Anda di halaman 1dari 24

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Percobaan

Pewarnaan spora bakteri

Nama Praktikan

Nagawati

NIM

1531 4545 3142

Hari / Tanggal Percobaan

Jumat, 20 Mei 2016

Kelompok

Enam(6)
Samsul Alam

(1531 4545 3156)

Fitriah rahmadhani .N

(1531 4545 3128 )

Hariswan

(1531 4545 3129)

Rekan Kerja

Penilain

Makassar, 20 Mei 2016


Praktikan

Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

( HANDAYANI.S,Si )

( N AG AW AT I )
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Spora bakteri adalah bentuk bekteri yang sedang dalam usaha
mengamankan diri terhadap pengaruh buruk dari luar. Spora bakteri
mempunyai fungsi yang sama seperti kista amoeba, sebab bakteri dalam bentuk
spora dan amoeba dalam bentuk kista merupakan suatu fase dimana kedua
mikroorganisme itu berubah bentuk untuk melindungi diri terhadap faktor luar
yang tidak menguntungkan.(Dwidjoseputro, 2001)
Sepanjang pengetahuan yang kita miliki sekarang, hanya golongan
basillah yang dapat membentuk spora, akan tetapi tidak semua basil mampu
berbuat demikian. Beberapa spesies Bacillus yang aerob dan beberapa spesies
Clostridium yang anaerob dapat membentuk spora. Spora ini lazim disebut
endospora, dikarenakan spora itu dibentuk di dalam sel. (Dwidjoseputro, 2001)
Endospora hanya terdapat pada bakteri. Merupakan tubuh berdinding
tebal, sangat refraktif, dan sangat resisten, dihasilkan oleh semua spesies
Bacillus, Clostridium dan Sporosarcina. Bakteri yang mampu membentuk
endospora dapat tumbuh dan bereproduksi selama banyak generasi sebagai sel
vegetatif. Namun pada beberapa tahapan di dalam pertumbuhannya, terjadi
sintesis protoplasma baru dalam sitoplasma vegetatifnya yang dimaksudkan
untuk menjadi spora. (Pelczar,1986)
B. TUJUAN
Membuat sediaan untuk pewarnaan spora bakteri.
Untuk melakukan proses pewarnaan spora bakteri.
Untuk melihat bentuk dan letak spora pada bakteri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Spora bakteri adalah bentuk bekteri yang sedang dalam usaha
mengamankan diri terhadap pengaruh buruk dari luar. Spora bakteri mempunyai
fungsi yang sama seperti kista amoeba, sebab bakteri dalam bentuk spora dan

amoeba dalam bentuk kista merupakan suatu fase dimana kedua mikroorganisme
itu berubah bentuk untuk melindungi diri terhadap faktor luar yang tidak
menguntungkan (Dwidjoseputro, 1989). Jenis-jenis bakteri tertentu, terutama
yang tergolong dalam genus Bacillus dan Clostridium mampu membentuk spora.
Spora yang dihasilkan di luar sel vegetatif (eksospora) atau di dalam
sel vegetatif (endospora). Bakteri membentuk spora bila kondisilingkungan tidak
optimum lagi untuk pertumbuhan dan perkembangannya, misalnya: medium
mengering, kandungan nutrisi menyusut dan sebagainya (Hastuti, 2012).
Beberapa spesies bakteri menghasilkan spora eksternal. Streptomyces
misalnya, meghasilkan serantaian spora (disebut konidia), yang disangga di
ujung hifa, suatu filamen vegetatif. Proses ini serupa dengan

proses

pembentukan spora pada beberapa cendawan(Irianto, 2006). Spora pada bakteri


adalah endospora, suatu badan yang refraktil terdapat dalam induk sel
danmerupakan suatu stadium isrtirahat dari sel tersebut. Endospora memiliki
tingkatme tabolisme yang sangat rendah sehingga dapat hidup sampai bertahuntahun tanpa memerlukan sumber makanan dari luar (Irianto, 2006).
Pembentukan spora dapat dianggap sebagai suatu proses diferensiasi
dari suatu siklus hidup dalam keadaan-keadaan tertentu. Hal ini berbeda dari
peristiwa pembelahan sel karena tidak terjadi replikasi kromosom (Pelczar,
1986). Kemampuan menghasilkan spora memberi keuntungan ekologis pada
bakteri, karena memungkinkan bakteri itu bertahan dalam keadaan buruk.
Langkah-langkah utama di dalam proses pembentukan spora sebagai
berikut :
a) Penjajaran kembali bahan DNA menjadi filamen dan invaginasi membran
sel di dekatsatu ujung sel untuk membentuk suatu struktur yang disebut
bakal spora.
b) Pembentukan sederet lapisan yang menutupi bakal spora, yaitu korteks
spora diikuti dengan selubung spora berlapis banyak.
c) Pelepasan spora bebas seraya sel induk mengalami lisis (Pelczar, 1986).
Salah satu ciri endospora bakteri adalah susunan kimiawinya. Semua
endospora bakteri mengandung sejumlah besar asam dipikolinat yaitu suatu
substansi yang tidak terdeteksi pada sel vegetatif. Sesungguhnya, asam tersebut

merupakan 5-10 % berat kering endospora. Sejumlah besar kalsium juga


terdapat dalam endospora, dan diduga bahwa lapisan korteks terbuat dari
kompleks Ca2+asam dipikolinat peptidoglikan (Pelczar, 1986). Letak spora di
dalam sel serta ukurannya selama pembentukannya tidaklah sama bagi semua
spesies contoh, beberapa spora adalah sentral yaitu dibentuk ditengah - tengah
sel yang lain terminal yaitu dibentuk di ujung dan yang lain lagi lateral yaitu di
bentuk di tepi sel (Pelczar, 1986).
Diameter spora dapat lebih besar atau lebih kecil dari diameter sel
vegetatifnya. Dibandingkan dengan sel vegetatif, spora sangat resisten terhadap
kondisi-kondisi fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi dan
kekeringan serta bahan-bahan kimia seperti desinfektan. Ketahanan tersebut
disebabkan oleh adanya selubung spora yang tebal dan keras (Hadioetomo,
1985).
Dalam pengamatan spora bakteri diperlukan pewarnaan tertentu yang
dapat menembus dinding tebal spora. Pewarnaan tersebut adalah dengan
penggunaan larutan hijau malakit 5%, dan untuk memperjelas pengamatan, sel
vegetative juga diwarnai dengan larutan safranin 0,5% sehingga sel vegetative
ini berwarna merah. Dengan demikian ada atau tidaknya spora dapat teramati,
bahkan

