Anda di halaman 1dari 2

Becermin Kepada Khalid bin Walid

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah


alhikmah.ac.id - Melakoni jalan hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak di
pegunungan. Kadang menurun, suatu saat menanjak melampaui pucuk pohon tertinggi. Saat
itulah, semua terlihat kecil. Bahkan, puncak gunung pun ada di telapak kaki. Berhati-hatilah,
karena di balik gunung ada jurang.
Kurir Khalifah Umar Al-Khaththab agak heran dengan reaksi Khalid bin Walid. Selepas
membaca surat khusus Khalifah, panglima perang Islam yang kesohor itu bicara pelan kepada
sang kurir. Jangan sampaikan pada siapa pun isi surat ini. Dan kurir itu pun setuju.
Itulah pesan Khalid bin Walid sesaat setelah membaca surat penghentian jabatan panglima
perang dirinya. Sama sekali, hal itu bukan lantaran ia menolak titah khalifah yang baru dilantik.
Bukan pula karena khawatir kalau popularitasnya akan merosot. Ia cuma ingin menjaga agar
semangat pasukan tetap prima. Dan kemenangan Perang Yarmuk yang sedang bergolak pun bisa
diraih.
Popularitas Khalid dalam kemiliteran Islam saat itu, memang nyaris tak tertandingi. Ia memang
sempurna di bidangnya: ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan
kharismatik di tengah prajuritnya. Benar-benar idola yang pas buat mujahid Islam saat itu.
Keputusan Umar mengganti Khalid justru di saat puncak ketenaran bukan sebagai jegalan.
Justru, Umar ingin menyelamatkan Khalid dari fanatisme yang berlebihan. Beliau pun khawatir
kalau pasukan Islam mengalami pergeseran motivasi.
Menariknya, semua itu diterima Khalid dengan lapang dada. Dalam hitungan detik, ia bisa
memahami maksud surat Umar itu. Ia tuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses,
kepemimpinan pun ia serahkan ke penggantinya: Abu Ubaidah.
Itulah penggalan kisah seorang Khalid bin Walid. Pelajaran berharga buat mereka yang
mengalami fitnah popularitas. Sekecil apa pun ketenaran, kalau tidak dibangun dengan pondasi
yang kokoh, akan menjadi bencana besar. Setidaknya, buat kebaikan diri sang tokoh.
Kalau merujuk pada sosok Khalid bin Walid, ada beberapa bekal yang bisa diambil pelajaran.
Pertama, ketokohan Khalid asli datang dari dalam. Bukan sekadar rekayasa media, bukan juga
klaim sepihak. Itulah kelebihan khusus Khalid. Rasulullah saw. dan Khalifah Abu Bakar
mengembangkan kelebihan itu pada saluran yang pas.
Kelebihan yang alami itulah yang menjadikan ketokohan Khalid tak terbantahkan. Bahkan, oleh
musuh sekali pun. Seorang panglima Romawi, Georgius, pernah mengatakan, Saya ingin sekali
jawaban jujur dari Anda, Wahai Panglima. Apakah Tuhan menurunkan pedang dari langit kepada
Nabi Anda dan pedang itu diserahkan khusus buat Anda? Tentu saja, pertanyaan itu membuat
Khalid bin Walid tersenyum.

Kedua, Khalid tidak terobsesi dengan ketokohannya. Ia tidak menjadikan popularitas sebagai
tujuan. Itu dianggapnya sebagai bagian dari buah perjuangan. Hal itulah yang pernah
diungkapkan Khalid mengomentari pergantiannya, Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan
karena Umar! Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid
tetap prima. Itulah nilah ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasul seperti Khalid bin
Walid.
Rasulullah saw. mengatakan, Siapa memurkakan Allah untuk meraih keridhaan manusia maka
Allah murka kepadanya dan menjadikan orang yang semula meridhainya menjadi murka
kepadanya. Namun, siapa meridhai Allah meskipun dalam kemurkaan manusia maka Allah akan
meridhainya dan meridhakan kepadanya orang yang pernah memurkainya. Allah
memperindahnya, memperindah ucapan dan perbuatannya. (HR. Aththabrani)
Ketika popularitas ada di tangan, sebenarnya seseorang sedang berada di puncak godaan. Persis
seperti kuli bangunan yang berada di gedung tinggi. Kian tinggi posisinya, semakin besar tiupan
angin. Dan kalau jatuh pun akan jauh lebih sakit.
Di antara godaan itu mengatakan, Anda ini orang besar. Anda tahu apa yang Anda lakukan.
Anda tak mungkin salah. Pada saat yang bersamaan, kalau itu masuk dalam hati dan merembes
menjadi sikap diri; orang menjadi ujub. Ia merasa kalau dirinya memang besar. Tak ada yang
layak mengatur dirinya. Termasuk, mungkin, oleh Allah swt. sendiri.
Itulah yang pernah diucapkan Iblis. Saya lebih baik dari Adam. Aku dari api, dan dia dari tanah!
Bagaimana mungkin mesti sujud padanya! Itulah puncak kesalahan dari orang besar. Orang
yang terjebak dalam kepopulerannya. Naudzubillah!
Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil Allah swt. Umar bin Khaththab menangis. Bukan
karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi, ia sedih karena tidak sempat mengembalikan
jabatan Khalid sebelum akhirnya Si Pedang Allah menempati posisi khusus di sisi Allah swt.
(dkwt)

Anda mungkin juga menyukai