Anda di halaman 1dari 9

A.

Kasus Genosida yang Terjadi di Indonesia


Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan
wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat didalamnya.
Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama
lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya
perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan
Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus genosida yang terjadi sejauh
sejarah berdirinya Indonesia:
1. Pembunuhan massal di Bandanaira (Pulau Banda) tahun 1621 oleh Belanda pada
zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk bekerja. Akibat pembunuhan
tersebut belanda terpaksa mendatangkan budak dari Negara dan daerah lain.
Jumlah pasti tidak diketahui, dalam kesaksian disebut hampir semua penduduk
meninggal, sebagian kecil melarikan diri.
2. Pembantaian pada zaman kerja tanam paksa setelah Perang Jawa (1825-1830)
dibawah kepemimpinan Jenderal Van den Bosch.
3. Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan. Tidak hanya kaum pro-kemerdekaan
yangg dibunuh tetapi juga para pemuka agama, pemuka golongan dan para raja di
zaman itu.
4. Tragedi 1965. Setelah gerakan G30S PKI terjadi, gerakan membersihkan
komunis menggelora dimana-mana. Militer dikerahkan ke seluruh negeri. Mereka
yang dianggap mendukung komunis, dibantai, ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa
pernah ada pengadilan yang adil dan bukti yang jelas. Kebanyakan dari mereka
yang ditangkap adalah buruh dan petani.
5. Tragedi Mei 1998 dimana etnis Tionghoa mengalami pembantaian, pengrusakan
properti, pemerkosaan dan penculikan.
6. Kerusuhan Sampit (Februari 2001) Kalimantan Barat, antara suku Dayak dan
Suku Madura.
Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan (1946-1947)
Belanda belum menerima kedaulatan Indonesia yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Ia akhirnya menekan rakyat sipil untuk terus tunduk dan patuh kepada pemerintahannya.
Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 Februari 1947. Belanda
mengumpulkan banyak orang yang dicurigai sebagai penjahat dan pejuang lalu
mengeksekusinya di tempat. Orang yang melakukan operasi ini bernama Raymond Pierre

Paul Westerling. (Pembantainnya mengambil nama belakang sang Jendral Belanda.)

Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan (1946-1947) [image source]


Menurut cerita beberapa saksi mata yang masih hidup. Pria dewasa dikumpulkan di tengah
lapangan dan disuruh membuat galian. Setelah itu tentara Belanda akan menembaki satu-satu
orang ini. Tubuh tak bernyawa itu akhirnya ambruk ke lubang hingga tentara akan muda
untuk menguburnya. Diperkirakan ada sekitar 40.000 orang yang meninggal di kasus yang
sampai di bawa ke pengadilan internasional ini
Pembantaian Massal Saat Membangun Jalan Raya Pos (1808-1809)
Mengapa disebut sebagai pembantaian massal? Karena saat membangun jalan sepanjang
1.000 km ini pemerintah Belanda memaksa warga. Di bawah tangan besi Gubernur Jendral
Herman Willem Daendels, puluhan ribu orang dipaksa membuat jalan di medan-medan yang
sangat sulit. Mereka hanya diberi makan seadanya hingga kadang banyak warga yang sekarat
saat bekerja. Mengetahui hal ini tentara Belanda akan membunuhnya dengan cepat dan
membuangnya di jalanan.

Pembantaian Massal Saat Membangun Jalan Raya Pos (1808-1809) [image source]
Jalan yang membentang dari Anyer ke Panarukan ini memakan korban lebih dari 12.000
orang penduduk pribumi. Daendels, melalui tangan besinya mampu menyelesaikan proyek
prestisius ini hanya dalam waktu setahun saja. Tahun 1809, jalan raya pos ini sudah bisa
digunakan dengan baik. Apa yang dilakukan Daendels mendapatkan apresiasi atasannya yang
merupakan Napoleon Bonaparte.

Jalan raya pos ini digunakan oleh Daendels sebagai jalan penghubung komunikasi antara pos
Belanda yang ada di Jawa. Itulah mengapa setiap 4,5 km akan ada kantor untuk pengiriman
pesan. Selain itu, jalan ini juga digunakan sebagai penghubung jalur perdagangan yang
dilakukan oleh Belanda. Terakhir, jalan ini juga akses yang digunakan untuk bertahan dari
sergapan Inggris yang saat itu mulai masuk ke Jawa.

Ilustrasi Daendels [image source]


Pembangunan jalan raya pos ini penuh dengan kepiluan. Pramoedya Ananta Toer yang
merupakan penulis sastra sejarah mengatakan: jalan raya ini dibangun dengan darah dan air
mata yang tak habis-habis. Meski sekarang bisa dimanfaatkan oleh warga lokal, dulunya
tempat ini merupakan neraka tempat puluhan ribu orang dibunuh secara perlahan-lahan.
Pembantaian Mandor Oleh Tentara Jepang (1943-1945)
Jepang memang hanya tiga tahun berada di Indonesia. Tapi kekejamannya mampu
mengungguli Belanda yang telah ratusan tahun di Indonesia. Tepatnya di daerah Mandor,
Kalimantan Barat pernah terjadi peristiwa pembantaian atau genosida paling mengerikan.
Sebanyak lebih dari 20.000 orang dibantai dengan keji meski tak salah apa-apa. Mayat-mayat
korban itu akhirnya dikubur menjadi satu hingga susah untuk diidentifikasi.
Menurut saksi mata, banyak penduduk usia di atas 12 tahun dikumpulkan. Mereka ditembak,
ditutup kepalanya dengan plastik lalu dipenggal dengan samurai. Ada juga yang dibunuh
dengan memasukkan air dari selang ke dalam mulut. Pemerintah Jepang ingin membuat
Jepang kedua di tempat ini. Semua orang dewasa dibunuh dengan keji lalu yang anak-anak
akan dididik dengan ajaran Jepang yang keras.

Makam Juang mandor

Sejarah mencatat jika peristiwa ini dimulai sekitar 28 Juni 1944. Saat ini pemerintah setempat
membuat Perda untuk memperingati 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah. Orang di
Kalimantan Barat akan mengibarkan bendera setengah tiang sebagai penghormatan kepada
penduduk yang dibantai secara keji oleh orang Jepang.
Genosida adalah tindakan paling mengerikan dan tak pantas lagi dilakukan di bumi. Apa pun
alasannya, untuk kebaikan apa pun, genosida tetaplah tindakan tak manusiawi. Atau
kasarnya, tindakan yang lebih mengerikan dari tindakan hewan. Manusia adalah makhluk
yang bisa berpikir dengan cerdas. Jangan sampai kejadian pembantaian ini menjadikan
manusia sebagai makhluk yang mengungguli kengerian Iblis!
B. Kasus Genosida Internasional
Selain di Indonesia, dunia memiliki sejarah sendiri tentang terjadinya
genosida. Sebagian kasus diantaranya adalah :
1. Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada milenium pertama
sebelum Masehi.
2. Pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM.
3. Pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia
sejak abad ke-7.
4. Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para penjajah Eropa
semenjak tahun 1492.
5. Pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh Britania Raya semenjak tahun 1788.
6. Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir Perang
Dunia
7. Pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan suku bangsa
Slavia oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
8. Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir Perang Dunia II
oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet di sebelah timur garis
perbatasan Oder-Neisse.
9. Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim Khmer Merah pada akhir
tahun 1970-an.
10. Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussein Irak pada tahun 1980an.
11. Efran Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982 sampai 1983 telah membunuh
75.000 Indian Maya.
12. Pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh milisi Janjaweed di Sudan pada
2004. Pembantaian ini dianggap Genosida oleh pemerintah Amerika Serikat namun
dianggap tidak oleh PBB.
Pembantaian Etnis Tionghoa (1740)
Pembantaian etnis Tionghoa yang terjadi di tahun 1740 memang tak banyak diketahui orang.
Bisa jadi di sekolah pun tak akan diajarkan. Namun di masa lalu, kasus pembantaian ini
cukup membuat suasana tanah air jadi geger. Pembantaian ini didasari oleh isu politik yang
membuat Belanda, dalam hal ini atas kemauan VOC, mulai kalah bersaing dalam urusan

perdagangan dengan Inggris. Saat itu EIC sebuah perusahaan perdagangan Inggris berbasis di
India mulai mengambil perdagangan Asia.

Pembantaian Etnis Tionghoa (1740) [image source]


Nasib sial justru menimpa etnis Tionghoa. Mereka yang mulai datang dan berkembang di
Indonesia jadi bulan-bulanan VOC. Akhirnya pedagang Tionghoa ini dikenakan banyak
pungli dan pajak yang sangat merugikan. Menanggapi hal ini beberapa kelompok pemuda
Tionghoa memprotes. Tapi protes mereka tak berjalan lama karena Belanda lebih mengamuk
dan mulai melakukan pembantaian mengerikan.
Belanda memprovokasi warga lokal untuk membantai orang Tionghoa. Siapa saja yang
mampu memenggal kepalanya akan dapat hadiah. Selain itu tentara Belanda juga mulai
menyisir area tempat orang Tionghoa tinggal. Mereka mendobrak pintu dan menembaki siapa
saja yang ada di dalamnya. Dalam peristiwa ini lebih dari 7.500 jiwa melayang dengan cepat.
Setelah kasus ini Belanda mengharuskan orang China membangun daerahnya sendiri. Mereka
dilarang keluar kota untuk berdagang. Itulah mengapa di setiap kota besar selalu ada pojokpojok pecinan.

13. Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia oleh Serbia antara
1991 - 1996. Salah satunya adalah Pembantaian Srebrenica, kasus pertama di
Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu keputusan hukum. Pembantaian massal
yang terjadi di BosniaHerzegovina merupakan salah satu dari banyak contoh
genosida yang telah terjadi selama ini. Peperangan yang berawal dari perbedaan
cara pandang mereka dalam memahami keyakinan dan kepentingan satu sama lain
berujung pada peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara ultra
nasionalis serbia terhadap etnis Bosnia yang mayoritas Islam. Ketika peperangan
berlangsung banyak dari tentara ultra nasionalis yang melakukan kekejaman tiada
tara seperti pembunuhan terhadap penduduk sipil (terutama warga muslim),
pemerkosaan massal, pemindahan penduduk secara paksa, dan pengrusakan
fasilitas umum. Dalam bukunya yang berjudul The First Casuality, Philip Knightley
berujar : Korban pertama perang adalah kebenaran, pihak yang saling baku bunuh
selalu berprinsip bahwa alasan mereka berada di garis depan adalah untuk
membela kebenaran. Pembantaian penduduk sipil di Bosnia telah menjadi saksi
sejarah yang teramat penting dan menyakitkan bagi umat Islam di dunia.

14. Pembantaian Rwanda, pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda pada tahun
1994 oleh terutama kaum Hutu. Dari sekian banyak kasus Genosida yang terjadi,
kasus Rwanda merupakan salah satu kasus genosida yang sangat bernuansa etnis.
Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orangorang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15. Hutu, yang merupakan mayoritas
penduduk, merupakan petani asal Bantu. Dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa
pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan
kemudian Tutsi.
Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan,
terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia. Jika dilihat sekilas
hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang
dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di
anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang
lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang
lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung
yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang
berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek. Para
penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan
pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka
mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan kerah putih yaitu pekerjaan yang lebih
tinggi posisinya sedangkan untuk kerah biru yaitu posisi yang lebih rendah, dan
pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk
mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku
ini.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, ke iri hatian,
dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Setelah beberapa tahun
kemudian, tepatnya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga
menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida
massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan Cocoroaches
(cockroach : kecoa), dan menyamakan mereka tidak lebih dari derajat seekor sapi
untuk dibantai. Dengan sandi Lets Cut All the Trees! mereka memulai pembantaian
itu. Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian
tersebut terjadi, presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah
menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya yang
sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin
para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan
oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan
dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping
masal KTP warga negara Rwanda yang dimana di KTP tersebut terdapat cap besar
untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku
Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh
suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan
hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan

di pihak Tutsi oleh Tutsi Rebels. Total semua korban yang mengalami kematian dari
genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000.
Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat
genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di bunuh.
Mereka diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dilempari batu, diperkosa dan
dikandangkan.
C. Penyelesaian dari Kasus Kejahatan Genosida terkait dengan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan uraian kasus kasus diatas, dapat terlihat bahwa genosida yang
terjadi khususnya antar kelompok etnis berkembang dan pecah bukan hanya karena
perilaku menyimpang dari kedua belah pihak yang memanfaatkan rasa etnosentris
pada diri mereka untuk melakukan hal yang tidak manusiawi, tetapi ada juga faktor
dari luar kelompok yang menyebabkan itu bisa terjadi.
Menurut Berger, cara pengendalian terakhir dan tertua adalah dengan
paksaan fisik. Pada kasus kerusuhan Sampit maupun kasus Rwanda, bentuk
pengendalian yang dilakukan adalah dalam bentuk fisik. Hal ini dilakukan karena
kategori penyimpangan yang dilakukan masyarakat sudah memasuki kategori
kriminal berat yang direncanakan oleh kolektif. Bentuk pengendalian yang diambil
pun lebih kuat yaitu melalui militer pemerintahan yang turun langsung dan
menghentikan tindakan genosida secara langsung dan fisik. Dalam kasus Rwanda
khususnya yang merupakan peristiwa cukup besar, militer yang digunakan untuk
mengendalikan sebagian besar berasal dari luar negeri dimana pasukan-pasukan
perdamaian berdatangan dari berbagai negara untuk menghentikan tragedi
kemanusiaan abad 20 itu
Disamping itu, baik di Indonesia maupun internasional telah ditetapkan
hukum-hukum tentang keberlangsungan hidup (HAM) pada umumnya dan
perlindungan terhadap kelompok masyarakat dan golongan baik etnis atau bukan. Di
Indonesia pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota
yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang
juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesia. Akan tetapi Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan
dilakukan.
Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM meliputi kejahatan
Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7a : Setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan
kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya; Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain; Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok;

Dunia internasional sendiri merujuk peraturan HAM oleh Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan organisasi dunia dan dibentuk dengan
alasan utama hak asasi manusia. Kekejaman dan genosida setelah Perang Dunia II
menyebabkan munculnya konsensus bahwa organisasi baru ini harus bekerja untuk
mencegah tragedi serupa di masa mendatang. Tujuan awal adalah menciptakan
kerangka hukum untuk mempertimbangkan dan bertindak atas keluhan tentang
pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa hak 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia juga merupakan
suatu fokus untuk PBB, dengan deklarasi tentang hak-hak masyarakat adat yang
disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 2007. Deklarasi ini menguraikan hak-hak
individu dan kolektif untuk budaya, bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan dan
kesehatan, menyikapi isu-isu pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama
berabad-abad. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat
dan mendorong pertumbuhan adat, budaya institusi dan tradisi. Deklarasi ini juga
melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat dan mendorong partisipasi aktif
mereka dalam hal-hal yang menyangkut masa lalu, masa sekarang dan masa depan
mereka.
Meski bisa dilakukan tindakan pengendalian, perlu juga dipahami bahwa
tindakan pencegahan akan jauh lebih baik jika tindakan pencegahan juga dilakukan
sejak awal. Jika menilik kasus genosida bernuansa etnis diatas, dapat terlihat bahwa
masalah antar dua kelompok bertikai dimulai dari ketidakcocokan dan prasangka
yang berkembang menjadi streotip negatif tertentu. Diversifikasi etnis yang dilakukan
pihak luar ataupun pemerintah juga menjadi salah satu penyebabnya. Dan yang
paling utama adalah tidak terselesaikannya urusan hukum secara tuntas antara
kedua belah pihak yang berseteru sehingga salah satu pihak atau keduanya memilih
untuk bertindak secara agresif untuk mendapat keinginannya. Karena itu tindakan
pencegahan yang paling penting adalah berasal dari pemerintah sebagai pihak yang
memiliki kuasa lebih.
Tindakan pencegahan yang paling utama adalah memastikan apabila ada
kasus antar dua kempompok etnis, proses hukum berjalan dengan sebagaimana
mestinya sesuai peraturan yang berlaku dan tanpa memihak salah satunya. Dengan
berjalannya proses hukum yang baik, akan menimbulkan kepercayaan terhadap
hukum sehingga jika ada suatu pertikain baik bernuansa etnis ataupun tidak,
kelompok-kelompok tersebut akan mempercayakan penyelesaiannya kepada hukum
pemerintah bukannya malah bertindak agresif dan menyimpang. Tindakan
pencegahan berikutnya adalah memastikan peraturan-peraturan yang ada sudah
cukup meng-cover segala hak dan kewajiban serta perlindungan bagi masyarakat
etnis tanpa mendahulukan atau menkhususkan etnis manapun. Dengan adanya
peraturan tersebut, masyrakat etnis akan merasa aman dan tidak akan terpicu untuk
membuat tindakan sendiri tapi menjadikan peraturan pemerintah sebagai rujukan
pertama. Kedua pencegahan diatas sangat penting untuk menghindari eskalasi
konflik yang mungkin terjadi antar dua kelompok etnis terutama di Negara Indonesia
yang terdiri dari ribuan suku bangsa berbeda. Penting bagi Indonesia untuk memiliki
peraturan dengan status hukum yang kuat tentang keberadaan ettnis-etnis yang
berbeda dalam kawasaanya. Tugas pemerintah lah untuk memastikan semua
peraturan dijalankan dengan sesuai.
Selain pencegahan dari pihak luar, anggota kelompok etnis sendiri pun perlu
menumbuhkan rasa toleransi terhadap etnis lain sebagai salah satu langkah
merubah pola pikir atas prasangka maupun stereotip etnis tertentu yang kerap kali
menjadi awal permusuhan antar etnis. Stereotip-stereotip yang berkembang seperti

suku Minang yang perhitungan, suku Batak yang kasar ataupu suku Jawa yang kaku
dan konservatif sebenarnya bisa dihapuskan. Harus ada pemahaman di kalangan
semua masyarakat terutama masyarakat yang masih menganut nilai-nilai etnis
tertentu bahwa stereotip bukanlah penilaian mutlak untuk keseluruhan mayarakat
etnis tertentu. Sehingga tidak ada anggapan bahwa etnis tertentu adalah lebih baik
dari etnis lainnya. Sikap saling toleran dan terbuka dengan perbedaan tentunya
mampu menumbuhkan sikap saling menghormati antar etnis sehingga tidak akan
terjadi pertikaian hingga tindakan seperti genosida.

Anda mungkin juga menyukai