posisi

spora

di

dalam

tubuh

sel

vegetative

juga

dapat

diidentifikasi.Namun ada juga zat warna khusus untuk mewarnai spora dan di
dalam proses pewarnaannya melibatkan treatment pemanasan, yaitu; spora
dipanaskan bersamaan dengan zat warna tersebu tsehingga memudahkan zat
warna tersebut untuk meresap ke dalam dinding pelindung spora bakteri (Volk &
Wheeler, 1988).
Beberapa spesies bakteri tertentu dapat membentuk spora. Spora
dihasilkan di dalam tubuh vegetatif bakteri tersebut, dapat berada di bagian
tengah (central), ujung (terminal) ataupun tepian sel. Pelczar (1986),
menyatakan bahwa spora merupakan tubuh bakteri yang secara metabolik
mengalami dormansi, dihasilkan pada faselanjut dalam pertumbuhan sel bakteri
yang sama seperti asalnya, yaitu sel vegetatif. Spora bersifat tahan terhadap
tekanan fisik maupun kimiawi. Santoso (2010)

menyebutkan bahwa ada dua genus bakteri yang dapat membentuk


endospora, yaitu genus Bacillus dan genus Clostridium.Strukturspora yang
terbentuk di dalamtubuh vegetative bakteri disebut sebagai endospora
(endo=dalam, spora=spora) yaitu spora yang terbentuk di dalam tubuh. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa endospora merupakan sel yang mengalami
dehidrasi dengan dinding yang mengalami penebalan serta memiliki beberapa
lapisan tambahan.
Dengan adanya kemampuan untuk membentuk spora ini, bakteri
tersebut dapat bertahan pada kondisi yang ekstrim.Menurut Pelczar (1986)
bakteri yang dapat membentuk endospore ini dapat hidup dan mengalami
tahapan-tahapan pertumbuhan sampai beberapa generasi, dan spora terbentuk
melalui sintesis protoplasma baru di dalam sitoplasma sel vegetatifnya.
Beberapa bakteri mampu membentuk spora meskipun tidak dalam
keadaan ekstrem ataupun medium yang kurang nutrisi. Hal ini dimungkinkan
karena bakteri tersebut secara genetis, dalam tahapan pertumbuhan dan
perkembangannya memang memiliki satu fase sporulasi (Dwidjoseputro, 1989).
Jika medium selalu diadakan pembaruan dan kondisi lingkungan disekitar
bakteri selalu dijaga kondusif, beberapa jenis bakteri dapat kehilangan
kemampuannya dalam membentuk spora. Hal ini dimungkinkan karena struktur
bakteri yang sangat sederhana dan sifatnya yang sangat mudah bermutasi,
sehingga perlakuan pada lingkungan yang terus menerus dapat mengakibatkan
bakteri mengalami mutasi dan kehilangan kemampuannya dalam membentuk
spora (Dwidjoseputro, 1989).
Spora bakteri ini dapat bertahan sangat lama, ia dapat hidup bertahun
- tahun bahkan berabad - abad jika berada dalam kondisi lingkungan yang
normal. Kebanyakan sel vegetatif akan mati pada suhu 60-70oC, namun spora
tetap hidup, spora bakteri ini dapat bertahan dalam air mendidih bahkan selama
1 jam lebih. Selama kondisi lingkungan tidak menguntungkan, spora akan tetap
menjadi spora, sampai kondisi lingkungan dianggap menguntungkan, spora akan

tumbuh menjadi satu sel bakteri yang baru dan berkembangbiak secara normal
(Volk & Wheeler, 1988).
Beberapa spesies bakteri membentuk spora, baik di dalam sel
(endospora) maupun diluar sel (eksospora). Spora merupakan suatu tahap hidup
bakteri dalam keadaan metabolisme tidak aktif atau dalam keadaan dorman, bila
tiba waktunya yang tepat dapat mengadakan germinasi dan tubuh membentuk
sel vegetatif kembali.
Letak spora ada 3 macam: sentral, yaitu letak spora berada di tengahtengah sel; terminal, yaitu letak spora ada diujung sel; sub terminal, yaitu letak
spora diantara ujung dan di tengah-tengah sel. Bakteri berspora dapat kehilangan
kemampuan membentuk spora, keadaan tidak berspora ini dapat bersifat tetap
dan dapat pula merupakan reaksi sementara terhadap lingkungan, sebab-sebab
lainnnya belum diketahui. Medium pembiakkan mengandung ekstrak tanah
umumnya dapat mengembalikan sifat-sifat semula. Dalam spora, sifat-sifat
bakteri tetap. Spora dibentuk, jika keadaan lingkungan tidak menguntungkan
baginya misalnya, untuk pertahanan diri. Spora sangat tahan terhadap suhu
tinggi dan desinfektan. Hal ini disebabkan karena dinding spora sangat kuat dan
tersusun atas 3 lapisan, antara lain: intin (lapisan dalam), ektin (lapisan luar), dan
lapisan lendir yang terlihat diantara intin dan ektin. Di dalam bentuk spora
bakteri akan tahan lama tanpa makanan dan tidak melakukan pembiekan, jika
lingkungan di luar telah membaik, maka dinding spora akan pecah dan bentuk
vegetatif akan keluar dan bakteri akan aktif kembali.
Struktur yang khas bagi bakteri ialah endospora. Ciri utama
endospora: dinding teal, sangat refraktil, dan dihasilkan satu untuk tiap sel
bakteri Clostridium sp., Bacillus sp. , Sporosarcina sp., Thermoactinomyces sp.,
dan beberapa bakteri yang lainnya. Struktur, bentuk, dan letak endospora dalam
sel vegetatif beragam, hal itu bergantung pada spesies bakterinya. Kegiatan
metabolisme spora sangat rendah, sehingga bertahan hidup sampai bertahuntahun tanpa mendapatkan sumber makanan bertahun-tahun dari luar. Endospora

