Anda di halaman 1dari 58

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh
dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi
dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana
saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang,
dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial
ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga
masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang
serius. Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan
angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas
penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada
2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar
kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada
tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih
tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi

kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi
dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru
menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961
jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta
dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemukan di
Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000
kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru.
Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama
tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini
10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah
penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus
(8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak
menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada
tahun 2002.
Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Permasalahan

penyakit

kusta

bila

dikaji

secara

mendalam

merupakan

permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga
menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam
keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat
dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan

ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di


lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial
berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada
sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian
penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat
besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah
penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan
tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan
saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan sosial. Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami
mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul
makalah

dengan

harapan

dapat

lebih

memahami

penyakit

kusta

dan

penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, sehingga dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1.2.1 Bagaimana pengkajian pada pasien dengan Kusta?
1.2.2 Apa saja diagnosa keperawatan pada bpasien dengan penyakit kusta?
1.2.3 Bagaimana intervensi keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta?
1.2.4 Bagaimana implementasi keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta?
1.2.5 Bagaimana evaluasi keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta?
1.2.6
Bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan pada Ny.S
dengan penyakit kusta dari pengkajian sampai evaluasi?
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan studi kasus ini adalah untuk mahasiswa/i
mendapatkan pengalaman secara nyata atau langsung dalam memberikan asuhan
keperawatan klien kusta.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Melaksanakan pengkajian pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di
RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
2) Menegakan diagnosa pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di RS dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
3) Merencanakan intervensi Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di RS dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
4) Melaksanakan implementasi pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di
RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
5) Mengevaluasi pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di RS dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
6) Mengidentifikasi penatalaksanaan asuhan keperawatan pada Ny. S di ruang
Bougenville dengan kusta di RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat Penulisan
Ada pun manfaat penulisan laporan studi kasus ini adalah :

1.4.1 Teoritis
Laporan studi kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan
dalam peningkatan kualitas asuhan keperawatan dengan penyakit kusta.
1.4.2 Praktis
1.4.2.1
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Hasil studi kasus ini dapat membuka wawasan dalam pengembangan
pengetahuan khususnya ilmu keperawatan dan kesehatan pada umumnya, dalam
hal ini beraitan dengan penyakit kusta.
1.4.2.2
Bagi Mahasiswa
Memberikan dan menambah pengetahuan tentang ilmu keperawatan
khususnya asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta.
1.4.2.3
Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber bacaan tentang penyakit kusta dan asuhan keperawatan dapat
menjadi acuan untuk studi kasus berikutnya.
1.4.2.4
Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit kusta, meningkatkan mutu pelayanan perawatan di rumah sakit kepada
pasien dengan penyakit kusta.
1.4.2.5
Bagi Pasien
Pasien dapat mengetahui bagaimana cara perawata di rumah dan mengetahui
cara pencegahan terjadinya penyakit kusta.
1.4.2.6
Bagi Mahasiswa Pelaksana
Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien dengan penyakit kusta.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008,
yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal
lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra.
Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya
untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy
dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang
netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya

diderita oleh pasien kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf- saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath.

2.1.2 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium laprae,
yang bebentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micm, lebar 0,2-0,5 micm.
Biasanya berkelompok dan ada yangtersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA). Sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan hanya manusia satu-satunya, walaupun kuman kusta dapat hidup pada
armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus. Dengan demikian berarti kuman
kusta yaitu Mycobactirium leprae hidup harus berpindah langsung dari seorang ke
orang lain untuk penularan penyakit tersebut.
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12 21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas yang lama yaitu 2 5 tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan
dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain dengan cara
penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian
besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernafasan dan kulit. Luka di kulit dan mukosa hidung dikenal sebagai sumber
dari kuman.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1) Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Basiler (MB). Penderita
MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2) Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat tumbuh dan hidup diluar tubuh manusia antara 1 9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3) Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil
penelitian menunjukkan gambaran dari 100 orang yang terpapar, 95 orang
tidak menjadi sakit, 3 (tiga) orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 (dua)
orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
2.2 Manifestasi klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling manifestasi klinis dari penyakit kusta
adalah :
2.3.1 Tipe Tuberkoloid (TT)
1) Mengenai kulit dan saraf.
2) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,
regresi, atau, kontrol healing (+).

3) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
4) Infiltrasi Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya
respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2.3.2 Tipe Borderline Tuberkoloid (BT)
1) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
2) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
3) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
4) Lesi satelit (+), terletak dekat saraf perifer menebal.
2.3.3 Tipe Mid Borderline (BB)
1) Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
2) Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
3) Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi
tipe BT, cenderung simetris.
4) Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
5) Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
2.3.4 Tipe Borderline Lepromatus (BL)
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
2.3.5 Tipe Lepromatosa (LL)
1) Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas
tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
2) Distribusi lesi khas :
a) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
b) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat
bawah.
3) Stadium lanjutan :
a) Penebalan kulit progresif.

b) Cuping telinga menebal.


c) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.
4) Lebih lanjut
a) Deformitas hidung.
b) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis.
c) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
d) Penyakit progresif, makula dan popul baru.
e) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
5) Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan
anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
2.3.6 Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley
& Jopling)
1) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
2) Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
3) Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
4) Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain :
1) Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
2) Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana.
3) Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis.
4) Lidah : ulkus, nodus.
5) Larings : suara parau.
6) Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi.
7) Kelenjar limfe : limfadenitis.
8) Rambut : alopesia, madarosis
9) Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
2.3 Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin
dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag

sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari
monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit. Tipe LL ; terjadi kelumpuha
system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat
membelah diri dengan bebas merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler
tinggi makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis
macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan
dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Infeksi Myobacterium Laprae

Morbus Hansen

Saraf tepi

Kulit

Motorik

Bercak
hipopigementasi/
kemerahan

Penebalan dan
Anestesi

Gatal-gatal

Otonom

N. ulnaris
dan N
medianus

Paralis jari
tangan

N tibia
posterior

Gg. Kelenjar
keringat dan
minyak

Paralis
jari kaki

Port de entri

Resiko
Infeksi

Kulit kering
dan bersisik

Kerusakan
integritas kulit

Claw hand
dan Claw
fingger

Intoleransi aktivitas

Penebalan
saraf
Anestesia

Claw toes

Ulcerasi

Sensori

Gangguan citra diri

Terjadi
luka

2.4 Klasifikasi
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
1) TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan
kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satu
dengan yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas,
pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin
( + ) kuat.
2) BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).
3) Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas
pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan
sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).
4) BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji
Lepromin ( - ).
5) LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil,
jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan
jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
b) Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
2.5 Komplikasi
Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan urat
saraf tepi, kecacatan, terjadinya kerontokan alis mata, menebalnya cupingtelinga,

kadang-kadang terjadi hidung pelanaakibat dari kerusakan tulang rawan hidung,


pada bentuk yang parah bisa terjadi wajah singa(faces leonina).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukanlesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
d) Hidung apabila sedian apus kulit negatif.
e) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat.
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
f) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehlneelsen atau kinyoun gabett.
g) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.
2.7.2 Indeks Bakteri (IB)

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB


digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
1 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
4 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
7 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap
seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,
mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap
obat.
2.7 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO
1995 sebagai berikut:
2.8.1 Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum di
depan petugas, DDS (Diamino Difenil Sulfon) tablet 100 mg/hari diminum di
rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.

Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2.8.2 Tipe MB (Multi Basiler)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum di
depan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum di depan petugas dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum di
rumah, pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
2.8.3 Dosis untuk anak
Klofazimin:

umur

50mg/2kali/minggu;

di

bawah

10

tahun:

umur

11-14

tahun:

bulanan100mg/bln,

bulanan

100mg/bln,

harian
harian

50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.


2.8.4 Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin
600 mg, ofloksasim 400 mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung
dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam
6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
2.8.5 Putus obat

alternatif dan dianjurkan

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.8 Pencegahan
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang dapat segera ditangani
dan di cegah. Nah berikut ini adalah rekomendasi untuk mencegah penularan
kusta:
1)
Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita
kusta, agar bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan pada orang lain.
2)
Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang
3)
4)

lama
Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan.
Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga
dan meningkatkan pemenuhan nutrisi. Tidak bertukar pakaian dengan

penderita, karena basil bakteri juga terdapat pada kelenjar keringat.


5)
Memisahkan alat-alat makan dan kamar mandi penderita kusta.
6)
Untuk penderita kusta, usahakan tidak meludah sembarangan, karena basil
bakteri masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
7)
Isolasi pada penderita kusta yang belum mendapatkan pengobatan. Untuk
penderita yang sudah mendapatkan pengobatan tidak menularkan penyakitnya
8)
9)

pada orang lain.


Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta.
Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai mekanisme
penularan kusta dan informasi tentang ketersediaan obat-obatan yang efektif
di puskesmas.
Untuk masyarakat umum, jangan sampai mengucilkan penderita kusta,

memang pada dasarnya penyakit kusta tersebut menular akan tetapi para penderita
kusta juga memiliki hak untuk masih tetap dapat hidup bermasyarakat. Pada
intinya, penderita kusta yang telah menjalani pengobatan, sedikit kemungkinan
untuk dapat menularkan penyakitnya.

Para penderita kusta pada umumnya mereka mengalami penurunan


kepercayaan diri dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Sebaiknya
masyarakat dapat mendukung para penderita kusta untuk tetap memiliki
keberanian dan kepercayaan diri hidup secara normal. Salah satu wujud
kepedulian suatu kelompok masyarakat terhadap penderita kusta, maka didirikan
suatu perkampungan khusus para penderita kusta. Perkampungan tersebut berada
di Kecamatan Nganget Kabupaten Tuban, yang perkampungannya berada di
tengah-tengah hutan. Mereka di sana mendapatkan pengobatan dan dorongan
sosial, sehingga termotivasi untuk dapat kembali hidup secara normal.
2.9 Manajemen Keperawatan
2.10.1
Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat
mengidentifikasi mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien
baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan (Nasrul Effendi, 1995).
2.10.2
Identitas klien
Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2.10.3
Keluhan utama
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen, mengeluh adanya
bercak-bercak Disertai hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan dan
peningkatan suhu.

2.10.4
Riwayat kesehatan
2.10.4.1 Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai
hiperanastesi dan odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan, kaki
serta bisa juga terjadi peningkatan suhu tubuh.

2.10.4.2 Riwayat kesehatan dahulu


Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis, asma dan alergi,
jantung koroner.
2.10.4.3 Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular, maka anggota keluarga mempunyai
resiko beasar tertular dengan kontak lama.
2.10.5 Pemeriksaan Fisik
2.10.5.1 Keadaan umum klien
Biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan,
berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
2.10.5.2 Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ
tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok.

2.10.5.3 Sistem pernafasan


Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan
pada tenggorokan.
2.10.5.4 Sistem persarafan
1) Kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan
terjadinya kurang/mati rasa. Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan
kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip.

2) Kerusakan fungsi motorikm, kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
2.10.5.5 Sistem Muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
2.10.5.6 Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2.10.5.7 Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan
terutama pada body image, penderita merasa rendah diri dan merasa
terkucilkan sedangkaan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya klien
kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak langsung
dengan penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
maka timbul masalah dalam perawatan diri.
2) Pola nutrisi dan metabolisme

Meliputi makanan klien sehari-hari komposisi: sayur, lauk-pauk, minum


sehari berapa gelas, berat badan naik atau turun, sebelum dan saat masuk
rumah sakit turgor kulit normal atau menurun dan kebiasaan makan klien.
Klien tinggal di tempat yang kotor atau bersih. Adanya penurunan nafsu
makan, mual, muntah, penurunan berat badan, gangguan pencernaan.
3) Pola eliminasi
Pada pola eleminasi alvi dan urin pada pasien kusta tidak ada kelainan.
4) Pola istirahat dan tidur
Pada klien kusta pada umumnya pola tidur tidak terganggu tetapi bagi
penderita kusta yang belum menjalani pengobatan pasien baru biasanya
terjadi gangguan kebutuhan tidur dan istirahat yang disebabkan oleh pikiran
stress, odema dan peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.
5) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal interaksi
sosial dengan masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan pada
pergerakan ektrimitas bagian perifer didapatkan bercak-bercak merah disertai
odema dan pasien dianjurkan harus banyak mobilisasi.
6) Pola persepsi dan konsep diri
Presepsi klien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam menghadapi
penyakitnya yang diderita.
7) Pola sensori dan kognitif
Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan di salah 1 sensorinya
seperti peraba. Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila bercak
tersebut diberikan rangsangan. Pada kognitifnya pasien kusta merasa tidak

berguna lagi dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima oleh
masyarakat dan keluarganya.
8) Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual klien tidak mengalami gangguan.
9) Pola hubungan dan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari
masyarakat (disorentasi). Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya, dan
masyarakat

beranggapan

penyakit

kusta

merupakan

penyakit

yang

menjijikan.
10) Pola penanggulangan stress
Bagaimana klien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara
penanggulangannya.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat gaib.
2.10.6 Pemeriksaan Penunjang
2.10.6.1 Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukanlesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidungapabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

2.10.6.2 Indikasi pengambilan sediaan apus kulit


1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.
3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat.
4) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
2.10.6.3 Pemerikaan bakteriologis
Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehlneelsen atau kinyoun gabett.
2.10.6.4 Cara menghitung BTA
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yangmungkin

ditemukan

adalah

bentuk

utuh

(solid),

pecah-pecah

(fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.


2.10.6.5 Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7

: bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang


: bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
: bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
: bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
: bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
: bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
: bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap

seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,


mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap
obat.
2.10

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah peryataan yang menguraikan respon aktual atau


potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawata memunyai izin dan
berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien didapatkan
dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis
klienmasa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain.
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien Kusta
menurut Marlynn E. Doenges adalah sebagai berikut:
1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
2. Gangguan aktivitas b/d post amputasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit
dan jaringan subkutan.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas
kulit.
2.11 Intervensi
Diagnosa 1 : Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan
inefektif koping individu.
Tujuan : Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan
dengan kriteria hasil :
- Klien dapat menerima perubahan dirinya.
- Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan).
- Klien tidak merasa malu
Intervensi :
1. Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan
bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
R/: Membantu pasien agar menerima keadaan
2. Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan
otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
R/: Menjaga kebersihan dapat membantu mempercepat penyembuhan.
3. Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
R/: Melakukan pendekatan secara spiritual dapat menbantu.

