PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh
dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi
dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana
saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang,
dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial
ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga
masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang
serius. Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan
angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas
penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada
2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar
kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada
tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih
tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi
kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi
dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru
menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961
jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta
dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemukan di
Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000
kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru.
Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama
tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini
10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah
penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus
(8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak
menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada
tahun 2002.
Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Permasalahan
penyakit
kusta
bila
dikaji
secara
mendalam
merupakan
permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga
menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam
keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat
dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan
dengan
harapan
dapat
lebih
memahami
penyakit
kusta
dan
penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, sehingga dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1.2.1 Bagaimana pengkajian pada pasien dengan Kusta?
1.2.2 Apa saja diagnosa keperawatan pada bpasien dengan penyakit kusta?
1.2.3 Bagaimana intervensi keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta?
1.2.4 Bagaimana implementasi keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta?
1.2.5 Bagaimana evaluasi keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta?
1.2.6
Bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan pada Ny.S
dengan penyakit kusta dari pengkajian sampai evaluasi?
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan studi kasus ini adalah untuk mahasiswa/i
mendapatkan pengalaman secara nyata atau langsung dalam memberikan asuhan
keperawatan klien kusta.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Melaksanakan pengkajian pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di
RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
2) Menegakan diagnosa pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di RS dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
3) Merencanakan intervensi Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di RS dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
4) Melaksanakan implementasi pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di
RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
5) Mengevaluasi pada Ny. S di ruang Bougenville dengan kusta di RS dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
6) Mengidentifikasi penatalaksanaan asuhan keperawatan pada Ny. S di ruang
Bougenville dengan kusta di RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat Penulisan
Ada pun manfaat penulisan laporan studi kasus ini adalah :
1.4.1 Teoritis
Laporan studi kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan
dalam peningkatan kualitas asuhan keperawatan dengan penyakit kusta.
1.4.2 Praktis
1.4.2.1
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Hasil studi kasus ini dapat membuka wawasan dalam pengembangan
pengetahuan khususnya ilmu keperawatan dan kesehatan pada umumnya, dalam
hal ini beraitan dengan penyakit kusta.
1.4.2.2
Bagi Mahasiswa
Memberikan dan menambah pengetahuan tentang ilmu keperawatan
khususnya asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta.
1.4.2.3
Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang penyakit kusta dan asuhan keperawatan dapat
menjadi acuan untuk studi kasus berikutnya.
1.4.2.4
Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit kusta, meningkatkan mutu pelayanan perawatan di rumah sakit kepada
pasien dengan penyakit kusta.
1.4.2.5
Bagi Pasien
Pasien dapat mengetahui bagaimana cara perawata di rumah dan mengetahui
cara pencegahan terjadinya penyakit kusta.
1.4.2.6
Bagi Mahasiswa Pelaksana
Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien dengan penyakit kusta.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008,
yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal
lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra.
Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya
untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy
dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang
netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya
diderita oleh pasien kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf- saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath.
2.1.2 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium laprae,
yang bebentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micm, lebar 0,2-0,5 micm.
Biasanya berkelompok dan ada yangtersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA). Sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan hanya manusia satu-satunya, walaupun kuman kusta dapat hidup pada
armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus. Dengan demikian berarti kuman
kusta yaitu Mycobactirium leprae hidup harus berpindah langsung dari seorang ke
orang lain untuk penularan penyakit tersebut.
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12 21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas yang lama yaitu 2 5 tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan
dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain dengan cara
penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian
besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan kulit. Luka di kulit dan mukosa hidung dikenal sebagai sumber
dari kuman.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1) Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Basiler (MB). Penderita
MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2) Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat tumbuh dan hidup diluar tubuh manusia antara 1 9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3) Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil
penelitian menunjukkan gambaran dari 100 orang yang terpapar, 95 orang
tidak menjadi sakit, 3 (tiga) orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 (dua)
orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
2.2 Manifestasi klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling manifestasi klinis dari penyakit kusta
adalah :
2.3.1 Tipe Tuberkoloid (TT)
1) Mengenai kulit dan saraf.
2) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,
regresi, atau, kontrol healing (+).
3) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
4) Infiltrasi Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya
respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2.3.2 Tipe Borderline Tuberkoloid (BT)
1) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
2) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
3) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
4) Lesi satelit (+), terletak dekat saraf perifer menebal.
2.3.3 Tipe Mid Borderline (BB)
1) Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
2) Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
3) Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi
tipe BT, cenderung simetris.
4) Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
5) Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
2.3.4 Tipe Borderline Lepromatus (BL)
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
2.3.5 Tipe Lepromatosa (LL)
1) Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas
tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
2) Distribusi lesi khas :
a) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
b) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat
bawah.
3) Stadium lanjutan :
a) Penebalan kulit progresif.
sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari
monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit. Tipe LL ; terjadi kelumpuha
system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat
membelah diri dengan bebas merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler
tinggi makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis
macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan
dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Morbus Hansen
Saraf tepi
Kulit
Motorik
Bercak
hipopigementasi/
kemerahan
Penebalan dan
Anestesi
Gatal-gatal
Otonom
N. ulnaris
dan N
medianus
Paralis jari
tangan
N tibia
posterior
Gg. Kelenjar
keringat dan
minyak
Paralis
jari kaki
Port de entri
Resiko
Infeksi
Kulit kering
dan bersisik
Kerusakan
integritas kulit
Claw hand
dan Claw
fingger
Intoleransi aktivitas
Penebalan
saraf
Anestesia
Claw toes
Ulcerasi
Sensori
Terjadi
luka
2.4 Klasifikasi
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
1) TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan
kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satu
dengan yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas,
pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin
( + ) kuat.
2) BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).
3) Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas
pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan
sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).
4) BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji
Lepromin ( - ).
5) LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil,
jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan
jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
b) Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
2.5 Komplikasi
Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan urat
saraf tepi, kecacatan, terjadinya kerontokan alis mata, menebalnya cupingtelinga,
Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
umur
50mg/2kali/minggu;
di
bawah
10
tahun:
umur
11-14
tahun:
bulanan100mg/bln,
bulanan
100mg/bln,
harian
harian
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.8 Pencegahan
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang dapat segera ditangani
dan di cegah. Nah berikut ini adalah rekomendasi untuk mencegah penularan
kusta:
1)
Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita
kusta, agar bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan pada orang lain.
2)
Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang
3)
4)
lama
Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan.
Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga
dan meningkatkan pemenuhan nutrisi. Tidak bertukar pakaian dengan
memang pada dasarnya penyakit kusta tersebut menular akan tetapi para penderita
kusta juga memiliki hak untuk masih tetap dapat hidup bermasyarakat. Pada
intinya, penderita kusta yang telah menjalani pengobatan, sedikit kemungkinan
untuk dapat menularkan penyakitnya.
2.10.4
Riwayat kesehatan
2.10.4.1 Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai
hiperanastesi dan odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan, kaki
serta bisa juga terjadi peningkatan suhu tubuh.
2) Kerusakan fungsi motorikm, kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
2.10.5.5 Sistem Muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
2.10.5.6 Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2.10.5.7 Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan
terutama pada body image, penderita merasa rendah diri dan merasa
terkucilkan sedangkaan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya klien
kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak langsung
dengan penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
maka timbul masalah dalam perawatan diri.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
berguna lagi dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima oleh
masyarakat dan keluarganya.
8) Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual klien tidak mengalami gangguan.
9) Pola hubungan dan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari
masyarakat (disorentasi). Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya, dan
masyarakat
beranggapan
penyakit
kusta
merupakan
penyakit
yang
menjijikan.
10) Pola penanggulangan stress
Bagaimana klien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara
penanggulangannya.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat gaib.
2.10.6 Pemeriksaan Penunjang
2.10.6.1 Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukanlesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidungapabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
ditemukan
adalah
bentuk
utuh
(solid),
pecah-pecah
Diagnosa Keperawatan
klien
untuk
dapat
melakukan
aktivitas
sesuai
dengan
kemampuannya.
R/: Melatih sesuai kemampuan pasien
Intervensi :
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas.
R/: Untuk menjaga kebersihan dan penularan penyakit
2. Pantau adanya tanda-tanda infeksi.
R/: Mengidentifikasi dini terhadap tanda-tanda infeksi dapat menentukan
tindakan selanjutnya.