biasanya dibentuk oleh sel yang tumbuh dalam medium pembiakan subur, tapi
pada saat mendekati akhir pertumbuhan aktif.
Endospora tidak tahan panas dan pengeringan, dan tidak mudah diberi
pewarnaan. Untuk itu dilakukan spesialisasi pewarnaan pada spora. Pewarnaan
diferensial lain selain pewarnaan Gram contohnya ialah pewarnaan spora.
Proses secara umum pewarnaan spora: pembenihan bakteri, lalu
membuat suspensi bakteri dengan penambahan NaCl fisiologis, ditambahkan air
fuchsin perbandingannya 1:1, campuran dipanaskan, preparat dibuat dari
campuran tersebut, ditambah H2SO4, dan ditetesi methylen blue. Hasilnya spora
berwarna merah dan badan vegetatif berwarna biru.
Spora bakteri umumnya disebut endospora, karena spora dibentuk di
dalam sel. Ada dua tipe sel spora yang terbentuk, yang pertama terbentuk di
dalam sel, yang disebut dengan endospora dan spora yang terbentuk di luar sel
yang disebut eksospora. Spora bakteri tidak berfungsi untuk perkembangbiakan.
Bentuk spora bermacam-macam, bulat atau bulat memanjang, bergantung pada
spesiesnya. Ukuran endospora lebih kecil atau lebih besar daripada diameter sel
induknya. Kebanyakan bakteri pembentuk spora adalah penghuni tanah, tetapi
spora bakteri dapat tersebar dimana saja (Waluyo, 2007).
Letak endospora di dalam sel serta ukurannya tidak sama bagi semua
spesies. Beberapa spora letaknya sentral yaitu dibentuk di tengah-tengah sel,
terminal, yaitu dibentuk di ujung, subterminal yaitu dibentuk di dekat ujung.
Adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat di dalam pencirian dan
identifikasi bakteri (Pelczar & Chan, 2008). Terdapat enam marga bakteri
penghasil

endospora

yaitu

Bacillus,

Sporolactobacillus,

Clostridium,

Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermoactinomycetes. Sebelum digolongkan


menjadi enam marga, bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu termasuk Marga Bacillus jika merupakan gram positif, dan
termasuk marga Clostridium jika merupakan gram negatif (Hatmanti, 2000).
Struktur spora dari dalam ke luar secara berurutan yaitu inti
protoplasma yang mengandung komponen penting seluler seperti DNA, RNA,
enzim, asam dipikolinik, kation divalen dan sedikit air. Sebuah membran dalam

yang merupakan cikal bakal sitoplasma membran sel, dinding sel germinal yang
mengelilingi membran dan merupakan cikal bakal dari dinding sel untuk
memunculkan sel vegetatif. Setelah itu, korteks mengelilingi dinding sel yang
mengandung peptida dan glikan. Sebuah membran luar paraspora dan mantel
spora. Di bagian luar korteks dan membran mengandung lapisan protein yang
menyediakan ketahanan untuk spora. Selama germinasi dan pertumbuhan,
korteks dihidrolisis dan membran luar paraspora dan mantel spora dihilangkan
diikuti dengan munculnya sel (Ray, 2004).
Dinding spora bersifat impermeabel, tetapi zat-zat warna dapat diserap
kedalamnya dengan jalan memanaskan preparat. Sifat impermeabel ini
mencegah dekolorisasi spora oleh alkohol bila diperlakukan dalam waktu yang
sama seperti pada dekolorisasi sel-sel vegetatif (Irianto, 2006). Lapisan luar
spora merupakan penahan yang baik terhadap bahan kimia, sehingga spora sukar
untuk diwarnai. Spora bakteri dapat diwarnai dengan dipanaskan. Pemanasan
menyebabkan lapisan luar spora mengembang, sehingga zat warna dapat masuk
(Lay, 1994). Spora bakteri sangat sulit diwarnai dengan pewarna biasa, oleh
karena itu harus diwarnai dengan pewarna spesifik (Fardiaz, 1992). Bahan yang
digunakan untuk pewarnaan spora dapat memakai larutan malachite green dan
larutan safranin (Waluyo, 2010).
Setiap sel bakteri hanya dapat membentuk satu spora. Struktur
endospora bervariasi untuk setiap jenis maupun spesies, tetapi struktur umumnya
hampir sama. Jika endospora ditempatkan di dalam suatu medium yang baik,
akan terjadi germinasi, spora akan mengambil air dari sekelilingnya,
membengkak dan berkecambah. Lapisan luar spora pecah dan spora akan
tumbuh menjadi sel vegetatif (Fardiaz, 1992).
Menurut Ray (2004), proses sporulasi dapat dibagi ke dalam 7 tahap.
Pertama tahap penghentian replikasi DNA, diikuti dengan penjajaran kromosom
di dalam filamen aksial dan pembentukan mesosom. Invaginasi membran sel dan
pembentukan septum. Pembentukan prespora atau paraspora pun terjadi.
Pembentukan dinding sel germinal dan korteks, akumulasi ion Ca2+ dan sintesis
DPN. Deposisi mantel spora, pematangan spora, dehidrasi protoplas dan

resistensi untuk panas. Tahap akhir terjadi lisis enzimatis pada dinding sel dan
pembebasan spora. Siklus sporulasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.1.
Spora mengalami perubahan fisikokimia. Protein dengan berat
molekul yang kecil dibentuk dalam jumlah yang besar untuk melapisi DNA dan
memberikan perlindungan terhadap jenis kerusakan DNA. Protein diuraikan
selama perkecambahan untuk menyediakan sumber asam amino. Asam
dipikolinik disintesis di dalam sel vegetatif untuk diberikan kepada prespora
bersama dengan kation divalen (Ca2+), hal ini menyebabkan dehidrasi dan
mineralisasi spora (Todd et al., 2003).