Diagnosa 2 : Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi


Tujuan : Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah
dilakukan tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
- Klien dapat beraktivitas mandiri.
- Klien tidak diam di tempat tidur terus.
Intervensi :
1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri.
R/: Motivasi penting dalam memberikan semangat kepada pasien.
2. Mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi.
R/: Agar tidak terjadi kekakuan pada otot dan sendi.
3. Motivasi

klien

untuk

dapat

melakukan

aktivitas

sesuai

dengan

kemampuannya.
R/: Melatih sesuai kemampuan pasien

Diagnoas 3 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman


pada kulit dan jaringan subkutan
Tujuan: Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di kulit sehingga tidak
mempengaruhi konsep diri dengan kriteria hasil :
- Klien mampu beradaptasi dengan orang-orang disekitarnya.
- Klien tidak lagi merasa malu karena luka/lesi yang ada.
- Klien mampu mengetahui bahwa lesi harus selalu dirawat agar tidak
bertambah parah
Intervensi :
1. Kaji/catat ukuran, warna, dan kedalaman luka.
R/: Untuk mengetahui keadaan luka pasien.
2. Gunakan krim kulit 2xsehari setelah mandi.

R/: Pemberian krim dapat membantu menjaga kelembaban kulit dan


digunakan sebagai obat topikal.
3. Pijat kulit dengan lembut untuk memperbaiki sirkulasi kulit.
R/: Dengan melakukan pemijatan sirkulasi darah lancar.
Diagnosa 4 : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
berkurangnya elastisitas kulit.
Tujuan : Klien mengetahui dengan keadaan sekarang maka sangat rentan
terhadap berbagai macam bakteri dan virus yang akan masuk kedalam tubuh
sehingga klien akan lebih berhati-hati dan juga merawat diri. Dengan kriteria hasil
:
-

Tidak ada bakteri/virus lain yang ada dalam tubuh klien.

Intervensi :
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas.
R/: Untuk menjaga kebersihan dan penularan penyakit
2. Pantau adanya tanda-tanda infeksi.
R/: Mengidentifikasi dini terhadap tanda-tanda infeksi dapat menentukan
tindakan selanjutnya.
3. Gunakan selalu alas kaki dan jangan berjalan terlalu cepat
R/: Untuk menghindari gesekan yang menimbulkan luka.
4. Kolaborasikan dalam pemberian obat antibiotik
R/: Pemberian obat antibiotik dapat membantu pengobatan infeksi.
2.12 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakanj tahap kempat dari proses keperawatan,
dimana rencana perawat dilaksanakan pada tahap ini perawat siap untuk
menjelaskan dan melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana keperawatan klien, agar implementasi perencanaan ini tepat waktu dan

efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawat klien. Kemudian


bila telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap
intervensi dan mendokumentasikannya informasi ini kepada penyediaan
perawatan kesehatan keluarga. (Doenges, 2002)
Pelaksanaan keperawatan merupakan tindakan

keperawatan

yang

dilaksanakan untuk mencapai tujuan pada rencana tindakan keperawatan yang


telah disusun. Prinsip dalam memberikan tindakan keperawatan menggunakan
komunikasi terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yagn diberikan padas
pasien. Pendekatan yang digunakan adalah independen, dependen, dan
interdependen.
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
Program multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Progrm ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi despon yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunn angka putus obat, dan mnegeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
2.13.1 Secara Mandiri
Adalah tindakan yang diprakarsi sendiri oleh perawatn untuk membantu
pasien dalam mengatasi masalah atau menanggapi reaksi karena adanya stressor
(penyakit), misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus.
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara
wajar.
4) Menciptakan lingkungan terapeutik.
2.13.2 Saling tergantungan/kolaborasi (interdependen)

Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesama tim perawatan


atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisioterapi, analisa kesehatan, dll.

2.13.3 Rujukan /Ketergantungan


Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya
dokter, psikiater, ahli gizi, fisioterapi. Pada penatalaksanaannya tindakan
keperawatan dilakukan secara :
1) Langsung : ditangani sendiri oleh perawat
2) Delegasi : diserahkan kepada orang lain/perawat lain yang dapat dipercaya.
Apabila tujuan, hasil dan intervensi telah diidentifikasi, perawat siap untuk
melakukan

aktivitas

pencatatan

pada

rencana

perawat

klien.

Dalam

mengaplikasikan rencana kedalam tindakan dan penggunaan biaya secara efektif


serta pemberian perawatan tersebut. Dalam menentukan prioritas saat ini, perawat
meninjau ulang sumber-sumber sambil berkonsultasi dan mempertimbangkan
keinginan klien. (Doenges, 2002)
2.13 Evaluasi Keperawatan
Meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-tahap, namun evaluasi
berlangsung terus-menerus sepanjang pelaksanaan proses keperawatan. Tahap
evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang
kesehatan

klien

dengan

tujuan

yang

telah

ditetapkan,

dilakukan

berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.


Evaluasi dalam keperawatan merupkan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Evaluasi tahap alhir dari proses keperawatan. Langkah dari evaluasi proses
keperawatan adalah mengukur respon klien terhadaptindakan keperawatan dan
kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Perawat mengevaluasi apakah perilaku
atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam

diagnosa keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama evaluasi,


perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah
efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya dengan perilaku
yang disebutkan dalam hasil yang diharapkan.
Sejalan dengan yang telah dievaluasi pada tujuan, penyesuaian terhadap
rencana asuhan dibuat sesuai dengan keperluan. Jika tujuan terpenuhi dengan
baik, perawat menghentikan rencana asuhan tersebut dan mendokumentasikan
analisa masalah teratasi. Tujuan yang terpenuhi dan tujuan yang sebagian
terpenuhi mengharuskan perawat untuk melanjutkan rencana atau memodifikasi
rencana asuhan keperawatan. Tujuan dari evaluasi antara lain:
1) Untuk menentukan perkembangan kesehatan klien.
2) Untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dan tindakan
keperawatan yang telah diberikakan.
3) Untuk menilai pelaksanaan asuhan keperawatan.
4) Mendapatkan umpan balik.
5) Sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan.
Perawat menggunakan berbagai kemampuan dalam memutuskan efektif atau
tidaknya pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk memutuska hal tersebut
dalam melakukan evaluasi seorang perawat harus mempunyai pengetahuan
tentang standar pelayanan, respon klien yang normal, dan konsep model teori
keperawatan. Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
1) Masalah teratasi : jika klien menunjukan perubahan perubahan sesuai dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2) Masalah sebagin teratasi : jika klien menunjukan perubahan sebagian dari
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
3) Masalah tidak teratasi : jika klien tidak menunjukan perubahan dan kemajuan
sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan
dan bahkan timbul masalah/diagnosa keperawtan baru.