3. Gunakan selalu alas kaki dan jangan berjalan terlalu cepat
R/: Untuk menghindari gesekan yang menimbulkan luka.
4. Kolaborasikan dalam pemberian obat antibiotik
R/: Pemberian obat antibiotik dapat membantu pengobatan infeksi.
2.12 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakanj tahap kempat dari proses keperawatan,
dimana rencana perawat dilaksanakan pada tahap ini perawat siap untuk
menjelaskan dan melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana keperawatan klien, agar implementasi perencanaan ini tepat waktu dan
keperawatan
yang
aktivitas
pencatatan
pada
rencana
perawat
klien.
Dalam
klien
dengan
tujuan
yang
telah
ditetapkan,
dilakukan
Norfarma :
1) Lingkungan tidur klien harus nyaman, aman dan bersih.
2) Pengaturan penerangan (lampu), kalau perlu lampu tidur dibuat remang atau
redup.
3) Atur jam tidur, tidur siang tidak boleh lebih dari 2 jam.
4) Mandi air hangat untuk memberikan rasa rileks pada lansia.
Farmakologi :
1) Golongan obat hipotik
2) Golongan obat antidepres
a) Golongan obat antidepreson
3) Terapi hormon melatonim dan agonis melafonim
4) Golongan obat antion
5) Terapi hormon melatonim dan agonis melafonim
6) Golongan obat antihistamin
6.15.6 Efek samping
1) Nyeri kepala
2) Hipertensi
3) Stres psikologis
4) Anemia
5) Vertigo
6.15.7 Faktor Yang Mempengaruhi / Menyebabkan Gangguan Pola Istirahat
dan Tidur
1) Penyakit
2) Diet
3) Alkohol
4) Obat-obatan
5) Lingkungan ramai
6) Nutrisi
7) Stres psikologis
8) Kelelahan
6.15.1 Pemeriksaan Penunjang
1) Polisomnografi
2) Suturasi O dan ECG
2.16 Manajemen Keperawatan
2.16.1 Pengkajian
Pengkajian kebutuhan istirahat dan tidur :
Aspek yang perlu dikaji pada klien untuk mengidentifikasi gangguan kebutuhan
istirahat dan tidur yaitu
1) Pola tidur (jam berapa klien mulai tidur, bangun, dan keteraturan pola tidur
klien).
2)
3)
4)
5)
6)
yang 1. Untuk
Rasional
mengetahui
tindakan
hal
yang
dapat
perawatan
kepada
klien
sesuai
intervensi
yang
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Pada tanggal 10 November 2015 penulis melakukan pengkajian di ruang RS
dr. Doris Sylvanus ruang Bougenville dengan pasien nama Ny. S, umur 42 tahun,
jenis kelamin perempuan, suku/bangsa Jawa/Indonesia, agama Islam, pekerjaan
ibu rumah tangga, pendidikan SMP, status perkawinan kawin, alamat pasien jl.
Cendana, pasien masuk rumah sakit pada tanggal 04 November 2015, dengan
diagnosa medis ENL+ Reaksi Kusta.
3.1.2 Riwayat Kesehatan/Keperawatan
3.1.2.1
Keluhan Utama
Pasien mengatakan saya batuk berdahak
3.1.2.2
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 03 November 2015 pasien mengalami muntah-muntah 6,
demam dan muncul benjolan merah di seluruh tubuh. Pada tanggal 04 November
2015 pasien dibawa ke Igd rumah sakit dr. Doris Sylvanus Palangaka Raya
kemudian dilakukan rawat inap di ruang Bougenville kamar B4, selama perawatan
pasien melakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 04 November 2015
berupa Glukosa S 135mg/dl, WBC 21,59 10^3/uL, RBC 4,3510^6/uL, HGB
12,9g/dL, PLT 15810^3/uL.
3.1.2.3
operasi)
Pasien pernah dirawat di RS Ulin Banjaramasin pada tanggal 15 Agustus
2015 sampai 20 Agustus 2015 dengan penyakut yang sama.
3.1.2.4
Riwayat Penyakit Keluarga
Dari keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit menular
(TBC, Hepatitid B dll) serta penyakit turunan (DM, Hipertensi).