Gambar 2.1.1 Siklus sporulasi. (14) Multiplikasi sel, (5) Pembentukan


filamen aksial, (6) Pembentukan septat, (7) Pembentukan prespora, (8)
Pembentukan korteks, (9) Pembentukan mantel, (10) Spora bebas, (11)
Germinasi diikuti dengan aktivasi, (12) Pembengkakan spora, (13)
Pertumbuhan sel (Ray, 2004)

Sel bakteri memiliki kemampuan dalam memonitor sejumlah sinyal


internal dan eksternal. Informasi disalurkan melalui sistem pengaturan yang
terpisah. Komponen regulator transkripsi ini disebut dengan Spo0A. Spo0A
dibentuk untuk mengontrol proses transkripsi dan aktivitas protein melalui
proses fosforilasi. Fosforilasi Spo0A merupakan regulator sporulasi yang sangat
penting dan bekerja mengaktifkan transkripsi pada beberapa proses sporulasi.

Gen spesifik yang digunakan dalam proses sporulasi antara lain spoIIA, spoIIE
dan spoIIG (Errington, 2003). Spo0A merupakan faktor penting pada proses
sporulasi selama perkembangan sel vegetatif (Fujita & Losick, 2003). Fawcett et
al. (2000) telah meneliti ratusan gen pada Bacillus subtilis, lebih dari 10% gen
Bacillus subtilis dikontrol oleh Spo0A.
Kontrol inisiasi dalam pembentukan spora secara substansial berbeda
pada organisme yang berbeda. Hal ini mencerminkan adaptasi terhadap berbagai
lingkungan. Beberapa dari bakteri yang telah diketahui secara luas, misalnya
Epulopiscium yang merupakan bakteri pembentuk endospora. Epulopiscium
berbeda dengan bakteri pembentuk spora lainnya karena menghasilkan beberapa
spora (Angert & Losick, 1998). Bahkan ada organisme yang berbentuk bulat,
misalnya Sporosarcina yang sulit untuk membentuk sel yang asimetri saat
memulai sporulasi, tetapi masih dapat membentuk endospora dengan
menggunakan regulator yang umum digunakan (Chary et al., 2000).
Sporulasi menghasilkan dua sekat pada sel dengan ukuran yang
berbeda, bagian prespora berukuran lebih kecil dan sel vegetatif dengan ukuran
yang lebih besar dengan pemisahan bahan kromosom di dalam setiap
kompartemen. Pembentukan septum yang asimetris ini merupakan suatu tahap
perkembangan yang diatur oleh beberapa ekspresi gen. Ekspresi gen ini
mempunyai program yang berbeda di antara dua sel tersebut. Dua faktor sigma
F dan E merupakan alat yang mengatur program sel spesifik untuk
mengekspresikan gen. Dua faktor sigma tersebut dibentuk sebelum septum
dibentuk (Errington, 2003). Selama sporulasi, pembelahan sel diarahkan pada
masing-masing kutub sel kemudian terjadi modifikasi septum, sehingga septum
mengandung material dinding sel (Yehuda & Losick, 2002).
Setelah aktivasi F pada sekat prespora, E menjadi aktif di dalam sel
vegetatif. Faktor E disintesis sebagai preprotein inaktif yang diaktifkan oleh
proses proteolitik oleh SpoIIGA yang memiliki aktivitas protein serin (Labell et
al., 1987). SpoIIGA membutuhkan protein spesifik prespora yang disebut
dengan SpoIIR. Pengontrolan SpoIIR diatur oleh aktivitas F (Karow & Piggot,
1995; Vallejo & Stragier, 1995).

Pembelahan sel yang asimetrik membentuk morfologi yang unik pada


sel. Terbentuk prespora di bagian tepi, material dinding sel di bagian septum
mengalami degradasi dimulai dari pusat dimana septum mengalami penutupan.
Sepasang membran septum bermigrasi ke sekitar sitosol prespora, membran
berpindah dan bertemu di ujung sel tempat terjadi fusi atau penggabungan.
Kemudian dihasilkan prespora yang mempunyai protoplasma bebas yang dekat
dengan sitoplasma sel vegetatif (Margolis et al., 1993). Korteks spora yang
merupakan modifikasi dinding sel disintesis diluar membran protoplas spora.
Mantel spora dibentuk dan berisi berlapis-lapis protein yang letaknya berada
diluar korteks (Todd et al., 2003).

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pembentukan dan Ketahanan


Spora
Menurut Sembiring & Fachmiasari (2004) selain media, kondisi fisik
untuk pertumbuhan seperti temperatur, pH, dan ketersediaan oksigen
memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan sporulasi. Temperatur
pertumbuhan Bacillus thuringiensis berkisar antara 15 C-45 C dengan
temperatur optimum antara 26 C-30 C, tidak terlalu sensitif terhadap pH dan
dapat tumbuh pada pH 5,5-8,5 dengan pH optimum 6,5-7,5. Ketersediaan
oksigen yang cukup selama proses pertumbuhan memegang peranan penting
dalam pertumbuhan Bacillus thuringiensis dan dalam produksi spora hidup.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembentukan dan ketahanan spora
bakteri dijelaskan sebagai berikut.

1) Temperatur
Temperatur juga mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba.
Keragaman temperatur dapat mengubah proses-proses metabolisme tertentu
serta morfologi sel, karena semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi
kimiawi dan karena laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh temperatur, maka pola
pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur (Noviana & Raharjo,
2009).
Beberapa bakteri termofilik pembentuk spora mampu tumbuh pada
temperatur tinggi 55 C, antara lain bakteri anaerobik termofilik hidrogen yang
menghasilkan sulfida (Desulfotomaculum), bakteri yang menghasilkan hidrogen
dan karbon dioksida (Thermoanaerobacterium), Bacillus dan Geobacillus spp.
(Doyle, 2007). Bacillus cereus dapat tumbuh pada temperatur optimum 30-40 C

(ESR, 2010). Batas pertumbuhannya antara 4-55 C dan temperatur minimum


pertumbuhannya pada temperatur 10 C (Schulz et al., 2004).
Clostridium memiliki temperatur optimum untuk pertumbuhannya
antara temperatur 10-65 C. Sporohalobacter tumbuh optimum pada temperatur
35-45 C. Sulfidobacillus mengalami pertumbuhan optimum pada temperatur
50 C. Sporolactobacillus tumbuh optimum pada temperatur 35 C.
Sporosarcina tumbuh optimum pada temperatur 15-37 C. Syntrophospora
menghasilkan spora dan tumbuh optimum pada temperatur 30 C (Holt et al.,
1994).
Spora Bacillus cereus tahan terhadap panas sampai temperatur 100 C
yang menandakan ketahanan sporanya terhadap kondisi ekstrim. Sel vegetatif
Bacillus cereus dapat diinaktivasi melalui pemanasan (ESR, 2010). Spora
Bacillus cereus dibentuk pada siklus pertumbuhan selama 8 jam setelah
mengalami perlakuan panas pada suhu 70-90 C selama 24 jam (Young &
James, 1959). Bacillus stearothermophilus dapat membentuk spora dan
tumbuh optimum pada suhu 65 C (Zeigler, 2001)
2) Derajat Keasaman (pH)
Pembentukan spora selama fermentasi merupakan hal yang sangat
penting pada bakteri Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Semakin
banyak spora yang dibentuk maka diharapkan semakin tinggi pula jumlah
kristal protein yang terbentuk sebagai bahan aktif bioinsektisida. Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kristal
protein pada Bacillus thuringiensis subsp. israelensis, salah satunya adalah
pH. Pada interval nilai pH 5,5-8,0 menunjukkan bahwa semakin tinggi pH
awal medium yang digunakan menyebabkan semakin tinggi potensi produk
bioinsektisida yang dihasilkan. Hal ini diduga proses sintesa kristal protein
dan sporulasi berjalan optimal. Keadaan ini disebabkan oleh lingkungan pH
yang tidak terlalu rendah sehingga pembentukan kompleks spora dan kristal
protein dapat berjalan dengan baik (Ahdianto, 2006).
Derajat keasaman (pH) optimum pertumbuhan bagi kebanyakan
bakteri berlangsung antara pH 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies dapat
tumbuh dalam keadaan sangat masam atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan
spesies, nilai pH minimal dan maksimal ialah antara 4 dan 9 (Noviana &

Raharjo, 2009). Pada pH < 5,0 dan > 8,0 bakteri tidak dapat tumbuh dengan
baik, kecuali bakteri asam asetat yang mampu tumbuh pada pH rendah dan
bakteri Vibrio sp. yang dapat tumbuh pada pH tinggi (Zulaikhah, 2005).
Bacillus cereus memiliki pH optimum pertumbuhan yaitu pada pH 6-7
dan mempunyai batas pertumbuhan antara pH 4,5-9,5. Dari segi ketersediaan
oksigen Bacillus cereus termasuk organisme anaerob fakultatif. Spora
Bacillus cereus juga tahan pada kondisi asam antara pH 1,0-5,2. Sel vegetatif
Bacillus cereus dapat diinaktivasi pada pH 3,7 sampai 5,6 (ESR, 2010).
Bacillus laevolacticus DSM 6475 dan strain Sporolactobacillus, kecuali
Sporolactobacillus racemicus IAM 12395 tahan terhadap pH 3,0. Bacillus
racemilacticus dan Bacillus coagulans toleran terhadap konsentrasi empedu
lebih dari 0,3 % (Hyronimus et al., 2000).
Beberapa bakteri pembentuk spora mampu bertahan pada pH yang
ekstrim antara lain, Sulfidobacillus menghasilkan spora yang tumbuh
optimum pada pH 1,9-2,4. Amphibacillus dapat tumbuh dengan baik dan
dapat membentuk spora pada kondisi aerob dan anaerob fakultatif di dalam
media glukosa yeast pepton pada pH 10,0. Thermococcus mampu bertahan
hidup pada pH 4,0-8,0 (Holt et al., 1994). Amphibacillus jilinensis yang telah
diisolasi dari sedimen danau soda di Cina dapat tumbuh pada pH 7,5-10,5 dan
optimum pada pH 9,0 tidak dapat tumbuh pada pH 7,0 atau 11,0 (Wu et al.,
2010). Bacillus thermantarcticus M1 mampu bertahan pada pH 5,5-9,0
(Zeigler, 2001).

1) Kekeringan
Kandungan

air

dalam

lingkungan

mikroorganisme

juga

mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Dalam lingkungan isotonik,


konsentrasi cairan lingkungan setara dengan sel mikroorganisme. Dalam
lingkungan ini, cairan dalam sel tidak mengalir keluar, demikian pula cairan
dari lingkungan tidak masuk ke dalam sel. Dalam lingkungan hipotonik,

konsentrasi cairan lebih rendah dibandingkan di dalam sel mikroorganisme


yang menyebabkan cairan dari lingkungan mengalir masuk ke dalam sel
mikoorganisme, sehingga sel membengkak dan dapat menjadi pecah. Bila
kandungan air di sekitar lingkungannya tidak cukup, maka cairan dalam sel
mikroorganisme

mengalir

keluar

sehingga

sel

akan

menciut

dan

menyebabkan plasmolisis. Sewaktu plasmolisis, metabolisme terhenti karena


bahan yang terdapat di dalam sel sangat pekat dan menghambat aktivitas
enzim. Kekeringan akan menginduksi pembentukan spora bakteri (Lay,
1994). Spora merupakan sel yang dorman yang sengaja dipersiapkan guna
menahan pengeringan untuk waktu yang lama (Irianto, 2006).
Menurut Waluyo (2007) kekeringan tidak menyebabkan kematian
pada spora. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Natalia et al.
(2009) diketahui bahwa daya hidup bakteri dipengaruhi oleh kadar air dan
nutrisi substrat. Kadar air spora mempengaruhi komponen-komponen yang
ada di dalamnya, misalnya protein dan komponen genetik yang sensitif
terhadap panas. Menurut Naufalin (1999), kadar air spora yang rendah
bertujuan

untuk membatasi

mobilitas

komponen-komponen tersebut.

Sebaliknya bila kadar air spora tinggi, mengakibatkan peningkatan kapasitas


mengikat air oleh protein dengan terbentuknya gugus sulfidril.
Spora memiliki kandungan air yang rendah, yaitu kurang dari 10%
dari beratnya, berbeda dengan sel vegetatif mengandung air 70% dari berat
keseluruhan. Hal ini disebabkan karena selama germinasi, kandungan air
protoplas spora bertambah. Kerusakan tidak langsung yang berasal dari
intraselular air menjadi sangat kecil pada bakteri pembentuk spora (Darwis,
2006). Pertumbuhan Bacillus cereus dapat dihambat dengan kandungan air
dibawah 0,91% (ESR, 2010). Spora Bacillus cereus mampu bertahan lama
pada kondisi kering selama 48 minggu (Jaquette & Beuchat, 1998).
Pengeringan sel mikroba serta lingkungannya akan mengurangi
aktivitas metabolik. Pada umumnya, lamanya mikroorganisme bertahan hidup
setelah pengeringan bervariasi tergantung dari jenis mikroorganisme, bahan
pembawa yang dipakai untuk mengeringkan mikroorganisme, kondisi fisik

(cahaya, suhu, kelembaban) pada organisme yang dikeringkan. Spesies kokus


gram negatif seperti Neisseria gonorrhoeae dan Neisseria meningitis sangat
peka terhadap kekeringan, sehingga akan mati dalam waktu beberapa jam.
Streptococcus jauh lebih resisten, beberapa species dapat bertahan
berminggu-minggu setelah dikeringkan. Bacillus tuberculosis dapat bertahan
dalam kekeringan selama jangka waktu yang lebih lama. Pada proses
liofilisasi, mikroorganisme diberi perlakuan dehidrasi yang ekstrim dalam
keadaan beku dan kemudian ditutup rapat dalam vakum. Liofilisasi lebih
merupakan proses pengawetan daripada pembasmian mikroorganisme.
Biakan mikroorganisme yang diliofilisasi akan tetap hidup selama bertahuntahun (Pelczar & Chan, 2005).
2) Radiasi
Spora bakteri kurang peka terhadap radiasi atau mempunyai ketahanan
yang lebih tinggi terhadap radiasi dibandingkan dengan bakteri yang tidak
membentuk spora. Hal ini disebabkan karena struktur spesifik dari spora. Jika
spora bakteri sudah dapat diinaktifkan dengan radiasi, maka dianggap bakteri
kontaminan lain yang tidak membentuk spora sudah dapat juga dihilangkan
dengan proses radiasi yang sama. Daya hidup mikroorganisme setelah radiasi
tergantung pada laju radiasi dari dosis yang diabsorbsi sewaktu melakukan
radiasi. Clostridium sporogenens memiliki kemiripan katahanan terhadap
radiasi dengan bakteri Clostridium botulinum yang bersifat sangat toksigenik
dalam hal ketahanan terhadap radiasi. Tetapi radiasi dengan dosis 45 kGy
dalam kondisi cryogenic (-79 C) dapat menghilangkan spora bakteri
Clostridium

sporogenens

dan

bakteri

kontaminan

lainnya

seperti

Staphylococcus spp., Bacillus sp. dan koliform. Cobalt-60 digunakan sebagai


sumber radiasi ionisasi (Natalia et al., 2009).
Secara umum sumber sinar ultraviolet dapat diperoleh secara alamiah
dan buatan. Sinar matahari merupakan sumber utama ultraviolet di alam.
Sumber ultraviolet buatan umumnya berasal dari lampu fluorescent khusus,
seperti lampu merkuri tekanan rendah (low pressure) dan lampu merkuri
tekanan sedang (medium pressure). Lampu merkuri medium pressure mampu

menghasilkan radiasi ultraviolet yang lebih besar daripada lampu merkuri low
pressure. Namun lampu merkuri low pressure lebih efisien dalam pemakaian
listrik dibandingkan lampu merkuri medium pressure. Lampu merkuri low
pressure menghasilkan radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7 nm
yang letal bagi mikroorganisme, protozoa, virus dan alga, sedangkan radiasi
lampu merkuri medium pressure diemisikan pada panjang gelombang 1801370 nm. Radiasi ultraviolet yang diabsorbsi oleh protein pada membran sel
akan menyebabkan kerusakan membran sel dan kematian sel (Cahyonugroho,
2010).
Bakteri gram negatif adalah yang paling peka terhadap radiasi
(Yulianita, 2007). Untuk bakteri pembentuk spora, adanya kandungan air
yang rendah dari spora menyebabkan resistensi spora terhadap radiasi.
Selama germinasi, kandungan air protoplas spora bertambah dan karena itu
resistensi radiasinya sangat berkurang (Darwis, 2006). Sinar ultraviolet
dengan panjang gelombang 265 nm memiliki efisien bakterisidal tertinggi.
Sinar X bersifat letal bagi mikroorganisme. Bakteri Escherichia coli dapat
letal dengan penyinaran sinar X dengan dosis 5000 rad sedangkan Bacillus
mesentericus dapat letal dengan dosis penyinaran sinar X sebesar 130.000
rad. Sinar X memiliki energi dan daya tembus yang tinggi (Pelczar & Chan,
2005).

Bakteri Pembentuk Spora dan Bacillus sp.


Kelompok bakteri pembentuk spora biasanya berbentuk bulat atau
batang dan sebagian mempunyai filamen, berdiameter 0,3-2 m (kecuali
Oscillospira). Dari hasil pewarnaan sebagian besar gram positif. Sel bersifat
motil dengan flagel peritrik dan membentuk endospora yang resisten terhadap
panas (Errington, 2003).
Bacillus merupakan bakteri pembentuk spora yang optimum tumbuh
pada suhu mesofilik (35 C-55 C). Kelompok penting bakteri pembentuk spora
lainnya adalah spesies Clostridium. Clostridium merupakan bakteri anaerob
yang dapat tumbuh pada suhu mesofilik dan termofilik (Cousin, 1989).
Clostridium spp. mampu mereduksi sulfat, membentuk spora basil, spora lebih

kecil dari kista protozoa dan ookista. Beberapa bakteri menunjukkan tingkat
resistensi tinggi terhadap klorin. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus atau
Clostridium, Mycobacterium dan Nocardia sangat tahan terhadap desinfeksi
klorin. Klorin dioksida sebanding dengan klorin bebas untuk inaktivasi bakteri
dan virus pada pH netral (WHO, 2004).
Desulfotomaculum menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval pada
bagian terminal dan sunterminal yang menyebabkan pembengkakan pada sel.
Sporohalobacter menghasilkan spora berbentuk bulat di bagian terminal.
Sporolactobacillus menghasilkan spora berbentuk elips dan letaknya terminal,
Sporosarcina menghasilkan spora berbentuk bulat diameternya 0,5-1,5 m,
Sulfidobacillus menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval dan letaknya di
bagian subterminal dan terminal. Syntrophospora menghasilkan spora
berbentuk oval dan letaknya di bagian terminal serta membengkak pada sel
(Holt et al., 1994).
Transfer interspesifik dan intraspesifik pada DNA di antara beberapa
jenis Bacillus telah dicapai, diantaranya pada Bacillus megaterium, Bacillus
thuringiensis, Bacillus lichenniformis, Bacillus cereus, Bacillus coagulans,
Bacillus brevis, Bacillus sphaericus, dan Bacillus stearothermophilus. Interaksi
genetik ini memberikan pengaruh pada identifikasi isolat dari berbagai habitat
(Hatmanti, 2000). Bacillus berbentuk batang panjang dan relatif besar, katalase
positif, berspora, oksidasi positif atau negatif, bersifat aerobik atau anaerobik
fakultatif, motil atau tidak motil, memfermentasi glukosa atau tidak dan dapat
bersifat fermentatif, oksidatif atau tidak keduanya (Naufalin, 1999). Famili
Bacillaceae kadang-kadang berbentuk streptobasil, flagel peritrik atau tanpa
flagel, gram positif, parasit atau patogen terutama pada insekta (Irianto, 2006).
Jenis Bacillus spp. menunjukkan bentuk koloni yang berbeda-beda
pada medium agar cawan Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya putih
sampai kekuningan atau putih keruh, tepi koloni bermacam-macam namun
pada umumnya tidak rata, permukaannya kasar dan tidak berlendir, ada yang
cenderung kering berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni
dan ukurannya sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Setiap jenis Bacillus

spp. juga menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda-beda dalam


menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam,
kadar garam, dan sebagainya (Hatmanti, 2000).
Genus Bacillus memiliki 25 spesies dengan letak endospora di tengah
atau di ujung sporangium (Irianto, 2006). Spora Bacillus mempunyai resistensi
yang lebih dibandingkan sel vegetatifnya (Hatmanti, 2000). Spora Bacillus
memiliki dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap kondisi fisik yang
kurang menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan, radiasi, asam dan
terhadap bahan-bahan kimia seperti desinfektan (Sembiring & Fachmiasari,
2004). Bila Bacillus subtilis berada dalam kondisi kekurangan nutrisi dalam
media, Bacillus subtilis memiliki strategi bertahan termasuk motilitas,
kemotaksis, produksi enzim, transformasi, pembentukan antibiotik untuk
menekan persaingan nutrisi (Errington, 2003).
Marga Bacillus mudah dibedakan dari kelompok bakteri penghasil
endospora lain. Organisme diklasifikasikan dalam Marga Bacillus pada
umumnya karena membentuk spora dan menunjukkan karakteristik pada
beberapa tes fenotip. Pembagian grup dalam Marga Bacillus didasarkan pada
bentuk spora dan letak sporangium. Bentuk spora yang dihasilkan oleh
Bacillus spp. bermacam-macam tergantung jenisnya. Bacillus spp. membentuk
tidak lebih dari satu endospora untuk tiap sel, Bacillus subtilis dan Bacillus
cereus memproduksi spora berbentuk silinder, Bacillus polymixa dan Bacillus
spaericus membentuk spora yang membengkak (lebih besar dari sel
vegetatifnya) (Hatmanti, 2000).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. ALAT DAN BAHAN

1. Alat yang digunakan


Objek glass
Pipet tetes
Mikroskop
Ose bulat
Penjepit preparat
Bak pewarnaan
Kapas
Spritus
Kertas isap
Penjepit

2. Bahan yang digunakan


Alkohol asam 3%
Malachite green
Carbol fucshin
Oil emercy
Biakan bakteri

B. PRINSIP PRAKTIKUM
1) Pewarnaan Spora
Pewarnaan khusus digunakan untuk mewarnai dan mengisolasi bagian
spesifik dari mikroorganisme, misalnya endospora, kapsul, dan flagela
2) Teknik Aseptis
Cara kerja yang menjaga sterilitas ketika menangani pengkulturan
mikroorganisme

untuk

mencegah

kontaminasi

terhadap

kultur

mikroorganisme yang diinginkan


3) Impermeabilitas dinding sel bakteri tahan asam
Bakteri tahan asam memiliki kandungan senyawa dari peptidoglikan dan
lipid kompleks (wax-D) yang disebut asam mycolat yang membangun
struktur dinding selnya, sehingga menjadi impermeabel terhadap
macam- macam prosedur perwarnaan termasuk pewarnaan Gram (Lay,
1994).
4) Penetrasi zat warna
Difusi zat warna dari lapisan permukaan ke pusat. Agar penetrasi zatzat
warna baik dan tahan cuci, maka gaya ikat antara zat warna dan sampel
harus lebih besar dari pada gaya - gaya yang bekerja antara zat warna dan
air (Etsha, 2013).
C. CARA KERJA
1) Ambil sebuah kaca benda dan bersihkan lalu
2) Buat preparat yang tipis dan rata dari bakteri

3) Keringkan preparat pada suhu kamar dan fiksasi


4) Letakkan kaca benda/preparat mendatar di atas rak preparat, dan tuangi
masing preparat dengan larutan malachite green
5) Panaskan selama 2-3 menit dan jaga agar pewarna tidak menguap
6) Buang zat warna, dan cuci dengan air mengalir
7) Tetesi seluruh preparat dengan larutan fuchsin,biarkan selama 30 detik.
8) Buang zat warna dan cuci dengan air mengalir
9) Periksalah di bawah mikroskop dengan pembasaran emersi
10) Gambarkan apa yang anda lihat !

BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
A. Hasil Pengamatan
Bakteri
Subterminal
diplobassilus
Kesimpulan
Bakteri vegetatif berwarna

: Ungu

Spora berwarna

: Hijau

Latar belakang warna

: Bening

B. Gambar

BAB V
PEMBAHASAN
Pewarnaan Spora
Pewarnaan spora merupakan pewarnaan dengan menggunakan
malachite green dan safranin, yang dalam hasil pewarnaannya akan muncul
warna hijau pada sporanya, serta warna merah pada sel vegetatifnya yaitu pada
Bacillus subtitulis Prinsip pewarnaan spora yaitu suatu metode pewarnaan yang
menggunakan malachite green dan safranin, yang dalam hasilnya pewarnaan akan
muncul warna hijau pada sporanya dan warna merah pada sel vegetatifnya
(Lay, B.W, 1994).
Pewarnaan menggunakan bakteri Bacillus subtitulis.Endosopora tidak
mudah diwarnai dengan zat pewarna pada umumnya, akan tetapi apabila sekali
diwarnai, zat warna tersebut akan sulit hilang. Hal inilah yang menjadi dasar dari
metode pengecatan spora secara umum. Pada metode Schaeffer-Fulton yang banyak
dipakai dalam pengecatan endospora, endospora diwarnai pertama dengan
malachite green dengan proses pemanasan. Larutan ini merupakan pewarna yang kuat yang
dapat berpenetrasi ke dalam endospora. Setelah perlakuan malachite green,
biakan sel dicuci dengan air lalu ditutup dengan cat safranin.

Teknik ini akan menghasilkan warna hijau pada endospora dan warna merah
muda pada sel vegetatifnya. Bacillus subtilis memiliki endospora, endospora lebih
tahan lama meski dalam keadaan lingkungan ekstrim seperti kering, panas, atau
bahan kimia yang beracun. Selain itu, endospora juga lebih tahan terhadap
pewarnaan. Sekali berhasil diwarnai, spora sangat sukar untuk melepaskan zat
warna sehingga saat diberi warna dari saftranin tetap berwarna hijau karena spora
sudah mengkiat malachit green dan sulit

mengikat warna yang diberikan

kemudian.
Pewarnaan malachite green adalah pewarnaan yang biasanya
digunakan untuk melihat bakteri batang pembentuk spora. Untuk membuat
larutan malachite green dapat digunakan bahan kimia dari Malachite Green
Oxalate dari Sigma Aldrich atau dari Fisher Scientific.
Pewarnaan Spora kali ini, digunakan suspensi dari bakteri Salmonella
typhii dan Bacillus subtilis. Suspensi bakteri ini telah disiapkan sebelumnya.
Pada saat pembuatan preparat sama halnya dengan pewarnaan Gram waktu
yang ditentukan untuk penetesan zat warna dan H 2SO4 sebaiknya tidak lebih
ataupun kurang dari waktu yang telah ditentukan, karena hal tersebut dapat
mempengaruhi hasil preparat saat dilihat dbawah mikroskop.
Berdasarkan pengamatan, yang terlihat ialah bakteri Bacillus subtilis
dengan spora yang terminal, yaitu letak spora ada diujung sel. Sebenarnya jenis
letak spora ada 3 buah: sentral, yaitu letak spora berada di tengah-tengah sel;
terminal, yaitu letak spora ada diujung sel; sub terminal, yaitu letak spora
diantara ujung dan di tengah-tengah sel. Akan tetapi pada pengamatan ini
hanya ada spora terminalis.Warna sporanya merah sedangkan dan warna badan
vegetatif adalah ungu. Pada hasil pengamatan juga tidak terlihat adanya spora
pada bakteri Salmonella typhii , hal itu dikarenakan bakteri Salmonella typhii
tidak memiliki spora dan bakteri ini tergolong bakteri non-spora atau bakteri
yang tidak dapat menghasilkan spora. Lain halnya dengan bakteri Bacillus
subtilis yang merupakan dari famili Bacillaceae. Bakteri yang dapat
menghasilkan spora diantaranya ialah bakteri berasal dari famili Bacillaceae,
genus Bacillus, Clostridium, dan Sporosarcina.

BAB VI
KESIMPULAN
Dapat mengamati endospora bakteri dengan menggunakan prosedur
pewarnaan spora (pewarnaan Klein), dengan hasil endospora terletak di
subterminal. Dapat memahami setiap langkah dan reaksi-reaksi kimia yang
terjadi dalam prosedur dengan hasil bakteri berwarna biru pada bagian
sitoplasma dan di bagian subterminal berwarna merah.

Letak spora ada 3 macam: sentral, yaitu letak spora berada di tengahtengah sel; terminal, yaitu letak spora ada diujung sel; sub terminal, yaitu
letak spora diantara ujung dan di tengah-tengah sel.

Dinding spora tersusun atas 3 lapisan, antara lain: intin (lapisan dalam),
ektin (lapisan luar), dan lapisan lendir yang terlihat diantara intin dan ektin.

Bakteri Bacillus subtilis merupakan bakteri yang dapat membentuk spora.

Bakteri Salmonella typhii merupakan bakteri yang tidak dapat membentuk


spora.

Spora berwarna merah dan badan vegetatif berwarna ungu.

Bakteri yang dapat menghasilkan spora diantaranya ialah bakteri berasal


dari famili Bacillaceae, genus Bacillus, Clostridium, dan Sporosarcina.

Perbedaan Pewarnaan tahan asam dan Pewarnaan spora ialah pada


pewarnaan tahan asam bertujuan untuk melunturkan pewarnaan bakteri
yang tahan asam. Sedangkan pewarnaan spora bertjuan untuk mewarnai
spora pada bakteri yang dapat membentuk spora.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, D.2005. Dasar- dasar Mikrobiologi. Jakarta: PT Penerbit


Djambatan.
Jawetz, E., Joseph Melnick&Edward Aldeberg.1996. Mikrobiologi Kedokteran,
diterjemahkan oleh Edi Nugroho dan R. F Maulany.Jakarta:
Penerbit Buku

kedokteran EGC.

Pelczar, M J.dan E.C.S Chan.1986.Dasar- dasar Mikrobiologi Jilid 1 Jakarta: UI


Press.
Razali, U. 1987. Mikrobiologi Dasar.Jatinangor:FMIPA UNPAD.

Volk, W.A dan Margaret Fwheeler.1988.Mikrobiologi Dasar, diterjemahkan oleh:


Markham, M.sc.Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai