Anda di halaman 1dari 4

Inggris, Sepakbola, dan Ironi-Ironi

Begitu banyak ironi dalam sepakbola dan pertautannya dengan


Inggris. Negara mana yang mengklaim sebagai ibu kandung sepak bola
modern? Inggris. Kompetisi mana sekarang yang paling gebyar? Inggris
dengan Premier League-nya.
Ironisnya, kapan terakhir kali Inggris menjuarai Piala Dunia? 1966.
Kapan Inggris menjadi tuan rumah Piala Dunia? 1966. Kapan Inggris
menjuarai Euro alias Piala Eropa? Belum pernah. Kapan Inggris menjadi tuan
rumah Euro? 1996.
Duh, sebagai anak, sepak bola benar-benar durhaka. Bagaimana tidak,
dia biarkan ibunya kesepian karena lama tak pulang kampung, setidaknya
sesekali mengirim trofi pun tidak. Sebagai anak, ia lebih betah di Brazil,
Jerman, Italia, atau Spanyol, negara yang mengadopsinya. Kurang ajar betul.
Sudah melupakan ibunya, bapak-bapak di Inggris juga dibiarkan hanya
menjadi para medioker sejati. Lalu, anak mudanya hanya menjadi penonton
bagi parade keindahan sepak bola yang diperagakan pemain-pemain dari
Amerika Latin atau Eropa Daratan.
Ya, Premier League memang terbaik, saya tidak akan pernah
menyanggahnya, untuk saat ini. Maaf, sebagai tontonan dan bisnis. Bagi
para pemain dan pelatih di Inggris, ya mereka hanya menjadi pelengkap
derita dan sesekali mencuri panggung. Sesekali banget.
Michael Owen menjadi manusia terbaik Inggris dari lapangan hijau
terakhir yang meraih Ballon dOr. Ya, 15 tahun lalu. sekarang, Wayne Rooner,
Harry Keane, Raheem Sterling, atau Joe Hart hanya bisa menjadi benteng
terakhir dari ancaman terasing di rumah sendiri.
Nah, terus bagaimana dengan bapak-bapak di Inggris. Para pelatih.
Sepertinya benar-benar medioker sejati. Mau yang pemula maupun sudah
sarat pengalaman tetap tak kunjung naik level dari medioker menjadi
menuju manajer top.
Dari 20 klub Premier League menyisipkan empat pelatih sala Inggris.
Catat, hanya empat. Sudah tak perlu membandingkan dengan La Liga, SerieA , atau Bundesliga dengan pelatih-pelatih lokalnya. Dominan jumlahnya.
Kalau saja sedkiti tapi berpengaruh, tentu tetap membanggakan. Di
Premier League, sudah pelatih asal Inggris minoritas, kekuatannya juga

minimalis. Ayo, kita cek. Eddie howe, melatih Bournemouth berada di posisi
ke-15 klasemen sementara. Itu sudah lumayan ketimbang Steve McCLaren
bersama Newcastle United dan Sam Allardyce dengan Sunderland. Musim
ini, mereka penghuni setia zona degradasi.
Dan, yang terakhir dan terbaik; Alan Pardew. Lho, kok Crystal Palace
yang dilatihnya di posisi ke-14. Sungguh semenjana.
Sejak berformat Premier League pada 1992-1993, atau sudah 24
tahun, tak ada satu pun pelatih asal Inggris yang mengangkat trofi Premier
League. Semuanya terlalu sibuk melatih tim semenjana dengan prestasi
medioker. Adapun jabatan pelatih di tim elite, sudah dipastikan jajaran
direksinya tidak akan melirik pelatih asal Inggris.
Bahkan, untuk menentukan siapa pelatih timnas Inggris, sungguh
adalah sesuatu yang menyulitkan bagi FA (Asosiasi Sepak Bola Inggris). Tak
heran, Sven-Goran Eriksson dan Fabio Capello pernah ditunjuk. Sekarang,
coba kita lihat performa Inggris di tangan Roy Hodgson.
Sebenarnya, apa pasal yang membuat Inggris, sang ibu kandung sepak
bola modern, pemilik kompetisi paling gebyar di dunia, hanya mampu
menghasilkan pelatih-pelatih kacangan bin ecek-ecek?
Paling gampang mencari kambing hitam dari kegagalan Inggris
melahirkan pelatih-pelatih hebat adalah Fa. Mereka yang mengklaim sebagai
ibu kandung sepak bola, tetapi baru memiliki pusat pelatihan terpadu
bernama St Georges Park National Football Centre pada 2012 di BurtonuponTrent, Staffordshire.
Bandingkan dengan Italia atau Perancis. Jelas mereka ketinggalan jauh.
Italia memiliki Coversiano yang telah berdiri sejak 1958. Perancis memiliki
Clairefontaine yang berdiri sejak 1988. Kalau bicara Coversiano, perhatikan
lulusan-lulusan mereka, Fabio Capello, Carlo Ancelotti, Antonio Conte,
Roberto Mancini, dan masih panjang daftarnya.
Apabila Anda bertamu le Coversiano dan sempat ke perpustakaannya,
akan terlihat beberapa pamflet tentang karya-karya dari pelatih hebat. Itu
adalah tesis sebagai tugas akhir para pelatih yang hendak mendapatkan
UEFA Pro Licence di Coversiano.
Tesis Ancelotti pada 1997 berjudul Il Futuro del Calcio: Pio Dinamicita
adalah salah satu yang fenomenal. Allenatore yang musim depan melatih
Bayern Muenchen itu mengulas tentang sepak bola masa depan yang lebih

dinamis. Karyanya itu dilengkapi dengan grafis, diagram, dan konklusi yang
menawan.
Atau, yang tidak kalah ternama, Capello dengan tulisannya berjudul Il
Calcio in Liberta yang juga mengulas tentang sistem zonal marking pada
1984. Penjaga perpustakaannya dipastikan akan merekomendasikan tulisan
ini juga, judulnya Il Trequartista karya Mancini pada 2001.
Karya yang tergolong anyar dan menjadi perhatian adalah milik
Antonio Conte saat sekolah di sana pada 2006. Dia menulis tesis tentang
transformasi taktik berjudul Considerazioni Sul 4 3 1 2 ed Uso Didattico del
Video.
Tradisi inilah yang tidak dimiliki Inggris. Atau, setidaknya tradisi seperti
Spanyol yang pelatih-pelatih berbakatnya tersebar di berbagai akademi
sepak bola seperti La Masia, La Fabrica, dan masih banyak lagi.
Kalau memperhatikan angka-angka ini, membandingan pelatih Inggris
dengan negara Eropa lainnya sangatlah tidak apel dengan apel. Bagaimana
tidak, hanya 203 pelatih Inggris yang memiliki UEFA Pro Licence. Tak adil
dikomparasikan dengan Spanyol yang punya lebih dari 2.000 pelatih
berlisensi UEFA Pro atau Italia dan Jerman yang masing-masing lebih dari
1.000.
Coba kita menggunakan logika sederhana. Di Spanyol, Italia, dan
Jerman yang punya begitu banyak pelatih berkualifikasi teratas, hanya
terserap maksimal 30 untuk dua kompetisi level tertinggi. Tentu karena ada
juga klub yang memakai jasa pelatih asing, meski tak banyak.
Lalu, kemanakah pelatih berlisensi UEFA Pro lainnya. Benar, ada juga
yang ke luar negeri, tetapi berapa besar daya serapnya. Begini saja, kita
bulatkan sekitar 100 untuk dalam dan luar negeri di level teratas. Nah,
sisanya masih banyak. Mereka ke mana? Jawabannya, ya melatih di level
bawah atau tim junior. Bahkan, banyak yang melatih di akademi sepak bola
milik klub-klub level teratas.
Di Inggris, jangan harap itu terjadi. karena hanya memiliki 200-an
pelatih berlisensi UEFA Pro, tentu sulit membayangkan mereka hanya
menjadi pelatih tim junior. Dampaknya, pemain-pemain belia tidak
mendapatkan latihan fundamental dari pelatih-pelatih terbaik seperti di
Spanyol, Italia, atau Jerman.

Mulai jelas kan alasan mengapa talenta muda Inggris lebih sedikit
ketimbang dari Jerman. Spanyol, dan Italia. Mereka tidak dilatih oleh pelatihpelatih terbaik sejak level belia.
Bayangkan kesulitan yang dialamai Jack Wilshere, Ross Barkley, atau di
masa lalu Paul Gascoigne saat level Junior. Mereka sedang asyik menggocek
bola, meihat celah, dan mencari ruang, pelatihnya sudah berteriak-teriak
karena dianggap terlalu lama menguasai bola atau bersikap individualistis.
Sulit bagi mereka berkreasi dengan level pelatih yang seperti itu.
Jadi, jangan heran jika para mantan pemain di Inggris lebih piawai
berteriak-teriak di depan kamera televisi sebagai pundit ketimbang mikir
sebagai pelatih sepak bola. Bagaimana kabarmu, Gary Neville?
Source: Harian Jawa Pos Edisi 29 Februari 2016.

Anda mungkin juga menyukai