Untuk menentukan masalah teratasi, teratasi sebahagia, atau tidak teratasi


adalah dengan cara membandingkan antara SOAP (formatif) dengan tujuan dan
kriteria hasil yang telah ditetapkan. Subjektif adalah informasi berupa ungkapan
yang didapat dari kliensetelah tindakan diberikan. Objektif adalah informasi yang
didapat berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yan dilakukan oleh
perawat setelah tindakan dilakukan. Analisis adalah membandingkan antara
informasi subjektif dan objektif dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian
diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak
teratasi. Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa. Evaluasi sumatif atau SOAPIER merupakan format
yang sering digunakan pada catatan medik yang berorientasi pada masalah
(Problem Orientasi Medical Record) yang menceriminkan masalah yang
diidentifikasi oleh semua anggota tim perawat. Format SOAPIER terdiri dari S :
Data Subjektif yaitu masalah yang dikemukakan dan dikeluhan atau yang
dirasakan sendiri oleh pasien, O : Data Objektif atau tanda-tanda klinik dan fakta
yang berhubungan dengan diagnosa keperawatan meliputi data fisiologis dan
informasi dari pemeriksaan.
Data info dapat diperoleh melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan diagnostic laboratorium, A adalah penhgkajian (Assesment)
analisa data subjektif dan objektif dalam menentukan masalah pasien, P adalah
perencanaan atau pengembangan rencana segera atau untuk yang akan datang dari
intervensi tindakan untuk mencapai status kesehatan optimal, I adalah intervensi
tindakan yang dilakukan oleh perawat, E adalah evaluasi yang merupakan analisis
respon pasien terhadap intervensi yang diberikan, dan R adalah revisi data pasien
yang mengalami perubahan berdasarkan adanya respon pasien terhadap tindakan

keperawatan merupakan acyan perawat dalam melakukan revisi atau modifikasi


rencana asuhan keperawatan (Aziz Alimul, 2001).
2.15 Konsep Dasar Kebutuhan Dasar Manusia
2.15.1 Definisi
Istirahat adalah suatu kondisi tenang, rileks tanpa adanya stres emosional,
bebas dari kecemasan. Namun tidak berarti tidak melakukan aktivitas apapun
duduk di kursi atau berbaring ditempat tidur juga merupakan bentuk istirahat.
Menurut Narrow (1645-1967) terdapat 6 kondisi seseorang dapat beristirahat :
- Merasa sesuatu berjalan normal
- Merasa diterima
- Merasa diri mengerti yang sedang berlangsung
- Bebas dari ketidaknyamanan
- Merasa puas telh melakukan aktivitas yang berguna
- Mengetahui bahwa mereka akan mendapat pertolong bila membutuhkan
2.15.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pemenuhan istirahat, tidur adalah
1) Memperbaiki keadaan Fisiologis dan Psikologis
2) Melepaskan stres dan ketegangan
3) Memulihankan keseimbangan alami diantara pusat-pusat neuron
4) Memperbaiki proses biologis dan memelihara fungsi jantung
5) Berperan dalam belajar, memori dana adaptasi
6) Mengembalikan konsentrasi dan aktivitas sehari-hari
7) Menghasilkan hormon pertumbuhan untuk memperbaiki serta memperbaharui
epitel dan sel otak
8) Menghemat dan menyediakan energi bagi tubuh
9) Memelihara kesehatan optimal dan mengembalikan kondisi fisik
2.15.3 Indikasi
Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur diharuskan untuk semua orang. Namun
dikhususkan bagi orang-orang yang mengalami pola istirahat dan tidur, contoh :
insomnia.
2.15.4 Tindakan Keperawatan
Untuk klien yang mengalami gangguan istirahat tidur perlu diperhatikan
adalah memberikan / menganjurkan managemen stres, bagaimana mengelola stres
dengan baik sehingga tidak mengganggu pada istirahat tidurnya.
2.15.5 Penatalaksanaan Medis

Norfarma :
1) Lingkungan tidur klien harus nyaman, aman dan bersih.
2) Pengaturan penerangan (lampu), kalau perlu lampu tidur dibuat remang atau
redup.
3) Atur jam tidur, tidur siang tidak boleh lebih dari 2 jam.
4) Mandi air hangat untuk memberikan rasa rileks pada lansia.
Farmakologi :
1) Golongan obat hipotik
2) Golongan obat antidepres
a) Golongan obat antidepreson
3) Terapi hormon melatonim dan agonis melafonim
4) Golongan obat antion
5) Terapi hormon melatonim dan agonis melafonim
6) Golongan obat antihistamin
6.15.6 Efek samping
1) Nyeri kepala
2) Hipertensi
3) Stres psikologis
4) Anemia
5) Vertigo
6.15.7 Faktor Yang Mempengaruhi / Menyebabkan Gangguan Pola Istirahat
dan Tidur
1) Penyakit
2) Diet
3) Alkohol
4) Obat-obatan
5) Lingkungan ramai
6) Nutrisi
7) Stres psikologis
8) Kelelahan
6.15.1 Pemeriksaan Penunjang
1) Polisomnografi
2) Suturasi O dan ECG
2.16 Manajemen Keperawatan
2.16.1 Pengkajian
Pengkajian kebutuhan istirahat dan tidur :
Aspek yang perlu dikaji pada klien untuk mengidentifikasi gangguan kebutuhan
istirahat dan tidur yaitu
1) Pola tidur (jam berapa klien mulai tidur, bangun, dan keteraturan pola tidur
klien).

2)
3)
4)
5)
6)

Kebiasaan yang dilakukan klien sebelum tidur.


Gangguan tidur yang sering dialami klien dan cara mengatasinya.
Kebiasaan tidur.
Bagaimana lingkungan tidur.
Perilaku yang timbul akibat gangguan istirahat dan tidur seperti :
a) Penampakan wajah.
b) Apakah klien dapat tidur / mudah tersinggung.
c) Kelelahan
7) Obat yang dikonsumsi sebelum tidur
2.16.2 Diagnosa Keperawatan
Gangguan pola tidur b.d proses penyakit, kerusakan transfer O, gangguan
metabolisme, kerusakan eleminasi, pengaruh obat, imbolisasi, nyeri ansietas,
lingkungan yang mengganggu.
2.16.3 Intervensi
Tujuan : untuk mempertahankan kebutuhan istirahat dan tidur dalam batas
normal. Kriteria hasil :
- Pasien tidak sering menguap
- Tidak terdapat lingkar hitam pada mata
- Pasien tidak tampak lemas
Intervensi
1. Identifikasi
faktor

yang 1. Untuk

Rasional
mengetahui

tindakan

memperngaruhi masalah tidur.


tepat selanjutnya.
2. Lakukan
pengurangan
distraksi 2. Menetapkan lingkungan yang
lingkungan,

hal

yang

dapat

dapat menjaga pola tidur.

mengganggu pola tidur.


3. Untuk mempercepat rasa ingin
3. Anjurkan klien untuk melakukan hal
tidur.
yang memicu tidur.
4. Agar di malam hari istirahat
4. Tindakan aktivitas pada siang hari
total.
2.16.4 Implementasi
Lakukan tindakan
direncanakan.
2.16.5 Evaluasi

perawatan

kepada

klien

sesuai

intervensi

yang

Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan klien menunjukan pola


tidur yang normal sesuai dengan usia (anak 11-12 jam / hari ; masa sekolah 10
jam / hari ; remaja dewasa 7-8 jam / hari).