GENOGRAM KELUARGA
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Meninggal
suasana hati klien biasa, penampilan rapi, orientasi waktu baik, orientasi orang
baik, orientasi tempat baik, klien tidak mengalami halusinasi, insihgt baik,
mekanisme pertahanan diri klien adaptif.
3.1.3.3
Tanda-tanda Vital
Pada waktu pengkajian di dapatkan TTV pada Ny. S Suhu/T : 36,5C (axila),
nadi/HR : 90/menit, pernafasan/RR : 20/menit, tekanan darah/BP 140/90
mmHg.
3.1.3.4
Pernafasan (Breathing)
Bentuk dada Ny. S simetris, pasien tidak ada kebiasaan merokok, klien batuk
sejak dua hari yang lalu, batuk darah tidak ada, sputum warna putih kekuningan,
type pernafasan klien perut, irama pernafasan teratur, suara nafas vasikuler, suara
nafas tambahan ronchi basah (rales).
3.1.3.5
Kardiovaskuler (Bleeding)
Pasien tidak ada nyeri dada, capiller refill 2 detik, tidak ada oedema, tidak
ada asites, ictus cordis tidak terlihat, vena jugularis tidak meningkat, suara jantung
lubdub.
3.1.3.6
Persyarafan (Brain)
Nilai GCS pada saat pengkajian terhadap Ny. S didapatkan nilai E : 4
(membuka mata secara spontan), V : 5 (orientasi baik), M : 6 (mengikuti
perintah), dam total nilai GCS : 15. Kesadaran pasien compos menthis, pupil
isokor, reflak terhadap cahaya positif, tidak ada nyeri, uji syaraf kranial I-XII
tidak ada masalah, uji koordinasi tidak ada masalah, uji kesetabilan tubuh positif,
refleks normal (bisep, brakoradialis, babinski), tidak ada refleks dan uji sensasi
lain.
3.1.3.7
Eliminasi Urin (Bladeer)
Produksi urine Ny. S pada saat dilakukan pengkajian 900 ml dalam 4/hari.
Warna urine kekuningan dan bau khas. Saat mengeluarkan kencing lancar.
3.1.3.8
Eliminasi Alvi (Bowel)
Pada saat pengkajian mulut dan faring didapatkan bibir pasien lembab, gigi
normal, gusi normal tidak ada lesi, lidah normal warna merah muda, mukosa tidak
ada lesi, tonsil normal, rectum normal, tidak ada haemoroid. BAB 2/hari, warna
kekuningan, konsistensi biasa, bising usus 8/menit, tidak ada nyeri tekan dan
benjolan.
3.1.3.9
Tulang-Otot-Integumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas, tidak ada masalah pada otot dan tulang.
Ukuran otot simetris, pada saat dilakukan pengkajian pada uji kekuatan otot
Pada saat pengkajian didapatkan hasil tinggi badan/TB 150 cm, BB setelah
sakit 50 kg, dan BB sebelum sakit 52 kg. Diet yang dijalani pasien selama sakit
adalah diet lunak, tidak ada muntah, tidak ada kesukaran menelan.
Pola Makan Sehari-hari
Frekuensi/hari
Porsi
Nafsu makan
Jenis makanan
Jumlah minuman/cc/24
jam
Kebiasaan makan
Keluhan/masalah
Sesudah Sakit
Sebelum Sakit
3/hari
1 porsi
Baik
Lunak
5-6 gelas
3/hari
1 porsi
Baik
Biasa
7-8 gelas
3.1.4.3
Pola Istirahat dan Tidur
Sebelum sakit tidur malam 7-8 jam, tidur siang 1-2 jam. Saat sakit tidur
malam terganggu karena pasien batuk, tidur malam 54 jam dan tidur siang 2-3
jam. Masalah keperawatan : Gangguan pola tidur.
3.1.4.4
Kognitif
Pasien mengerti tentang penyakit dan berharap dapat sembuh dan melakukan
aktivitas seperti biasa.
3.1.4.5
Konsep Diri
Gambaran diri pasien baik. Pasien merasa tidak ada penurunan harga diri
setelah pasien sakit. Pasien merasa bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga,
selama sakit pasien dijaga oleh anak pasien. Tidak ada maslaha dengan konsep
diri.
