Kedua, Khalid tidak terobsesi dengan ketokohannya. Ia tidak menjadikan popularitas sebagai
tujuan. Itu dianggapnya sebagai bagian dari buah perjuangan. Hal itulah yang pernah
diungkapkan Khalid mengomentari pergantiannya, Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan
karena Umar! Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid
tetap prima. Itulah nilah ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasul seperti Khalid bin
Walid.
Rasulullah saw. mengatakan, Siapa memurkakan Allah untuk meraih keridhaan manusia maka
Allah murka kepadanya dan menjadikan orang yang semula meridhainya menjadi murka
kepadanya. Namun, siapa meridhai Allah meskipun dalam kemurkaan manusia maka Allah akan
meridhainya dan meridhakan kepadanya orang yang pernah memurkainya. Allah
memperindahnya, memperindah ucapan dan perbuatannya. (HR. Aththabrani)
Ketika popularitas ada di tangan, sebenarnya seseorang sedang berada di puncak godaan. Persis
seperti kuli bangunan yang berada di gedung tinggi. Kian tinggi posisinya, semakin besar tiupan
angin. Dan kalau jatuh pun akan jauh lebih sakit.
Di antara godaan itu mengatakan, Anda ini orang besar. Anda tahu apa yang Anda lakukan.
Anda tak mungkin salah. Pada saat yang bersamaan, kalau itu masuk dalam hati dan merembes
menjadi sikap diri; orang menjadi ujub. Ia merasa kalau dirinya memang besar. Tak ada yang
layak mengatur dirinya. Termasuk, mungkin, oleh Allah swt. sendiri.
Itulah yang pernah diucapkan Iblis. Saya lebih baik dari Adam. Aku dari api, dan dia dari tanah!
Bagaimana mungkin mesti sujud padanya! Itulah puncak kesalahan dari orang besar. Orang
yang terjebak dalam kepopulerannya. Naudzubillah!
Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil Allah swt. Umar bin Khaththab menangis. Bukan
karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi, ia sedih karena tidak sempat mengembalikan
jabatan Khalid sebelum akhirnya Si Pedang Allah menempati posisi khusus di sisi Allah swt.
(dkwt)