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Pada tanggal 10 November 2015 penulis melakukan pengkajian di ruang RS
dr. Doris Sylvanus ruang Bougenville dengan pasien nama Ny. S, umur 42 tahun,
jenis kelamin perempuan, suku/bangsa Jawa/Indonesia, agama Islam, pekerjaan
ibu rumah tangga, pendidikan SMP, status perkawinan kawin, alamat pasien jl.
Cendana, pasien masuk rumah sakit pada tanggal 04 November 2015, dengan
diagnosa medis ENL+ Reaksi Kusta.
3.1.2 Riwayat Kesehatan/Keperawatan
3.1.2.1
Keluhan Utama
Pasien mengatakan saya batuk berdahak
3.1.2.2
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 03 November 2015 pasien mengalami muntah-muntah 6,
demam dan muncul benjolan merah di seluruh tubuh. Pada tanggal 04 November
2015 pasien dibawa ke Igd rumah sakit dr. Doris Sylvanus Palangaka Raya
kemudian dilakukan rawat inap di ruang Bougenville kamar B4, selama perawatan
pasien melakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 04 November 2015
berupa Glukosa S 135mg/dl, WBC 21,59 10^3/uL, RBC 4,3510^6/uL, HGB
12,9g/dL, PLT 15810^3/uL.
3.1.2.3

Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat

operasi)
Pasien pernah dirawat di RS Ulin Banjaramasin pada tanggal 15 Agustus
2015 sampai 20 Agustus 2015 dengan penyakut yang sama.
3.1.2.4
Riwayat Penyakit Keluarga

Dari keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit menular
(TBC, Hepatitid B dll) serta penyakit turunan (DM, Hipertensi).
GENOGRAM KELUARGA

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan
: Pasien

: Meninggal

- - - : Tinggal satu rumah

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


3.1.3.1
Keadaan Umum
Pasien tampak lemas, pasien batuk-batuk, kesadaran compos menthis,
terpasang infus Nacl 0,9% 20 tpm di sebelah tangan kiri.
3.1.3.2
Status Mental
Tingkat kesadaran Ny. S compos menthis, ekspresi wajah datar, bentuk badan
klien sedang, cara berbaring terlentang, klien dapat berbicara dengan normal,

suasana hati klien biasa, penampilan rapi, orientasi waktu baik, orientasi orang
baik, orientasi tempat baik, klien tidak mengalami halusinasi, insihgt baik,
mekanisme pertahanan diri klien adaptif.
3.1.3.3
Tanda-tanda Vital
Pada waktu pengkajian di dapatkan TTV pada Ny. S Suhu/T : 36,5C (axila),
nadi/HR : 90/menit, pernafasan/RR : 20/menit, tekanan darah/BP 140/90
mmHg.
3.1.3.4
Pernafasan (Breathing)
Bentuk dada Ny. S simetris, pasien tidak ada kebiasaan merokok, klien batuk
sejak dua hari yang lalu, batuk darah tidak ada, sputum warna putih kekuningan,
type pernafasan klien perut, irama pernafasan teratur, suara nafas vasikuler, suara
nafas tambahan ronchi basah (rales).
3.1.3.5
Kardiovaskuler (Bleeding)
Pasien tidak ada nyeri dada, capiller refill 2 detik, tidak ada oedema, tidak
ada asites, ictus cordis tidak terlihat, vena jugularis tidak meningkat, suara jantung
lubdub.
3.1.3.6
Persyarafan (Brain)
Nilai GCS pada saat pengkajian terhadap Ny. S didapatkan nilai E : 4
(membuka mata secara spontan), V : 5 (orientasi baik), M : 6 (mengikuti
perintah), dam total nilai GCS : 15. Kesadaran pasien compos menthis, pupil
isokor, reflak terhadap cahaya positif, tidak ada nyeri, uji syaraf kranial I-XII
tidak ada masalah, uji koordinasi tidak ada masalah, uji kesetabilan tubuh positif,
refleks normal (bisep, brakoradialis, babinski), tidak ada refleks dan uji sensasi
lain.
3.1.3.7
Eliminasi Urin (Bladeer)
Produksi urine Ny. S pada saat dilakukan pengkajian 900 ml dalam 4/hari.
Warna urine kekuningan dan bau khas. Saat mengeluarkan kencing lancar.
3.1.3.8
Eliminasi Alvi (Bowel)
Pada saat pengkajian mulut dan faring didapatkan bibir pasien lembab, gigi
normal, gusi normal tidak ada lesi, lidah normal warna merah muda, mukosa tidak

ada lesi, tonsil normal, rectum normal, tidak ada haemoroid. BAB 2/hari, warna
kekuningan, konsistensi biasa, bising usus 8/menit, tidak ada nyeri tekan dan
benjolan.
3.1.3.9
Tulang-Otot-Integumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas, tidak ada masalah pada otot dan tulang.
Ukuran otot simetris, pada saat dilakukan pengkajian pada uji kekuatan otot

didapatkan hasil untuk ekstermitas atas

dan ekstermitas bawah

Tidak ada keluhan lainnya dan masalah keperawatan.


3.1.3.10
Kulit Rambu
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, suhu kulit pasien hangat, warna kulit
normal, turgor kulit baik, tekstur kulit halus, distribusi rambut merata, bentuk
kuku simetris.
3.1.3.11Sistem Pengindraan
Pada fungsi penglihatan tidak ada masalah, pasien tidak mengeluh
berkurangnya fungsi penglihatan, bola mata bergerak dengan normal, visus mata
kanan(VOD) 5/6, mata kiri (VOS) 5/6, sclera normal/putih, konjungtiva merah
muda, kornea mata pasien tampak bening. Pada fungsi pendengaran dan
penciuman tidak ada masalah.
3.1.3.12
Leher dan Kelenjar Limfe
Tidak ada masa, jaringan parut tidak ada, kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar
tyroid tidak teraba, dan mobilitas leher pasien tampak bebas.
3.1.4 Pola Fungsi Kesehatan
3.1.4.1
Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit
Pasien memahami dengan kondisi kesehatanya sekarang, dan dia berharap
segera membaik dan pulang kerumahnya.
3.1.4.2
Nutrisi dan Metabolisme

Pada saat pengkajian didapatkan hasil tinggi badan/TB 150 cm, BB setelah
sakit 50 kg, dan BB sebelum sakit 52 kg. Diet yang dijalani pasien selama sakit
adalah diet lunak, tidak ada muntah, tidak ada kesukaran menelan.
Pola Makan Sehari-hari
Frekuensi/hari
Porsi
Nafsu makan
Jenis makanan
Jumlah minuman/cc/24
jam
Kebiasaan makan
Keluhan/masalah

Sesudah Sakit

Sebelum Sakit

3/hari
1 porsi
Baik
Lunak
5-6 gelas

3/hari
1 porsi
Baik
Biasa
7-8 gelas

Pagi, siang, malam


Tidak ada

Pagi, siang, malam


Tidak ada

3.1.4.3
Pola Istirahat dan Tidur
Sebelum sakit tidur malam 7-8 jam, tidur siang 1-2 jam. Saat sakit tidur
malam terganggu karena pasien batuk, tidur malam 54 jam dan tidur siang 2-3
jam. Masalah keperawatan : Gangguan pola tidur.
3.1.4.4
Kognitif
Pasien mengerti tentang penyakit dan berharap dapat sembuh dan melakukan
aktivitas seperti biasa.
3.1.4.5
Konsep Diri
Gambaran diri pasien baik. Pasien merasa tidak ada penurunan harga diri
setelah pasien sakit. Pasien merasa bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga,
selama sakit pasien dijaga oleh anak pasien. Tidak ada maslaha dengan konsep
diri.
3.1.4.6
Aktivitas Sehari-hari
Sebelum sakit pasien melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Sesudah
sakit pasien tidak bisa melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga.
3.1.4.7
Koping Toleransi terhadap Stress
Apabila ada masalah, pasien selalu bercerita dengan orang terdekat. Tidak ada
masalah keperawatan.
3.1.4.8
Nilai Pola Keyakinan

Selama dirawat di rumah sakit, tidak ada tindakan yang bertentangan dengan
pola keyakinqan pasien.
3.1.5 Sosial Spiritual
3.1.5.1
Kemampuan Berkomunikasi
Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dengan siapa saja, termasuk
berkomunikasi dengan perawat dan mampu berinteraksi dengan baik.
3.1.5.2
Bahasa sehairi-hari
Pasien menggunakan bahasa jawa dan bahasa Indonesia.
3.1.5.3
Hubungan dengan Keluarga
Hubungan pasien dengan keluarga sangat baik, hal ini dapat dilihat dari
anggota keluarga yang datang bergantian untuk menjaga pasien selama dirawat di
RS.
3.1.5.4
Hubungan dengan Teman/petugas kesehatan/ orang lain
Hubungan pasien dengan taman baik, hal ini dilihat dari teman pasien yang
datang menjenguk, dan hubungan dengan petugas kesehatan juga baik, pasien
mau bekerja sama dengan perawat dalam pemberian asuhan keperawat.
3.1.5.5
Orang Berarti/Terdekat
Orang terdekat dan berarti menurut pasien adalah keluarga sendiri, yaitu
anak-anak dan suaminya. Karena menurut pasien mereka selalu ada disaat pasien
membutuhkan bantuan.
3.1.5.6

Kebiasaan Menggunakan Waktu Luang

Pasien berkumpul dengan keluarga.


3.1.5.7
Kegiatan Beribadah
Pasien tidak bisa melakukan ibadah selama dirawat di rumah sakit dan hanya
bisa berdoa di tempat tidur.
3.1.6 Data Penunjang (radiologis, laboratorium, penunjang lainnya)
Tanggal

Jenis

04-11-2015

Pemeriksaan
Pemeriksaan lab

Hasil
Glukosa
135mg/dL
WBC
21,5910^3/uL

Nilai Normal
200
4.00-10.00

RBC

3.50-5.50

4,3510^6/uL
HGB 12,2 g/dL
PLT

11.0-16.0
150-400

15810^3/uL
Sumber : dari buku status pasien di ruang Bougenville

3.1.7 Penatalaksanaan Medis


Tanggal
10-11-2015

Penatalaksanaan
1. Infus Nacl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi Metil Prednisolone1125

IV 06.00 WIB
Sumber : buku status pasien diruang Bougenville

Palangka Raya, November 2015


Mahasiswa

(DWI KRISTANTO)

3.2 Analisis Data

Data Subyektif Dan Data

Masalah
Kemungkinan Penyebab

Obyektif
DS : pasien mengatakan
Peningkatan produk sputum

saya batuk-batuk
DO :
-

Batuk berdahak

Secret

warna

kekuningan
-

Dahak kental

Roncli basah

Ketidakefektifan

putih

jalur nafas

bersihan

DS : pasien mengatakan
saya

tidak

bisa

tidur

metabolisme,

dengan nyenyak

eliminasi,

DO :
-

Terdapat lingkar hitam

Pasien

tidak

kerusakan
pengaruh

obat,lingkungan

yang

mengganggu.

pada mata
-

Proses penyakit , gangguan Gangguan pola tidur

tampak

sering menguap
-

Pasien tampak lemas

Tidur

malam

di

RS

hanya 5 jam di rumah 78 jam


-

TTV
TD : 140/90 mmHg
N : 90X/menit
RR : 20X/menit
S : 36,5C

DS : pasien mengatakan Kurangnya pengetahuan


kuku saya panjang
DO :
-

Kuku

pasien

tampak

panjang
-

Kuku pasien kotor

Defisit penawaran diri

3.3 Prioritas Masalah


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, gangguan
metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang
mengganggu.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurang pengetahuan.
3.4 Rencana Keperawatan
Nama Pasien

: Ny. S

Ruangan Rawat : B
Diagnosa Keperawatan
Tujuan (Kriteria hasil)
Ketidakefektifan
bersihan Setelah dilakukan tindakan
jalan nafas

Intervensi
1. Kaji fungsi pernafasan : bun

keperawatan selama 1x7 jam


masalah keperawatan teratasi

nafas, kecepatan, irama.


2. Berikan

dengan kriteria hasil :

membantu

1. Pasien tidak batuk.

claping

unt

mengeluark

secret

2. Tidak ada suara rocnhi

3. Ajarkan teknik nafas dala


dan batuk efektif
4. Kolaborasi

dengan

dok

dalam memberikan obat sesu


indikasi.
Diagnosa Keperawatan
Gangguan pola tidur

Tujuan (Kriteria Hasil)


Setelah
dilakukan
tindakan

Intervensi
1. Pantau keadaan umum

keperawatan

TTV pasien
2. Kaji pola tidur pasien
3. Kaji fungsi : pernafasa

masalah

selama

keperawatan

dengan kriteria hasil :

1x7

jam

teratasi

bunyi

nafas,

kecepa

1.
2.
3.
4.

Pasien tidak sering menguap


Tidak terdapat kantong mata
Pasien tidak lemas
Pasien tidur dalam batas

irama.
4. Kaji

normal

tidur.
5. Ciptakan suasana nyam

faktor

menyebabkan

gangg

kurangi

atau

hilang

distraksi

lingkungan

gangguan tidur.
6. Batasi pengunjung sela
periode

istirahat

optimal

Diagnosa Keperawatan
Defisit perawatan diri

Tujuan (Kriteria Hasil)


Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan

1x7

jam

Intervensi
1. Kaji kebersihan diri pasie
2. Lakukan tindakan perso

masalah

hygiene beruba memot


keperawatan teratasi dengan kriteria
hasil :
1. Kuku pasien tidak panjang

kuku.
3. Ajarkan tehnik memot
kuku yang benar.

2. Kuku pasien bersih

Hari/Tanggal

Implementasi

Jam
Selasa,
10

1. Mengkaji fungsi pernafasan : bunyi nafas,

November

kecepatan, dan irama.


2. Memberikan claping untuk membantu

2015

mengeluarkan secret
3. Mengajarkan tehnik nafas dalam dan batuk

07.00 WIB

efektif.
4. Mengkolaborasikan dengan dokter dalam
meberikan obat sesuai indikasi.

Evaluasi (SO

S : Pasien mengatakan S
batuk
O : - Pasien tampak batuk
-

Secret warna putih k


Dahak kental
Ronchi basah

A : Masalah belum teratasi


P : Lanjutkan intervensi

1. Kaji fungsi pernafa

kecepatan, dan iram


2. Berikan claping

mengeluarkan secre
3. Ajarkan tehnik n

batuk efektif.
4. Kolaborasi denga

meberikan obat ses


3.5 Impelentasi Keperawatan
Hari/Tanggal
Jam
Selasa,

Evaluasi (SOA

1. Memantau keadaan umum dan TTV pasien

S : Pasien mengatakan T

November

2. Mengkaaji pola tidur pasien

nyenyak

2015

3. Mengkaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas,

O : - Pasien tampak sering

07.00 WIB

10

Implementasi

kecepatan, irama
4. Mengkaji faktor yang menyebabkan gangguan

Pasien tampak lema


Terdapat lingkar hit

tidur

A : Masalah belum teratasi

5. Menciptakan suasana nyaman, kurangi atau


hilangkan distraksi lingkungan dan gangguan
tidur

tidur
P : Lanjutkan intervensi

1. Pantau keadaan um

6. Membatasi pengunjung selama periode istirahat


yang optimal

pasien
2. Kaji pola tidur pasien
3. Kaji fungsi : pern

nafas, kecepatan, iram


4. Kaji faktor yang

gangguan tidur.
5. Ciptakan suasana n

atau hilangkan distr


dan gangguan tidur.
6. Batasi pengunjung

istirahat yang optima

Hari/Tanggal
Jam
Selasa,
November

10

Implementsi
1. Mengkaji kebersihan diri pasien.
2. Melakukan tindakan personal hygienc beruba

Evaluasi (SOA

S : Pasien mengatakan K
bersih

2015
07.00 WIB

memotong kuku.
3. Mengajakan tehnik memotong kuku yang benar

O : - Kuku pasien tidak pa


-

- Kuku pasien bersih


Pasien mengerti cara
yang benar

A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen, mengeluh adanya
bercak-bercak disertai hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan dan
peningkatan suhu. Dalam riwayat kesehatan sekarang penyakit kusta biasanya
adanya bercak-bercak merah disertai hiperanastesi dan odema pada ektrimitas
pada bagian perifer seperti tangan, kaki serta bisa juga terjadi peningkatan suhu
tubuh. Dalam riwayat kesehatan dahulu penyakit apa yang diderita pasien
sebelumnya seperti hepatitis, asma dan alergi, jantung koroner dll. Dalam riwayat
kesehatan keluarga biasanya merupakan penyakit menular seperti hepatitis, TB
paru, maka anggota keluarga mempunyai resiko beasar tertular dengan kontak
lama atau pun penyakit turunan seperti DM, hipertensi dll.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien biasanya dalam keadaan
demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen.
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik. Pada sistem penglihatan
adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek
kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ
tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok. Pada sistem pernafasan pasien dengan
morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada
tenggorokan. Pada sistem persarafan kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi

sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa. Akibat kurang/mati rasa


pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/hilangnya reflek kedip. Kerusakan fungsi motorikm,
kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos). Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Pada sistem muskuloskeletal adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik
adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan
atropi. Pada sistem integumen terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti
panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat
bercak. Pada pola aktivitas sehari-hari pasien akan mengalami penurunan karena
pasien merasakan rendah diri
Berdasarkan data yang didapatkan penulis pada saat pengkajian, hal ini tidak
bertolak belakang dengan teori yang dikemukana (Doenges, 2002), meskipun ada
beberapa hasil pengkajian yang tidak sama atau sesuai dengan teori. Bagian
riwayat penyakit sekarang terdapat kesamaan karena pasien mengalami
peningkatan suhu tubuh. Pada bagian keluahan utama terjadi kesenjangan karena

pasien tidak mengeluhkan bercak-bercak disertai hiperanastesi dan terasa kaku


serta peningkatan suhu dikarenakan pada keadaan pasien yang sudah membaik.
4.2 Perumusan Diagnosa Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah pernyataan yang mengurangi respon aktual
atau potensial pasien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin
dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial pasien
didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan,
medis pasien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain.
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien kusta
menurut Marilynn E. Doenges ada sebagai berikut:
1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
2. Gangguan aktivitas b/d post amputasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit
dan jaringan subkutan.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas
kulit.
Pada kasus nyata Ny. S ditemukan 3 diagnosa, yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas, gangguan pola tidur, dan defisit perawatan diri:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, gangguan
metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang
mengganggu.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurang pengetahuan.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas diangkat sebagai diagnosa utama atau
prioritas karena merupakan ancaman bagi pasien, jadi ketidakefektifan bersihan
jalan nafas harus ditangani terlebih dahulu. Gangguan pola tidur diangkat sebagai
diagnosa karena saat pengkajian pasien mengeluh sering terbangun dan hanya
tidur 5 jam saja. Defisit perawatan diri diangkat sebagai diagnosa karena pada
pasien tampak kuku yang panjang dan kurang terawat. Dari uraian diatas terdapat

kesenjangan anatara teori dan fakta di lapangan, dari 4 (empat) diagnosa yang ada
diteori tidak ada kesamaan diagnosa dari 3 (tiga) diagnosa yang diangkat penulis.
Kemungkian diagnosa lain yang tidak muncul dikarenakan pada saat pengkajian
tidak ada tanda-tanda pada pasien yang menunjukan untuk mengangkat diagnosa
tersebut. Faktor pendukung yang membantu dalam menentukan diagnosa
keperwatan ini yaitu adanya data yang didapat dari pasien, keluarga pasien,
kedaan fisik pasien, dan tidak ada faktor penghambat dalam menentukan diagnosa
keperawatan.
4.3 Intervensi atau Perencanaan Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah dilakukan sebagai perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasin atau tindakan yang diharus dilakukan oleh perawat
(Doenges 2002), diagnosa yang muncul adalah ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum, gangguan pola tidur
berhubungan dengan proses penyakit, gangguan metabolisme, kerusakan
eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu dan defisit perawatan diri
berhubungan

dengan

kurang

pengetahuan.

Dengan

intervensi

yang

keperawatanyang sesuai dengan teori yang sudah penulis uraikan secara terperinci
pada bab sebelumnya.
Pada kasus Ny. S yang menjadi prioritas utama dalam perencanaan tindakan
adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penigkatan
produksi sputum, dengan intervensi kaji fungsi pernafasan : bunyi nafas,
kecepatan, irama, berikan claping untuk membantu mengeluarkan secret, ajarkan
teknik nafas dalam dan batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam
memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan proses penyakit, gangguan metabolisme, kerusakan
eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu, intervensi yang

diberikan adalah pantau keadaan umum dan TTV pasien, kaji pola tidur pasien,
kaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas, kecepatan, irama, kaji faktor yang
menyebabkan gangguan tidur, ciptakan suasana nyaman, kurangi atau hilangkan
distraksi lingkungan dan gangguan tidur, batasi pengunjung selama periode
istirahat yang optimal. Pada diagnosa ketiga yaitu defisit perawatan diri
berhubungan dengan kurangnnya pengetahuan, intervensi yang diberikan adalah
kaji kebersihan diri pasien, lakukan tindakan personal hygiene beruba memotong
kuku, ajarkan tehnik memotong kuku yang benar.
4.4 Implementasi atau Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi atau pelaksaanaan keperawatan merupakan tahap ke empat dari
proses keperawatan, dimana rencana keperawatan dilaksanakan pada tahap ini
perawat siap untuk menjelaskan dan melaksanakan intervensi dan aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana keperawatan pasien, agar implementasi perencanaan
ini tepat waktu dan efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas
perawatan pasien. Kemudian bila dilaksanakan, memantau dan mencatat respon
pasien terhadap setiap intervensi dan mendokumantasikannya informasi ini
kepada penyediaan perawatan kesehatan keluarga (Doenges, 2002).
Implementasi atau pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada hari selasa
10 November 2015 jam 07.00 WIB di ruang Bougenville RS dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya terhadap Ny. S untuk diagnosa pertama dengan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yaitu mengkaji fungsi pernafasan : bunyi nafas, kecepatan,
irama, meberikan claping untuk membantu mengeluarkan secret, mengajarkan
teknik nafas dalam dan batuk efektif, mengkolaborasikan dengan dokter dalam
memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
implementasi yang diberikan adalah memantau keadaan umum dan TTV pasien,
mengkaji pola tidur pasien, mengkaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas, kecepatan,

irama, mengkaji faktor yang menyebabkan gangguan tidur, menciptakan suasana


nyaman, kurangi atau hilangkan distraksi lingkungan dan gangguan tidur,
membatasi pengunjung selama periode istirahat yang optimal. Pada diagnosa
ketiga yaitu defisit perawatan diri implementasi yang diberikan adalah mengkaji
kebersihan diri pasien, melakukan tindakan personal hygiene berupa memotong
kuku, mengajarkan tehnik memotong kuku yang benar.
Implementasi yang diberikan sudah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
pasien pada saat pengkajian. Faktor yang mendukung dalam pelaksanaan
keperawatan ini adaah kerjasama pasien, dan tim kesehatan lainnya. Tidak ada
penghambat dalam pelaksanaan keperawatan.
4.5 Evalusi
Hasil evaluasi yang dilakukan pada hari selasa 10 November 2015 jam 14.00
WIB di ruangan Bougenville RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya terhadap Ny.
S didapatkan hasil evaluasi pada diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas masalah tidak teratasi karena pasien masih mengeluh batuk-batuk,
secret warna putih kekunigan, dahak kental, ronchi basah. Diagnosa kedua
gangguan pola tidur masalah tidak teratasi karena pasien masih tampak sering
menguap, pasien tampak lemas, terdapat lingkar hitam pada mata. Pada diagnosa
ketiga dengan defisit keperawatan diri masalah teratasi karena kuku pasien tidak
panjang, kuku pasien bersih, pasien mengerti cara memotong kuku yang benar.
Masalah keperawatan atau diagnosa yang ditemukakn pada kasus tidak semua
teratasi sesuai dengan kriteria hasil yang ada.

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008,
yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal
lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra.

Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya
untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy
dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang
netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya
diderita oleh pasien kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf- saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.
Dari bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dari pengkajian didapatkan
data yaitu pasien batuk-batuk, pasien tampak lemas, terdapat bercak merah di
seluruh tubuh pasien. Tidak ada gangguan lain selain yang dikeluhkan pasien.
Dari data yang terkumpul, penulis megangkat 3 (tiga) diagnosa, yaitu
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum, Gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, gangguan
metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu,
dan Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurang pengetahuan.
Pada kasus Ny. S intervensi yang diberikan pada ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan penigkatan produksi sputum, dengan intervensi
kaji fungsi pernafasan : bunyi nafas, kecepatan, irama, berikan claping untuk
membantu mengeluarkan secret, ajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif,
kolaborasi dengan dokter dalam memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua
yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, gangguan

metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu,


intervensi yang diberikan adalah pantau keadaan umum dan TTV pasien, kaji pola
tidur pasien, kaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas, kecepatan, irama, kaji faktor
yang menyebabkan gangguan tidur, ciptakan suasana nyaman, kurangi atau
hilangkan distraksi lingkungan dan gangguan tidur, batasi pengunjung selama
periode istirahat yang optimal. Pada diagnosa ketiga yaitu defisit perawatan diri
berhubungan dengan kurangnnya pengetahuan, intervensi yang diberikan adalah
kaji kebersihan diri pasien, lakukan tindakan personal hygienc beruba memotong
kuku, ajarkan tehnik memotong kuku yang benar.
Implementasi atau pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada hari selasa
10 November 2015 jam 07.00 WIB di ruang Bougenville RS dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya terhadap Ny. S untuk diagnosa pertama dengan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yaitu mengkaji fungsi pernafasan : bunyi nafas, kecepatan,
irama, meberikan claping untuk membantu mengeluarkan secret, mengajarkan
teknik nafas dalam dan batuk efektif, mengkolaborasikan dengan dokter dalam
memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
implementasi yang diberikan adalah memantau keadaan umum dan TTV pasien,
mengkaji pola tidur pasien, mengkaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas, kecepatan,
irama, mengkaji faktor yang menyebabkan gangguan tidur, menciptakan suasana
nyaman, kurangi atau hilangkan distraksi lingkungan dan gangguan tidur,
membatasi pengunjung selama periode istirahat yang optimal. Pada diagnosa
ketiga yaitu defisit perawatan diri implementasi yang diberikan adalah mengkaji
kebersihan diri pasien, melakukan tindakan personal hygiene berupa memotong
kuku, mengajarkan tehnik memotong kuku yang benar.

Hasil evaluasi yang dilakukan pada hari selasa 10 November 2015 jam 14.00
WIB di ruangan Bougenville RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya terhadap Ny.
S didapatkan hasil evaluasi pada diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas masalah tidak teratasi karena pasien masih mengeluh batuk-batuk,
secret warna putih kekunigan, dahak kental, ronchi basah. Diagnosa kedua
gangguan pola tidur masalah tidak teratasi karena pasien masih tampak sering
menguap, pasien tampak lemas, terdapat lingkar hitam pada mata. Pada diagnosa
ketiga dengan defisit keperawatan diri masalah teratasi karena kuku pasien tidak
panjang, kuku pasien bersih, pasien mengerti cara memotong kuku yang benar.

5.2 Saran
5.2.1 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Diharapkan dari hasil studi kasus ini dapat membuka wawasan dalam
pengembangan pengetahuan khususnya ilmu keperawatan dan kesehatan pada
umumnya,dalam hal ini berkaitan dengan penyakit kusta.
5.2.2 Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang ilmu keperawatan
khususnya asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta.
5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadikan sumber bacaan tentang penyakit kusta dan
asuhan keperawatan dapat menjadi acuan untuk studi kasus beerikutnya.
5.2.4 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit kusta, meningkatkan mutu pelayanan perawatan di rumah sakit kepada
pasien dengan penyakit kusta.
5.2.5 Bagi Pasien

Pasien dapat mengetahui bagaimana cara perawata di rumah dan mengetahui


cara pencegahan terjadinya penyakit kusta.
5.2.6 Bagi Mahasiswa Pelaksana
Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien dengan penyakit kusta.

DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 2001. Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Dongoes, M. E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 3. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
Nursalam. 2009. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Suhendro, Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi V. Jakarta :
Internal Publishing
Effendy, Nasrul. 1995. Perawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai