasannya:
1. Pengamatan Biasa. Metoda ini menggunakan teknik pengamatan yang mengharuskan
si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-hubungan emosi pelaku yang menjadi
sasaran penelitiannya. Contoh penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan
biasa dengan sasaran manusia adalah seorang peneliti yang mengamati pola
kehidupan para pelawak yang muncul dipanggung televisi RI. Si peneliti dalam hal ini
tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang diamatinya. Hal yang sama juga
dapat dilihat pada contoh dimana si peneliti mengamati pola kelakuan para pejalan
kaki di Jalan Salemba Raya (dimuka gedung UI) dari jembatan penyeberangan yang
ada disitu.
Penggunaan metoda pengamatan biasa, biasanya selalu digunakan untuk mengumpulkan
bahan-bahan keterangan yang diperlukan berkenaan dengan masalah-masalah yang terwujud
dari sesuatu peristiwa, gejala-gejala dan benda, contohnya adalah seorang peneliti yang
hendak memperoleh keterangan berkenaan dengan pengaruh kenaikan harga BBM baru-baru
ini terhadap harga beras dipasaran ibukota Jakarta. Pertama dia harus mengidentifikasi
tempat-tempat dimana beras dijual (pasar biasa, yang dibedakan lagi dalam penjual grosir,
penjual eceran; di warung-warung yang tersebar di kampung-kampung di kota Jakarta; dan di
supermarket-supermarket). Untuk kemudahan dia menentukan untuk memilih supermarket
sebagai sasaran tempat penjualan beras yang diamati, yang mudah melakukannya karena ada
tertera harga beras dikantong pembungkusnya. Dalam melakukan pengamatannya, dia akan
menentukan jangka waktu pengamatan, ambil contoh misalnya selama tujuh hari yang
dimulai pengamatannya satu hari setelah diumumkannya kenaikan BBM tersebut. Selama
tujuh hari si peneliti cukup mendatangi supermarket-supermarket yang ada di Jakarta,
mencatat harga beras sesuai dengan kategori (beras Cianjur kepala, Cianjur slip, Raja lele,
dan lain-lain sebagaimana yang terdapat dijual supermarket-supermarket tersebut). Dalam
kegiatan penelitiannya ini dia sama sekali tidak ada hubungan emosional ataupun perasaan
dengan beras yang diamati harganya.
1. 3.
Menurut Kartono (1980: 171) interview atau wawancara adalah suatu percakapan yang
diarahkan pada suatu masalah tertentu; ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua
orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.
Dalam proses interview terdapat 2 (dua) pihak dengan kedudukan yang berbeda. Pihak
pertama berfungsi sebagai penanya, disebut pula sebagai interviewer, sedang pihak kedua
berfungsi sebagai pemberi informasi (Information supplyer), interviewer atau informan.
pada pewawancara. Biasanya tidak digunakan skedul. Singkatnya wawancara tak standar atau
wawancara tak terstruktur merupakan situasi terbuka yang kontras dengan wawancara standar
atau terstruktur yang tertutup. Ini tidaklah berarti bahwa wawancara tak standar adalah suatu
yang gampang-gampangan saja. Wawancara jenis ini pun haruslah direncanakan secara
cermat sebagaimana halnya wawancara standar. Dalam hal ini yang kita perhatikan memang
hanya wawancara standar. Akan tetapi, diakui bahwa banyak masalah penelitian sering kali
membutuhkan tipe wawancara kompromi, yakni pewawancara diizinkan untuk menggunakan
pertanyaan-pertanyaan alternatif yang dinilainya cocok untuk responden tertentu dan
pertanyaan tertentu.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan wawancara (interview) merupakan
suatu kegiatan tanya jawab dengan tatap muka (face to face) antara pewawancara
(interviewer) dengan yang diwawancarai (interviewee) tentang masalah yang diteliti,
dimana pewawancara bermaksud memperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang
diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti. Karena wawancara itu
dirancang oleh pewawancara, maka hasilnya pun dipengaruhi oleh karakteristik
pribadi pewawancara.
Wawancara dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak
terstruktur. Terstruktur apabila pertanyaan yang diajukan pewawancara dilakukan secara ketat
sesuai daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Tidak terstruktur apabila pertanyaan yang
diajukan bersifat fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan wawancara yang telah
ditetapkan.
1. Wawancara Mendalam
Dalam wawancara dikenal adanya teknik wawancara mendalam (in depth interview). Berikut
akan disampaikan pandangan Malo yang mengacu pada pandangan para ahli penelitian
kualitatif, yang disampaikan pada Pelatihan Metoda Kualitatif PAU-IS-Universitas Indonesia
10 Nopember 1998 sebagai berikut:
Pada prinsipnya teknik wawancara merupakan teknik dimana penelitian dan responden
bertatap muka langsung di dalam wawancara yang dilakukan. Peneliti mengharapkan
perolehan informasi dari responden mengenai suatu masalah yang ditelitinya, yang tidak
dapat terungkap melalui penggunaan teknik kuesioner. Oleh karena itu maka di dalam
pelaksanaan wawancara mendalam, pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan kepada
responden tidak dapat dirumuskan secara pasti sebelumnya, melainkan pertanyaanpertanyaan tersebut akan banyak bergantung dari kemampuan dan pengalaman peneliti untuk
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan sesuai dengan jawaban responden. Dengan
perkataan lain di dalam wawancara mendalam berlangsung suatu diskusi terarah diantara
peneliti dan responden menyangkut masalah yang diteliti. Di dalam diskusi tersebut peneliti
harus dapat mengendalikan diri, sehingga tidak menyimpang jauh dari pokok masalah serta
tidak memberikan penilaian mengenai benar atau salahnya pendapat atau opini responden.
Melihat jenis pertanyaan yang digunakan dalam teknik wawancara mendalam maka jenis
pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan terbuka. Dibandingkan dengan pertanyaan
tertutup, jenis pertanyaan terbuka mempunyai kelebihan-kelebihannya misalnya
memungkinkan perolehan variasi jawaban sesuai dengan pemikiran responden; responden
dapat memberikan jawabannya secara lebih terinci serta responden diberikan kesempatan
mengekspresikan caranya dalam menjawab pertanyaan. Serentak dengan itu terdapat pula
kelemahan pertanyaan terbuka, misalnya: kemungkinan terdapatnya jumlah yang cukup besar
dari jawaban yang tidak relevan serta jawaban responden yang tidak standar atau baku
sehingga mempersulit pengolahan data. Seringkali pula peneliti harus pandai-pandai
menanyakan responden untuk memperoleh jawaban misalnya dengan mempergunakan
teknik-teknik probing (mengorek jawaban responden agar terarah pada tujuan penelitian).
sekelompok responden. Mengapa ? Karena pertanyaan ini mencerminkan tidak baik apabila
orang tidak membaca artikel mengenai situasi pendidikan di daerah itu.
5)
Apakah pertanyaan ini menuntut pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh
reponden ? Untuk menjaga agar tidak ada jawaban yang tidak valid karena kurangnya
informasi, akan bijaksana apabila kita menggunakan pertanyaan-pertanyaan saringan.
Sebelum responden ditanya pendapatnya tentang UNESCO, seyogya ditanya lebih dahulu
apakah dia mengetahui apa UNESCO itu dan apa artinya. Terdapat kemungkinan pendekatan
lain. Seyogyanya diberikan penjelasan singkat terlebih dulu tentang UNESCO, baru
kemudian responden diminta pendapatnya tentang UNESCO.
6)
Apakah pertanyaan ini menuntut ihwal yang bersifat pribadi dan peka sehingga
responden mungkin menolak menjawabnya ? Diperlukan teknik-teknik khusus untuk
memperoleh informasi yang bersifat pribadi, peka, atau kontroversial. Pertanyaan tentang
penghasilan misalnya dan hal-hal lain yang bersifat pribadi hendaknya diletakkan di bagian
belakang dalam wawancara, yaitu setelah tercapai kedekatan dan keakraban/hubungan yang
baik (rapport) antara pewawancara dengan responden. Apabila menanyakan sesuatu yang
secara sosial tidak disetujui, hendaknya anda tunjukkan bahwa sebagian orang berpandangan
tertentu, sementara orang-orang lain berpandangan yang sebaliknya. Janganlah sampai
membuat responden menyangkal atau menolak dirinya sendiri.
7) Apakah pertanyaan ini menyiratkan hal-hal yang dianggap baik atau buruk oleh
masyarakat ? Orang cenderung untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan yang
dipandang baik oleh umum, jawaban-jawaban yang menunjukkan atau mencerminkan
kesetujuan pada tindakan-tindakan atau hal-hal yang umumnya dinilai baik. Misalnya
menanyakan kepada seseorang mengenai perasaannya terhadap kanak-kanak. Setiap orang
diharap mengasihi anak-anak. Jika kita tidak hati-hati, kita akan mendapatkan jawaban
stereotip atau klise mengenai anak-anak dan kasih sayang. Juga, jika kita menanyakan apakah
seseorang menggunakan hak pilihnya, kita harus hati-hati karena setiap orang diharapkan
menggunakan hak pilihnya. Begitu pula jika kita menanyakan kepadaorang tentang reaksinya
terhadap kelompok minoritas, kita menghadapi resiko mendapatkan jawaban yang tidak valid
(kredibel). Kebanyakan orang yang berpendidikan, entah bagaimana sikap mereka yang
sesungguhnya, menyadari bahwa prasangka terhadap minoritas merupakan sesuatu yang tidak
dibenarkan. Demikianlah maka pertanyaan yang baik adalah yang tidak mengarahkan
responden untuk mengungkapkan sentimen-sentimen yang dipandang baik secara sosial
belaka. Sementara itu kitapun hendaknya tidak mengajukan pertanyaan tertentu sehingga
responden terpojok untuk memberikan jawaban yang secara sosial dipandang tidak baik.
Pengarahan atau instruksi yang perlu diperhatikan oleh pewawancara (interviewers) meliputi
pedoman-pedoman sebagai berikut:
1. Tidak pernah terjebak dalam penjelasan yang panjang dari studi itu; gunakan
penjelasan standar yang diberikan pengawas. (Never get involved in long
explanations of the study; use standard explanation provided by supervisor).
2. Tidak pernah menyimpang dari pengantar studi, urutan pertanyaan atau rumusan
pertanyaan. (Never deviate from the study introduction, sequence of questions, or
question wording).
9. Menurut Suparlan agar observasi dapat memperoleh data yang tepat sesuai tujuan
penelitian dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, peneliti hendaknya
memperhatikan 8 (delapan) hal. Jelaskan kedelapan hal tersebut !
10. Dari berbagai pendapat para ahli tentang observasi, bagaimana kesimpulan yang anda
dapat tarik tentang observasi dari pendapat para ahli tersebut. Jelaskan !
11. Dari pendapat beberapa ahli tentang observasi, dapat ditarik kesimpulan tentang ciriciri observasi. Jelaskan ciri-ciri observasi tersebut !
12. Jelaskan pengertian Pengamatan Terlibat (Participant Observation) menurut Suparlan
!
13. Jorgensen membedakan Pengamatan Terlibat (Participant Observation) dengan
Pengamatan Tidak Terlibat (Non-Participant Observation). Jelaskan perbedaan
tersebut !
14. Menurut Spindler terdapat pedoman umum yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan Pengamatan Terlibat. Jelaskan pedoman umum tersebut !
15. Menurut Suparlan terdapat 4 (empat) macam keterlibatan peneliti dalam Pengamatan
Terlibat. Sebutkan dan jelaskan keempat macam keterlibatan dalam Pengamatan
Terlibat !
16. Menurut Suparlan disamping Pengamatan Terlibat terdapat 2 (dua) macam
pengamatan yang lain. Sebutkan dan jelaskan pengamatan lain diluar Pengamatan
Terlibat !
17. Buatlah Pedoman Pengamatan dan Pedoman Pengamatan Terlibat tentang suatu
masalah, dengan mengacu teori yang mendasarinya, serta memperhatikan syaratsyarat pengamatan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ilmiah, serta
perbedaan-perbedaan Pengamatan Biasa dengan Pengamatan Terlibat !
18. Bagaimana pengertian Wawancara (Interview) menurut Kartini Kartono, jelaskan!
19. Jelaskan menurut Banister masalah yang bagaimana sehingga Wawancara
dipergunakan sebagai teknik pengumpulan data yang tepat dalam penelitian
kualitatif !
20. Terdapat 2 (dua) tipe Wawancara yaitu Wawancara terstruktur dan Wawancara tak
terstruktur !
21. Apa yang dimaksud dengan Wawancara Mendalam (In-depth interview) ? Jelaskan !
Hal-hal apa yang harus diperhatikan oleh peneliti dalam pelaksanaan Wawancara
Mendalam agar dapat tercapai tujuannya ?
22. Menurut Kerlinger terdapat 7 (tujuh) hal yang harus diperhatikan dalam menyusun
pertanyaan dalam melaksanakan Wawancara. Jelaskan 7 (tujuh) hal tersebut !
23. Menurut Denzin & Lincoln terdapat 6 (enam) pengarahan (instruksi) yang harus
diperhatikan oleh pewawancara (interview) dalam melaksanakan Wawancara.
Jelaskan 6 (enam) instruksi tersebut !
24. Buatlah Pedoman Wawancara tentang suatu masalah, dengan mengacu teori yang
mendasari masalah tersebut, dan memperhatikan 7 (tujuh) hal yang harus diperhatikan
menurut Kerlinger, serta 6 (enam) pengarahan/instruksi yang dikemukakan oleh
Denzin & Lincoln !
BAB V
GROUNDED THEORY DAN PENGODEAN (CODING)
wholes, in which the variable interact as a unit to produce certain outcomes. A case-oriented
perspective tends to assume that variables interact in complex ways, and is suspicious of
simple additive models, such as ANOVA with main effects only.
Intinya: Grounded theory mengacu pada teori yang dikembangkan secara induktif dari data.
Apabila grounded theory dilakukan dengan baik teori yang dihasilakn cocok dengan data.
Teori ini berbeda dengan teori yang dihasilkan secara deduktif dari grand theory, tanpa
bantuan data.
Grouded theory lebih mengambil perspektif studi kasus daripada perspektif variabel,
meskipun pembedaan ini hampir tidak dapat dibuat. Hal ini untuk sebagian berarti peneliti
mempelajari kasus untuk menjadi keseluruhan, di dalamnya variabel-variabel berinteraksi
sebagai unit untuk membuahkan hasil-hasil tertentu. Perspektif orientasi kasus cenderung
mengasumsikan bahwa variabel-variabel berinteraksi secara kompleks, dan curiga dengan
model-model aditif seperti ANOVA dengan hanya akibat utama saja.
Selanjutnya, penjelasan lanjutan tentang tujuan dan perspektif grounded theory sebagai
berikut: Although not part of the grounded theory rhetoric, it is apparent that grounded
theorists are concerned with or largerly influenced by emic understandings of the world: they
use categories drawn from respondents themselves and tend to focus on making implicit
belief systems explicit.
Intinya: Meskipun bukan bagian dari retorika grounded theory, jelaslah bahwa teoretikusteoretikus grounded theory memperhatikan atau dipengaruhi secara luas oleh pemahamanpemahaman emik tentang dunia, mereka menggunakan kategori-kategori dari responden
mereka sendiri, dan cenderung memfokuskan pada penyusunan sistem kepercayaan implisit
menjadi eksplisit.
Menurut Strauss dan Corbin (1990: 23) grounded theory: is one that inductively derived
from the study of the phenomenon it represents. That is it discovered, develoved, and
provisionally verified through systematic data collection and analysis data pertaining to that
phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory stand in reciprocal relationship
with each other. One does not begin with a theory, than prove it. Rather, one begins with an
area of study and what is relevant to that area is allowed to emerge.
Kutipan tersebut mempunyai arti: grounded theory adalah teori yang diperoleh dari hasil
pemikiran induktif dalam suatu penelitian tentang fenomena yang ada. Grounded theory ini
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan melalui pengumpulan data secara sistematis dan
analisis data yang terkait dengan fenomena tersebut. Oleh karena itu kumpulan data, analisis
dan teori saling mempengaruhi satu sama lain. Peneliti tidak mulai dengan suatu teori
kemudian membuktikannya, tetapi memulai dengan melakukan penelitian dalam suatu
bidang, kemudian apa yang relevan dengan bidang tersebut dianalisis.
Selanjutnya menurut Strauss dan Corbin (1990: 23) terdapat 4 (empat) kriteria utama untuk
menilai apakah suatu grounded theory dibangun dengan baik. Empat kriteria tersebut adalah:
1) kecocokan (fit), 2) dipahami (understanding), 3) berlaku umum (generality), 4) dan
pengawasan (controll).
Dikatakan cocok (fit) apabila suatu teori itu tepat untuk kenyataan sehari-hari dari bidang
yang benar-benar diteliti, dan cermat diterapkan untuk bermacam-macam data. Bila demikian
itu berarti cocok (fit) untuk bidang yang benar-benar diteliti. Hal ini seperti dijelaskan oleh
Strauss dan Corbin sebagai berikut: If theory is faithful to the everyday reality of substansive
area and carefully induced from diverse data, then it should fit that substansive area.
Dikatakan dipahami (understanding) apabila grounded theory menggambarkan kenyataan
(realitas), ini juga berarti bersifat komprehensif dan dapat dipahami baik oleh individuindividu yang diteliti maupun oleh peneliti pada waktu melaksanakan studi dilapangan. Hal
ini seperti yang dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: Because it represents
that reality, it should also be comprehensible and make sense both to the persons who were
studied and those practicing in the area.
Dikatakan berlaku umum (generality) jika data yang menjadi dasar grounded theory itu
komprehensif dan interpretasi-interpretasinya bersifat konseptual dan luas, maka grounded
theory itu menjadi cukup abstrak dan mencakup variasi-variasi yang memadai sehingga
mampu diaplikasikan untuk beragam konteks yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti.
Dengan demikian teori itu berlaku umum (generality). Hal ini seperti yang dijelaskan Strauss
dan Corbin sebagai berikut: If the data upon which it is based are comprehensive and the
interpretation conceptual and broad, then the theory should be abstract enough and include
sufficient variation to make it applicable to a variety of contexts related to that
phenomenon.
Dikatakan pengawasan (controll) karena grounded theory memberikan pengawasan
berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada fenomena. Hal ini disebabkan
karena hipotesis-hipotesis yang mengajukan hubungan antar konsep yang selanjutnya dapat
digunakan sebagai pembimbing penelitian secara sistematik diambil dari data aktual yang
berhubungan hanya pada fenomena. Hal ini seperti dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai
berikut: Finally, the theory should provide controll with regard to action toward the
phenomenon. This is because the hyphotheses proposing relationship among concepts
which later way be used to guide action are systematically derived from actual data related
to that (and only that) phenomenon.
Mengenai pendekatan yang digunakan dalam grounded theory dijelaskan oleh Strauss dan
Corbin sebagai berikut: Grounded theory adalah suatu penelitian kualitatif yang
menggunakan seperangkat prosedur yang sistematis untuk menyusun secara induktif teori
tentang suatu fenomena. Penelitian tersebut akan menghasilkan rumusan teoritis tentang
suatu realitas, yang terdiri dari sejumlah atau sekelompok tema-tema yang mempunyai kaitan
secara tidak ketat. Melalui cara ini, konsep dan hubungan tema-tema tersebut tidak hanya
dapat diberlakukan secara umum, tetapi juga diuji sementara. Hal ini seperti yang dijelaskan
oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: The grounded theory approach is a qualitative
research method that uses a systematic set a procedures to develop an inductively derived
grounded theory about a phenomenon. The research findings constitute a theoritical
formulation of the reality under investigation, rather than consist of a set of number, or a
group of loosely related themes. Through this metodology, the concepts and relationships
among them are not only generated but they are also provisionally tested. The procedures of
the approach are many and rather specific, as you will see.
Sedang tujuan dari grounded theory adalah menyusun teori yang tepat dan memberi
gambaran yang jelas tentang bidang yang diteliti. Peneliti-peneliti bekerja dalam tradisi yang
demikian, dan berharap teori yang mereka bangun dapat dikaitkan dengan teori-teori lain
dalam disiplin masing-masing dan implikasinya dapat berguna dalam penerapannya. Hal ini
seperti yang dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: The purpose of grounded theory
method is, of course, to build theory that is faithful to add illuminates the area under study.
Researchers working in this tradition also hope that their theories will ultimately be related
to others within their respective disiplines in a cumulative fashion, and that the theorys
implications will have useful application.
Untuk melakukan penelitian grounded theory diperlukan adanya kepekaan teori (theoretical
sensitivity). Bahkan kepekaan teori sering diasosiasikan dengan grounded theory (Theoretical
sensitivity is a term frequently associated with grounded theory) (Strauss dan Corbin, 1990:
41). Kepekaan teori mengacu kualitas pribadi dari seorang peneliti. Ini diindikasikan adanya
suatu kesadaran terhadap kehalusan makna (subtleties) dari data. Seseorang sampai pada
suatu situasi penelitian dengan bermacam-macam tingkat kepekaan, dan hal ini tergantung
dari apa yang dipelajari sebelumnya dan pengalaman yang relevan dengan suatu bidang. Hal
ini juga dapat dikembangkan lebih jauh selama proses penelitian. Kepekaan teoritis mengacu
pada sifat pemahaman yang dimiliki, kemampuan memberi makna pada data, kemampuan
untuk memahami, kemampuan memisahkan hal yang berkaitan dari hal-hal yang tidak
berkaitan. Ini semua dilakukan dengan istilah-istilah konseptual lebih dari istilah-istilah
kongkret. Kepekaan teori memampukan seseorang mengembangkan sesuatu menjadi teori
dari dasar, dikonseptualisasikan secara mantap dan terintegrasi secara baik . Hal ini
seperti dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: Theoretical sensitivity refers to a
personal quality of the researcher. It indicates an awareness of the subleties of meaning of
data. One can came to the research situation with varying degrees of sensitivity depending
upon previous reading and experience with or relevant to an area. It can also be developed
further during the research process. Theoretical sensitivity refers to the attribute of having
insight, the ability to give meaning to data, the capacity to understand, and capability to
separate the partinent from that which isnt. All this is done in conceptual rather than
concrete terms. It is theoretical sensitivity that allows one to develop a theory that is
grounded conceptually dense, and well integrated.(Strauss & Corbin, 1990: 41 42).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kepekaan teoretik berasal dari sejumlah sumber. Salah satu
sumber adalah literatur yang meliputi: bacaan teori, penelitian dan berbagai macam dokumen
(misalnya biografi publikasi tentang pemerintahan). Dengan dimilikinya keakraban dengan
publikasi-publikasi tersebut, akan dimiliki latar belakang informasi yang kaya dan sensitif
terhadap kejadian dalam fenomena yang sedang dipelajari. Hal ini seperti dijelaskan Strauss
dan Corbin sebagai berikut: Theoretical sensitivity comes from a number of sources. Once
sources is literature, which include readings on theory, research and document (e.q
biographies, government publications) of various kinds. By having some familiarity with
these publications, you have a rich background og information that sensitizes you to what
is going on with the phenomenon you are studying.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa grounded theory
adalah suatu yang bersifat konseptual atau teori sebagai hasil pemikiran induktif dari
data yang dihasilkan dalam penelitian mengenai suatu fenomena. Atau suatu teori yang
dibangun dari data suatu fenomena dan dianalisis secara induktif, bukan hasil
pengujian teori yang telah ada. Untuk menganalisis data secara induktif diperlukan
kepekaan teori (theoretical sensitivity).
Agar hasil analisis secara induktif terhadap data fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai
grounded theory harus memenuhi 4 (empat) kriteria sebagai berikut: 1) cocok (fit) yaitu
apabila teori yang dihasikan cocok dengan kenyataan sehari-hari sesuai bidang yang diteliti,
informasi yang kaya dan peka atau sensitif terhadap kejadian-kejadian dan peristiwaperistiwa dalam fenomena yang diteliti.
2. PENGODEAN (CODING)
a. Pendahuluan
Manfaat coding adalah untuk merinci, menyusun konsep (conceptualized) dan membahas
kembali semuanya itu dengan cara baru. Ini merupakan cara yang terkendali dimana teori
dibangun dari data. Konseptualisasi atau membangun konsep atau teori berdasarkan data ini
merupakan hal yang sangat khusus dari proses coding dalam mengembangkan suatu
grounded theory. Hal ini juga membuat berbeda dari analisis-analisis lain seperti yang telah
dikemukakan dalam bab pendahuluan. Perbedaan tersebut merupakan upaya memperluas cara
yang memungkinkan peneliti mendapatkan beberapa tema atau mengembangkan deskripsi
kerangka teoritis yang terkait dengan konsep-konsep.
Menurut Strauss dan Corbin (1990: 57) prosedur analisis dalam grounded theory dirancang
sebagai berikut:
a)
Membangun teori lebih dari sekedar menguji pada teori (Build rather than only tes
theory).
b)
Memberikan proses penelitian suatu kepastian/keketatan yang diperlukan untuk
membuat teori menjadi ilmu pengetahuan yang baik (Give the research process the rigor
necessary to make the theory good science).
c)
Membantu penganalisaan yang bebas dari bias-bias dan asumsi-asumsi yang terbawa,
dan yang dapat berkembang selama proses penelitian berlangsung (Help the analysist to
break through the biases and assumptions brought to, and that can develop during the
research process).
d) Memberikan dasar atau alas (grounding), membangun keterpaduan, dan
mengembangkan kepekaan dan integrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan teori yang
kaya, tersusun secara ketat (tightly woven), eksploratoris yang lebih mendekati
kenyataan/realitas yang ada (Provide the grounding, build the density, and develop the
sensitivity and integration needed to generate a rich, tightly woven, explanatory theory that
closely approximates the reality it represents).
Menurut Strauss dan Corbin terdapat 3 (tiga) macam/jenis proses analisis data (coding) yaitu
Open Coding, Axial Coding, dan Selective Coding. Agar teori yang dibangun berdasarkan
data itu tidak salah, ketiga macam coding tersebut harus dilakukan secara simultan dalam
penelitian.
1)
Open Coding: adalah proses merinci, menguji, membandingkan, konseptualisasi, dan
melakukan kategorisasi data (The process of breaking down, examining, comparing,
conceptualizing, and categorizing data).
2)
Axial Coding: adalah suatu perangkat prosedur dimana data dikumpulkan kembali
bersama dengan cara baru setelah open coding, dengan membuat kaitan antara kategorikategori. Ini dilakukan dengan memanfaatkan landasan berpikir (paradigma) coding yang
meliputi kondisi-kondisi, konteks-konteks, aksi strategi-strategi interaksi dan konsekuensikonsekuensi. (Axial Coding: A set of procedures where by data are put back together in new
ways after open coding, by making connections between categories. This is done by utilizing
a coding paradigm involving conditions, context, action/interactional strategies and
consequenses-consequenses).
3)
Selective Coding: adalah proses seleksi kategori inti, menghubungkan secara sistematis
ke kategori-kategori lain, melakukan validasi hubungan-hubungan tersebut, dan dimasukkan
ke dalam kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk perbaikan dan pengembangan.
(Selective Coding: The process of selecting the core category, systematically relating it to
other categories, validating those relationships, and filling in categories that need futher
refinement and development).
Dalam Bab IV terdahulu telah disinggung serba sedikit tentang prosedur pengodean (coding)
dan adanya 3 (tiga) macam coding. Dalam Bab V berikut ini prosedur coding dan 3 (tiga)
macam coding akan diuraikan lebih rinci, dan dalam uraian-uraian selanjutnya kata yang
digunakan adalah coding. Namun sebelum uraian tentang prosedur dan macam-macam
coding, akan diuraikan lebih dulu mengapa coding dalam penelitian kualitatif sangat penting.
1. b.
Miles & Huberman (1992: 86 87) menyatakan pendapat yang intinya dapat dikemukakan
sebagai berikut: Dalam penelitian kualitatif data dan analisis data berupa kata-kata, bukan
angka-angka. Kata-kata lebih padat makna yang terkandung, tetapi sering memiliki makna
ganda. Hal ini menyebabkan sulit untuk bekerja dengan kata-kata. Seperti kata board
(bahasa Inggris) dapat diartikan dewan yaitu badan yang dapat membuat keputusan, tetapi
dapat juga berarti selembar papan kayu. Sebaliknya angka-angka lebih cepat diproses untuk
mendapatkan maknanya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kebanyakan peneliti
lebih senang bekerja dengan angka-angka, atau kata-kata yang dikumpulkan, segera diubah
dalam bentuk angka-angka. Apabila hanya memfokuskan semata-mata pada angka-angka,
perhatian akan bergeser dari substansi kepada hitungan, dengan demikian akan kehilangan
keseluruhan makna kualitatifnya. Menurut Miles & Huberman selanjutnya apabila angkaangka yang berasal dari kata-kata menjadi tidak bermakna, biasanya tidak ada cara yang
sangat memuaskan untuk membuat lebih dimengerti kecuali kembali pada angka-angka.
Menurut Miles & Huberman pemecahan atas masalah ini adalah tetap menggunakan angkaangka dan kata-kata secara bersama dalam melakukan analisis data dalam penelitian
kualitatif.
Perlu diperhatikan bahwa angka-angka yang dimaksudkan oleh Miles & Huberman tersebut
bukan berarti angka-angka hasil analisis statistik atau skor dari data yang dikumpulkan agar
dapat dilakukan analisis statistik, melainkan angka-angka dalam rangka melakukan coding.
Sedang menurut penulis kata-kata dalam rangka membuat coding (berarti melakukan analisis
data) harus dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna tertentu. Suatu konsep
mengakomodasikan beberapa kata, misalnya konsep manajemen mengakomodasikan kata
merencanakan, mengatur, melaksanakan, mengawasi, memberi perintah dan lain-lain. Konsep
ini selanjutnya diperlukan guna menyusun kategori-kategori, yang selanjutnya dari kategorikategori tersebut dapat disusun atau dirumuskan ciri-ciri. Dalam konteks penelitian
grounded, dari ciri-ciri kemudian ciri-ciri tersebut dapat diletakkan dalam garis dimensinya,
yang selanjutnya dapat dirumuskan grounded theory setelah beberapa tahap yang lain
dilakukan. Jelaslah disini dengan kata-kata lebih mudah untuk dikaitkan dengan konsep yang
mengandung makna. Atau dengan kata lain kata-kata lebih padat makna dibandingkan dengan
angka-angka.
1. c.
a)
Pengertian Coding
Coding pada dasarnya merupakan proses analisis data, yaitu data dirinci,
dikonseptualisasikan dan diletakkan kembali bersama-sama dalam cara baru. Ini merupakan
proses sentral dimana teori-teori dibentuk dari data (.data are broken down,
conceptualized, and put back together in new ways. It is the central process by which
theories are built from data) (Strauss and Corbin, 1990: 57).
b)
Prosedur Coding
Apa yang menjadikan proses coding sedemikian menarik dalam pengembangan grounded
theory ? Apa yang membuatnya berbeda dari metoda-metoda analisis yang lain ? Yaitu bahwa
metoda ini mempunyai tujuan yang lebih luas, tidak hanya memungkinkan peneliti
memberikan beberapa tema, atau mengembangkan kerangka kerja deskriptif yang teoritis
berdasarkan konsep-konsep yang terjalin secara longgar. Prosedur analisis grounded theory
juga dirancang untuk:
1)
Membangun teori, bukan sekedar melakukan pengujian pada teori (Build rather than
only test theory).
2)
Memberikan suatu kepastian/ketepatan yang diperlukan dalam proses penelitian untuk
membangun teori ilmu pengetahuan yang lebih baik (Give the research process the rigor
necessary to make the theory good science).
3)
Membantu analis mengatasi bias-bias dan asumsi yang terbawa dan dapat berkembang
selama penelitian (Help the analysist to break through the biases and assumptions brought
to, and that can develop during the research process).
4)
Memberikan dasar (grounding), membangun kepadatan makna (density), dan
mengembangkan kepekaan dan integrasi yang diperlukan untuk menghasilkan teori yang
jelas, kaya, terjalin dengan ketat, yang sangat mendekati realitas yang diwakilinya. (Provide
the sensitivity and integration needed to generate rich, tightly woven, explanatory theory that
closely approximates the reality it presents) (Strauss and Corbin, 1990: 57).
Untuk mencapai tujuan atau maksud tersebut diperlukan adanya keseimbangan antara
kreativitas, ketepatan (rigor), ketekunan dan kepekaan teoritik (theoretical sensitivity). Ini
merupakan kombinasi beberapa kualitas yang tidak mudah, namun semuanya itu jelas
diperlukan kapan pun penelitian dilakukan. Meskipun biasanya tidak dapat diharapkan bahwa
peneliti pemula dapat menghasilkan temuan besar, tetapi dengan usaha keras dan ketekunan
peneliti akan mampu memberikan kontribusi pada bidang kajiannya.
Analisis dalam grounded theory terdiri atas 3 (tiga) tipe utama coding, yaitu: a) pengodean
terbuka (open coding), b) pengodean aksial (axial coding),
c) pengodean selektif
(selective coding).
Sebelum diuraikan lebih lanjut apa itu pengodean, terdapat 4 (empat) hal penting yang harus
diketahui, yaitu:
1)
Melakukan analisis sesungguhnya adalah membuat interpretasi. Ada alasan yang
bagus untuk itu, seperti yang dikemukakan oleh Diesing (1971: 14) seorang filsuf ilmu
pengetahuan: Sesungguhnya ilmu pengetahuan ilmiah sebagian besar merupakan penemuan
atau pengembangan, bukan peniruan; konsep, hipotesis, dan teori tidak ditemukan dalam
keadaan sudah dibuat oleh kenyataan tetapi harus dibangun. (Doing analysis is, in fact,
making interpretations and there is good reason for this. As Diesing (1971: 14), a
philosopher of science says: Actually scientific knowledge is in large part invention or
development rather than an imitation; concepts, hypotheses, and theories are not found
ready-made in reality but must be constructed).
2)
Walaupun ditetapkan prosedur dan teknik tetapi sama sekali tidak dimaksudkan
agar peneliti hanya terpaku pada prosedur dan teknik tersebut. Diesing (1971: 14)
mengemukakan: Prosedur tidak bersifat mekanistis atau otomatis, bukan pula sebuah
algoritma yang dijamin dapat memberikan hasil. Prosedur dan teknik hanya diterapkan secara
fleksibel menurut situasi, dan berbagai alternatif tersedia dalam tiap langkah (The second is
that while we set these procedures and techniques before you, we do not at all wish to imply
rigid adherence to them. Again to quote Diesing (1971: 14) The procedure are not
mechanical or automatic, nor do they constitute an algorithm quaranted to give results. They
are rather to be applied flexibly according to circumstances; their order may vary and
alternatives are available at every step).
3)
Teknik umum yang merupakan inti dari semua prosedur pengodean untuk
membantu penggunaan prosedur agar menjadi fleksibel adalah pengajuan pertanyaan.
Peneliti harus mengajukan pertanyaan selama melakukan penelitian. Agar fenomena dapat
dipahami dengan baik, peneliti dituntut mengajukan banyak pertanyaan, berkaitan dengan
fenomena yang sedang dikaji, termasuk ciri-ciri, dimensi, dan komponen-komponen
paradigma fenomena tersebut. (In fact, one general technique that is central to all coding
procedures and that help to ensure your flexible use of those procedur is the asking questions.
You should be asking questions all along the course of your research project. As you read the
next chapters, you will see so many questions being asked about the phenomena under study,
and about their various properties, dimensions, paradigm components, and so forth, that is
some reasons you wishes to keep track of them you would be hard pressed to do so ).
Catatan penulis: pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif tidak hanya digunakan
dalam upaya mendapatkan pemahaman yang mendalam dari permasalahan yang diteliti,
tetapi dalam konteks grounded theory, pertanyaan digunakan dalam rangka menemukan
konsep-konsep yang sama guna penyusunan kategori-kategori, menemukan ciri-ciri yang
sama guna penyusunan dimensi-dimensi sebagai dasar-dasar penyusunan teori.
4)
Sangat disarankan untuk mempelajari semua prosedur pengodean secara lebih rinci.
Setiap prosedur harus dimengerti sebelum menuju proses selanjutnya, dengan demikian
dimiliki pemahaman yang lebih baik. Apabila prosedur ini dipahami dan dipraktekkan dengan
baik, maka pengodean itu akan menjadi alat penelitian yang benar-benar efektif. (We
strongly recommend that after reading the chapters on coding (rapidly if you wish), that then
you study each in great detail. These chapters (5 10) cover basic analytic procedures and
their logic. Each procedure must be understood before proceeding to the next, otherwise your
overall understanding of them will be less secure than you would wish. Once grasped and
practiced they become really effective research tools).
4)
Pencatatan kode: hasil pengodean. Ini merupakan sebuah bentuk memo. (Code Notes;
The products of coding. These are one type of memo).
5)
Pengodean terbuka: proses perincian, pengujian, perbandingan, pengonsepan dan
pengkategorian data. (Open Coding; The process of breaking down, examining, comparing,
conceptualizing and categorizing data).
6)
Ciri-ciri: atribut atau karakteristik yang berkenaan dengan suatu kategori. (Properties;
attributes or characteristics pertaining to a category).
7)
Dimensi: lokasi ciri sepanjang suatu garis kontinum. (Dimensions; Location of
properties along a continum).
8)
Dimensionalisasi: proses perincian karakteristik ke dalam dimensi-dimensinya.
(Dimensionalizing; The process of breaking a property down into its dimensions). (Strauss
& Corbin, 1990: 61).
Dalam uraian selanjutnya akan dikemukakan contoh konkret bagaimana melakukan
pelabelan, penyusunan dan penamaan kategori, pengembangan kategori menurut ciri dan
dimensi.
b) Pelabelan Fenomena
Strauss & Corbin memberikan contoh tentang pelabelan fenomena sebagai berikut:
Anda berada dalam sebuah restoran yang cukup mahal tetapi populer. Restoran tersebut
terdiri dari bangunan bertingkat tiga. Tingkat pertama untuk bar, tingkat dua untuk ruang
makan kecil-kecil, tingkat tiga untuk ruang makan utama dan dapur. Dapur tersebut terbuka,
sehingga anda dapat melihat apa saja yang sedang terjadi. Anda melihat ada seorang wanita
berpakaian merah. Ia hanya berdiri di dapur, tetapi menurut akal sehat tidak mungkin pemilik
restoran menggaji seseorang hanya untuk berdiri. Rasa ingin tahu anda terusik, dan anda
memutuskan untuk melakukan analisis induktif untuk mencari tahu apa sesungguhnya
pekerjaan wanita tersebut.
Anda memperhatikan bahwa wanita tersebut sedang memperhatikan secara serius sekeliling
dapur, juga tempat para juru masak (koki) bekerja dan wanita tersebut juga memperhatikan
secara seksama apa yang sedang terjadi. Lalu anda memberikan label memperhatikan
(watching). Selanjutnya datang seseorang padanya dan mengajukan pertanyaan, dan wanita
berbaju merah tadi menjawab. Anda memberi label penyampaian informasi (information
passing). Wanita tersebut tampak memperhatikan segala sesuatu yang ada di dapur dan
diruang makan lalu anda memberikan label pemerhati (attentiveness). Wanita berbaju
merah tadi berjalan dan memberi tahu seseorang petugas yang membawa makanan sehingga
anda memberi label penyampaian informasi (information passing). Walaupun ia berdiri
ditengah-tengah kegiatan para pekerja, ia tidak tampak melakukan intervensi misalnya
mengambil alih pekerjaan dari para pekerja, sehingga anda memberi label tidak
mengintervensi (unintrusiveness). Selanjutnya wanita tersebut berjalan memperhatikan
setiap orang dan segala sesuatu, sehingga anda memberi label memonitor (monitoring).
Kelihatannya ia memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan bagaimana pelayan
berinteraksi dengan pelanggan, memperhatikan bagaimana pekerja merespon pelanggan,
waktu pelayanan, berapa lama waktu yang diperlukan pelanggan duduk sampai
menyampaikan pesanan, memperhatikan pekerja mengantar makanan, memperhatikan respon
pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diterima.
Selanjutnya pelayan datang dengan pesanan untuk pesta besar, wanita berbaju merah tadi
bergerak untuk membantunya, ia menawarkan bantuan (providing assistance). Wanita
tadi tampak seolah-olah ia tahu betul apa yang sedang ia lakukan, dan ia mempunyai
kompetensi/kemampuan untuk itu, ini berarti ia berpengalaman (experienced).
Ia berjalan menuju tembok dekat dapur dan memperhatikan apa yang ada pada jadwal, berarti
ia melakukan pengumpulan informasi (information gathering).
yaitu: lama atau sebentar. Demikian juga subkategori memberikan informasi dapat dilihat
dari dimensi sedikit atau banyak informasi yang diberikan, dimensi cara memberikan
informasi: dengan cara tertulis atau lisan, secara terbuka atau tertutup, dengan suara
lantang atau lembut.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu proses pemberian label dari peristiwa atau kejadian menjadi
kategori yaitu abstraksi pada tingkat yang lebih tinggi, kemudian konsep yang lebih abstrak
lagi, kemudian subkategori, selanjutnya ciri-ciri dan dimensi dapat digambarkan dalam
skema sebagai berikut:
Skema Proses Pemberian Label, Kategori, Konsep yang lebih Abstrak, Subkategori,
Ciri-ciri dan Dimensi
2)
Kondisi Sebab-Akibat (Causal Conditions): Peristiwa, insiden, kejadian yang mengarah
pada terjadinya atau perkembangan fenomena. (Causal Conditions: Events, incidents,
happenings that lead to lead to the occurance or development of the phenomenon).
3)
Fenomena (phenomenon): Gagasan utama, kejadian, peristiwa, insiden tentang
seperangkat tindakan atau interaksi yang teratur atau berhubungan. (Phenomenon: The
central idea, event, happening, incident about which aset of actions or interactions are
directed at managing handling, or to which the set of actions is related).
4)
Konteks (Context): Seperangkat ciri khusus yang berkaitan dengan suatu fenomena,
yaitu; lokasi peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan fenomena sepanjang rentang
suatu dimensi. Konteks, mewakili (merepresentasikan) serangkaian kondisi tertentu yang
didalamnya terdapat strategi interaksi/strategi tindakan yang diambil. (Context: The specific
set of properties that pertain to a phenomenon: that is, the locations of events or incidents
pertaining to a phenomenon along a dimentional range. Context represents the particular set
of conditions within which the action/interactional strategies are taken).
5)
Kondisi yang mempengaruhi (Intervening Conditions): Kondisi struktural yang
membuat strategi tindakan/interaksi terjadi, yang berkaitan dengan fenomena. Kondisikondisi ini memperlancar atau menghambat strategi yang diambil dalam suatu konteks
khusus. (Intervening Conditions: The structural conditions bearing on action/interactional
strategies that pertain to a phenomenon. They facilitate or constrain the strategies taken
within a specific context). (Strauss & Corbin, 1990: 96-97).
b) Proses Pengodean
Seperti telah diuraikan di muka pengodean terbuka (Open Coding) merinci data sehingga
memungkinkan si peneliti menyusun kategori, ciri-cirinya dan lokasi dimensinya. Pengodean
Berporos (Axial Coding) mengatur data-data itu kembali secara bersama dalam cara-cara
yang baru dengan membuat hubungan di antara kategori dan subkategorinya. Di sini belum
dibahas tentang hubungan beberapa kategori utama untuk membentuk formulasi teoritis yang
menyeluruh (hal ini akan dibahas dalam Pengodean Selektif (Selective Coding), melainkan
masih terbatas pada pengembangan suatu kategori, tetapi melebihi pengembangan ciri-ciri
dan dimensinya.
Dalam Axial Coding fokus pembahasan adalah membuat spesifik/khusus suatu kategori dari
segi kondisi-kondisi yang muncul, yaitu konteks (serangkaian ciri-ciri yang khusus) yang
terkait; tindakan atau strategi interaksi yang dilakukan dan dikendalikan; dan konsekuensi
dari strategi-strategi tersebut. Upaya mencari kekhususan/spesifikasi tersebut, (konteks,
strategi dan konsekuensi) adalah merupakan penyusunan subkategori. Subkategori pada
hakekatnya juga merupakan kategori tetapi dilihat dari kekhususannya/spesifikasinya. Pada
Open Coding telah dimulai meletakkan data-data secara bersama-sama dalam suatu bentuk
yang berhubungan. Walaupun Open Coding dan Axial Coding merupakan prosedur analisis
yang berbeda, tetapi sebenarnya pada waktu si peneliti melakukan proses analisis, ia dapat
menggunakan salah satu alternatif dari kedua macam coding tersebut. (Though open and
axial coding are distinct analytic procedures, when the researcher is actually engaged in
analysis he or she alternates between the two modes).
Sebelum dibahas mengenai bagaimana membuat spesifikasi dari kategori melalui Axial
Coding, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
1)
Pada waktu melakukan Open Coding berbagai macam kategori diidentifikasi. Misalnya
suatu kategori mempunyai kekhususan yang bersifat kondisi, sementara kategori lain
menunjukkan tindakan/strategi interaksi, kategori lain menunjukkan konsekuensi dari
tindakan/ strategi interaksi.
2)
Label-label konseptual yang ada tidak harus selalu ditempatkan pada kategori kondisi,
strategi dan konsekuensi. Tetapi apabila memang menghadapi fenomena atau peristiwa yang
dapat dibedakan seperti itu sebaiknya dilakukan penyusunan subkategori seperti itu,
misalnya: Ada subjek yang sakit/menderita sakit (kondisi), subjek tadi mengalami demam
(fenomena), lalu ia minum amoxilin (strategi), setelah beberapa saat ia merasa baik
(konsekuensi). Sehingga tersusun tiga subkategori yaitu subkategori kondisi, fenomena,
strategi dan konsekuensi.
3)
Dengan tersusunnya subkategori-subkategori, maka dapat disusun ciri-ciri seperti
durasi, tingkatan dan intensitas. Dari durasi, tingkatan dan intensitas ini dapat ditentukan
lokasi dimensinya dan lokasi dimensi ini terkait dengan penyusunan teori.
4)
Dalam Axial Coding, subkategori-subkategori dihubungkan dengan kategori-kategori
melalui sebuah model yang disebut model hubungan (penulis).
Selanjutnya akan diuraikan tentang Model Hubungan dan contohnya. Dalam Grounded
Theory subkategori dihubungkan dengan suatu kategori dalam seperangkat hubungan yang
menunjukkan kondisi sebab akibat, fenomena, konteks, kondisi-kondisi yang mempengaruhi,
tindakan/strategi interaksi, dan konsekuensi. Model Hubungan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
(A) KONDISI SEBAB AKIBAT (B) FENOMENA
(C) KONTEKS (D) KONDISI YANG MEMPENGARUHI
(E) TINDAKAN / STRATEGI INTERAKSI (F) KONSEKUENSI
Akan dijelaskan masing-masing subkategori-subkategori tersebut sebagai berikut:
1)
Fenomena
Istilah ini mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengarah pada terjadinya atau
perkembangan suatu fenomena. Sebagai misal, apabila kita tertarik dengan fenomena rasa
sakit, kita mungkin menemukan bahwa rasa sakit itu disebabkan oleh kaki patah atau sakit
encok. Kejadian seperti itu menyebabkan atau membawa pengalaman rasa sakit. Dengan
Model Hubungan, pengalaman rasa sakit dapat digambarkan sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat
Kaki patah atau menderita
Fenomena sakit
Encok
Selanjutnya kita dapat lebih spesifik mendiskripsikan kondisi sebab akibat kaki patah, yaitu
mengidentifikasi ciri-cirinya dan lokasi dimensional dari ciri-ciri tersebut. Kondisi kaki patah
tersebut misalnya keretakannya lebih dari satu, misalnya ada dua, dan salah satu
keretakannya lebih serius. Selanjutnya penderita kaki patah tersebut ternyata misalnya tidak
mengalami kelumpuhan, sehingga sistem syarafnya tetap berfungsi. Dengan demikian dapat
dibedakan bagian kaki yang mana yang lebih serius atau lebih terasa sakit. Ini berarti kita
dapat melihat ciri-cirinya serta dimensi khusus dari kondisi sebab akibat kaki patah. Secara
singkat kondisi sebab akibat kaki patah tersebut dapat dikemukakan ciri-cirinya, yaitu:
keretakannya banyak (lebih dari satu), ternyata keretakannya ada 2 misalnya, jadi bersifat
ganda dan ternyata misalnya ada bagian kaki yang retak mempunyai rasa sakit yang lebih
serius. Dan dapat digambarkan pula dimensinya misalnya intensitasnya tinggi, durasinya
terus menerus, lokasinya kaki bagian bawah. Sehingga apabila digambarkan didapatkan
diagram sebagai berikut:
Fenomena Sakit
intensitas
tinggi
Keretakan ganda
durasi
terus menerus
lokasi
3)
Konteks
Fenomena
Kaki Patah
Rasa sakit
intensitas
tinggi
Keretakan ganda
durasi
terus menerus
lokasi
kronologi
lebih awal
Kondisi ini berfungsi untuk memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi yang
dilakukan dalam konteks yang khusus. Contoh kondisi yang mempengaruhi dapat dilihat
dalam uraian berikut: Anda sakit dan membutuhkan pengobatan, tetapi hanya dapat diperoleh
pada Rumah Sakit yang jaraknya jauh. Ini berarti anda tidak dapat segera mendapatkan
pengobatan, anda harus berpacu untuk mendapatkan pengobatan dengan jarak yang jauh.
Kondisi intervening berkaitan dengan tindakan/strategi interaksi. Kondisi dapat dalam
bentuk: waktu, ruang, budaya, status ekonomi, karir, sejarah, riwayat hidup individu.
Kondisi-kondisi memiliki rentangan dari yang paling dekat atau pendek sampai dengan yang
paling jauh atau panjang.
Sebagai contoh orang yang kakinya patah. Orang tadi berada di hutan dan misalnya dia
seorang diri tanpa adanya teman, kondisi seperti ini tentu akan sangat berbeda dalam waktu
untuk mendapatkan pengobatan dibandingkan dengan orang yang berada dikota. Hal lain
yang perlu diperhatikan yaitu ciri-cirinya misalnya tentang biodata seperti: umur, penyakit
lain yang pernah dialami atau sedang dialami, sejarah penyakit yang pernah dialami,
pandangannya/persepsinya mengenai perasaan sakitnya dan pengobatannya. Juga ciri tentang
cara/teknik pengobatan yaitu peralatan yang tersedia, prosedur pengobatannya, obat yang
tersedia, dan seterusnya.
Tidak semua kondisi dapat diterapkan untuk setiap situasi. Terserah kepada peneliti untuk
mengidentifikasi yang mana yang akan digunakan dan dirangkai dalam analisis, yang penting
untuk diingat apakah kondisi itu memperlancar atau menghambat tindakan/strategi
interaksi, dan kapan tindakan/strategi interaksi itu dilakukan.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu proses dari kondisi sebab akibat, fenomena, ciri-ciri (kaki
patah) atau konteks, dimensi khusus, kemudian kondisi intervening (kondisi yang
memfasilitasi atau menghambat) apabila digambarkan dalam skema/Model Hubungan
adalah sebagai berikut:
5)
Pada dasarnya Grounded Theory merupakan metoda penyusunan teori yang berorientasi pada
tindakan/interaksi. Tindakan/interaksi memiliki sejumlah ciri, yaitu:
a)
Tindakan/interaksi itu merupakan suatu proses yang bergerak secara alamiah. Jadi dapat
dipelajari berdasarkan urutan, atau berdasarkan geraknya atau perubahannya pada setiap saat.
b) Tindakan/interaksi berorientasi pada tujuan atau mempunyai tujuan dan dilakukan
berdasarkan beberapa alasan untuk merespon atau menangani fenomena.
c)
Tindakan/interaksi pada dasarnya merupakan strategi sehingga disebut sebagai
tindakan/strategi interaksi, dan bertujuan untuk merespon atau menangani fenomena. Apabila
tindakan/ interaksi ini gagal, misalnya tidak merespon fenomena, tindakan/ interaksi ini tetap
penting. Misalnya seseorang yang seharusnya melakukan suatu tindakan misalnya mencari
Rumah Sakit atau dokter untuk mengobati penyakitnya tetapi tidak melakukan, perlu
dipertanyakan, mengapa ia tidak melakukannya.
Apabila proses ini digambarkan dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat
Fenomena
Kaki Patah
Rasa sakit
tinggi
Keretakan ganda
durasi
terus menerus
lokasi
kronologi
lebih awal
Jatuh di hutan
menunggu lama
Membalut kaki
Kondisi Intervening
Dari uraian tersebut di atas, yaitu proses dari kondisi sebab akibat, fenomena, ciri-ciri (kaki
patah) atau konteks, dimensi khusus, kemudian tindakan/strategi interaksi, dan kondisi
intervening (kondisi yang memfasilitasi/yang menghambat) apabila digambarkan dalam
skema/ Model Hubungan adalah sebagai berikut:
Dalam diagram tersebut terlihat dengan jelas strategi tindakan yang diambil menghadapi
kondisi sakit yang mempunyai intensitas tinggi, terus menerus, berlokasi di kaki bagian
bawah, lebih awal dirasakan dan seterusnya adalah dengan melakukan: membalut kaki, pergi
meminta bantuan darurat, mempertahankan agar orang tersebut tetap hangat.
Dengan kondisi tersebut di atas terdapat adanya petunjuk-petunjuk tertentu tentang beberapa
strategi, yaitu aksi yang berdasarkan pada kata kerja atau prinsip-prinsip. Hal ini dapat dilihat
dari contoh berikut. Contoh seandainya seseorang melakukan penelitian tentang alur kerja
(work flow) dalam suatu unit Rumah Sakit dan bagaimana peran Kepala Perawat untuk
menjaga alur kerja agar berjalan sebagaimana mestinya, kita lihat hal berikut dalam data kita:
Ketika terjadi konflik yang cukup parah di antara petugas shift malam, dan konflik itu cukup
mengganggu kinerja (performance) petugas, lalu saya datang pada malam itu dan bekerja
dengan petugas shift malam sebentar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Contoh tersebut merupakan suatu fenomena, yaitu alur kerja (work flow), yang terganggu
oleh adanya konflik (konteks), dan Kepala Perawat yang datang untuk bekerja pada shift
malam, sehingga ia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi (ini merupakan tindakan/
strategi untuk merespon alur kerja yang terganggu).
6)
Konsekuensi
Tindakan atau interaksi yang diambil untuk merespon atau menangani suatu fenomena akan
mendapatkan hasil atau konsekuensi. Hal ini mungkin tidak selalu dapat diprediksi.
Kegagalan mengambil tindakan atau interaksi juga mendapat hasil atau konsekuensi
walaupun mungkin negatif.
Konsekuensi mungkin menjadi aktual tetapi juga menjadi potensial, dapat terjadi pada waktu
sekarang atau waktu yang akan datang. Konsekuensi dari seperangkat tindakan mungkin
menjadi bagian dari konteks atau kondisi intervening, yang mempengaruhi serangkaian
tindakan/ interaksi berikutnya.
Contoh tentang kaki patah yang dialami dalam hutan, dan dia bersama-sama dengan temanteman yang telah mendapatkan pelatihan tentang pertolongan pertama, kemudian temantemannya menyangga kakinya, membalutnya, selanjutnya pergi minta bantuan. Konsekuensi
dari strategi tindakan tersebut dapat mengurangi rasa sakitnya.
c) Menghubungkan kategori dengan kategori yang lain
Selanjutnya akan diuraikan bagaimana cara menghubungkan suatu kategori dengan kategori
lainnya. Untuk mengetahui hubungan kategori satu dengan kategori lain, si peneliti perlu
mengajukan pertanyaan, misalnya: Apakah kategori pengurangan rasa sakit berhubungan
dengan rasa sakit sebagai konsekuensi strategi tindakan yang diambil untuk mengobati
rasa sakit ? Pertanyaan ini tidak mengarah ke coding terhadap peristiwa atau kejadian
khusus, juga tidak mengarah ke ciri khusus atau dimensi khusus. Tetapi mengarah pada label
konsep dari suatu kategori apakah berhubungan dengan label konsep kategori yang lain.
Demikian pula misalnya seorang yang mempunyai penyakit encok, kemudian ia
menggunakan strategi tertentu untuk menyembuhkan rasa sakitnya. Peneliti akan membuat
pertanyaan: Pada kondisi rasa sakit, strategi tindakan apa yang ia gunakan untuk
mengurangi rasa sakitnya.
Setelah peneliti mengajukan pertanyaan tersebut, peneliti kembali ke data untuk mengetahui
secara pasti strategi tindakan untuk mengurangi rasa sakit pada penderita encok dengan
melihat hasil interview, atau hasil observasi atau hasil analisis dokumen. Selanjutnya setelah
dari data didapatkan strategi tindakan untuk mengurangi rasa sakit pada penderita encok,
misalnya dengan pijat refleksi, maka peneliti dapat membuat pernyataan semacam hipotesis,
yaitu: Apakah seseorang menderita penyakit encok, rasa sakitnya akan hilang kalau
melakukan pijat refleksi.
Selanjutnya peneliti mencari bukti-bukti dengan data yang ada untuk mendukung pernyataan
tersebut. Pada waktu yang sama peneliti juga mencari data-data yang tidak mendukung
pernyataan tersebut. Mungkin peneliti akan mendapatkan data bahwa ada orang yang tidak
melakukan apa-apa tetapi mendapatkan kesembuhan. Ada juga yang melakukan strategi yang
lain di luar pijat refleksi, ternyata memperoleh kesembuhan. Tetapi ada pula yang melakukan
strategi pijat refleksi ternyata tidak mendapatkan kesembuhan. Temuan-temuan tersebut tidak
harus dibuang. Temuan-temuan tersebut menambahkan variasi dan pendalaman pemahaman.
Walaupun data menunjukkan adanya variasi, persamaan bahkan perbedaan sehingga
dihasilkan pendalaman pemahaman, tetapi tetap dapat dilihat tingkat kecenderungannya.
Kesimpulan tentang strategi didasarkan pada strategi yang memiliki tingkat kecenderungan
yang tinggi.
Pada saat peneliti membandingkan peristiwa, peneliti bertujuan untuk mengetahui dimana
setiap ciri dapat ditempatkan pada dimensi yang tepat. Dengan demikian peneliti akan
memperoleh kepadatan konseptual dan akan dapat dihindari banyaknya variasi. Atau dengan
kata lain diperoleh kepadatan konseptual, memiliki spesifikasi dan variasi yang terbatas
sehingga konsep ini dapat diterapkan dalam berbagai fenomena yang ada.
Dari keseluruhan uraian tentang Axial Coding dapat disimpulkan bahwa Axial Coding
merupakan proses menghubungkan subkategori dengan kategori. Proses tersebut merupakan
pemikiran induktif dan deduktif yang kompleks yang terdiri dari beberapa tahap.
Hal ini dilakukan dengan membuat perbandingan dan mengajukan pertanyaan seperti pada
Open Coding. Tetapi dalam Axial Coding lebih terfokus pada menemukan dan
menghubungkan kategori melalui Model Hubungan. Dalam Axial Coding dapat
dikembangkan tiap kategori (fenomena) berdasarkan hubungan sebab akibat, dapat
ditempatkan lokasi dimensi khusus dari fenomena terkait dengan cirinya, konteksnya,
tindakan/strategi interaksi yang digunakan untuk merespon atau mengelola fenomena, dan
konsekuensi dari tindakan/strategi interaksi yang dilakukan.
f.
4)
Kategori Inti: Fenomena inti dari semua kategori lain yang terintegrasi (Core
Category: The central phenomenon around which all the other categories are integrated).
(Strauss & Corbin, 1990: 116).
b) Proses Pengodean
Dalam uraian tentang Proses Pengodean masalah Cerita (Story) dan Jalan Cerita (Story Line)
tidak diuraikan karena sudah terintegrasi dalam uraian Proses Pengodean.
Tujuan dari Selective Coding adalah mengintegrasikan kategori untuk membentuk sebuah
grounded theory. Pekerjaan tersebut cukup sulit tetapi tidak berarti tidak dapat dikerjakan.
Pengintegrasian kategori pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan Axial Coding, hanya
dalam melakukan analisis, tingkat keabstrakannya lebih tinggi. Sebenarnya dalam Axial
Coding dibangun dasar atau patokan bagi Selective Coding. Dengan telah dilakukan Axial
Coding kategori telah disusun berdasarkan ciri-ciri dan dimensi-dimensinya, yang tersusun
dalam Model Hubungan, sehingga memberikan kepadatan dan kekayaan kepada kategori.
Selanjutnya dapat disusun konsep-konsep dengan menghubungkan kategori-kategori
berdasarkan pertanyaan: Apa yang sedang dikaji ?, Apa yang ditemukan ?, Kesimpulan apa
yang dapat ditarik ? Dari konsep-konsep yang disusun dengan menggunakan dasar
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dihasilkan grounded theory.
Sebagai ilustrasi tentang prosedur yang harus ditempuh akan diberikan contoh sebagai
berikut: Studi ini terfokus pada bagaimana 20 orang wanita dengan penyakit kronis
menangani kehamilannya. Mereka akan diwawancarai sejak awal kehamilannya sampai
dengan 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Wawancara terstruktur sebanyak 4 (empat)
sampai 5 (lima) kali untuk setiap wanita. Wawancara dilakukan setiap 3 (tiga) bulan selama
kehamilan, kemudian wawancara juga dilakukan setiap minggu selama 6 (enam) minggu
setelah kelahiran. Dan diakhiri 1 (satu) kali wawancara pada 6 (enam) minggu setelah
kelahiran. Disamping itu sebagai tambahan juga dilakukan wawancara informal pada waktu
menunggu kelahiran. Apabila suami hadir pada waktu wawancara, suami juga diwawancarai
dan diobservasi. Apabila mungkin, peneliti juga menemani wanita-wanita tersebut. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa penyakit yang diderita wanita-wanita hamil
tersebut, di antaranya: diabetes, lever, ginjal, hipertensi. Beberapa wanita mengalami
kombinasi beberapa penyakit dan kronis, seperti diabetes dengan ginjal. Seorang wanita
mengalami transpalansi ginjal. Peneliti melakukan kajian apakah kombinasi beberapa
penyakit kronis menyebabkan tingginya resiko kehamilan. Apakah wanita-wanita hamil
tersebut dirinya sendiri memainkan peran aktif menangani resiko kehamilan ?.
Sebagai telah dikemukakan di depan bahwa tujuan Selective Coding adalah mengintegrasikan
kategori ke dalam kategori inti dengan melakukan analisis yang tingkat keabstrakannya lebih
tinggi. Dengan Axial Coding, kategori-kategori telah disusun berdasarkan ciri-ciri dan
dimensinya, yang tersusun dalam Model Hubungan, sehingga memberikan kepadatan dan
kekayaan kepada kategori. Selanjutnya dapat disusun konsep-konsep dengan
menghubungkan kategori-kategori berdasarkan pertanyaan: Apa yang sedang dikaji ?, Apa
yang ditemukan?, Kesimpulan apa yang dapat ditarik ?, Dari konsep-konsep yang disusun
dengan menggunakan dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dihasilkan grounded theory.
Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana cara mengintegrasikan kategori-kategori ke dalam
kategori inti. Secara singkat yaitu dengan cara melakukan konseptualisasi dengan analisis
yang tingkat keabstrakannya lebih tinggi. Untuk itu peneliti pertama-tama perlu menyusun
suatu catatan atau memo yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan: Apa yang
menonjol dari hasil kajian atau penelitian ini ? Mana yang oleh peneliti dianggap
menjadi masalah utama ?. Akan diberi contoh tentang wanita hamil yang mempunyai
penyakit kronis. Dari hasil menyusun kategori-kategori berdasarkan Model Hubungan,
yang dilanjutkan dengan menyimpulkan kondisi, tindakan/strategi dalam penanganan kondisi,
dan konsekuensi dari adanya strategi yang diambil, peneliti membuat catatan atau memo
yang berisi rangkaian hubungan kategori sebagai berikut:
Tiap-tiap kehamilan yang ditangani dari resiko atas kehamilan atau penyakit yang
dideritanya, berarti hal ini dipedulikan, dan apabila tidak ditangani berarti tidak dipedulikan.
Wanita-wanita yang menangani resiko atas kehamilan dan penyakitnya bertujuan
mendapatkan bayi yang sehat. Hasil yang diinginkan yaitu melahirkan bayi sehat tampaknya
menjadi kekuatan utama yang memotivasi mereka untuk melakukan apapun yang perlu untuk
meminimalkan resiko. Namun, mereka bukanlah penerima layanan yang pasif, tetapi mereka
memainkan peran penting dalam proses penanganan resiko. Mereka tidak hanya bertanggung
jawab untuk memantau kehamilan dan penyakitnya, tetapi juga memutuskan untuk
menentukan cara hidup (regimens) yang harus diikuti. Mereka juga mempertimbangkan
bahaya atau akibat pada bayi yang disebabkan minum obat tertentu dengan dosis yang tinggi
selama kehamilan. Mereka berusaha membuat keputusan yang benar dengan
mempertimbangkan secara hati-hati tentang resiko yang mungkin timbul. Jika mereka
berpikir dokter membuat keputusan yang salah, mereka melakukan apa yang mereka pikir
seharusnya dilakukan.
Catatan atau memo yang dibuat oleh peneliti tersebut merupakan fenomena yang menonjol
yang disimpulkan dari hasil wawancara dan observasi. Selanjutnya dari deskripsi tersebut
kemudian dilakukan konseptualisasi (analisis dengan tingkat abstraksi yang lebih tinggi).
Dengan melakukan analisis untuk mendapatkan konsep yang memiliki tingkat abstraksi yang
lebih tinggi, peneliti mendapatkan konsep yang diberi nama Penanganan Protektif
(Protective Governing). Penanganan (Governing) berarti ibu yang hamil dan berpenyakit
melakukan tindakan untuk mengontrol resiko yang berkaitan dengan kehamilannya. Protektif
(Protective) mengindikasikan bahwa tindakan-tindakan itu bertujuan memberikan
perlindungan. Penentuan kategori inti ini penting untuk menemukan apakah ada wanita yang
tidak melakukan penanganan protektif. Tetapi dalam penelitian tersebut tidak ditemukan
adanya wanita yang tidak melalukan penanganan protektif.
Bagaimana cara melakukan konseptualisasi apabila ditemukan dua fenomena yang sama
pentingnya. Bagaimana cara mengintegrasikan dua kategori sehingga tercapai integrasi
kategori yang kuat dan pengembangan kategori yang padat yang diperlukan untuk menyusun
grounded theory. Untuk mengembangkan dua kategori inti yang sama pentingnya, dan
mengintegrasikan keduanya, dan mendeskripsikan secara jelas dan teliti memang merupakan
sesuatu yang tidak mudah. Hal ini juga dialami oleh peneliti yang sudah berpengalaman. Cara
yang dapat dilakukan adalah memilih salah satu kategori inti, dan menempatkan kategori inti
yang lain sebagai cabang kategori (a subsidiary category), kemudian menguraikan sebagai
teori kedua.
Sebagai contoh dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Strauss & Corbin, terdapat 2
(dua) fenomena yang muncul secara signifikan. Satu fenomena adalah adanya penyakit yang
kronis dari wanita yang hamil, tetapi penanganannya dilakukan oleh suami. Sedang fenomena
yang kedua adalah dampak kegagalan penanganan pada biodata (kondisi biologi) pada wanita
hamil yang berpenyakit tadi. Pada waktu melakukan integrasi dua kategori inti tersebut,
pertama diputuskan untuk memfokuskan pada masalah penyakit dan penanganannya, kedua
kategori inti tentang kondisi fisik sebagai dampak kegagalan penanganan dijadikan konsep
sekunder yaitu konsep tentang cara-cara penanganan dan dampak-dampak yang diakibatkan
dari cara-cara penanganan.
Untuk mendapatkan gambaran konkret bagaimana dua kategori inti diintegrasikan, berikut ini
akan diberikan contoh dengan cerita sebagai berikut: Apabila seorang wanita hamil dan
memiliki penyakit kronis akan mempengaruhi kehamilannya. Ini menyebabkan timbulnya
resiko baik bagi wanita tersebut maupun bayinya. Dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun
yang lalu, wanita hamil yang mengalami diabetes, gangguan ginjal akan sangat beruntung
apabila dapat melahirkan dengan selamat. Kondisi sekarang dengan kemajuan teknologi
kedokteran, wanita hamil yang mengalami penyakit kronis, dapat disembuhkan sehingga
tidak mengganggu kehamilannya. Wanita tadi dengan kemajuan teknologi dapat
disembuhkan dari penyakitnya, dan dapat dijaga keselamatan bayi hingga dilahirkan. Pada
dasarnya semakin parah penyakitnya, semakin sulit menanganinya, dan semakin besar pula
resiko yang menyertainya. Yang menarik untuk dicatat ternyata wanita tadi tidak hanya
mengumpulkan isyarat (cue) dari dokter, tetapi juga dari pengalamannya masa lalu dengan
penyakit dan kehamilannya. Mereka juga memperhatikan janinnya sendiri, menafsirkan
gerakan dalam perutnya dan memperkirakan pertumbuhan bayinya sebagai yang mereka
rasakan. Semua itu merupakan data untuk memperkirakan tingkat resiko yang mungkin
dihadapi. Wanita hamil tidak hanya mempertimbangkan resiko pada bayi, tetapi juga pada
dirinya sendiri. Misalnya ia mendapatkan obat dengan dosis yang terlalu tinggi atau rendah,
maka ia akan melakukan negosiasi dengan dokter untuk mengubah obatnya. Apabila
negosiasi tidak berhasil ia akan meninggalkan rumah sakit, atau melawan nasehat medis, dan
menyelamatkan bayinya dan dirinya dengan caranya sendiri.
Penanganan terhadap kondisi hamilnya dan penyakit kronis yang diderita merupakan tugas
wanita yang hamil tersebut dan tim kesehatannya. Dengan memasukkan tim kesehatan ke
dalam sistem perawatan kesehatannya, berarti ia mendelegasikan sebagian dari fungsi
penanganan kepada dokter yang merawatnya termasuk kegiatan diagnosis dan penentuan
perawatan. Dalam strategi penanganan, dokter berfungsi sebagai pengawasan terhadap resiko
yang dapat timbul. Strategi penanganan bertujuan mengawasi resiko fisik baik pada bayi
maupun wanitanya sendiri, termasuk ketakutan psikologis. Ayah dari bayi juga mempunyai
peranan dalam penanganan resiko, walaupun perannya tidak langsung, tetapi hanya sebagai
pendukung. Ia hadir pada waktu wanita tersebut memeriksakan kehamilannya, atau pada
waktu keputusan harus diambil. Kadang-kadang resiko tidak dapat dihindari, walaupun ibu
dan tim kesehatan telah bekerja keras, tetapi bayi lahir meninggal misalnya karena terjadi
komplikasi kandungan.
Dengan cerita di atas dapat disusun kategori. Apabila tidak disusun kategori, maka tetap
hanya menjadi daftar masalah. Kategori yang muncul dari cerita tadi adalah:
Faktor resiko (sumber resiko). Kategori ini disimpulkan dari hubungan antara
kehamilan dengan penyakit, yang dipandang dapat menimbulkan resiko. Sehingga hal ini
menyebabkan kebutuhan jenis penanganan khusus yang dinamakan Penanganan Protektif
(Protective Governing).
Konteks resiko. Kategori ini diidentifikasi sebagai kondisi yang mengarah pada
tindakan. Seperti dalam pengodean axial, konteks resiko disimpulkan dari interaksi ciri-ciri
Pengawasan merupakan strategi yang digunakan wanita hamil untuk menangani baik
resiko fisik maupun psikologis yang menyertai kehamilannya. Walaupun penanganan resiko
kehamilan dapat melibatkan tim kesehatan dan wanita yang hamil itu sendiri, tetapi dalam
contoh ini hanya membahas peran wanita yang hamil itu sendiri. Kondisi intervening antara
penanganan resiko dengan pengawasan itu penting karena pilihan perawatan selalu terkait
dengan keinginan untuk melahirkan bayi yang sehat. Di sini perlu adanya keseimbangan
antara pilihan perawatan dengan teknologi yang tersedia, ada tidaknya dokter ahli, dan
banyak kondisi intervening yang lain, misalnya pengalaman dengan penyakit. Kategori hasil
penanganan resiko berarti sama dengan konsekuensi atau hasil akhir dari strategi
pengawasan, yaitu meniadakan faktor-faktor resiko yang ada, sehingga dapat mencapai
kelahiran bayi yang sehat.
Uraian tersebut apabila diurutkan adalah sebagai berikut:
Faktor resiko yang berasosiasi dengan kehamilan dan penyakit kronis menimbulkan
kebutuhan penanganan protektif.
Penanganan protektif dilakukan dengan: Penafsiran terhadap makna konteks resiko, yang
disusun berdasarkan: Motivasi, Keseimbangan + Kondisi intervening lain mengarah pada
Strategi atas pengawasan resiko menghasilkan penyelesaian resiko.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu dari adanya faktor/sumber resiko yang berasosiasi dengan
kehamilan dan penyakit kronis menimbulkan kebutuhan penanganan protektif. Penanganan
protektif ini dilakukan dengan penafsiran makna resiko yang berdasarkan: Motivasi
(melahirkan dengan selamat) Keseimbangan (kebutuhan perawatan dengan teknologi yang
tersedia), dan kondisi intervening lain misalnya pengalaman melahirkan, akan menghasilkan
strategi pengawasan resiko untuk meniadakan faktor-faktor resiko sehingga dapat dihasilkan
penyelesaian resiko yaitu ibu melahirkan dengan selamat dengan bayi yang sehat. Apabila
digambarkan dengan bagan adalah sebagai berikut:
9. Terdapat 4(empat) hal penting yang harus diketahui sebelumnya melakukan Coding
agar pelaksanaan Coding dapat berjalan dengan baik. Jelaskan ke 4 hal penting
tersebut!
10. Dalam Pengodean Terbuka (Open Coding) terdapat beberapa istilah yang perlu
dipahami dahulu agar memudahkan pelaksanaanya. Istilah-istilah tersebut
diantaranya: Konsep, Kategori, Ciri-ciri, Dimensi, Dimensionalisi. Jelaskan
pengertian istilah-istilah tersebut!
11. Jelaskan secara singkat tetapi padat hakekat Pengodean Terbuka (Open Coding) !
12. Dalam Pengodean Terbuka (Open Coding) terdapat kegiatan yang disebut Pelabelan
Fenomena (memberikan label terhadap fenomena). Jelaskan pengertiannya dan
berikan contoh kongkret dari Pelabelan Fenomena tersebut!
13. Demikian pula dalam Pengodean Terbuka (Open Coding) terdapat kegiatan yang
disebut Penemuan dan Penamaan Kategori. Jelaskan pengertiannya dan berikan
contoh kongkret dari Penemuan dan Penamaan Kategori tersebut!
14. Setelah Penemuan dan Penamaan Kategori ada kegiatan Penyusunan Kategori
berdasarkan Ciri-ciri dan Dimensinya. Jelaskan pengertiannya dan berikan contoh
kongkret dari Penyusunan Kategori berdasarkan Ciri-ciri dan Dimensinya!
15. Agar dapat melaksanakan Pengodean Berporos (Axial Coding) dengan baik, terdapat
istilah-istilah yang harus dipahami lebih dahulu, sebagai berikut; Kondisi Sebab
Akibat (Causal Condition), Konteks (Contex) dan Kondisi yang mempengaruhi
(Intervening Condition). Jelaskan istilah-istilah tersebut dan berikan contoh kongkret
dari masing-masing istilah tersebut!
16. Jelaskan secara singkat tetapi padat hakekat Pengodean Berporos (Axial Coding) !
17. Jelaskan Proses Pengodean dalam Pengodean Berporos (Axial Coding) penjelasan
hendaknya mengandung hal-hal berikut: 1). Fenomena, 2). Kondisi Sebab Akibat, 3).
Konteks, 4). Kondisi yang mempengaruhi, 5). Strategi Tindakan/Strategi Interaksi, 6).
Konsekuensi.
18. Jelaskan kegiatan yang disebut Menghubungkan kategori dengan kategori lain,
penjelasan hendaknya diberikan contoh kongkret!
19. Agar dapat melakukan Pengodean Selektif (Selective Coding) dengan baik, perlu
dipahami istilah-istilah sebagai berikut: Cerita, Jalan Cerita, Kategori Inti. Jelaskan
istilah-istilah tersebut dan berikan contoh kongkret dari masing-masing istilah
tersebut!
20. Jelaskan secara singkat tetapi padat hakekat Pengodean Selektif (Selective Coding) !
21. Jelaskan Proses Pengodean dalam Pengodean Selektif (Selective Coding). Jelaskan
pula tahap-tahapnya, dari data dapat disusun teori, sehingga penelitian ini disebut
Grounded Theory!