3.1.4.6
Aktivitas Sehari-hari
Sebelum sakit pasien melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Sesudah
sakit pasien tidak bisa melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga.
3.1.4.7
Koping Toleransi terhadap Stress
Apabila ada masalah, pasien selalu bercerita dengan orang terdekat. Tidak ada
masalah keperawatan.
3.1.4.8
Nilai Pola Keyakinan
Selama dirawat di rumah sakit, tidak ada tindakan yang bertentangan dengan
pola keyakinqan pasien.
3.1.5 Sosial Spiritual
3.1.5.1
Kemampuan Berkomunikasi
Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dengan siapa saja, termasuk
berkomunikasi dengan perawat dan mampu berinteraksi dengan baik.
3.1.5.2
Bahasa sehairi-hari
Pasien menggunakan bahasa jawa dan bahasa Indonesia.
3.1.5.3
Hubungan dengan Keluarga
Hubungan pasien dengan keluarga sangat baik, hal ini dapat dilihat dari
anggota keluarga yang datang bergantian untuk menjaga pasien selama dirawat di
RS.
3.1.5.4
Hubungan dengan Teman/petugas kesehatan/ orang lain
Hubungan pasien dengan taman baik, hal ini dilihat dari teman pasien yang
datang menjenguk, dan hubungan dengan petugas kesehatan juga baik, pasien
mau bekerja sama dengan perawat dalam pemberian asuhan keperawat.
3.1.5.5
Orang Berarti/Terdekat
Orang terdekat dan berarti menurut pasien adalah keluarga sendiri, yaitu
anak-anak dan suaminya. Karena menurut pasien mereka selalu ada disaat pasien
membutuhkan bantuan.
3.1.5.6
Jenis
04-11-2015
Pemeriksaan
Pemeriksaan lab
Hasil
Glukosa
135mg/dL
WBC
21,5910^3/uL
Nilai Normal
200
4.00-10.00
RBC
3.50-5.50
4,3510^6/uL
HGB 12,2 g/dL
PLT
11.0-16.0
150-400
15810^3/uL
Sumber : dari buku status pasien di ruang Bougenville
Penatalaksanaan
1. Infus Nacl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi Metil Prednisolone1125
IV 06.00 WIB
Sumber : buku status pasien diruang Bougenville
(DWI KRISTANTO)
Masalah
Kemungkinan Penyebab
Obyektif
DS : pasien mengatakan
Peningkatan produk sputum
saya batuk-batuk
DO :
-
Batuk berdahak
Secret
warna
kekuningan
-
Dahak kental
Roncli basah
Ketidakefektifan
putih
jalur nafas
bersihan
DS : pasien mengatakan
saya
tidak
bisa
tidur
metabolisme,
dengan nyenyak
eliminasi,
DO :
-
Pasien
tidak
kerusakan
pengaruh
obat,lingkungan
yang
mengganggu.
pada mata
-
tampak
sering menguap
-
Tidur
malam
di
RS
TTV
TD : 140/90 mmHg
N : 90X/menit
RR : 20X/menit
S : 36,5C
Kuku
pasien
tampak
panjang
-
: Ny. S
Ruangan Rawat : B
Diagnosa Keperawatan
Tujuan (Kriteria hasil)
Ketidakefektifan
bersihan Setelah dilakukan tindakan
jalan nafas
Intervensi
1. Kaji fungsi pernafasan : bun
membantu
claping
unt
mengeluark
secret
dengan
dok
Intervensi
1. Pantau keadaan umum
keperawatan
TTV pasien
2. Kaji pola tidur pasien
3. Kaji fungsi : pernafasa
masalah
selama
keperawatan
1x7
jam
teratasi
bunyi
nafas,
kecepa
1.
2.
3.
4.
irama.
4. Kaji
normal
tidur.
5. Ciptakan suasana nyam
faktor
menyebabkan
gangg
kurangi
atau
hilang
distraksi
lingkungan
gangguan tidur.
6. Batasi pengunjung sela
periode
istirahat
optimal
Diagnosa Keperawatan
Defisit perawatan diri
1x7
jam
Intervensi
1. Kaji kebersihan diri pasie
2. Lakukan tindakan perso
masalah
kuku.
3. Ajarkan tehnik memot
kuku yang benar.
Hari/Tanggal
Implementasi
Jam
Selasa,
10
November
2015
mengeluarkan secret
3. Mengajarkan tehnik nafas dalam dan batuk
07.00 WIB
efektif.
4. Mengkolaborasikan dengan dokter dalam
meberikan obat sesuai indikasi.
Evaluasi (SO
S : Pasien mengatakan S
batuk
O : - Pasien tampak batuk
-
mengeluarkan secre
3. Ajarkan tehnik n
batuk efektif.
4. Kolaborasi denga
Evaluasi (SOA
S : Pasien mengatakan T
November
nyenyak
2015
07.00 WIB
10
Implementasi
kecepatan, irama
4. Mengkaji faktor yang menyebabkan gangguan
tidur
tidur
P : Lanjutkan intervensi
1. Pantau keadaan um
pasien
2. Kaji pola tidur pasien
3. Kaji fungsi : pern
gangguan tidur.
5. Ciptakan suasana n
Hari/Tanggal
Jam
Selasa,
November
10
Implementsi
1. Mengkaji kebersihan diri pasien.
2. Melakukan tindakan personal hygienc beruba
Evaluasi (SOA
S : Pasien mengatakan K
bersih
2015
07.00 WIB
memotong kuku.
3. Mengajakan tehnik memotong kuku yang benar
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen, mengeluh adanya
bercak-bercak disertai hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan dan
peningkatan suhu. Dalam riwayat kesehatan sekarang penyakit kusta biasanya
adanya bercak-bercak merah disertai hiperanastesi dan odema pada ektrimitas
pada bagian perifer seperti tangan, kaki serta bisa juga terjadi peningkatan suhu
tubuh. Dalam riwayat kesehatan dahulu penyakit apa yang diderita pasien
sebelumnya seperti hepatitis, asma dan alergi, jantung koroner dll. Dalam riwayat
kesehatan keluarga biasanya merupakan penyakit menular seperti hepatitis, TB
paru, maka anggota keluarga mempunyai resiko beasar tertular dengan kontak
lama atau pun penyakit turunan seperti DM, hipertensi dll.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien biasanya dalam keadaan
demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen.
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik. Pada sistem penglihatan
adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek
kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ
tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok. Pada sistem pernafasan pasien dengan
morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada
tenggorokan. Pada sistem persarafan kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi
kesenjangan anatara teori dan fakta di lapangan, dari 4 (empat) diagnosa yang ada
diteori tidak ada kesamaan diagnosa dari 3 (tiga) diagnosa yang diangkat penulis.
Kemungkian diagnosa lain yang tidak muncul dikarenakan pada saat pengkajian
tidak ada tanda-tanda pada pasien yang menunjukan untuk mengangkat diagnosa
tersebut. Faktor pendukung yang membantu dalam menentukan diagnosa
keperwatan ini yaitu adanya data yang didapat dari pasien, keluarga pasien,
kedaan fisik pasien, dan tidak ada faktor penghambat dalam menentukan diagnosa
keperawatan.
4.3 Intervensi atau Perencanaan Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah dilakukan sebagai perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasin atau tindakan yang diharus dilakukan oleh perawat
(Doenges 2002), diagnosa yang muncul adalah ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum, gangguan pola tidur
berhubungan dengan proses penyakit, gangguan metabolisme, kerusakan
eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu dan defisit perawatan diri
berhubungan
dengan
kurang
pengetahuan.
Dengan
intervensi
yang
keperawatanyang sesuai dengan teori yang sudah penulis uraikan secara terperinci
pada bab sebelumnya.
Pada kasus Ny. S yang menjadi prioritas utama dalam perencanaan tindakan
adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penigkatan
produksi sputum, dengan intervensi kaji fungsi pernafasan : bunyi nafas,
kecepatan, irama, berikan claping untuk membantu mengeluarkan secret, ajarkan
teknik nafas dalam dan batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam
memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan proses penyakit, gangguan metabolisme, kerusakan
eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu, intervensi yang
diberikan adalah pantau keadaan umum dan TTV pasien, kaji pola tidur pasien,
kaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas, kecepatan, irama, kaji faktor yang
menyebabkan gangguan tidur, ciptakan suasana nyaman, kurangi atau hilangkan
distraksi lingkungan dan gangguan tidur, batasi pengunjung selama periode
istirahat yang optimal. Pada diagnosa ketiga yaitu defisit perawatan diri
berhubungan dengan kurangnnya pengetahuan, intervensi yang diberikan adalah
kaji kebersihan diri pasien, lakukan tindakan personal hygiene beruba memotong
kuku, ajarkan tehnik memotong kuku yang benar.
4.4 Implementasi atau Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi atau pelaksaanaan keperawatan merupakan tahap ke empat dari
proses keperawatan, dimana rencana keperawatan dilaksanakan pada tahap ini
perawat siap untuk menjelaskan dan melaksanakan intervensi dan aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana keperawatan pasien, agar implementasi perencanaan
ini tepat waktu dan efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas
perawatan pasien. Kemudian bila dilaksanakan, memantau dan mencatat respon
pasien terhadap setiap intervensi dan mendokumantasikannya informasi ini
kepada penyediaan perawatan kesehatan keluarga (Doenges, 2002).
Implementasi atau pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada hari selasa
10 November 2015 jam 07.00 WIB di ruang Bougenville RS dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya terhadap Ny. S untuk diagnosa pertama dengan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yaitu mengkaji fungsi pernafasan : bunyi nafas, kecepatan,
irama, meberikan claping untuk membantu mengeluarkan secret, mengajarkan
teknik nafas dalam dan batuk efektif, mengkolaborasikan dengan dokter dalam
memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
implementasi yang diberikan adalah memantau keadaan umum dan TTV pasien,
mengkaji pola tidur pasien, mengkaji fungsi : pernafasan : bunyi nafas, kecepatan,
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008,
yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal
lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra.
Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya
untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy
dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang
netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya
diderita oleh pasien kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf- saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.
Dari bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dari pengkajian didapatkan
data yaitu pasien batuk-batuk, pasien tampak lemas, terdapat bercak merah di
seluruh tubuh pasien. Tidak ada gangguan lain selain yang dikeluhkan pasien.
Dari data yang terkumpul, penulis megangkat 3 (tiga) diagnosa, yaitu
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum, Gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, gangguan
metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, lingkungan yang mengganggu,
dan Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurang pengetahuan.
Pada kasus Ny. S intervensi yang diberikan pada ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan penigkatan produksi sputum, dengan intervensi
kaji fungsi pernafasan : bunyi nafas, kecepatan, irama, berikan claping untuk
membantu mengeluarkan secret, ajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif,
kolaborasi dengan dokter dalam memberikan obat sesuai indikasi. Diagnosa kedua
yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, gangguan
Hasil evaluasi yang dilakukan pada hari selasa 10 November 2015 jam 14.00
WIB di ruangan Bougenville RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya terhadap Ny.
S didapatkan hasil evaluasi pada diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas masalah tidak teratasi karena pasien masih mengeluh batuk-batuk,
secret warna putih kekunigan, dahak kental, ronchi basah. Diagnosa kedua
gangguan pola tidur masalah tidak teratasi karena pasien masih tampak sering
menguap, pasien tampak lemas, terdapat lingkar hitam pada mata. Pada diagnosa
ketiga dengan defisit keperawatan diri masalah teratasi karena kuku pasien tidak
panjang, kuku pasien bersih, pasien mengerti cara memotong kuku yang benar.
5.2 Saran
5.2.1 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Diharapkan dari hasil studi kasus ini dapat membuka wawasan dalam
pengembangan pengetahuan khususnya ilmu keperawatan dan kesehatan pada
umumnya,dalam hal ini berkaitan dengan penyakit kusta.
5.2.2 Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang ilmu keperawatan
khususnya asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kusta.
5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadikan sumber bacaan tentang penyakit kusta dan
asuhan keperawatan dapat menjadi acuan untuk studi kasus beerikutnya.
5.2.4 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit kusta, meningkatkan mutu pelayanan perawatan di rumah sakit kepada
pasien dengan penyakit kusta.
5.2.5 Bagi Pasien
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 2001. Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Dongoes, M. E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 3. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
Nursalam. 2009. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Suhendro, Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi V. Jakarta :
Internal Publishing
Effendy, Nasrul. 1995. Perawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC